59 SUSPEC

Ketika menduduki salah satu sofa panjang di Grandelius, hal pertama yang menyambut Zeze adalah Saga yang tengah diperiksa oleh Rhea.

Laki-laki itu terbaring lemah di atas sofa dengan tanda kebiruan yang tersebar di beberapa bagian tubuhnya. Pemandangan itu membuat Zeze mengernyit. Padahal tadi Saga terlihat baik-baik saja.

Namun kemudian, Zeze teringat ekspresi khawatir Kion. "Begitu ya..." gumamnya. Suaranya terdengar oleh Obi yang duduk di sebelah kanannya.

"Xe... benar kan?" Tanya Obi memastikan.

Zeze mengangguk tanpa menatapnya.

Silian yang duduk di samping kanan Obi terlihat kebingungan, "apa? Apa maksudnya itu?" Ia menggoyang-goyangkan lengan Obi.

Obi menghela napas sebelum menjelaskan panjang lebar, "dalam menggunakan kekuatan yang besar, tentunya ada 'bayaran' besar pula yang harus ditanggung. Begitu pun dengan dýnami. Saat menggunakannya, terdapat dua jenis Chréos atau 'hutang' yang harus dibayar.

"Yang pertama adalah Xo, yang berarti syarat. Syarat dilakukan sebelum menggunakan dýnami. Contohnya saat Driko menggunakan kekuatannya, dia harus cukup dekat dan tidak boleh melepaskan tatapannya dari targetnya, barulah dýnami-nya bisa diaktifkan.

"Yang kedua adalah Xe, yang berarti risiko. Risiko kebalikan dari syarat. Risiko ditanggung setelah menggunakan dýnami. Itu seperti perumpamaan 'coba dulu baru bayar'. Contohnya pada kasus Saga kali ini. Kebanyakan para pengguna dýnami terlahir dengan Xo dibandingkan Xe. Jarang sekali seseorang yang terlahir dengan Xe, ataupun keduanya.

"Sebenarnya dari tingkat kesulitan, Xo dan Xe itu sebanding. Hanya tergantung pada Simathyst dan bakat itu sendiri. Semakin luar biasa Simathyst dan bakat seseorang, semakin besar Xo atau Xe yang harus ditanggung. Sangat bijak jika seseorang menyembunyikan syarat atau risikonya, karena jika musuh mengetahui kelemahannya, itu bisa menjadi kartu mati."

"Lalu..." Silian menjulurkan lehernya untuk melihat Zeze yang terhalang Obi. "Kau mendapatkan Xo atau Xe?"

"Apa ya?" Zeze bergumam. Mata birunya tetap terpaku ke depan, ke arah Rhea yang kini tengah membelah bagian tubuh Saga yang tercetak tanda biru besar, menggunakan sebuah pisau bedah. Sepertinya ia ingin menjahit pembuluh darah Saga yang pecah.

Silian berpaling ke arah Obi. Matanya mengerjap manis layaknya anak kecil yang tengah meminta permen. Lagi-lagi Obi harus bersabar menghadapi tingkah Tuan Putri satu ini.

Obi mendesah dengan mata terpejam, "Kau tidak lihat sejak tadi Zeze menggigil kedinginan?"

"Oh, berarti Xe, ya?" Silian mengangguk-angguk.

Zeze semakin mengeratkan selimut yang memeluk tubuhnya. Ia memang harus menderita seperti ini setiap kali menggunakan dýnami-nya. Kebetulan pil jahe-nya telah habis, dan ia harus memesan langsung dari Indonesia, surga dari rempah-rempah dunia.

Tak lama kemudian, terdengar pintu yang terbuka lalu tertutup kembali. Kemudian muncullah Volta dan Froura yang membawa secangkir jahe panas. Froura mendaratkan minuman tersebut di atas meja kaca di hadapan Zeze. Tanpa menunggu lama, Zeze langsung menyambar dan meneguk habis minuman itu.

"Dimana yang lainnya?" Tanya Obi.

"Sedang menonton pertandingan lain. Kalau Pangeran..." Volta menggigit bibir. "Aku tidak tahu dimana."

