58 DANCING

Claudia langsung menyambut serangan Saga. Kedua longsword mereka terus-menerus bertemu, membelah udara dengan bilah dan juga desingannya. Ini adalah pertarungan yang imbang karena mereka berdua menggunakan jenis pedang yang sama.

Zeze terperangah ketika matanya meliput ketukan kaki Saga. Jarang sekali ada orang yang masih menggunakan teknik beladiri kuno itu di abad ke-22 ini. Dan hal itu membuatnya takjub.

"Dia menguasai seni beladiri Wing Chun?" Tanya Zeze, menoleh ke arah Kion yang tatapannya masih terpaku ke depan.

Kion mengangguk tanpa menoleh. Zeze masih bisa menyerap raut kecemasan yang tersiar di wajahnya. 'Apa yang dia khawatirkan?' Zeze bertanya-tanya dalam hati.

'Misteri lagi.'

Ketika Zeze kembali melihat ke depan, Saga telah terseret ke belakang. Tidak, lebih tepatnya terdorong. Bajunya pun tampak koyak di beberapa tempat.

Kebisingan bagaikan suara baling-baling helikopter menarik mata Zeze untuk melihat ke atas. Dan ketika ia melakukannya, sepasang manik biru itu langsung terbelangah. Kelopak bunga Myrtle putih yang jumlahnya mungkin sampai puluhan ribu, terlihat berputar-putar membentuk pusaran jauh di atas kepala Claudia.

Sebenarnya jika dilihat lebih teliti, bukan kelopak bunganyalah yang berputar-putar, tetapi anginlah yang membuat puluhan ribu kelopak itu bergerak. Dan kalau diingat-ingat, di belakang stadion ini terdapat kebun bunga.

Pertarungan berlangsung sengit. Ketika Claudia mengayunkan pedangnya, kumpulan kelopak itu seolah merespons gerakannya dan langsung menari ke arah Saga.

Saga kewalahan karena ribuan kelopak itu terus-menerus berdatangan dan menutupi pandangannya. Ia kebingungan. Menerjang juga percuma, karena sekarang, kumpulan kelopak itu berputar-putar membentuk pusaran yang mengitari tubuhnya dari atas sampai bawah.

Saga hendak melompat ketika ia melihat sebuah lubang kecil di atasnya. Tapi ia harus mengurungkan niatnya karena sedetik kemudian, lubang itu lenyap.

Saga mulai merasa sesak. Sepertinya oksigen telah terkuras habis di dalam. Matanya bahkan tidak dapat melihat apa yang terjadi di luar. Suara penonton pun kini tergantikan oleh suara yang mirip sekali dengan baling-baling. Dan Saga yakin, pasti Claudia sedang menunggunya menyerah.

Zeze menengok Froura yang duduk agak menjorok ke atas di belakangnya. Gadis itu tetap bergeming dengan wajah datarnya seakan tidak pernah terjadi apa pun dengan tunangannya itu.

Di ujung lapangan, Zeze melihat Mrs. Kardiá dan seorang pria berpakaian seperti dokter, berjalan mendekat ke arah tornado itu. Mrs. Kardiá dan pria tersebut pasti adalah tim medis yang selalu mengetahui keadaan para murid, sehingga hal-hal yang buruk pun dapat dicegah sebelum terjadi. Jika mereka sudah mulai bergerak, pasti situasi di sana sangatlah genting.

Akses masuk oksigen untuk Saga benar-benar terkunci. Jika begini, laki-laki itu hanya akan menghirup karbon dioksida-nya sendiri.

Karbon dioksida (CO2) adalah racun yang mematikan, tapi mudah untuk ditemukan. Racun yang selalu ada di sekitar manusia, yang bahkan tidak perlu bersusah payah untuk mencarinya.

Dan mati karena 'racun' yang dibuat tubuh sendiri adalah hal yang konyol.

Secara tiba-tiba, Zeze melihat Mrs. Kardiá menyuruh dokter itu kembali menepi. Zeze harus menyipitkan matanya agar bisa melihat dengan jelas apa yang sebenarnya terjadi. Apa yang membuat mereka berdua kembali mundur?

