57 DATABASE
Hampir selesai pun belum, tapi Zeze dan Kion sudah harus mengakhiri tanya jawab kecil mereka di sini. Mobil Kion menepi agak jauh dari istana. Mereka berdua masuk secara diam-diam melewati tembok besar, lalu mendarat di sisi samping bangunan, tepat di bawah balkon kamar mereka.
Saat masih di dalam perjalanan, Zeze mengusulkan sesuatu. Mereka bermain tanya jawab yang berkaitan dengan diri mereka masing-masing. Yang Zeze tanyakan hanyalah sekedar biodata Kion yang tidak ia ketahui.
Sementara Kion, ia menjaga pertanyaan berada di zona aman, meskipun ada banyak hal yang sangat ingin ia gali. Tanpa disangka, obrolan mereka berdua cocok, karena Kion memiliki banyak sekali kesamaan dengan Zeze.
Dan ketika tiba saatnya melewati tembok besar tersebut, entah mengapa Zeze merasakan tubuhnya menjadi jauh lebih ringan. Padahal ia tidak mengobarkan sayapnya.
Di sisi samping bangunan istana, keduanya berdiri berhadapan dalam keheningan. Cahaya rembulan tersiar, bercampur dengan suara lirih angin dan juga binatang-binatang malam. Kion berdiri membelakangi dinding, matanya sibuk menyelami sepasang manik biru di hadapannya ini.
Sementara Zeze? Gadis itu tidak jauh berbeda. Ia juga tak dapat membuang matanya dari sepasang kolam bundar berwarna hazel itu.
Meski tak mau mengakuinya, sebenarnya Zeze sedang kecewa. Ia kecewa karena waktu singkat itu cepat terhempas begitu saja. Zeze belum ingin tidur. Zeze masih ingin menatap mata itu. Zeze masih ingin berlama-lama mengalami hal tadi.
Zeze masih ingin berlama-lama bersama dia.
"...Roze?"
Kion memanggil namanya karena sejak tadi Zeze tak kunjung bergerak masuk. Sebenarnya ia juga tak rela menyudahi semua ini, tapi sayangnya hari telah larut.
"ya?"
Mungkin itu adalah respons terbodoh yang pernah Zeze katakan, karena ia sama sekali tidak menggunakan akal sehatnya saat mengatakannya. Seluruh akal sehatnya seakan terhisap ke satu titik, yaitu orang di hadapannya ini.
"...kau harus masuk."
Nah, itu juga adalah hal yang tadi akan Zeze lakukan. Namun sialnya, sekarang Zeze tidak memiliki kemampuan untuk berpaling. Karena ia tidak mau.
Apa nama dari perasaan ini... Zeze yakin sekali pernah merasakannya dulu, tapi ia lupa karena saking lamanya tidak pernah merasakannya dengan... dengan orang lain.
Menyerah mencari tahu, pandangan Zeze luruh ke bawah. Akhirnya ia melangkah melewati Kion, melompat dari tiang ke tiang hingga kakinya mendarat tepat di balkonnya. Benar, ia tidak salah, tubuhnya terasa berkali-kali lipat jauh lebih ringan seperti saat ia menggunakan sayap.
Zeze menengok ke bawah. Kion masih ada di sana, mendongak untuk memandanginya. Zeze agak bersyukur karena bukan hanya dirinya yang enggan untuk pergi. Zeze bertanya-tanya, apakah besok dirinya dapat mengobrol lepas seperti tadi lagi dengan dia?
Akankah dirinya bisa berduaan lagi dengan dia?
"Kenapa kau tidak masuk? Kau akan pergi lagi?"
Sebenarnya suara Zeze tak mampu dijangkau telinga Kion karena terlalu lirih. Tapi Kion bisa membaca gerak bibirnya.
Kion mengangguk dan detik itu juga Zeze langsung merasa kecewa. Kelopak mata dan bahunya merosot, jatuh seperti hatinya.
Zeze seolah tengah merasakan déjà vu. Dulu Zeze harus bersabar menunggu selama seminggu untuk dapat melihat Kion lagi. Ia ingin ikut bersamanya. Ia ingin lelaki itu sekali saja mengajaknya.
"Apakah... apakah besok aku akan melihatmu lagi?"
Mata Kion seketika meredup. Tidak, Zeze tidak ingin mendengar jawaban 'tidak'. Dalam hatinya, ia memohon Kion akan berkata 'ya'.
Kedua tangan Kion merangkai beberapa gerakan. Mata Zeze melebar ketika menyadari Kion berbicara bahasa isyarat kepadanya. Zeze mengerti jelas bahasa isyarat, tapi yang tidak ia mengerti adalah; bagaimana mungkin Kion bisa tahu bahwa dirinya mengerti?
[Aku harap juga begitu.]
Itu katanya. Lagi-lagi, Kion tidak langsung menjawab dengan jawaban sederhana seperti 'ya' atau 'tidak'. Namun setidaknya, hati Zeze menghangat tatkala mengetahui bahwa Kion juga mengharapkan hal yang sama dengannya.
Zeze mengangkat kedua tangannya yang semula bertengger di atas tembok pembatas. Tangannya mulai bergerak-gerak, menciptakan serangkaian kata tanpa suara.
[Selamat malam.]
Dari atas sini, Zeze melihat Kion tersenyum. Namun entah mengapa, senyum itu terlihat pahit dan menyakitkan. Apakah Zeze telah melakukan suatu hal yang salah? Apa gerakannya tadi salah? Ia rasa tidak. Lalu... ada apa?
'Ah, misteri lagi.' Kenapa laki-laki itu selalu menjadi misteri baginya?
Kedua tangan Kion bergerak lagi, kini mengulang gerakan yang sebelumnya Zeze rangkai.
[Selamat malam.]