Mendengarnya, mata Zeze langsung membulat. Ia meletakkan gelas kosong tersebut lalu mengelap mulutnya dengan punggung tangan.

"Apa?" Obi menautkan alisnya dan langsung melayangkan tatapan tajamnya ke arah Froura yang kini telah terduduk manis di sofa yang lain.

"Yang Mulia tadi berpesan jangan ada yang mengikutinya," kata Froura. Nada suara dan wajahnya datar. Ia sama sekali tidak gentar akan tatapan Obi.

Tiba-tiba Zeze telah berdiri dari duduknya. "Aku pergi dulu," pamitnya, membuang selimut ke lengan sofa.

"Mau ke mana kau?" Tanya Obi, curiga.

"Aku juga menanyakan hal yang sama," jawab Zeze dengan mata meneduh.

========

Di dalam sebuah ruangan gelap penuh kardus, secercah cahaya bergaris-bergaris menyusup masuk melewati ventilasi dan terjatuh di tubuh seorang gadis berambut pirang panjang yang tengah duduk dengan kedua kaki terulur ke depan. Kepalanya tertunduk sehingga rambut lebatnya menutupi seluruh wajahnya.

Di samping kirinya, berdiri seorang gadis cantik dengan rambut berwarna cokelat cerah yang panjang dan bergelombang. Manik matanya tak lagi bercahaya ketika memandang seorang pengganggu yang menjulang agak jauh di hadapannya.

Sang Pengganggu itu bersandar di pintu kembar berwarna hitam yang tertutup rapat. Satu tangannya dimasukkan ke dalam saku celana berwarna hitam, sementara tangannya yang lain memegang buku tebal bertuliskan Harry Potter and The Deathly Hallows.

"Hentikan."

Suara berat Sang Pengganggu terdengar sangat otoriter. Walau wajahnya setenang air, namun siapa pun dapat melihat campuran emosi yang menggenang di sana.

Gadis berambut coklat itu malah tersenyum cerah, tak mengindahkan seluruh tusukan mental yang dihunuskan ke arahnya.

"Ah... Saudaraku," ujarnya. Suaranya sangat hangat dan ramah. "Apakah kau tahu 'karma' dari seorang pengganggu?"

Tak ada reaksi apa pun dari Sang Pengganggu. Ketenangan di wajahnya masih tak tergoyahkan.

"Sejak kapan Putra Mahkota kami ini suka ikut campur dalam masalah orang lain?" Tanya gadis itu. Nadanya terdengar riang bagaikan seorang anak kecil yang diberi permen gratis.

"Ingrid."

Senyum gadis itu luntur tatkala Sang Pengganggu memanggil namanya. Perlahan-lahan, sepasang manik hazel-nya mulai mendingin.

Tanpa bisa dicegah, kaki Ingrid menginjak pundak Si Gadis Pirang sehingga kepalanya yang semula tertunduk pun bergerak, menyibakkan rambut pirangnya dan memamerkan sisi kiri wajahnya.

"Kion..." ucap Ingrid kepada Sang Pengganggu. Ia menurunkan kembali kakinya. "Aku mengenalmu sejak kecil. Kau bukanlah seseorang yang suka ikut campur terhadap suatu hal jika itu tidak ada hubungannya denganmu. Tapi kenapa sekarang kau berdiri di sini seperti seorang pahlawan kesiangan?"

Kion, Sang Pengganggu itu tak menjawab. Matanya tidak pernah lepas dari wajah Ingrid yang kini menyeringai sinis ke arahnya.

"Oh, aku tahu... pasti gara-gara Tuan Putri tercintamu itu kan?" Ingrid terkekeh. "Aku akui dia memang pintar. Salah selangkah saja, dia pasti sudah akan menemukanku."

Mendadak, senyum Ingrid lenyap, digantikan oleh bibirnya yang mencebik tak suka. "Karena itulah, aku tidak menyukainya." Mata hazelnya pun mendingin.

"Oh! Oh! Aku tahu!" Ingrid berkata heboh. "Kau berniat menghentikanku agar Tuan Putrimu itu juga berhenti mencariku 'kan? Baik sekali! Kau benar-benar pangeran yang baik! Kau menjaga Tuan Putrimu dengan saaaaangat baik."