Dan ternyata, penyebabnya adalah Saga yang telah berhasil keluar dari lingkaran mautnya. Sekarang dia tengah membungkuk dan terbatuk-batuk di belakang tornado itu.

"Dia menggunakannya."

Zeze mendengar Kion bergumam, yang entah mengapa terdengar seperti umpatan kekhawatiran. Zeze bertanya tanpa meliriknya, "menggunakan apa?"

Sebelum Kion menjawab, tak salah lagi Zeze melihat Saga berpindah tempat. Sekarang dia berdiri gagah di depan pusaran itu. Apakah matanya terlalu lelah untuk bisa mengikuti pergerakan Saga, ataukah Saga-nya yang terlalu cepat?

Bukan, bukan itu. Matanya tidak salah. Saga berteleportasi! Tapi bagaimana? Obi dapat berpindah tempat karena ia menanamkan 'syarat' untuk dapat menggunakan dýnami-nya. Dan syaratnya itu adalah dengan membakar dirinya sendiri. Dia menggunakan api sebagai penghubung antar dirinya dan juga benda yang telah ia bakar.

Lalu, apa 'syarat' Saga? Ataukah dia memakai 'risiko'?

Tapi tunggu dulu. Jelas-jelas sebelumnya Zeze melihat baju Saga terkoyak. Namun, mengapa kini menjadi utuh lagi?

"Reverse."

Jawaban Kion menyusup di tengah-tengah kebingungannya. Jadi begitu. Pantas saja Ratu Mionares memilih Saga.

Ratu Mionares sangat dikenal dunia karena kemampuannya yang dapat melihat bakat terpendam seseorang. Beliau juga dapat mengarahkan dengan pasti seseorang yang berada di tengah kebimbangan dalam memilih Simathyst. Bahkan rumornya, beliau dapat mencocokkan Simathyst dengan dýnami seseorang yang semulanya tidak cocok.

"Dia membalikkan waktu?" Tebak Zeze.

Kion tersenyum puas akan respons cepatnya. "Ya, tapi hanya berlaku pada waktu yang berjalan di sekitarnya, sementara waktu milik orang lain tidak berpengaruh."

Kalau soal itu, Zeze dapat melihatnya sendiri. Buktinya, Claudia masih berada di tempatnya semula. Tak ada yang berubah dari gadis itu. Jadi kesimpulannya, Saga bukan berteleportasi, tapi memutar waktu. Sebelumnya Saga pernah berdiri di tempat tersebut. Ia hanya memundurkan waktu yang berjalan di sekitarnya dan membuat dirinya kembali menempati tempat itu seperti sebelumnya.

"Tapi aku rasa, jangkauannya tidak terlalu luas, benarkan? Jika aku jadi dia, aku pasti akan langsung berhenti di depan gadis itu dan langsung menyerangnya," ujar Zeze.

Lewat ekor matanya, Zeze melihat Kion mengangguk. "Hanya dalam radius 5 meter dan dia tidak bisa menggunakannya setiap saat. Ada jeda waktunya."

Setelah melihat Saga, Claudia menghentikan pusarannya dengan wajah kesal. Ia juga terlihat terkejut dan bingung, bukti bahwa gadis itu belum pernah melihat kekuatan Saga sebelumnya.

Kumpulan Kelopak itu jatuh serempak di atas permukaan semen. Bunyinya terdengar seperti mikrofon yang ditepuk. Kaki Saga tenggelam dalam kumpulan kelopak yang terpelanting ke arahnya.

Claudia menarik kembali kelopak-kelopaknya. Kumpulan kelopak itu terlihat seperti sedang berjalan di atas permukaan semen. Entah apa yang tengah gadis itu rencanakan, tapi pastinya itu bukanlah hal bagus.

"Deka, kenapa kau sangat yakin Claudia akan menang?" Tanya Zeze.

"Mm... kenapa ya? Saga lemah dalam hal refleks dan kelincahan karena itulah Claudia lawan yang buruk baginya."