Selanjutnya, yang mata Zeze lihat hanyalah punggung Kion yang bergerak menjauhi bangunan istana. Kion pergi menuju tembok besar di balik pepohonan yang lumayan lebat.
Zeze melihatnya melompati tembok yang menjulang tinggi itu dengan sangat lihai, seakan-seakan dia telah terbiasa melakukan hal semacam itu sebelumnya.
Zeze mendongak, memandangi sang dewi malam serta bintang-bintangnya. Ia rasa, dirinya telah menemukan nama dari perasaan ini. Benar, perasaan yang dulu sekali pernah ia rasakan.
Yaitu... jatuh cinta.
=========
Keesokan harinya, Zeze memilih perlombaan berpedang, walau dirinya sendiri tidak dapat menggunakan pedang. Harusnya ia memilih panahan, tapi ia sedang malas membidik. Hari ini matanya terlihat begitu layu. Alasannya adalah karena tadi malam ia tidak bisa tidur.
Seperti hari-hari biasa, mereka semua berkumpul di kantin lantai satu. Tapi kali ini mereka sepakat untuk berlabuh di kantin outdoor, alasannya adalah karena cuaca yang cerah sangatlah sayang untuk dilewatkan.
Zeze tidak sanggup menyembunyikan rasa bahagianya ketika melihat Kion kini duduk tepat di hadapannya. Sejak tadi matanya tak mampu untuk melepaskan wajah lelaki itu.
"Kali ini giliran Roze dan Saga ya?" Zeze mendengar seseorang bicara. Dari suaranya yang terdengar serak, dia pasti Airo.
"Benar juga," itu suara Juni.
Zeze bahkan tidak mengetahui letak-letak duduk mereka semua karena sejak tadi matanya hanya berpusat pada Kion yang belum juga membalasnya. Lelaki itu seolah menghindari matanya.
"Siapa lawan yang kau dapat kali ini, Saga?" Tanya Juni.
"Claudia Tigris."
"Bukannya dia mempunyai saudara ya? Kalau tidak salah, saudaranya berada di kelas Yang Mulia dan Obi," timpal Volta.
"Kalau Zeze?" Juni bertanya lagi. Zeze bisa merasakan Juni memandang ke arahnya.
Namun jangankan menjawab, meliriknya saja Zeze enggan. Alih-alih dirinya, justru Obi yang menjawab, "Jenetta Dianova... kalau tidak salah."
"Ah, saudari dari gadis yang waktu itu menyiram Zeze orange juice." Juni memberitahu.
"Aku sempat berpikir kalau foto Zeze yang waktu itu adalah editan, ternyata tidak." Obi tertawa puas. "Luar biasa juga dia."
"Kalian berdua jangan sampai kalah! Pokoknya kalian harus menang!" Ujar Volta dengan semangat meluap-luap.
"Ngomong-ngomong sebelum itu..." kini gantian suara Airo. "Ingin mengecek sesuatu?"
"Apa maksudnya?" Sahut Obi, terdengar bingung.
"Saga, coba cabut sehelai rambutmu."
Mata Zeze akhirnya berhasil melepaskan wajah Kion setelah ia mendengar permintaan aneh Airo barusan.
Saga menurut dan langsung mencabut sehelai rambutnya. Ia menyerahkannya kepada Airo yang langsung memasukkannya ke dalam segelas air putih. Namun bagian yang mengejutkannya adalah, ketika Airo justru meminum air tersebut!
Setelah menenggak habis minuman berisi rambut itu, Airo meniup udara. Dari mulutnya keluar asap berwarna hitam. Tapi ini bukanlah sekedar asap tak beraturan yang dihembuskan oleh seorang perokok. Asap tersebut langsung membentuk huruf-huruf serta angka-angka di udara.
Attack: 9/10
Defense: 8/10
Stamina: 10/10
Agility: 6/10
Reflex: 7/10
Total: 40/50
Zeze, Obi, Juni, dan Rhea langsung melongo detik itu juga.
"Sama..." gumam Juni, mengundang Airo dan juga yang lainnya untuk menoleh ke arahnya.
Obi mengangguk, mengiyakan ucapan tak berlanjut Juni. "Ada rekan kami yang bisa melakukan hal semacam ini juga."
"Tapi dia menggunakan darah. Dan jauh lebih akurat, dia bahkan menyertakan Simathyst yang cocok." Rhea menambahkan lalu mengernyit, "tapi... tidak berbentuk seperti ini."
Juni mengangguk, "dengan hal inilah kami membagi posisi kami."
"Posisi?" Tanya Luna, bingung.
"Di Énkavma terdapat posisi sesuai keahlian mereka masing-masing. Kalau tidak salah... attacker, defender, seeker, assassin, strategist." Airo yang menjawab. Sebagai keturunan dari salah satu keluarga Marquess, tentunya ia mengetahui hal semacam ini meskipun tidak secara detail.
Juni mengangguk, "benar."
"Lalu apa posisimu?" Tanya Airo.
"Mau mencoba menebak?" Juni menggodanya dengan senyum jahil.
"Assassin," celetuk Driko di balik gelasnya.
"Oh, bagaimana kau tahu?" Tanya Juni. Ia terperangah sekaligus takjub.
Driko meletakkan gelasnya, "aku merasa kau sangat pandai membunuh orang secara diam-diam."
Juni tersenyum puas, "bingo!"
"Assassin dikenal dengan refleks mereka yang bagus tapi buruk dalam pertahanan. Karena itulah mereka bagus dalam menghindari serangan dibanding menerimanya, sehingga mereka cocok dalam penyerangan secara sembunyi-sembunyi," jelas Rhea.
"Tapi, kenapa model tulisannya seperti yang terdapat di dalam game?" Tanya Juni, menautkan alisnya.