Kion mengangkat sebelah alisnya. Ekspresinya seakan menuangkan sebuah perasaan jijik. Orang lain pasti akan langsung terpengaruh oleh senyuman yang luar biasa cantik itu. Tapi tidak dengan Kion. Topeng itu tidak akan bisa menyembunyikan kebusukannya.

"Tapi... Kion... kau tahu kan, bahwa selalu ada pengganti untuk hal apa pun."

Mata Kion menyipit curiga.

Ingrid tertawa melihat ekspresinya. "Karena kau telah menemukanku, tentunya aku harus bersembunyi di tempat lain, benar 'kan?"

Ingrid membungkuk untuk menyelipkan rambut pirang gadis itu ke belakang telinga. Kion mengerti bahwa tindakan Ingrid kali ini adalah untuk memberikan sebuah petunjuk tentang kata-kata absurdnya barusan. Karena itulah, sebisa mungkin Kion memfokuskan matanya di gadis pirang itu.

Wajah gadis itu baik-baik saja. Kion hanya sekedar mengenal nama dan wajahnya, tidak lebih. Itu pun karena ia tak sengaja mendengar perbincangan teman-temannya.

Charty Jevrinich.

Tangan Ingrid mengusap-usap telinga kiri Charty. "Apakah sudah mendapatkan petunjuk?" Tanyanya. Lagi-lagi absurd.

"Belum ya? Baiklah, kalau begitu..." Ingrid meraup rambut Charty menjadi satu ke belakang. Kini seluruh wajah gadis itu telah tampak, tersinari oleh cahaya bergaris. Sementara itu, tangan Ingrid yang lainnya mengusap telinga kanan Charty.

"Masih belum jelas?" Ingrid kembali bertanya.

Kion mencoba berpikir keras. Kenapa sejak tadi Ingrid mengusap-usap telinga? Kion mencoba memutar ulang adegan tadi di kepalanya. 'Telinga kiri... telinga kanan...'

Mata hazelnya melebar, namun sedetik kemudian menyipit. 'Telinga kiri terdapat anting, sementara telinga kanan tidak ada. Tapi... apa hubungannya?'

"Begitu ya..." Ingrid mendengus kecewa. "Percuma saja aku menunjukkannya padamu, karena sepertinya kau memang tidak tahu." Ia melepas kasar rambut Charty hingga kepalanya menyentak kardus di belakang.

Ingrid tersenyum ceria, "mungkin jika Tuan Putrimu yang mengetahuinya, aku tidak akan sekecewa ini. Tapi kau tidak akan memberitahunya kan, hmm... Kion?" Sepasang alis Ingrid mencuat tinggi. "Karena kau takut terjadi apa-apa dengannya jika dia tahu lebih banyak soal ini.

"Tenang, Yang Mulia Putra Mahkota." Ingrid tersenyum sengit, "tidak lama lagi, kau akan menonton pertunjukannya. Bosan bukan berdiam diri terus-menerus?"

Seusai mengatakannya, Ingrid merangkaikan kedua kakinya ke arah Kion. Tapi Kion tidak memasang sikap defensif, karena ia tahu, Ingrid tidak bermaksud mencelakainya.

"Bisakah kau minggir? Aku ingin keluar," pintanya. Ingrid berbicara layaknya tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya.

"Tentu," Kion menyingkir dan membukakan pintu dengan sopan untuk Ingrid, sebagaimana harusnya seorang pria memperlakukan wanita.

Namun Ingrid tidak langsung melangkah keluar. Ia singgah sejenak di ambang pintu kemudian berbisik, "terima kasih... Pangeran Kion."

Kion bergeming. Setelah Ingrid benar-benar keluar, Kion menutup rapat pintunya. Ia kembali bersandar ke pintu itu dan menghela napas beberapa kali.

"Sama-sama."

Mata hazel-nya menerawang ke depan, terlihat penuh pertimbangan. Kemudian ia merogoh saku celananya, mengambil ponsel dan mencari kontak bernama Froura.