Kumpulan kelopak itu tidak lagi mengerumuni Saga, tetapi berbalik kepada pemiliknya. Claudia terlihat bagaikan seorang penari yang dikelilingi bunga. Bukan bagaikan lagi—karena bagi mata Zeze—Claudia memang sedang menari.

Lihat saja kakinya, hanya ujung sepatunya saja yang menyentuh daratan. Claudia tampak seperti sedang menari balet seraya menjemput setiap serangan yang Saga lancarkan.

Pedang mereka berjumpa berulang kali. Dentingannya bahkan berlomba-lomba dengan suara penonton. Jika diperhatikan lagi, tangan Claudia memang benar-benar cepat. Saga pun terlihat kesulitan menangkisnya. Tapi di lain sisi, Claudia yang akan merasa kesulitan jika satu saja serangan Saga berhasil mengenai dirinya. Dikarenakan power Saga yang tentunya jauh lebih besar dibanding miliknya.

Ketakutan Claudia pun terjadi. Ia kelelahan sebab gerakan cepatnya tadi, sehingga serangan Saga yang satu ini tidak mungkin dapat ia tangkis.

Claudia buru-buru mengerahkan kumpulan kelopak Myrtle yang sejak tadi mengikuti gerakannya itu ke depan, menciptakan dinding penghalang yang berbaris rapi di antara dirinya dan Saga.

Dan... Bash! Pada akhirnya, Saga hanya berujung menebas dinding kelopak itu sehingga membuat beberapanya berjatuhan. Matanya tidak dapat menemukan Claudia. Dia menghilang, menyaru di antara kelopak yang beterbangan.

Saga tidak dapat merasakan hawa keberadaannya. Kemungkinan gadis itu juga menguasai teknik menekan hawa keberadaan. Tapi sedetik kemudian, Saga merasakan nafsu membunuh datang dari arah belakangnya.

"Keputusan yang salah," Zeze bergumam dengan nada mengejek. "Sudah berakhir. Saga pemenangnya."

Driko hendak protes, tapi hal selanjutnya yang dilihat oleh mata kepalanya sendiri langsung membungkam mulutnya.

Di saat Claudia bersiap menghunjam punggung Saga dari belakang, tiba-tiba Saga lenyap. Claudia tidak dapat mengerti lagi apa yang terjadi ketika dirinya justru bertekuk lutut. Ia merasakan sesuatu yang dingin bersemayam di lehernya. Ketika melirik, ia melihat logam besar nan tajam menempel di sana.

"Kau kalah," tandas Saga langsung.

Claudia tampak terengah-engah selama beberapa detik. Kemudian matanya terkatup seraya tangannya menancapkan pedangnya ke permukaan semen hingga semen itu retak, sebagai pertanda bahwa pertandingan telah usai dengan Saga-lah sebagai pemenangnya.

Teriakan riuh langsung menjalar dari berbagai arah ketika pengeras suara menggemakan nama Saga Láspi.

Zeze mendengar Driko berdecak kesal. "Padahal tinggal sedikit lagi. Bagaimana kau bisa tahu Saga akan menang?" Tuntutnya.

"Dia bodoh."

Mendengarnya, kening Driko mengernyit.

"Dia tidak bisa mengendalikan emosinya sendiri, karena itulah dia kalah. Sungguh, dia itu memiliki potensi yang luar biasa tapi sayangnya otaknya tidak berjalan."

"Maksudmu?" Tanya Driko, kebingungan.

"Apakah kau tidak merasakan niat membunuhnya tadi? Percuma saja dia menekan hawa keberadaannya jika pada akhirnya, dia begitu bernafsu mengalahkan Saga sampai-sampai nafsunya itu keluar dan berakhir dirasakan oleh lawannya sendiri."

Tak sampai di situ, Zeze pun lanjut mengkritik, "seharusnya gadis itu dapat mengontrol emosinya dan bersabar. Coba kau perhatikan Saga. Aku bahkan tidak dapat merasakan emosi apa pun darinya.