"Oh, hmm... aku hanya memilih bentuk yang mudah diingat. Karena aku sering bermain game, jadi kupilih model yang seperti ini," jawab Airo.
"Jika dilihat dari stat-nya, Saga cocok menjadi defender." Obi berpendapat.
"Tapi itu kan baru kekuatan fisiknya. Bagaimana dengan Simathyst-nya?" Juni terdengar kontra.
"Aku juga tidak tahu. Dia belum pernah menunjukkannya pada kami," jawab Airo. Kemudian tatapannya bergeser pada Zeze. "Mau mencoba, Ze?"
Zeze tidak langsung menjawab. Sebenarnya tidak perlu, karena ia telah melakukan tes semacam ini sebelumnya di saat tahun kedua ia bergabung dengan Énkavma. Tapi itu semua telah lewat 6 tahun yang lalu.
Setelah menimbang-nimbang sejenak, akhirnya Zeze mengangguk. Ia mencabut sehelai rambutnya dan menyerahkannya kepada Airo yang langsung menerimanya. Kemudian, Airo merenggut gelas Volta yang hinggap di samping kanannya sehingga membuat gadis itu menggerutu panjang lebar.
Dan inilah hasilnya.
Attack: 9/10
Defense: 6/10
Stamina: 5/10
Agility: 10/10
Reflex: 8/10
Total: 38/50
Terkejut, Juni dan Rhea saling bertukar pandang. "Ze... ada apa dengan staminamu?" Tanya Rhea, keningnya mengernyit sangat dalam.
Zeze bungkam, tak berniat menjawab. Sebenarnya terdapat 3 orang yang mengetahui keadaannya, yaitu Obi, Kai, dan Zafth. Hanya kepada ketiga orang inilah ia serta-merta menumpahkan seluruh rahasianya.
Tapi adakalanya ia merasa bersalah juga karena menyembunyikan hal sebesar ini dari kakak-kakaknya yang lain. Dengan satu helaan napas, Zeze menjelaskan, "tulang iga dan tulang belakangku sempat remuk saat itu... saat kejadian tahun lalu."
"Apa... bagaima—"
"Aku ditolong oleh seorang wanita." Zeze menyela Juni. "Jika dilihat dari wajahnya, dia pasti orang Asia... Asia bagian tenggara, mungkin? Namun anehnya, dia berbicara bahasa China. Awalnya aku tidak mengerti bahasanya, tapi selama tiga bulan aku tinggal di rumahnya, aku jadi mulai lancar berbahasa China.
"Dia merawatku selama 3 bulan penuh. Dia memberiku sebuah... ramuan... kurasa. Warnanya hijau dan itu adalah minuman terpahit yang pernah aku coba seumur hidupku. Perlahan-lahan, kondisiku mulai membaik. Tapi... aku mulai merasa kesulitan bernapas jika melakukan hal-hal berat.
"Ketika aku berniat mengunjungi rumahnya lagi, rumah itu sudah tidak ada. Padahal aku yakin sekali bahwa rumahnya tak jauh dari kaki gunung. Aku telah menghabiskan waktu seharian penuh dan bertanya kepada orang-orang sekitar, tapi tak ada satu pun yang mengetahui bahwa ada seseorang yang bisa berbahasa China yang tinggal di sekitar mereka."
"Bagaimana dengan rumah sakit? Kau sudah memeriksakan kondisimu?" Tanya Rhea, wajahnya tampak begitu cemas.
"Kata dokter yang menanganiku, aku beruntung masih bisa selamat."
"Rozeale..."
Melihat raut wajah Juni yang seperti menahan tangis, Zeze tertawa geli. "Apa-apaan kau ini? Sudahlah jangan kebanyakan drama," ujarnya, mengibaskan tangannya dengan perasaan risih.
"Tapi Ze, bagaimana ini? Kau tidak akan mati cepat kan?" Pertanyaan Juni membuat Zeze memutar bola matanya.
Zeze dapat merasakan tatapan Obi terus melekat kepadanya. Meskipun sebagian besar tatapan orang di meja ini mengarah kepadanya, tapi tak selekat milik Obi. Zeze mencoba mengabaikannya. Ia sangat-sangat berharap Obi tidak mengatakan apa-apa tentang hal ini.
"Jadi... kau yakin akan tetap ikut?" Airo bertanya, suaranya terdengar kurang setuju.
"Tentu saja," tukas Zeze, menatap ke arahnya dengan sorot aneh. "Apa kau kira hanya karena hal seperti ini aku akan diam saja? Lalu, bagaimana caranya aku menghadapi pertarungan sungguhan yang mungkin saja merenggut nyawa selama ini?"
"Bicara tentang hal-hal semacam ini... aku jadi penasaran tentang Énkavma," gumam Driko, menaik-turunkan sedotan di gelasnya dengan kesan misterius.
Zeze memberinya lirikan waspada.
"Anggota Énkavma memiliki julukannya masing-masing, kan?"
Zeze mengerti ke mana arah pembicaraannya. Driko ingin mereka berempat membongkar identitas mereka.
"Aku? Jangan kaget jika tahu." Zeze mengangkat dagunya seraya tersenyum sinis, seakan tak yakin—atau mungkin... menyombongkan diri?
"Aku Artemis, seeker utama Énkavma." Tapi toh, ia mengatakannya juga.
Tak ada yang bersuara. Meja ini serentak menjadi senyap. Zeze terkekeh geli. Hitung-hitung hiburan baginya.
"Well, rumor apa saja yang telah kalian dengar tentang aku? Kuharap tidak begitu mengecewakan." Zeze mengedikkan bahu.
"Apa kau bisa menebak lagi siapa aku?" Tanya Juni ke Driko, wajahnya berseri-seri sekaligus terlihat meremehkan.