Setelah ia menekan icon panggil, terdengar bunyi 'tut' berulang kali sebelum orang di ujung sana mengangkat. Ini agak aneh karena biasanya gadis itu akan mengangkat pada dering pertama. Mungkin dia terlalu khawatir dengan kondisi Saga.

"Ya, Yang Mulia?"

"Kak, ke gudang lantai 3."

========

Keesokan harinya adalah giliran Obi, Luna dan Juni. Luna mengambil panahan, sementara Obi dan Juni mengambil seni beladiri. Tapi sayangnya Zeze tidak menonton karena sibuk mencari Kion.

Ia frustrasi karena kemarin tidak dapat menemukannya, padahal ia telah mengunjungi tempat dimana biasanya orang itu berada. Dan sekarang, ia dibuat tambah frustrasi lagi karena orang itu langsung menghilang ketika bel masuk menjerit.

Kini kaki Zeze berhenti di hadapan pintu kaca otomatis perpustakaan yang langsung terbelah. Saat kakinya melangkah, penjaga perpustakaan yang adalah Mrs. Liothi, langsung membungkukkan badan kepadanya.

Zeze memandangi Mrs. Liothi dengan sorot menilai. 'Apa aku tanya dia saja?'

"Ah, Pangeran Kion barusan berjalan ke belakang sana," kata Mrs. Liothi dengan ramah.

Zeze mengerjap. 'Dari mana dia tahu apa yang ingin aku tanyakan?'

Zeze tidak begitu mempermasalahkannya karena dirinya sudah terlanjur senang. Akhirnya ia menemukannya.

Dengan jantung yang berdegup kencang, Zeze membelah jejeran rak buku. Ia sampai bingung sendiri; kenapa ingin menemui satu orang saja bisa terasa semenyenangkan ini?

Ketika matanya menyorot sepatu sket putih milik Kion, Zeze mendengus. Ia bertanya-tanya kenapa Kion senang sekali duduk di sini sendirian. Padahal masih banyak meja tapi dia memilih duduk di lantai. Well, Zeze tidak bisa menyalahkannya, karena dirinya sendiri juga lebih suka duduk lesehan.

Kion tidak tidur. Dia tengah membaca buku Harry Potter yang waktu itu ditemukannya. Zeze langsung berdiri menghadap Kion dengan punggung merapat ke tembok.

Kion mengangkat wajahnya dan langsung kebingungan ketika melihat Zeze tersenyum-senyum sendiri. Ya, walaupun ia menyukai senyumannya, tapi tidak terlalu berarti jika senyuman itu bukan untuknya.

"Kenapa kau tidak meminjamnya saja dan membacanya di rumah?" Tanya Zeze, sebenarnya ia bingung bagaimana untuk memulai.

"Mm... entahlah, aku juga bingung." Kion menekuk sebelah lututnya dan meletakkan bukunya yang terbuka di sana.

"Kau benar-benar ke sini." Kion bergumam lirih.

Zeze mengernyit, "apa?"

"Tidak, tidak ada." Kemudian Kion teringat sesuatu, "apa aku mengganggu pikiranmu lagi?"

"Apa kau sengaja menghilang untuk mengganggu pikiranku?" Zeze balik bertanya. Wajah kesalnya yang tampak menggemaskan membuat Kion tak sanggup membungkam tawanya.

Alis Zeze bertaut, "apa yang lucu?"

"Tidak. Lupakan," Kion menggantikan tawanya menjadi sebuah senyuman lembut. "Kenapa kau tidak duduk di sampingku saja?"

Mata Zeze mengerjap. 'Sanggupkah?' Kemudian ia merutuki dirinya sendiri karena pertanyaan itu. 'Memangnya apa salahnya? Toh ini hanya duduk.'

Saat hendak menghampirinya, Zeze merasakan ponselnya bergetar di dalam saku jaketnya. Ia mengabaikannya dan mengambil duduk di sebelah kanan Kion, sama seperti waktu itu.

"Apakah tadi malam kau pergi lagi?" Tanyanya.

"Ya," Kion menjawab tanpa membuang matanya dari buku.

"Kau terlihat serius sekali. Apa... apakah aku mengganggumu?" Suara Zeze terdengar murung. Wajahnya merengut kecewa. Dan itu semua membuat Kion bingung.

