56 INTERROGATION
Kion tidak sekalipun menyentuh makanannya, padahal telah tiga sendok Fusilli yang berlabuh di mulut Zeze. Laki-laki itu senyap dengan tangan yang tertumpuk rapi di atas meja, menyelami setiap gerak-gerik Zeze.
Hal itu membuat kening Zeze mengernyit, "kenapa kau tidak memakan makananmu?"
Bibir Kion tertarik samar di kedua sudutnya. "Siapa bilang ini untukku?"
Kerutan di kening Zeze semakin nyata. Ia rasa ekspresi tersebut telah cukup memberitahu Kion bahwa dirinya tidak mengerti.
Dan Kion pun dengan berbaik hati menjelaskan setelah menyerah melihat raut menggemaskan itu.
"Ini untukmu."
Mata Zeze luruh di makanannya. Fusilli. Butuh waktu lama baginya untuk menyadari bahwa ini adalah makanan kesukaannya.
"Aku tahu kau pasti tidak akan memesan apa-apa jika bukan aku yang memesan." Kion mendorong piringnya. "Habiskan," titahnya.
"Dan untuk cola-nya, maaf aku harus mengambil keduanya. Aku benar-benar haus." Kion terkekeh pelan dengan pandangan jatuh ke meja.
Mengerjap, Zeze berdeham canggung sebelum menjawab, "tentu, aku... aku tidak begitu suka cola."
Sebenarnya Zeze amat sangat tidak menyukai cola. Apalagi ketika ia harus merasakan minuman bersemut itu menari-nari di lidahnya untuk mendukung aktingnya.
"Bagaimana kalau kau menjawab pertanyaanku selama aku makan. Dengan begini, kita mungkin tidak akan pulang sampai larut malam." Zeze mengusulkan. Ya, meskipun ia bisa-bisa saja menghabiskan ini semua dalam waktu 10 menit. Tapi ia rasa hatinya tidak akan kuat menunggu selama itu.
Kion terlihat menimbang-nimbang. Sepasang alis tebalnya terangkat samar. Tapi sayangnya Zeze tidak dapat menangkap kilat skeptikal di kedua mata hazel-nya.
"Boleh, tapi ada syaratnya."
Kening Zeze mengernyit, seakan-akan tengah mencari alasan untuk menolak. Kion tidak menyukai raut curiga itu. Ia ingin gadis itu mempercayainya.
"Aku meminjammu tanggal 1 Mei nanti."
"Ke mana?" Zeze nampak curiga. Lagi-lagi ekspresi yang sangat tidak Kion suka.
Namun Kion menjaga wajah dan suaranya setenang mungkin, "setuju?"
Mau tidak mau, Zeze harus mengiyakan. Jika tidak, mereka akan terus seperti ini sampai larut malam. Dan yang akan dirugikan tentunya adalah Zeze, karena ia tidak berhasil mendapatkan apa-apa.
Zeze mengangguk tanpa sedikit pun melepas tatapannya.
"Jadi, sekarang giliranku," ujar Zeze. Ia terlihat sangat bersemangat sehingga membuat Kion tersenyum di balik batuknya.
"Kenapa kau pergi?"
Pertanyaan mudah. Kion tidak harus mengelak, "satu alasan, dan alasan itu sama seperti alasanmu."
"Oh." Tebakannya benar lagi. Well, Zeze tidak terlalu mempermasalahkan. Setiap orang pasti butuh kebebasan. Terlebih lagi, Kion masih berumur 18 tahun, masa-masa dimana remaja mencari jati diri mereka. Siapa pun pasti pernah melakukan pemberontakan, meski itu adalah pangeran genius seperti Kion sekalipun.
"Ke mana biasanya kau pergi?"
"Ke tempat yang biasanya dianggap remeh orang lain."
Kion sengaja menjawabnya secara tersirat. Ia tidak ingin menjawab secara cuma-cuma dan berujung dengan tidak mendapatkan apa-apa dari Zeze. Setidaknya sekarang ia bisa mendengar pemikiran dan perspektif gadis itu.
"Entah mengapa itu terdengar seperti berhubungan dengan 'keahlianmu'?"
Kion mengangguk puas, "kau menyimaknya."
"Kau bisa menjawab pertanyaanku yang sebelumnya. Apa yang terjadi padamu kemarin? Siapa yang melakukan itu terhadapmu?" Cecarnya dengan air muka yang berubah sangat serius. Lagi-lagi Kion harus menahan senyum melihat ekspresinya.
"Jawabannya ada di syarat."
"Maaf?" Zeze meminta pengulangan, terlihat bingung.
"Ya... jawabannya adalah syarat itu." Kion mengangkat bahu. "1 Mei, dan kau bisa mendapatkan jawabanmu."
Bibir Zeze mencebik, "itu tidak adil. Kau curang."
"Kau yang tidak menyimak," Kion membalas enteng.
Zeze berdecak sebal. "Oke-oke. Pertanyaan selanjutnya. Apakah kau mengetahui sesuatu mengenai kematian Raven?"
"Kau melanggar janjimu." Kion terdengar kecewa. Mendengar ucapannya, Zeze mengernyit kebingungan.