"Dalam pertarungan itu kuncinya adalah bersabar, dan seberapa baik kau bisa menipu musuhmu. Langkah yang Saga ambil itu memang benar. Aku berani jamin selama ini Saga tidak pernah menunjukkan dýnami-nya di depan publik, benar kan? Karena pastinya, memamerkan senjata pada seorang musuh adalah hal terbodoh yang pernah dibuat."

Tanpa Zeze dan Driko sadari, Kion tersenyum. Hari ini ia banyak mendengar pikiran gadis itu. Benar-benar sesuatu yang tidak pernah disangkanya.

"Katana dari jaman Edo..." Kion bergumam.

Zeze dan Driko langsung menoleh ke arahnya.

"Oi... apa yang terjadi padamu?" Driko jelas terperangah, karena matanya baru saja melihat senyum mengembang di wajah Kion! Ia berpikir bahwa Kion ini sakit atau semacamnya. Driko jarang sekali melihatnya tersenyum, bahkan hampir tidak pernah.

Kion menoleh ke arahnya, "apanya? Sebaiknya kau cepat menyerahkan katana itu kepadanya."

Driko mengerutkan kening, "iya-iya aku tahu."

Mata Zeze mengerjap tak karuan ketika Kion berganti menatapnya. Jantungnya pun tak dibiarkan istirahat sampai di sana karena selanjutnya, wajah Kion mendadak menghampirinya. Benar-benar dekat hingga Zeze pun menjegal napasnya.

"Semoga berhasil."

=========

Zeze menyapukan pandangannya ke sekeliling. Ternyata stadion ini lebih luas daripada yang ia bayangkan.

Kini dirinyalah yang menjulang di atas permukaan semen berbentuk lingkaran luas ini. Di bawah kakinya terdapat tulisan besar 'ακαδημία εξουσίας'. Ia mengenakan T-shirt hitam lengan pendek dipadu dengan celana training berwarna pink. Rambut platinumnya telah diikat satu ke belakang untuk mempermudahnya bergerak.

Jauh di hadapannya, berdiri seorang gadis berambut pirang bergelombang yang dipotong pendek model bob. Gadis itu mengenakan T-shirt ungu polos serta celana training berwarna abu-abu. Kakinya dibalut sepatu sket berwarna senada dengan bajunya. Dan satu hal lagi, entah mengapa ia terlihat menghindari tatapan Zeze.

Di dalam genggaman gadis itu, terpajang sabre dengan gagang berwarna perak. Sedangkan Zeze telah bersiap dengan katana pemberian Driko. Zeze tidak menyangka bahwa katana yang Driko tawarkan tersimpan di Grandelius. Padahal awalnya ia ingin mencoba memakai sabre bertuliskan Apollo yang waktu itu.

Zeze langsung menjatuhkan begitu saja sarung kayunya. Sebenarnya bagi pengguna katana, bertarung dengan sarung yang terikat di pinggang itu penting. Tapi Zeze tidak peduli. Itu merepotkan jika harus memasukkan lalu mengeluarkan lagi katana dari sarungnya secara berulang-ulang.

Dari dulu Zeze adalah tipe pengamat, dan pengamat selalu terbiasa menunggu. Ia tidak pernah memulai serangan duluan jika tidak benar-benar terdesak. Ia lebih suka mengamati pergerakan lawannya terlebih dahulu sembari memikirkan strategi.

Dan sekarang ia menunggu gadis itu, Jenetta, maju untuk menyerangnya. Tapi sepertinya ia harus menelan bulat-bulat rencananya itu karena Jenetta tak kunjung bergerak. Jika begini, tak ada yang bisa Zeze pelajari dari gadis itu.

Zeze menipiskan bibir. 'Terlalu lama,' batinnya.

Ia pun melangkah sembari menendang sarung katana itu hingga terpental ke pinggir lapangan. Ia dapat membayangkan wajah kesal Driko ketika melihat katana kesayangannya diperlakukan semena-mena olehnya.

Sepuluh langkah lagi, dan Zeze langsung menerjang. Katana-nya membentur sabre milik Jenetta. Kaki Jenetta bahkan sampai terdorong ke belakang, bukti seberapa kuatnya tekanan yang diterimanya.