Ya, dia mengganggunya. Gara-gara dia, Kion tidak dapat fokus ke bukunya. Bagaimana bisa Kion mengabaikan eksistensi gadis itu, yang jelas-jelas berada sedekat ini dengannya?

Kehangatan langsung menjalar di sisi kanan tubuhnya ketika Zeze duduk. Dan itu membuat Kion frustrasi. Kion berusaha sekuat mungkin untuk mengalihkan perhatiannya dari dia. Karena jika tidak, Kion akan meminta lebih. Ia ingin merasakan seluruh kehangatan itu menyatu dengan tubuhnya. Bukan hanya satu sisi tubuhnya saja, tapi seluruhnya. Ia ingin mendekap kehangatan ini di pelukannya.

Zeze tidak tahu saja, sejak tadi Kion diserbu kebimbangan yang tanpa ampun menyiksanya. Di saat ia ingin berharap, pikirannya langsung mencegahnya. Di saat harapan itu mencuat lagi, ia langsung mengibasnya.

Bukan karena ia takut tersakiti, ia sudah sangat siap menerima konsekuensinya. Ia hanya tidak ingin egonya mengambil alih.

"Maaf. Kalau begitu aku akan menutup—"

"Tidak perlu. Lanjutkan saja." Zeze langsung memotong kalimatnya. "Aku... aku tidak berharap untuk bicara denganmu. Aku hanya ingin melihatmu, itu saja."

Dan mata Kion langsung meredup. Apakah boleh ia berharap kali ini? Namun lagi-lagi, akal sehatnya menepis pertanyaan konyol itu.

Zeze menghela napas. "Berada jauh darimu... membuatku tidak tenang."

'Apa kau puas sekarang?' Kion menghardik dirinya sendiri. Ia sangat-sangat puas. Namun kejamnya, harapan itu kembali menguap.

Kion melihat kepala Zeze tertunduk, memainkan tangan di pangkuannya. 'Gugup?' Kion tersenyum masam. Ia ingin mempercayai itu.

Kion tidak pernah menyadari bahwa di dalam hatinya, Zeze tengah merutuki kecerobohannya sendiri. Memang biasanya Zeze selalu terus terang. Tapi entah mengapa, terus terangnya yang satu ini justru membuatnya menyesal. Tanpa pikir panjang, Zeze mengakui perasaannya kepada orang ini.

Tapi Zeze tidak dapat menahannya lagi. Setelah terus-terusan menyangkal perasaannya, akhirnya ia menyerah. Ia tidak bisa membohongi perasaannya sendiri. Ia benci pembohong, karena itulah jika ia terus berbohong pada perasaannya, ia takut berakhir dengan membenci dirinya sendiri.

Tapi... mengapa ia tidak bisa langsung terus terang layaknya saat ia bersama dengan Glen? Apakah karena ia berpikir bahwa dirinya tidak pantas untuk orang ini?

Apakah karena ia berpikir orang ini terlalu baik untuknya? Jawabannya hanya satu: benar.

Zeze malu mengakuinya. Ia bahkan malu dengan dirinya sendiri karena telah menyukai orang ini.

Zeze sudah terlalu jahat kepadanya. Namun meski begitu, dengan gampangnya orang ini memaafkannya. Dia tidak pantas mendapatkan hatinya yang busuk ini. Dia pantas mendapatkan yang jauh lebih baik.

Selama lima menit, mereka berperang dengan perasaan mereka masing-masing. Tidak ada satu pun yang berniat menang. Mungkin, keadaan akan jauh lebih baik jika saja mereka bisa saling bekerja sama untuk mengalahkan segala pesimisme ini.

Zeze bahkan baru tersadar bahwa sejak tadi ponselnya terus bergetar. Ia menormalkan ekspresinya sebelum merogoh jaket. Terpampang nama Robian dan 37 panggilan tak terjawab.

Sebelah alis Zeze terangkat. 'Apakah sepenting itu?' Ia langsung menelepon balik Obi. Dan yang menakjubkannya, Obi langsung menjawab di dering pertama.

"Halo?"