Kion menunjuk makanannya dengan dagu, "aku tidak bisa melanjutkan jika kau tidak juga menghabiskannya."
"Ah." Zeze lupa akan Fusilli-nya. Tidak biasanya ia seperti ini. Biasanya ia akan mengabaikan setiap orang jika berada di hadapan makanan.
Zeze menyendoknya banyak-banyak lalu mengunyahnya hingga pipinya mengembung. Ia ingin semua ini cepat berjalan.
Dan lagi-lagi, Kion harus menelan senyumnya. Zeze sama sekali tidak menyadari dampak setiap gerak-geriknya terhadap diri Kion.
"Jawabannya?" Zeze menuntut dengan mulut penuh Fusilli.
Kion memundurkan punggungnya, "kenapa kau ingin tahu?"
Alis Zeze bertaut. "Jangan curang lagi. Di sini kau yang sebagai saksinya," tukasnya.
Kedua alis Kion mencuat. "Oh, saksi? Bukannya tersangka?"
O... Ow....
Zeze langsung menelan tanpa mengunyah terlebih dahulu. Well, ia tidak menyangka Kion akan menyadari hal sebanyak ini. Zeze harus mengutuk dirinya sendiri karena bertindak ceroboh di hadapannya.
Kion bukanlah seseorang yang bisa diajak bicara begitu saja seperti air mengalir. Bahkan Kion bisa melihat kerikil sekecil apa pun di dalam aliran air itu.
"Sak—saksi," balas Zeze, kelihatan sekali gugupnya.
Kion tidak harus membendung tawanya lagi. Ia sudah sangat kesusahan menahannya sejak tadi, dan akhirnya tawa itu pun pecah.
Bibir Zeze mengerucut, "jawabannya?" Entah mengapa, Zeze merasa Kion seolah tengah bermain tarik-ulur dengannya.
"Jika kau berpikir untuk membongkar ini semua, sebaiknya hentikan. Ini sama sekali tidak baik untukmu. Jika kau masuk ke dalamnya kau tidak akan dapat keluar lagi. Sebaiknya kau jangan sampai terlibat terlalu dalam."
Zeze terlihat kecewa. "Katakan saja secara tersirat seperti jawaban-jawabanmu sebelumnya," pintanya. Tapi Kion tidak merespons.
Frustrasi, Zeze bertanya lagi. "Lalu, apa kau terlibat?"
"Terlibat dalam artian apa?" Kion malah balik bertanya.
"Oke, aku beri kau pilihan," kata Zeze, mulai jengkel. "Kau membantu membunuhnya atau kau yang membunuhnya." Akhirnya Zeze menunjukkan kecurigaannya secara terang-terangan. Toh, Kion telah menyadarinya.
"Kurasa aku tidak bisa menjawabnya."
Alis Zeze bertaut, "kenapa?"
"Karena tak ada satu pun jawabanku di pilihanmu."
Zeze memutar bola matanya lalu memasukkan lagi Fusilli itu ke dalam mulutnya. "Oke, anggap saja ini esai. Jadi, jawablah sesukamu."
"Bagaimana jika aku memilih tidak menjawab?"
"Oh, tidak bisa. Bahkan itu sama sekali bukanlah sebuah jawaban," tolak Zeze.
"Tunggu dulu, aku tidak ingin menjawab karena kau telah tahu apa peranku di dalam kasusmu ini."
Awalnya Zeze terlihat bingung. Dua menit lamanya ia menatap Kion sambil berulang kali mendaratkan makanan ke dalam mulutnya
Zeze melihat Kion mengangkat kedua alisnya. Ekspresi lelaki itu seakan memancingnya untuk menjawab sebuah jawaban yang ia tahu tapi sayangnya tidak bisa ia sadari.
Zeze kembali mengulang percakapannya dengan Kion dari awal. Ia sedikit bersyukur karena terlahir dengan kapasitas otak seperti ini. Biasanya ia akan mengeluh karena otaknya ini selalu memutar kembali kenangan yang ingin sekali ia lupakan.
Dan... dapat! "Saksi!" Zeze memekik senang. Perasaan puas terpahat jelas di wajahnya.
Kion tersenyum simpul dengan mata terpejam.
"Dugaanku benar, kau pasti mengetahui sesuatu!"
"Katakan."
Mendengar permintaan absurd Kion, Zeze mengernyit kebingungan.
"Katakan apa saja dugaan-dugaanmu itu. Aku ingin mendengarnya," lanjut Kion, membuka matanya. Ia ingin mengetahui bagaimana cara gadis ini melihat dirinya.
Zeze terlihat menimbang-nimbang. "Kau masuk ke perpustakaan lewat jendela. Kau berbohong kepadaku karena tidak ingin aku bertanya lebih. Yang aku tidak yakin adalah, kau masuk ke perpustakaan karena mengetahui ada pembunuhan di sana, atau kau telah ada di perpustakaan sebelum pembunuhan itu terjadi."
"Dan menurutmu?"
Mata Zeze menyipit, "kau lebih tahu jawabannya dibandingkan aku."