Driko mencoba menerka-nerka. Sementara Airo sedang menyusun hipotesis. Zeze selalu terlihat bersama Juni, dan Artemis biasanya bekerja berdua dengan Dionysus, yang memiliki Simathyst darah. Hanya itu yang ia ketahui. Tapi masalahnya, Dionysus itu laki-laki.
"Waktu habis," ujar Juni. Bibir merahnya membawa sebongkah senyum ketika ia menyapukan matanya ke setiap wajah di meja ini. "Aphrodite," katanya. Siapa pun dapat mendengar bahwa suaranya mengandung kebanggaan. "Dewi cinta, kecantikan, dan hasrat."
Sebelah alis Saga terangkat, seolah menyadari sesuatu. Tentunya hal itu pun tak luput dari mata tajam Juni.
"Mengetahui sesuatu yang menarik?" Juni bertanya ke Saga dengan suara dan wajah yang sanggup menggoda iman.
"Kau... apakah kau yang sering memotong..."
"Benar, dia adalah Si Gila yang gemar mengoleksi alat kelamin pria," Zeze menyambar.
Juni mendelik ke arahnya. "Aku tidak mengoleksi! Langsung kubuang kok. Lagi pula, tidak semuanya aku ambil. Untuk apa aku mengoleksi barang tak berguna itu," gerutunya.
"Kalau Obi?" Tanya Airo, penasaran.
"Thanatos," jawab Zeze. "Bukan Thanos ya. Thanatos adalah dewa pembawa kematian yang tenang dan damai."
Airo tertegun sehingga membuat Zeze menebak, "tidak familier ya? Dia jarang diketahui karena ya... dia selalu menghilang-hilang. Dan, well... kalau Kak Rhea, kalian bisa menebak dia siapa dari namanya. Yaitu Rhea, seorang titan dan ibu dari para dewa. Hanya dialah yang tidak memakai alias yang diambil dari salah satu dewi Yunani."
"Apakah aku boleh tahu? Siapa yang jadi Zeus, Poseidon, dan Hades?" Tanya Volta antusias. Tentunya siapa pun pasti akan langsung menyinggung ketiga dewa besar ini jika membahas tentang dewa-dewi Yunani.
"Poseidon adalah Raja kami. Hades..." Juni melirik Zeze, kemudian berdeham pelan. "Hades attacker utama sekaligus wakil Raja kami. Dan untuk Zeus..." kali ini Juni berhenti karena ragu.
"Tidak ada, tidak ada yang jadi Zeus." Rhea mengambil alih. Volta mengangguk-angguk, tak mempertanyakan lebih lanjut.
Tapi di sisi lain, tanpa disadari siapa pun, Zeze mengerutkan keningnya ketika mendengar perkataan Rhea.
Pukul 10 tepat pertandingan dimulai. Mereka semua duduk di barisan bangku agak ke tengah. Rhea dan Luna tidak ikut karena tengah menonton pertandingan panahan di stadion lain. Jauh di seberangnya, Zeze melihat Silian celingukan mencari Obi. Ketika Silian melihat Obi mengambil duduk di sebelah Zeze, gadis berambut merah itu langsung cepat-cepat memutar.
Stadion ini cukup luas, karena itulah Silian harus bersusah payah berjalan di antara kursi-kursi. Setelah tiba, dia langsung saja mengambil duduk di samping kiri Obi dan menilik Zeze dengan tajam.
Zeze memutar bola matanya. Ia ingin serius menyaksikan Saga yang notabenenya adalah pilihan langsung dari adik ibunya, Ratu Mionares. Siapa tahu ia bisa belajar banyak darinya.
Akhirnya Zeze bangkit. Matanya menyisir sekitar dan menemukan Kion duduk di bawahnya. Bangku di samping kirinya telah ditempati Driko, sementara yang di sebelah kanannya masih kosong. Melihat ini, Zeze segera menyambar bangku kosong itu.
Kion yang tadinya sedang berbicara dengan Driko, langsung menjegal ucapannya dan berpaling ke arah Zeze. Kion sungguh-sungguh tidak menyangka ataupun berharap bahwa Zeze sendiri yang akan mendatanginya.
"Sudah dimulai," gumam Zeze, melihat ke bawah, ke arah Saga yang menjulang dan berhadapan dengan seorang perempuan. Zeze mengenali wajahnya. Dia adalah seorang siswi yang sering menempel pada Aiden.
Láspi vs Tigris. Ini akan menarik. Keturunan dari dua keluarga Marquess di Aplistia akan saling bertarung.
"Mau bertaruh?" Tiba-tiba Driko mengusulkan kepada mereka berdua. "Katana dari jaman Edo. Kau?"
Zeze menyeringai sinis. "Jet pribadi," ujarnya. Mendengar tawarannya, sebelah alis Driko terangkat dengan seringaian puas di wajahnya.
"Kau?" Driko bertanya ke Kion.
"Aku jurinya."
Zeze terkekeh. Ia memusatkan mata ke depan lalu berkata, "aku memegang Saga." Kali ini murni instingnya yang bermain.
"Kebetulan sekali, aku memegang Claudia Tigris," balas Driko. Sorot matanya mengukir bukti kepercaya-dirian yang kuat.
"Menurutmu siapa yang akan menang?" Zeze bertanya kepada Kion.
Ketika Kion menoleh ke arahnya, detik itu juga jantung Zeze bergemuruh tak karuan.
"Saga."
Zeze tidak terlalu memperhatikan jawabannya, karena yang menarik perhatiannya adalah raut wajah Kion yang entah mengapa diliputi kekhawatiran.
Driko mencebik, "kalian berdua ini janjian atau bagaimana?"