"Ze, kau dimana?"

"Perpus—"

"Charty mendapat surat penangkapan."

Mata Zeze membulat, "hah?"

"Anting itu... adalah antingnya."

Sekarang Zeze akhirnya paham. Ia buru-buru bangkit dan berbalik untuk menuju pintu keluar. Namun ada sesuatu yang menahan tangan kanannya, sesuatu yang hangat. Menengok ke belakang, Zeze melihat tangan besar Kion menggenggam erat tangannya.

"Jangan... jangan pergi. Tetaplah di sini." Kata-kata itu begitu lirih, bagaikan erangan keputusasaan.

Tangan Kion mulai meremas pelan tangan mungil dalam genggamannya. Kion tidak bisa melihat mata Zeze yang mulai meredup. Kion tidak sanggup mengangkat kepala untuk menumpahkan permohonannya.

Ibu jarinya mengusap pelan punggung tangan Zeze, layaknya tengah berusaha menenangkannya. Zeze menelan ludah, kemudian berbalik dan berhenti di hadapannya.

Mereka berdua saling berhadapan. Zeze menunduk, sementara Kion mendongak agar bisa saling menyelam ke dalam manik mata masing-masing.

"Aku tidak ingin mencurigaimu untuk yang kedua kalinya. Tapi kau pasti mengetahui sesuatu."

Hening. Kion tidak kunjung menjawab, masih belum. Ia masih ingin tenggelam di dalam sepasang kolam bundar berwarna biru yang sejak kecil selalu menjadi objek favoritnya itu. Ia masih ingin seperti ini sebelum batas toleransinya habis dan berubah menjadi penolakan ketika si pemilik mata ini tahu yang sebenarnya.

Tapi, sekarang mungkin sudah saatnya ia mengaku, karena ia telah mengulur waktu cukup lama. "Ya, aku tahu."

Kion agak terkejut karena tidak ada perubahan ekspresi apa pun di wajah Zeze. Tanpa sadar, ia semakin mengeraskan genggamannya. Ia takut.

"Apa sekarang kau membenciku?" Kion memberanikan diri bertanya. Suaranya yang terdengar tenang bertolak belakang dengan kegusaran yang sedang melanda hatinya.

"Kau telah masuk tanpa permisi ke dalam hatiku, bagaimana bisa aku mengeluarkanmu lagi?"

Hening lagi. Zeze tidak ingin menerka apakah Kion mendengar perkataannya barusan atau tidak.

Zeze menyadari perbedaan dirinya saat berhadapan dengan Glen dan Kion. Ia akan dengan senang hati membuka perasaannya terhadap Glen. Tapi dengan Kion...

Tapi toh, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Zeze sudah terbiasa hidup selama ini dengan cinta yang tak terbalaskan. Jadi, apa salahnya merasakannya lagi?

Zeze merasakan genggaman Kion melonggar. Apakah itu artinya ia boleh pergi?

Dalam sudut pandang Kion, tentunya iya. Kion telah menyiapkan hati jika saja Zeze menyentak kasar tangannya dan berjalan pergi meninggalkannya. Tapi nyatanya tidak. Zeze tidak melakukannya.

Toleransi itu ternyata jauh lebih tinggi daripada yang Kion kira. Bahkan sekarang, ia tidak yakin apakah jiwanya masih bersemayam di dalam tubuhnya. Ia merasa melayang saat ini juga. Harapannya yang biasanya selalu ditepis, sekarang dengan senang hati ia terima.

"Aku harus pergi dan aku tidak akan membencimu." Dengan lembut, Zeze menguraikan tangan Kion.

"Kau masih berhutang jawaban kepadaku, 1 Mei." Dan akhirnya, Zeze benar-benar pergi.

Kion tak lagi mencegahnya, karena memang sudah tidak sanggup. Menggerakkan tangan pun ia tidak bisa. Seluruh pergerakan di dalam dirinya terkalahkan oleh gemuruh detak jantungnya yang seakan tengah meminta keluar detik itu juga.

Perlahan tapi pasti, Kion merasakan hatinya—yang telah lama membusuk—mulai kembali hidup.
RECENTLY UPDATES