"Bisa dibilang di antara keduanya. Ketika aku masuk, kebetulan pembunuhan itu akan terjadi."
"Kau sedang bermain tarik-ulur denganku. Kau tidak niat menjawab." Zeze menyerangnya langsung. "Tidak bisakah kita terus terang saja di sini?" Kini nadanya berubah memohon.
Kion sebenarnya telah lelah bermain tarik-ulur seperti ini, apalagi ketika melihat raut memohon membingkai wajah Zeze. Tapi ia melakukannya agar Zeze tidak terlibat terlalu jauh.
Dengan satu helaan napas, akhirnya Kion buka suara. "Aku sebenarnya tidak tahu. Tapi yang bisa aku dengar, Raven seperti mempunyai masalah dengannya. Raven seperti... telah melakukan sesuatu yang tidak dia sukai. Raven seperti telah melanggar sesuatu."
Zeze kembali menyuap Fusilli-nya. Kali ini jauh lebih santai karena ia telah melihat bahwa kakak sepupunya ini akan mengakhiri permainan dengan kejujuran.
"Aku tidak berniat ikut campur karena kurasa itu hanyalah urusan mereka dan bukan urusanku. Tujuanku ke perpustakaan hanyalah membaca sekaligus mencari buku seri ketujuh Harry Potter yang kau temukan waktu itu. Saat aku memasuki lembar terakhir, terdengar bunyi cipratan. Aku tidak memeriksanya karena terlalu fokus. Setelah selesai, aku begitu mengantuk jadi aku putuskan untuk tidur. Satu menit kemudian kau datang. Aku sengaja terus terpejam sampai beberapa menit. Karena jika aku mengajakmu bicara, dia bisa saja merasakan keberadaan kita berdua."
"Kau tahu aku menahan hawa keberadaanku waktu itu?" Tanya Zeze.
Kion mengangguk, "kau mengendap-endap agar tidak ketahuan saat memasuki perpustakaan, kan?"
"Dan kau juga menahan hawa keberadaanmu karena itulah aku tidak dapat merasakanmu. Mungkin jika kakimu tidak terulur ke depan waktu itu, aku tidak akan pernah tahu bahwa kau ada di sana," tambah Zeze.
Tidak merespons, Kion mengambil satu gelas cola dan meminumnya sampai tandas.
"Apa kalian sudah tahu? Barusan 5 mayat ditemukan di gang sempit dekat ruko kosmetik di seberang sana."
"Apa? Bagaimana bisa?"
"Aku rasa bunuh diri. Mereka terlihat seperti terjun bebas."
"Ya benar. Ada yang melihat mereka menjatuhkan diri begitu saja dari atas gedung."
Zeze melirik kebisingan itu. Jadi ini 'atas' yang Kion maksud. Tapi... bagaimana mungkin? Kion sejak tadi di sini bersamanya. Dan kalau pun sebelumnya Kion telah melakukannya, tidaklah mungkin untuk membawa mereka semua ke atas gedung dalam waktu singkat.
"Apa yang kau lakukan?" Zeze bertanya langsung.
"Oh, tidak bisa. Kini giliranku yang bertanya."
Mata Zeze mengerjap cepat.
"Kenapa kau mengikutiku?" Kion bahkan tidak membiarkannya menolak.
"Bukannya kau sudah tahu? Aku... penasaran," jawabnya, bingung.
Kion menaikkan sebelah alisnya, "itu saja?"
Zeze mengangguk, masih kebingungan.
"Kenapa kau penasaran?"
"Aku tidak suka jika ada hal yang berulang-ulang mengganggu pikiranku. Aku harus menemukan jawabannya secepat mungkin jika tidak aku akan terus kepikiran. Selama ini, aku selalu tahu apa yang akan aku lakukan. Tapi beberapa kejadian belakangan ini membuatku ragu."
Tanpa sadar, Zeze menumpahkan dengan jelas apa yang ada di pikirannya saat itu juga. Kion menopang pipinya dengan punggung tangan, mendengarkan dengan sabar dan minat yang terukir nyata di sepasang mata hazel-nya.
Jika sanggup mengakui, Kion bisa saja mendengarkan suara Zeze semalam suntuk dan masih merasa kekurangan. Ia ingin terus berada di sisinya.
"Apakah aku mengganggu pikiranmu?"
Sebenarnya Kion tidak berniat menanyakan hal idiot semacam ini. Tapi ia melakukannya hanya agar dapat terus mendengar suara Zeze. Walau belakangan ini ia sering mendengar suaranya, tapi jarang sekali suara itu ditujukan untuknya.
"Sering."
Lamunan Kion buyar seketika. Mata hazel-nya pun membulat detik itu juga. Apa... apa tadi barusan? Kion tidak bisa mempercayai telinga dan matanya ketika gadis itu baru saja mengakui dengan pipi yang merona.
Semburat kemerahan itu mewarnai pipinya dengan sangat indah, bagaikan mawar dalam susu. Sangat cantik, bahkan efek-efek komputer pun kalah.