Beberapa ahli pedang—khususnya katana—yang sedang melihat, pasti sekarang tengah mencibir Zeze dalam hati. Apa lagi kalau bukan tentang cara bertarungnya yang semena-mena seperti itu.

Katana tidak seharusnya ditujukan untuk beradu seperti ini. Tapi Zeze tidak peduli. Toh, pada akhirnya katana ini akan menjadi pajangan untuknya. Jadi sekalian saja menikmati ketajamannya.

"Dia... apa yang dia lakukan!?"

Kion melirik Driko yang terlihat sangat kesal.

"Dia sama sekali tidak menggunakan katana sesuai kegunaannya. Memangnya dia pikir, dia sedang menggunakan sabre atau longsword!?"

Zeze menatap datar Jenetta yang telah tersungkur. Sabre-nya tersingkir cukup jauh darinya.

'Terlalu mudah,' batinnya. Namun kemudian, Zeze menggeleng ketika ia mengingat perkataan Kai tentang tipu muslihat musuh yang terlihat lemah.

Zeze berjalan ke arah sabre Jenetta lalu menendangnya hingga benda itu berhenti ketika membentur sepatu Jenetta.

Sebenarnya Zeze sangat tidak setuju dengan peraturan 'pertandingan berakhir jika lawan menancapkan pedang ke tanah', sama sekali tidak adil. Bagaimana jika lawannya tidak ingin menyerah dan berujung dengan Zeze yang tidak sengaja membunuhnya. Bisa repot urusannya.

Jenetta duduk dan meraih sabre itu. Tapi sepertinya, Zeze masih harus bersabar karena Jenetta belum juga mau menyerah. Jenetta bangkit berdiri dan langsung mengambil posisi siap.

Ekspresi itu lagi. Kenapa Jenetta selalu membuat ekspresi ketakutan? Zeze mengerutkan kening. Apa sebenarnya gadis itu takut kepadanya? Kalau iya, apa yang dia takutkan?

Tapi ekspresi itu tak bertahan lama. Setelahnya, sorot mata Jenetta terlihat mengeras penuh tekad.

Zeze menyeringai puas melihatnya. 'Benar, begitu.'

Jenetta berlari lalu dengan satu hentakan, ia melesat ke arah Zeze. Tidak begitu cepat, bahkan sambil terpejam pun Zeze yakin dapat menangkis serangannya.

Namun...

Deg!

'Apa ini?'

Tubuhnya mendadak kaku. Tidak, bukan itu... tubuhnya bukanlah penyebab utamanya. Tapi jantungnya... benar, Zeze merasakan detak jantungnya serta-merta melambat.

Sabre itu telah melayang ke arahnya. Dengan susah payah, Zeze berusaha menghalau dengan katana-nya. Untung saja tepat waktu.

Tapi Zeze dapat merasakan tubuhnya melemah. Kakinya pun begitu kuat menggesek permukaan semen. Zeze pun sadar bahwa dirinya tidak bisa seperti ini terus. Jika tidak, ia akan terpental dan risikonya adalah terjatuh. Jika ingin berhenti, mau tak mau ia harus mengobarkan sayapnya.

Zeze merenggut katana-nya sembari melompat mundur ke belakang. Jenetta menganga ketika melihat betapa tingginya Zeze melompat. Ia tidak menyadari bahwa barusan Zeze menggunakan energi kalor yang ia pusatkan di bawah kakinya sebagai tenaga pendorong.

Akhirnya Zeze dapat merasakan irama jantungnya kembali normal. 'Sebenarnya apa itu tadi?' Mata Zeze menyisir sekitar, mencoba menemukan petunjuk. Dan seketika, mata birunya menangkap sepasang kolam air berwarna hazel itu.

Benar, orang itu sedang melihatnya. Ia tidak boleh gagal dan mengecewakannya. Tunggu dulu, mengecewakan? Sebenarnya kenapa ia sangat ingin berjuang demi laki-laki itu?

("Semoga berhasil.")

Zeze menggigit bibir bawahnya. 'Sial, kata-kata itu...' Zeze menggeleng. Ia tidak bisa menyangkal bahwa dirinya ingin membuat laki-laki itu bangga terhadapnya. Ia ingin mendengar suara beratnya mengatakan 'kerja yang bagus' untuknya.