Baik Kion maupun Zeze tak ada yang menjawab. Karena di detik selanjutnya, seluruh fokus mereka tersedot ke depan, ke arah Saga yang sudah memulai serangannya. Sepertinya, Saga bukanlah tipe laki-laki yang suka menunggu untuk berdansa.
Saat masih di dalam perjalanan, Zeze mengusulkan sesuatu. Mereka bermain tanya jawab yang berkaitan dengan diri mereka masing-masing. Yang Zeze tanyakan hanyalah sekedar biodata Kion yang tidak ia ketahui.
Sementara Kion, ia menjaga pertanyaan berada di zona aman, meskipun ada banyak hal yang sangat ingin ia gali. Tanpa disangka, obrolan mereka berdua cocok, karena Kion memiliki banyak sekali kesamaan dengan Zeze.
Dan ketika tiba saatnya melewati tembok besar tersebut, entah mengapa Zeze merasakan tubuhnya menjadi jauh lebih ringan. Padahal ia tidak mengobarkan sayapnya.
Di sisi samping bangunan istana, keduanya berdiri berhadapan dalam keheningan. Cahaya rembulan tersiar, bercampur dengan suara lirih angin dan juga binatang-binatang malam. Kion berdiri membelakangi dinding, matanya sibuk menyelami sepasang manik biru di hadapannya ini.
Sementara Zeze? Gadis itu tidak jauh berbeda. Ia juga tak dapat membuang matanya dari sepasang kolam bundar berwarna hazel itu.
Meski tak mau mengakuinya, sebenarnya Zeze sedang kecewa. Ia kecewa karena waktu singkat itu cepat terhempas begitu saja. Zeze belum ingin tidur. Zeze masih ingin menatap mata itu. Zeze masih ingin berlama-lama mengalami hal tadi.
Zeze masih ingin berlama-lama bersama dia.
"...Roze?"
Kion memanggil namanya karena sejak tadi Zeze tak kunjung bergerak masuk. Sebenarnya ia juga tak rela menyudahi semua ini, tapi sayangnya hari telah larut.
"ya?"
Mungkin itu adalah respons terbodoh yang pernah Zeze katakan, karena ia sama sekali tidak menggunakan akal sehatnya saat mengatakannya. Seluruh akal sehatnya seakan terhisap ke satu titik, yaitu orang di hadapannya ini.
"...kau harus masuk."
Nah, itu juga adalah hal yang tadi akan Zeze lakukan. Namun sialnya, sekarang Zeze tidak memiliki kemampuan untuk berpaling. Karena ia tidak mau.
Apa nama dari perasaan ini... Zeze yakin sekali pernah merasakannya dulu, tapi ia lupa karena saking lamanya tidak pernah merasakannya dengan... dengan orang lain.
Menyerah mencari tahu, pandangan Zeze luruh ke bawah. Akhirnya ia melangkah melewati Kion, melompat dari tiang ke tiang hingga kakinya mendarat tepat di balkonnya. Benar, ia tidak salah, tubuhnya terasa berkali-kali lipat jauh lebih ringan seperti saat ia menggunakan sayap.
Zeze menengok ke bawah. Kion masih ada di sana, mendongak untuk memandanginya. Zeze agak bersyukur karena bukan hanya dirinya yang enggan untuk pergi. Zeze bertanya-tanya, apakah besok dirinya dapat mengobrol lepas seperti tadi lagi dengan dia?
Akankah dirinya bisa berduaan lagi dengan dia?
"Kenapa kau tidak masuk? Kau akan pergi lagi?"
Sebenarnya suara Zeze tak mampu dijangkau telinga Kion karena terlalu lirih. Tapi Kion bisa membaca gerak bibirnya.
Kion mengangguk dan detik itu juga Zeze langsung merasa kecewa. Kelopak mata dan bahunya merosot, jatuh seperti hatinya.
Zeze seolah tengah merasakan déjà vu. Dulu Zeze harus bersabar menunggu selama seminggu untuk dapat melihat Kion lagi. Ia ingin ikut bersamanya. Ia ingin lelaki itu sekali saja mengajaknya.
"Apakah... apakah besok aku akan melihatmu lagi?"
Mata Kion seketika meredup. Tidak, Zeze tidak ingin mendengar jawaban 'tidak'. Dalam hatinya, ia memohon Kion akan berkata 'ya'.
Kedua tangan Kion merangkai beberapa gerakan. Mata Zeze melebar ketika menyadari Kion berbicara bahasa isyarat kepadanya. Zeze mengerti jelas bahasa isyarat, tapi yang tidak ia mengerti adalah; bagaimana mungkin Kion bisa tahu bahwa dirinya mengerti?
[Aku harap juga begitu.]
Itu katanya. Lagi-lagi, Kion tidak langsung menjawab dengan jawaban sederhana seperti 'ya' atau 'tidak'. Namun setidaknya, hati Zeze menghangat tatkala mengetahui bahwa Kion juga mengharapkan hal yang sama dengannya.
Zeze mengangkat kedua tangannya yang semula bertengger di atas tembok pembatas. Tangannya mulai bergerak-gerak, menciptakan serangkaian kata tanpa suara.
[Selamat malam.]
Dari atas sini, Zeze melihat Kion tersenyum. Namun entah mengapa, senyum itu terlihat pahit dan menyakitkan. Apakah Zeze telah melakukan suatu hal yang salah? Apa gerakannya tadi salah? Ia rasa tidak. Lalu... ada apa?
'Ah, misteri lagi.' Kenapa laki-laki itu selalu menjadi misteri baginya?
Kedua tangan Kion bergerak lagi, kini mengulang gerakan yang sebelumnya Zeze rangkai.
[Selamat malam.]
Selanjutnya, yang mata Zeze lihat hanyalah punggung Kion yang bergerak menjauhi bangunan istana. Kion pergi menuju tembok besar di balik pepohonan yang lumayan lebat.