Jawaban Zeze mungkin mengejutkan, karena Kion tidak berharap dia akan menjawabnya dengan jawaban semacam itu. Namun yang lebih mengejutkannya lagi adalah reaksi yang dia berikan.
Sebenarnya apa yang salah dari pertanyaan itu? Mengapa dia harus merona hanya karena menjawabnya?
Wajar Kion tidak mengerti. Ia tidak pernah mempunyai pengalaman dengan perempuan. Kion tidak dapat menyadari bahwa Zeze baru saja mengakui kalau dia sering memikirkannya. Jika Kion menyadarinya, mungkin jantungnya akan terperosok detik itu juga.
"Kalau begitu kita impas." Kion tersenyum puas, sebuah reaksi yang lagi-lagi menciptakan raut bingung di wajah Zeze.
"Kau juga sering mengganggu pikiranku."
Oh Tuhan! Zeze menahan napas untuk menjegal pesta gila-gilaan di jantungnya. Ia sangat berharap Kion tidak dapat mendengarnya. Ia sangat berharap Kion tidak menyadari dampak yang lelaki itu perbuat terhadap kesehatan mentalnya.
Oke, minum, ia butuh minum sekarang. Zeze menyedot habis chatime-nya. Makanannya tersisa 3 sendok lagi. Ia harus cepat-cepat pergi dan tidur tenang agar bisa menjauhkan pikirannya dari lelaki itu. Baru kali ini ia merasa tidak masalah jika mimpi penuh api itu memonopoli kepalanya lagi asalkan otaknya bisa terbebas darinya.
"Ternyata kau lebih baik dari yang kukira."
Zeze mengangkat kepalanya yang semula tertunduk. "Apa?"
"Kau bisa saja meminta pulang tanpa menghabiskan makananmu terlebih dahulu. Tapi kau tidak melakukannya. Kenapa? Terlalu lapar?"
Zeze kembali menunduk, menatap ke arah makanannya. "Bukan," gumamnya. "Berjuta-juta orang mati kelaparan, mengharapkan sesuap saja makanan yang terbuang setiap harinya. Sementara orang-orang beruntung di sini seenaknya membuang-buang makanan mereka. Menurutku itu curang.
"Dan aku bukanlah orang baik, jadi jangan salah sangka." Suara Zeze mendingin ketika ia melanjutkan.
"Aku paling benci orang yang curang dan suka berbohong."
Mata mereka saling menjerat dalam kesunyian. Namun, pada akhirnya dapat tertebak siapa yang akan pertama kali memenggal jeratan itu. Tentu saja Zeze. Dia tidak cocok berada di suasana serius.
"Apa kau membenciku?" Tiba-tiba Kion bertanya. Suaranya terdengar sangat hati-hati, seakan takut mendengar jawaban Zeze.
"Jadi, kau mengakui bahwa kau curang dan... berbohong?" Zeze mengerutkan kening.
"Untuk curang iya. Tapi aku bersumpah tadi aku mengatakan yang sebenarnya."
Zeze menghela napas. "Maka itu sudah cukup. Aku memaafkan kecuranganmu tadi."
"Aneh, tidak seperti dirimu," Kion bergumam, tapi Zeze tidak bisa mendengarnya.
"Kita pulang?" Zeze bertanya setelah suapan terakhir.
"Tentu."
Sesampainya di luar, keramaian serta-merta menyambut mereka. Terdapat 3 mobil polisi dan 2 ambulance yang berlabuh di trotoar seberang jalan. Para wartawan berdesakan untuk meliput. Antrean mereka bahkan sampai menyelimuti jalanan.
Dalam lirikan matanya, Zeze melihat Kion berjalan menjauh. Awalnya Zeze mengira bahwa laki-laki itu akan meninggalkannya, tapi setelah melihat Kion berhenti di sebuah mobil sport berwarna silver, kening Zeze mengernyit. 'Dia membawa mobil?'
Kion membuka pintu penumpang dan memandang ke arahnya. Ia mengedikkan kepala, memberi isyarat untuk menyuruh Zeze masuk. Walau sedang kebingungan begini, Zeze tetap menurut.
'Jika dia telah memarkirkan mobil di sini, apakah itu berarti dia sudah memperkirakan bahwa kita berdua akan berhenti di sini? Dan jika itu benar, berarti... berarti dia sudah tahu kalau aku mengikutinya!'
'Sialan,' umpat Zeze. Ia sebal ditipu lagi. Mungkin bagi sebagian orang, merasa tertipu karena hal-hal kecil itu biasa. Tapi tidak bagi Zeze yang telah terbiasa tahu segalanya.
Dengan jengkel, Zeze mendekat lalu menduduki kursi penumpang. Kion tertawa saat menutup pintu lalu berjalan memutar untuk menduduki kursi kemudi.
"Sekedar informasi, ini bukan mobilku." Kion berbisik setelah mendarat di kursi kemudi.
Zeze menoleh cepat ke arahnya.
"Bagus ya? Aku rasa besok aku harus membeli yang seperti ini." Kion menyunggingkan senyum.
"Sabuk pengaman." Kion mengingatkan seraya memasang sabuk pengamannya sendiri.