Selain itu... benar, ia mempunyai janji dengan Glen. Ia akan melawan Glen di sini.

Untuk pertama kalinya, Zeze mengangkat katana itu ke depan dada. Ia belum pernah mempunyai hasrat ingin menang seperti ini kecuali untuk Énkavma.

Obi dibuat terbelalak ketika melihat sikap Zeze. Tak salah lagi sahabat karibnya itu sedang dalam mode serius. Jarang sekali ia melihatnya seperti itu. Apakah lawannya sekuat itu? Tapi mengapa Obi tidak dapat melihat hal yang berarti dari gadis berambut pendek itu. Gerakannya pun biasa saja.

Walau teknik berpedangnya bagus, tapi Obi mengakui bahwa Zeze jauh lebih unggul. Ya, walaupun gerakan Zeze kebanyakan terlihat aneh, namun ketukannya terarah. Zeze juga tidak pernah membuat gerakan yang tidak perlu. Semuanya selalu tepat sasaran.

Tapi... ada satu hal yang mampu menarik perhatian Obi. Obi merasa bahwa dirinya pernah melihat gadis itu di suatu tempat.

Ketika melihat Zeze mulai bergerak, Obi menjadi lebih fokus. Sabre Jenetta lagi-lagi menghadang. Tapi kali ini, Zeze tidak ingin bersikap lembut. Sabre itu terpental jauh karena ulah katana-nya.

Zeze mengacungkan ujung pedangnya tepat ke tengah leher Jenetta. "Menyerah?" Tanyanya, yang terkesan seperti sebuah tawaran.

Zeze melihat Jenetta menggigit bibir dengan ekspresi ragu. Namun sesaat kemudian, ekspresi serius itu lagi-lagi membingkai wajahnya yang tirus.

Mata Zeze menyipit curiga. Instingnya mengatakan ada yang tidak beres.

Deg!

Kali ini bukan melambat, tapi tambah cepat. Zeze memegangi dadanya, 'racun?' batinnya.

Tanpa sadar, jemarinya bahkan mencengkeram kaus yang dipakainya, seakan berniat menggenggam jantung itu untuk membungkam gemuruhnya.

Katana-nya pun lolos dari tangannya. Bunyi bilahnya yang membentur permukaan semen terdengar begitu nyaring, dikarenakan suara sorakan penonton yang telah lama berhenti. Mereka semua mematung, terkejut ketika melihat Zeze tidak berkutik. Dan mereka dibuat lebih terkejut lagi tatkala melihat Zeze jatuh berlutut.

Saat Zeze mendongak, Jenetta telah menghilang dari hadapannya. Ia melihat Jenetta berjalan santai menghampiri sabre-nya.

Cengkeraman Zeze di bajunya tiba-tiba melonggar, bahunya pun merosot tatkala ia menghembuskan napas. Ia menempelkan kedua telapak tangannya di permukaan semen, menunduk dalam-dalam dengan mata terpejam. Bukan karena Zeze telah menyerah, tapi karena detak jantungnya telah kembali normal lagi.

"Begitu... jadi begitu..." Zeze bergumam dengan wajah kosong.

Setelah mengambil katana-nya, Zeze berdiri, membawa serta senyuman di wajahnya ketika memandang Jenetta yang tengah membungkuk untuk meraih sabre-nya.

Tanpa melepaskan matanya dari Jenetta, Zeze melangkah mundur, sampai terciptalah jarak yang cukup lebar di antara mereka berdua.

Sekarang ia mengerti. Simathyst Jenetta adalah detak jantung. Tapi dilihat dari pengaruhnya yang kadang muncul dan kadang menghilang, pasti penggunaannya melibatkan jarak. Gadis itu tidak bisa mengaktifkannya jika targetnya mencapai jarak di luar jangkauannya. Itu berarti Zeze hanya perlu menjaga jarak dari gadis itu.

Jenetta terlihat kebingungan tatkala melihat Zeze terus-terusan melangkah mundur.