Zeze melihatnya melompati tembok yang menjulang tinggi itu dengan sangat lihai, seakan-seakan dia telah terbiasa melakukan hal semacam itu sebelumnya.
Zeze mendongak, memandangi sang dewi malam serta bintang-bintangnya. Ia rasa, dirinya telah menemukan nama dari perasaan ini. Benar, perasaan yang dulu sekali pernah ia rasakan.
Yaitu... jatuh cinta.
=========
Keesokan harinya, Zeze memilih perlombaan berpedang, walau dirinya sendiri tidak dapat menggunakan pedang. Harusnya ia memilih panahan, tapi ia sedang malas membidik. Hari ini matanya terlihat begitu layu. Alasannya adalah karena tadi malam ia tidak bisa tidur.
Seperti hari-hari biasa, mereka semua berkumpul di kantin lantai satu. Tapi kali ini mereka sepakat untuk berlabuh di kantin outdoor, alasannya adalah karena cuaca yang cerah sangatlah sayang untuk dilewatkan.
Zeze tidak sanggup menyembunyikan rasa bahagianya ketika melihat Kion kini duduk tepat di hadapannya. Sejak tadi matanya tak mampu untuk melepaskan wajah lelaki itu.
"Kali ini giliran Roze dan Saga ya?" Zeze mendengar seseorang bicara. Dari suaranya yang terdengar serak, dia pasti Airo.
"Benar juga," itu suara Juni.
Zeze bahkan tidak mengetahui letak-letak duduk mereka semua karena sejak tadi matanya hanya berpusat pada Kion yang belum juga membalasnya. Lelaki itu seolah menghindari matanya.
"Siapa lawan yang kau dapat kali ini, Saga?" Tanya Juni.
"Claudia Tigris."
"Bukannya dia mempunyai saudara ya? Kalau tidak salah, saudaranya berada di kelas Yang Mulia dan Obi," timpal Volta.
"Kalau Zeze?" Juni bertanya lagi. Zeze bisa merasakan Juni memandang ke arahnya.
Namun jangankan menjawab, meliriknya saja Zeze enggan. Alih-alih dirinya, justru Obi yang menjawab, "Jenetta Dianova... kalau tidak salah."
"Ah, saudari dari gadis yang waktu itu menyiram Zeze orange juice." Juni memberitahu.
"Aku sempat berpikir kalau foto Zeze yang waktu itu adalah editan, ternyata tidak." Obi tertawa puas. "Luar biasa juga dia."
"Kalian berdua jangan sampai kalah! Pokoknya kalian harus menang!" Ujar Volta dengan semangat meluap-luap.
"Ngomong-ngomong sebelum itu..." kini gantian suara Airo. "Ingin mengecek sesuatu?"
"Apa maksudnya?" Sahut Obi, terdengar bingung.
"Saga, coba cabut sehelai rambutmu."
Mata Zeze akhirnya berhasil melepaskan wajah Kion setelah ia mendengar permintaan aneh Airo barusan.
Saga menurut dan langsung mencabut sehelai rambutnya. Ia menyerahkannya kepada Airo yang langsung memasukkannya ke dalam segelas air putih. Namun bagian yang mengejutkannya adalah, ketika Airo justru meminum air tersebut!
Setelah menenggak habis minuman berisi rambut itu, Airo meniup udara. Dari mulutnya keluar asap berwarna hitam. Tapi ini bukanlah sekedar asap tak beraturan yang dihembuskan oleh seorang perokok. Asap tersebut langsung membentuk huruf-huruf serta angka-angka di udara.
Attack: 9/10
Defense: 8/10
Stamina: 10/10
Agility: 6/10
Reflex: 7/10
Total: 40/50
Zeze, Obi, Juni, dan Rhea langsung melongo detik itu juga.
"Sama..." gumam Juni, mengundang Airo dan juga yang lainnya untuk menoleh ke arahnya.
Obi mengangguk, mengiyakan ucapan tak berlanjut Juni. "Ada rekan kami yang bisa melakukan hal semacam ini juga."
"Tapi dia menggunakan darah. Dan jauh lebih akurat, dia bahkan menyertakan Simathyst yang cocok." Rhea menambahkan lalu mengernyit, "tapi... tidak berbentuk seperti ini."
Juni mengangguk, "dengan hal inilah kami membagi posisi kami."
"Posisi?" Tanya Luna, bingung.
"Di Énkavma terdapat posisi sesuai keahlian mereka masing-masing. Kalau tidak salah... attacker, defender, seeker, assassin, strategist." Airo yang menjawab. Sebagai keturunan dari salah satu keluarga Marquess, tentunya ia mengetahui hal semacam ini meskipun tidak secara detail.
Juni mengangguk, "benar."
"Lalu apa posisimu?" Tanya Airo.
"Mau mencoba menebak?" Juni menggodanya dengan senyum jahil.
"Assassin," celetuk Driko di balik gelasnya.
"Oh, bagaimana kau tahu?" Tanya Juni. Ia terperangah sekaligus takjub.
Driko meletakkan gelasnya, "aku merasa kau sangat pandai membunuh orang secara diam-diam."
Juni tersenyum puas, "bingo!"
"Assassin dikenal dengan refleks mereka yang bagus tapi buruk dalam pertahanan. Karena itulah mereka bagus dalam menghindari serangan dibanding menerimanya, sehingga mereka cocok dalam penyerangan secara sembunyi-sembunyi," jelas Rhea.
"Tapi, kenapa model tulisannya seperti yang terdapat di dalam game?" Tanya Juni, menautkan alisnya.
"Oh, hmm... aku hanya memilih bentuk yang mudah diingat. Karena aku sering bermain game, jadi kupilih model yang seperti ini," jawab Airo.