Seusai memasang sabuk pengaman, Zeze cepat-cepat bertanya. "Kau mencurinya? Bagaimana bisa?"
"Logaritmanya lebih sederhana daripada yang kukira. Sayang sekali, body mobilnya saja yang bagus, tapi tingkat keamanannya rendah," sesal Kion. Ia mulai menimbang-nimbang lagi apakah akan jadi membelinya sembari memundurkan mobilnya keluar dari trotoar.
"Bagaimana dengan CCTV?" Tuntut Zeze.
"Tenang, mobil ini terparkir di tempat yang sama sekali tidak terpasang CCTV."
Kening Zeze berkerut, "berarti kau mencurinya sudah lama? Tempat tadi kan ada CCTV-nya."
"Memang." Kion mengedikkan bahu.
"Berarti... memang benar kau mengetahui aku mengikutimu?" Zeze menuntut lagi.
Kion terkekeh, "memang."
Zeze menghela napas panjang dan membuang muka ke luar jendela, sehingga membuat Kion terus-terusan meliriknya karena Zeze tak kunjung bersuara.
Ini membuat Kion gusar. Ia ingin mendengar suaranya lagi sebelum matahari menjulang. Karena Kion tidak tahu kapan dirinya akan diberi kesempatan untuk berbicara dengannya lagi.
Kion mencoba mengenyahkan pikiran itu. Bukankah ia sendiri yang bilang untuk tidak terlalu berharap? Akhirnya ia memilih menyetel musik yang selalu berhasil membuatnya lupa akan sekitar. Dan ia berharap hal itu juga berlaku untuk saat ini, walaupun ada Zeze di sampingnya.
Dan tanpa disangka, Kion malah mendengar suaranya. "Nirvana?"
"Ya?" Sahut Kion tanpa menatapnya.
"Kau mengetahuinya?" Zeze menyorotnya dengan takjub. Ia tidak menyangka ada juga yang menyukai musik sekitar abad ke-20 selain dirinya.
"Mmm... ya, aku menyukai lagu-lagunya."
"Ada lagi yang kau suka?" Tanya Zeze antusias.
Kion terlihat menimbang-nimbang. "One Ok Rock? Linkin Park? Queen?"
"Ah! Kau juga tahu itu!" Zeze terlihat sangat girang. Ternyata Kion menyukai musik rock sama sepertinya. Obi sama sekali tidak menyukai musik rock sehingga membuatnya sulit untuk membagi perasaannya.
Tambah satu lagi misteri yang terbuka dari lelaki misterius di sampingnya ini. Zeze berpikir, apakah dirinya bisa lanjut membongkar siapa sebenarnya lelaki itu?
Bukan karena penasaran, tapi karena Zeze ingin mengenalnya.
Hal itu membuat kening Zeze mengernyit, "kenapa kau tidak memakan makananmu?"
Bibir Kion tertarik samar di kedua sudutnya. "Siapa bilang ini untukku?"
Kerutan di kening Zeze semakin nyata. Ia rasa ekspresi tersebut telah cukup memberitahu Kion bahwa dirinya tidak mengerti.
Dan Kion pun dengan berbaik hati menjelaskan setelah menyerah melihat raut menggemaskan itu.
"Ini untukmu."
Mata Zeze luruh di makanannya. Fusilli. Butuh waktu lama baginya untuk menyadari bahwa ini adalah makanan kesukaannya.
"Aku tahu kau pasti tidak akan memesan apa-apa jika bukan aku yang memesan." Kion mendorong piringnya. "Habiskan," titahnya.
"Dan untuk cola-nya, maaf aku harus mengambil keduanya. Aku benar-benar haus." Kion terkekeh pelan dengan pandangan jatuh ke meja.
Mengerjap, Zeze berdeham canggung sebelum menjawab, "tentu, aku... aku tidak begitu suka cola."
Sebenarnya Zeze amat sangat tidak menyukai cola. Apalagi ketika ia harus merasakan minuman bersemut itu menari-nari di lidahnya untuk mendukung aktingnya.
"Bagaimana kalau kau menjawab pertanyaanku selama aku makan. Dengan begini, kita mungkin tidak akan pulang sampai larut malam." Zeze mengusulkan. Ya, meskipun ia bisa-bisa saja menghabiskan ini semua dalam waktu 10 menit. Tapi ia rasa hatinya tidak akan kuat menunggu selama itu.
Kion terlihat menimbang-nimbang. Sepasang alis tebalnya terangkat samar. Tapi sayangnya Zeze tidak dapat menangkap kilat skeptikal di kedua mata hazel-nya.
"Boleh, tapi ada syaratnya."
Kening Zeze mengernyit, seakan-akan tengah mencari alasan untuk menolak. Kion tidak menyukai raut curiga itu. Ia ingin gadis itu mempercayainya.
"Aku meminjammu tanggal 1 Mei nanti."
"Ke mana?" Zeze nampak curiga. Lagi-lagi ekspresi yang sangat tidak Kion suka.
Namun Kion menjaga wajah dan suaranya setenang mungkin, "setuju?"