Kai bilang, mempermainkan mental lawan juga bagian dari sebuah kompetisi, karena itulah dengan tenang Zeze berkata, "ketika kau menjauh untuk mengambil sabre-mu, detak jantungku langsung kembali normal. Di situlah letak kesalahanmu."

Jenetta mulai bisa memahami apa yang sebenarnya terjadi. Ia ketahuan! Kekuatannya diketahui orang lain! Jenetta ikut mundur dengan wajah panik. Ia sama sekali belum pernah mengatakannya kepada siapa pun. Bahkan ia yakin kebanyakan orang akan menganggapnya sebagai racun.

"Kenapa kau ikut mundur? Kau tidak akan bisa menang jika tidak mendekatiku." Zeze menyibak rambut yang menutupi dahinya lalu berkata, "untuk mengalahkanmu, aku tidak perlu mendekat kan?"

Di atas sana, Juni menegang. "Oi... oi... jangan bilang dia akan menggunakan itu."

Jika Zeze mendengarnya, mungkin ia akan langsung tertawa geli. Tentu saja Zeze tidak sebodoh itu.

Setelah membuang katana-nya begitu saja, Zeze memiringkan tubuhnya ke kanan dengan kedua tangan merangkai sikap layaknya hendak melepaskan sebuah anak panah.

Lengannya terbakar oleh api yang lama-kelamaan berjalan sampai ke udara, melahirkan sebuah busur berwarna merah menyala.

Jenetta semakin mundur tatkala melihat panah berapi yang tepat ditujukan ke arahnya, atau lebih tepat disebut dengan 'api yang membentuk panah'. Jenetta bahkan masih dapat menyorot dengan jelas lidah apinya yang menjilat ke sana kemari.

Sekarang Zeze benar-benar telah memenuhi penggambaran Artemis di buku sejarah. Dewi perburuan yang selalu membawa panah dan busur.

Sudah sejak lama ia merencanakan hal ini, tapi tidak pernah kesampaian karena sangat sulit untuk dapat mempertahankan bentuk ini dibanding bentuk sayap, mawar, atau pun bola.

Selama setahun penuh, Zeze menyelami bentuk busur dan panah. Dan kini bentuk tersebut telah mendarah daging di kepalanya. Jujur, ini pertama kalinya Zeze mencobanya, dan hasil latihannya selama ini ternyata terbayarkan.

"Lakukan..." Zeze memberi perintah dengan satu mata tertutup.

Jenetta gemetar dan menelan ludahnya beberapa kali. Meski ini hanyalah sebuah perlombaan dan bukan pertarungan sungguhan, tapi mengapa ia merasa Zeze sungguh-sungguh akan membunuhnya?

Zeze melihat Jenetta memejamkan mata. Dengan perlahan, Jenetta menancapkan sabre-nya. Ia telah menyerah.

Akhirnya Zeze dapat melepas posisi memanahnya dengan tenang. Ia menurunkan tangannya dan api berbentuk busur itu langsung menguap ke udara.

Terdengar pengumuman dari pengeras suara yang menyerukan namanya. Tanpa memedulikan keriuhan yang menghujaninya, Zeze berjalan santai menuju katana beserta sarungnya lalu mengambilnya satu per satu.

Awalnya, Zeze berharap agar langsung dipertemukan dengan mata Kion ketika ia mengedarkan pandangan seperti ini. Namun nyatanya, mata hitam seseorang telah lebih dulu menguncinya.

Di sana, di kursi paling atas, Glen duduk dengan tubuh condong ke depan. Kedua lengannya hinggap di atas paha dengan jemari yang saling bertaut. Matanya tak terbaca, tapi Zeze dapat merasakan sepasang manik itu begitu lekat mengawasinya.

Sudut bibir Zeze terangkat ke atas, menciptakan sebongkah senyum yang terlihat seperti mengatakan, 'sampai jumpa lagi'.

Kemudian, Zeze berpaling ke depan, ke arah pintu keluar yang menjadi tujuannya. "Benar, selanjutnya adalah kau dan aku yang akan berada di atas sini."
RECENTLY UPDATES