"Jika dilihat dari stat-nya, Saga cocok menjadi defender." Obi berpendapat.
"Tapi itu kan baru kekuatan fisiknya. Bagaimana dengan Simathyst-nya?" Juni terdengar kontra.
"Aku juga tidak tahu. Dia belum pernah menunjukkannya pada kami," jawab Airo. Kemudian tatapannya bergeser pada Zeze. "Mau mencoba, Ze?"
Zeze tidak langsung menjawab. Sebenarnya tidak perlu, karena ia telah melakukan tes semacam ini sebelumnya di saat tahun kedua ia bergabung dengan Énkavma. Tapi itu semua telah lewat 6 tahun yang lalu.
Setelah menimbang-nimbang sejenak, akhirnya Zeze mengangguk. Ia mencabut sehelai rambutnya dan menyerahkannya kepada Airo yang langsung menerimanya. Kemudian, Airo merenggut gelas Volta yang hinggap di samping kanannya sehingga membuat gadis itu menggerutu panjang lebar.
Dan inilah hasilnya.
Attack: 9/10
Defense: 6/10
Stamina: 5/10
Agility: 10/10
Reflex: 8/10
Total: 38/50
Terkejut, Juni dan Rhea saling bertukar pandang. "Ze... ada apa dengan staminamu?" Tanya Rhea, keningnya mengernyit sangat dalam.
Zeze bungkam, tak berniat menjawab. Sebenarnya terdapat 3 orang yang mengetahui keadaannya, yaitu Obi, Kai, dan Zafth. Hanya kepada ketiga orang inilah ia serta-merta menumpahkan seluruh rahasianya.
Tapi adakalanya ia merasa bersalah juga karena menyembunyikan hal sebesar ini dari kakak-kakaknya yang lain. Dengan satu helaan napas, Zeze menjelaskan, "tulang iga dan tulang belakangku sempat remuk saat itu... saat kejadian tahun lalu."
"Apa... bagaima—"
"Aku ditolong oleh seorang wanita." Zeze menyela Juni. "Jika dilihat dari wajahnya, dia pasti orang Asia... Asia bagian tenggara, mungkin? Namun anehnya, dia berbicara bahasa China. Awalnya aku tidak mengerti bahasanya, tapi selama tiga bulan aku tinggal di rumahnya, aku jadi mulai lancar berbahasa China.
"Dia merawatku selama 3 bulan penuh. Dia memberiku sebuah... ramuan... kurasa. Warnanya hijau dan itu adalah minuman terpahit yang pernah aku coba seumur hidupku. Perlahan-lahan, kondisiku mulai membaik. Tapi... aku mulai merasa kesulitan bernapas jika melakukan hal-hal berat.
"Ketika aku berniat mengunjungi rumahnya lagi, rumah itu sudah tidak ada. Padahal aku yakin sekali bahwa rumahnya tak jauh dari kaki gunung. Aku telah menghabiskan waktu seharian penuh dan bertanya kepada orang-orang sekitar, tapi tak ada satu pun yang mengetahui bahwa ada seseorang yang bisa berbahasa China yang tinggal di sekitar mereka."
"Bagaimana dengan rumah sakit? Kau sudah memeriksakan kondisimu?" Tanya Rhea, wajahnya tampak begitu cemas.
"Kata dokter yang menanganiku, aku beruntung masih bisa selamat."
"Rozeale..."
Melihat raut wajah Juni yang seperti menahan tangis, Zeze tertawa geli. "Apa-apaan kau ini? Sudahlah jangan kebanyakan drama," ujarnya, mengibaskan tangannya dengan perasaan risih.
"Tapi Ze, bagaimana ini? Kau tidak akan mati cepat kan?" Pertanyaan Juni membuat Zeze memutar bola matanya.
Zeze dapat merasakan tatapan Obi terus melekat kepadanya. Meskipun sebagian besar tatapan orang di meja ini mengarah kepadanya, tapi tak selekat milik Obi. Zeze mencoba mengabaikannya. Ia sangat-sangat berharap Obi tidak mengatakan apa-apa tentang hal ini.
"Jadi... kau yakin akan tetap ikut?" Airo bertanya, suaranya terdengar kurang setuju.
"Tentu saja," tukas Zeze, menatap ke arahnya dengan sorot aneh. "Apa kau kira hanya karena hal seperti ini aku akan diam saja? Lalu, bagaimana caranya aku menghadapi pertarungan sungguhan yang mungkin saja merenggut nyawa selama ini?"
"Bicara tentang hal-hal semacam ini... aku jadi penasaran tentang Énkavma," gumam Driko, menaik-turunkan sedotan di gelasnya dengan kesan misterius.
Zeze memberinya lirikan waspada.
"Anggota Énkavma memiliki julukannya masing-masing, kan?"
Zeze mengerti ke mana arah pembicaraannya. Driko ingin mereka berempat membongkar identitas mereka.
"Aku? Jangan kaget jika tahu." Zeze mengangkat dagunya seraya tersenyum sinis, seakan tak yakin—atau mungkin... menyombongkan diri?
"Aku Artemis, seeker utama Énkavma." Tapi toh, ia mengatakannya juga.
Tak ada yang bersuara. Meja ini serentak menjadi senyap. Zeze terkekeh geli. Hitung-hitung hiburan baginya.
"Well, rumor apa saja yang telah kalian dengar tentang aku? Kuharap tidak begitu mengecewakan." Zeze mengedikkan bahu.
"Apa kau bisa menebak lagi siapa aku?" Tanya Juni ke Driko, wajahnya berseri-seri sekaligus terlihat meremehkan.
Driko mencoba menerka-nerka. Sementara Airo sedang menyusun hipotesis. Zeze selalu terlihat bersama Juni, dan Artemis biasanya bekerja berdua dengan Dionysus, yang memiliki Simathyst darah. Hanya itu yang ia ketahui. Tapi masalahnya, Dionysus itu laki-laki.