Mau tidak mau, Zeze harus mengiyakan. Jika tidak, mereka akan terus seperti ini sampai larut malam. Dan yang akan dirugikan tentunya adalah Zeze, karena ia tidak berhasil mendapatkan apa-apa.
Zeze mengangguk tanpa sedikit pun melepas tatapannya.
"Jadi, sekarang giliranku," ujar Zeze. Ia terlihat sangat bersemangat sehingga membuat Kion tersenyum di balik batuknya.
"Kenapa kau pergi?"
Pertanyaan mudah. Kion tidak harus mengelak, "satu alasan, dan alasan itu sama seperti alasanmu."
"Oh." Tebakannya benar lagi. Well, Zeze tidak terlalu mempermasalahkan. Setiap orang pasti butuh kebebasan. Terlebih lagi, Kion masih berumur 18 tahun, masa-masa dimana remaja mencari jati diri mereka. Siapa pun pasti pernah melakukan pemberontakan, meski itu adalah pangeran genius seperti Kion sekalipun.
"Ke mana biasanya kau pergi?"
"Ke tempat yang biasanya dianggap remeh orang lain."
Kion sengaja menjawabnya secara tersirat. Ia tidak ingin menjawab secara cuma-cuma dan berujung dengan tidak mendapatkan apa-apa dari Zeze. Setidaknya sekarang ia bisa mendengar pemikiran dan perspektif gadis itu.
"Entah mengapa itu terdengar seperti berhubungan dengan 'keahlianmu'?"
Kion mengangguk puas, "kau menyimaknya."
"Kau bisa menjawab pertanyaanku yang sebelumnya. Apa yang terjadi padamu kemarin? Siapa yang melakukan itu terhadapmu?" Cecarnya dengan air muka yang berubah sangat serius. Lagi-lagi Kion harus menahan senyum melihat ekspresinya.
"Jawabannya ada di syarat."
"Maaf?" Zeze meminta pengulangan, terlihat bingung.
"Ya... jawabannya adalah syarat itu." Kion mengangkat bahu. "1 Mei, dan kau bisa mendapatkan jawabanmu."
Bibir Zeze mencebik, "itu tidak adil. Kau curang."
"Kau yang tidak menyimak," Kion membalas enteng.
Zeze berdecak sebal. "Oke-oke. Pertanyaan selanjutnya. Apakah kau mengetahui sesuatu mengenai kematian Raven?"
"Kau melanggar janjimu." Kion terdengar kecewa. Mendengar ucapannya, Zeze mengernyit kebingungan.
Kion menunjuk makanannya dengan dagu, "aku tidak bisa melanjutkan jika kau tidak juga menghabiskannya."
"Ah." Zeze lupa akan Fusilli-nya. Tidak biasanya ia seperti ini. Biasanya ia akan mengabaikan setiap orang jika berada di hadapan makanan.
Zeze menyendoknya banyak-banyak lalu mengunyahnya hingga pipinya mengembung. Ia ingin semua ini cepat berjalan.
Dan lagi-lagi, Kion harus menelan senyumnya. Zeze sama sekali tidak menyadari dampak setiap gerak-geriknya terhadap diri Kion.
"Jawabannya?" Zeze menuntut dengan mulut penuh Fusilli.
Kion memundurkan punggungnya, "kenapa kau ingin tahu?"
Alis Zeze bertaut. "Jangan curang lagi. Di sini kau yang sebagai saksinya," tukasnya.
Kedua alis Kion mencuat. "Oh, saksi? Bukannya tersangka?"
O... Ow....
Zeze langsung menelan tanpa mengunyah terlebih dahulu. Well, ia tidak menyangka Kion akan menyadari hal sebanyak ini. Zeze harus mengutuk dirinya sendiri karena bertindak ceroboh di hadapannya.
Kion bukanlah seseorang yang bisa diajak bicara begitu saja seperti air mengalir. Bahkan Kion bisa melihat kerikil sekecil apa pun di dalam aliran air itu.
"Sak—saksi," balas Zeze, kelihatan sekali gugupnya.
Kion tidak harus membendung tawanya lagi. Ia sudah sangat kesusahan menahannya sejak tadi, dan akhirnya tawa itu pun pecah.
Bibir Zeze mengerucut, "jawabannya?" Entah mengapa, Zeze merasa Kion seolah tengah bermain tarik-ulur dengannya.
"Jika kau berpikir untuk membongkar ini semua, sebaiknya hentikan. Ini sama sekali tidak baik untukmu. Jika kau masuk ke dalamnya kau tidak akan dapat keluar lagi. Sebaiknya kau jangan sampai terlibat terlalu dalam."
Zeze terlihat kecewa. "Katakan saja secara tersirat seperti jawaban-jawabanmu sebelumnya," pintanya. Tapi Kion tidak merespons.
Frustrasi, Zeze bertanya lagi. "Lalu, apa kau terlibat?"
"Terlibat dalam artian apa?" Kion malah balik bertanya.
"Oke, aku beri kau pilihan," kata Zeze, mulai jengkel. "Kau membantu membunuhnya atau kau yang membunuhnya." Akhirnya Zeze menunjukkan kecurigaannya secara terang-terangan. Toh, Kion telah menyadarinya.