"Waktu habis," ujar Juni. Bibir merahnya membawa sebongkah senyum ketika ia menyapukan matanya ke setiap wajah di meja ini. "Aphrodite," katanya. Siapa pun dapat mendengar bahwa suaranya mengandung kebanggaan. "Dewi cinta, kecantikan, dan hasrat."
Sebelah alis Saga terangkat, seolah menyadari sesuatu. Tentunya hal itu pun tak luput dari mata tajam Juni.
"Mengetahui sesuatu yang menarik?" Juni bertanya ke Saga dengan suara dan wajah yang sanggup menggoda iman.
"Kau... apakah kau yang sering memotong..."
"Benar, dia adalah Si Gila yang gemar mengoleksi alat kelamin pria," Zeze menyambar.
Juni mendelik ke arahnya. "Aku tidak mengoleksi! Langsung kubuang kok. Lagi pula, tidak semuanya aku ambil. Untuk apa aku mengoleksi barang tak berguna itu," gerutunya.
"Kalau Obi?" Tanya Airo, penasaran.
"Thanatos," jawab Zeze. "Bukan Thanos ya. Thanatos adalah dewa pembawa kematian yang tenang dan damai."
Airo tertegun sehingga membuat Zeze menebak, "tidak familier ya? Dia jarang diketahui karena ya... dia selalu menghilang-hilang. Dan, well... kalau Kak Rhea, kalian bisa menebak dia siapa dari namanya. Yaitu Rhea, seorang titan dan ibu dari para dewa. Hanya dialah yang tidak memakai alias yang diambil dari salah satu dewi Yunani."
"Apakah aku boleh tahu? Siapa yang jadi Zeus, Poseidon, dan Hades?" Tanya Volta antusias. Tentunya siapa pun pasti akan langsung menyinggung ketiga dewa besar ini jika membahas tentang dewa-dewi Yunani.
"Poseidon adalah Raja kami. Hades..." Juni melirik Zeze, kemudian berdeham pelan. "Hades attacker utama sekaligus wakil Raja kami. Dan untuk Zeus..." kali ini Juni berhenti karena ragu.
"Tidak ada, tidak ada yang jadi Zeus." Rhea mengambil alih. Volta mengangguk-angguk, tak mempertanyakan lebih lanjut.
Tapi di sisi lain, tanpa disadari siapa pun, Zeze mengerutkan keningnya ketika mendengar perkataan Rhea.
Pukul 10 tepat pertandingan dimulai. Mereka semua duduk di barisan bangku agak ke tengah. Rhea dan Luna tidak ikut karena tengah menonton pertandingan panahan di stadion lain. Jauh di seberangnya, Zeze melihat Silian celingukan mencari Obi. Ketika Silian melihat Obi mengambil duduk di sebelah Zeze, gadis berambut merah itu langsung cepat-cepat memutar.
Stadion ini cukup luas, karena itulah Silian harus bersusah payah berjalan di antara kursi-kursi. Setelah tiba, dia langsung saja mengambil duduk di samping kiri Obi dan menilik Zeze dengan tajam.
Zeze memutar bola matanya. Ia ingin serius menyaksikan Saga yang notabenenya adalah pilihan langsung dari adik ibunya, Ratu Mionares. Siapa tahu ia bisa belajar banyak darinya.
Akhirnya Zeze bangkit. Matanya menyisir sekitar dan menemukan Kion duduk di bawahnya. Bangku di samping kirinya telah ditempati Driko, sementara yang di sebelah kanannya masih kosong. Melihat ini, Zeze segera menyambar bangku kosong itu.
Kion yang tadinya sedang berbicara dengan Driko, langsung menjegal ucapannya dan berpaling ke arah Zeze. Kion sungguh-sungguh tidak menyangka ataupun berharap bahwa Zeze sendiri yang akan mendatanginya.
"Sudah dimulai," gumam Zeze, melihat ke bawah, ke arah Saga yang menjulang dan berhadapan dengan seorang perempuan. Zeze mengenali wajahnya. Dia adalah seorang siswi yang sering menempel pada Aiden.
Láspi vs Tigris. Ini akan menarik. Keturunan dari dua keluarga Marquess di Aplistia akan saling bertarung.
"Mau bertaruh?" Tiba-tiba Driko mengusulkan kepada mereka berdua. "Katana dari jaman Edo. Kau?"
Zeze menyeringai sinis. "Jet pribadi," ujarnya. Mendengar tawarannya, sebelah alis Driko terangkat dengan seringaian puas di wajahnya.
"Kau?" Driko bertanya ke Kion.
"Aku jurinya."
Zeze terkekeh. Ia memusatkan mata ke depan lalu berkata, "aku memegang Saga." Kali ini murni instingnya yang bermain.
"Kebetulan sekali, aku memegang Claudia Tigris," balas Driko. Sorot matanya mengukir bukti kepercaya-dirian yang kuat.
"Menurutmu siapa yang akan menang?" Zeze bertanya kepada Kion.
Ketika Kion menoleh ke arahnya, detik itu juga jantung Zeze bergemuruh tak karuan.
"Saga."
Zeze tidak terlalu memperhatikan jawabannya, karena yang menarik perhatiannya adalah raut wajah Kion yang entah mengapa diliputi kekhawatiran.
Driko mencebik, "kalian berdua ini janjian atau bagaimana?"
Baik Kion maupun Zeze tak ada yang menjawab. Karena di detik selanjutnya, seluruh fokus mereka tersedot ke depan, ke arah Saga yang sudah memulai serangannya. Sepertinya, Saga bukanlah tipe laki-laki yang suka menunggu untuk berdansa.