"Kurasa aku tidak bisa menjawabnya."
Alis Zeze bertaut, "kenapa?"
"Karena tak ada satu pun jawabanku di pilihanmu."
Zeze memutar bola matanya lalu memasukkan lagi Fusilli itu ke dalam mulutnya. "Oke, anggap saja ini esai. Jadi, jawablah sesukamu."
"Bagaimana jika aku memilih tidak menjawab?"
"Oh, tidak bisa. Bahkan itu sama sekali bukanlah sebuah jawaban," tolak Zeze.
"Tunggu dulu, aku tidak ingin menjawab karena kau telah tahu apa peranku di dalam kasusmu ini."
Awalnya Zeze terlihat bingung. Dua menit lamanya ia menatap Kion sambil berulang kali mendaratkan makanan ke dalam mulutnya
Zeze melihat Kion mengangkat kedua alisnya. Ekspresi lelaki itu seakan memancingnya untuk menjawab sebuah jawaban yang ia tahu tapi sayangnya tidak bisa ia sadari.
Zeze kembali mengulang percakapannya dengan Kion dari awal. Ia sedikit bersyukur karena terlahir dengan kapasitas otak seperti ini. Biasanya ia akan mengeluh karena otaknya ini selalu memutar kembali kenangan yang ingin sekali ia lupakan.
Dan... dapat! "Saksi!" Zeze memekik senang. Perasaan puas terpahat jelas di wajahnya.
Kion tersenyum simpul dengan mata terpejam.
"Dugaanku benar, kau pasti mengetahui sesuatu!"
"Katakan."
Mendengar permintaan absurd Kion, Zeze mengernyit kebingungan.
"Katakan apa saja dugaan-dugaanmu itu. Aku ingin mendengarnya," lanjut Kion, membuka matanya. Ia ingin mengetahui bagaimana cara gadis ini melihat dirinya.
Zeze terlihat menimbang-nimbang. "Kau masuk ke perpustakaan lewat jendela. Kau berbohong kepadaku karena tidak ingin aku bertanya lebih. Yang aku tidak yakin adalah, kau masuk ke perpustakaan karena mengetahui ada pembunuhan di sana, atau kau telah ada di perpustakaan sebelum pembunuhan itu terjadi."
"Dan menurutmu?"
Mata Zeze menyipit, "kau lebih tahu jawabannya dibandingkan aku."
"Bisa dibilang di antara keduanya. Ketika aku masuk, kebetulan pembunuhan itu akan terjadi."
"Kau sedang bermain tarik-ulur denganku. Kau tidak niat menjawab." Zeze menyerangnya langsung. "Tidak bisakah kita terus terang saja di sini?" Kini nadanya berubah memohon.
Kion sebenarnya telah lelah bermain tarik-ulur seperti ini, apalagi ketika melihat raut memohon membingkai wajah Zeze. Tapi ia melakukannya agar Zeze tidak terlibat terlalu jauh.
Dengan satu helaan napas, akhirnya Kion buka suara. "Aku sebenarnya tidak tahu. Tapi yang bisa aku dengar, Raven seperti mempunyai masalah dengannya. Raven seperti... telah melakukan sesuatu yang tidak dia sukai. Raven seperti telah melanggar sesuatu."
Zeze kembali menyuap Fusilli-nya. Kali ini jauh lebih santai karena ia telah melihat bahwa kakak sepupunya ini akan mengakhiri permainan dengan kejujuran.
"Aku tidak berniat ikut campur karena kurasa itu hanyalah urusan mereka dan bukan urusanku. Tujuanku ke perpustakaan hanyalah membaca sekaligus mencari buku seri ketujuh Harry Potter yang kau temukan waktu itu. Saat aku memasuki lembar terakhir, terdengar bunyi cipratan. Aku tidak memeriksanya karena terlalu fokus. Setelah selesai, aku begitu mengantuk jadi aku putuskan untuk tidur. Satu menit kemudian kau datang. Aku sengaja terus terpejam sampai beberapa menit. Karena jika aku mengajakmu bicara, dia bisa saja merasakan keberadaan kita berdua."
"Kau tahu aku menahan hawa keberadaanku waktu itu?" Tanya Zeze.
Kion mengangguk, "kau mengendap-endap agar tidak ketahuan saat memasuki perpustakaan, kan?"
"Dan kau juga menahan hawa keberadaanmu karena itulah aku tidak dapat merasakanmu. Mungkin jika kakimu tidak terulur ke depan waktu itu, aku tidak akan pernah tahu bahwa kau ada di sana," tambah Zeze.
Tidak merespons, Kion mengambil satu gelas cola dan meminumnya sampai tandas.
"Apa kalian sudah tahu? Barusan 5 mayat ditemukan di gang sempit dekat ruko kosmetik di seberang sana."
"Apa? Bagaimana bisa?"
"Aku rasa bunuh diri. Mereka terlihat seperti terjun bebas."
"Ya benar. Ada yang melihat mereka menjatuhkan diri begitu saja dari atas gedung."
Zeze melirik kebisingan itu. Jadi ini 'atas' yang Kion maksud. Tapi... bagaimana mungkin? Kion sejak tadi di sini bersamanya. Dan kalau pun sebelumnya Kion telah melakukannya, tidaklah mungkin untuk membawa mereka semua ke atas gedung dalam waktu singkat.
"Apa yang kau lakukan?" Zeze bertanya langsung.
"Oh, tidak bisa. Kini giliranku yang bertanya."
Mata Zeze mengerjap cepat.
"Kenapa kau mengikutiku?" Kion bahkan tidak membiarkannya menolak.
"Bukannya kau sudah tahu? Aku... penasaran," jawabnya, bingung.
Kion menaikkan sebelah alisnya, "itu saja?"
Zeze mengangguk, masih kebingungan.
"Kenapa kau penasaran?"
"Aku tidak suka jika ada hal yang berulang-ulang mengganggu pikiranku. Aku harus menemukan jawabannya secepat mungkin jika tidak aku akan terus kepikiran. Selama ini, aku selalu tahu apa yang akan aku lakukan. Tapi beberapa kejadian belakangan ini membuatku ragu."
Tanpa sadar, Zeze menumpahkan dengan jelas apa yang ada di pikirannya saat itu juga. Kion menopang pipinya dengan punggung tangan, mendengarkan dengan sabar dan minat yang terukir nyata di sepasang mata hazel-nya.
Jika sanggup mengakui, Kion bisa saja mendengarkan suara Zeze semalam suntuk dan masih merasa kekurangan. Ia ingin terus berada di sisinya.
"Apakah aku mengganggu pikiranmu?"
Sebenarnya Kion tidak berniat menanyakan hal idiot semacam ini. Tapi ia melakukannya hanya agar dapat terus mendengar suara Zeze. Walau belakangan ini ia sering mendengar suaranya, tapi jarang sekali suara itu ditujukan untuknya.
"Sering."
Lamunan Kion buyar seketika. Mata hazel-nya pun membulat detik itu juga. Apa... apa tadi barusan? Kion tidak bisa mempercayai telinga dan matanya ketika gadis itu baru saja mengakui dengan pipi yang merona.
Semburat kemerahan itu mewarnai pipinya dengan sangat indah, bagaikan mawar dalam susu. Sangat cantik, bahkan efek-efek komputer pun kalah.
Jawaban Zeze mungkin mengejutkan, karena Kion tidak berharap dia akan menjawabnya dengan jawaban semacam itu. Namun yang lebih mengejutkannya lagi adalah reaksi yang dia berikan.
Sebenarnya apa yang salah dari pertanyaan itu? Mengapa dia harus merona hanya karena menjawabnya?
Wajar Kion tidak mengerti. Ia tidak pernah mempunyai pengalaman dengan perempuan. Kion tidak dapat menyadari bahwa Zeze baru saja mengakui kalau dia sering memikirkannya. Jika Kion menyadarinya, mungkin jantungnya akan terperosok detik itu juga.
"Kalau begitu kita impas." Kion tersenyum puas, sebuah reaksi yang lagi-lagi menciptakan raut bingung di wajah Zeze.
"Kau juga sering mengganggu pikiranku."
Oh Tuhan! Zeze menahan napas untuk menjegal pesta gila-gilaan di jantungnya. Ia sangat berharap Kion tidak dapat mendengarnya. Ia sangat berharap Kion tidak menyadari dampak yang lelaki itu perbuat terhadap kesehatan mentalnya.
Oke, minum, ia butuh minum sekarang. Zeze menyedot habis chatime-nya. Makanannya tersisa 3 sendok lagi. Ia harus cepat-cepat pergi dan tidur tenang agar bisa menjauhkan pikirannya dari lelaki itu. Baru kali ini ia merasa tidak masalah jika mimpi penuh api itu memonopoli kepalanya lagi asalkan otaknya bisa terbebas darinya.
"Ternyata kau lebih baik dari yang kukira."
Zeze mengangkat kepalanya yang semula tertunduk. "Apa?"
"Kau bisa saja meminta pulang tanpa menghabiskan makananmu terlebih dahulu. Tapi kau tidak melakukannya. Kenapa? Terlalu lapar?"
Zeze kembali menunduk, menatap ke arah makanannya. "Bukan," gumamnya. "Berjuta-juta orang mati kelaparan, mengharapkan sesuap saja makanan yang terbuang setiap harinya. Sementara orang-orang beruntung di sini seenaknya membuang-buang makanan mereka. Menurutku itu curang.
"Dan aku bukanlah orang baik, jadi jangan salah sangka." Suara Zeze mendingin ketika ia melanjutkan.
"Aku paling benci orang yang curang dan suka berbohong."
Mata mereka saling menjerat dalam kesunyian. Namun, pada akhirnya dapat tertebak siapa yang akan pertama kali memenggal jeratan itu. Tentu saja Zeze. Dia tidak cocok berada di suasana serius.
"Apa kau membenciku?" Tiba-tiba Kion bertanya. Suaranya terdengar sangat hati-hati, seakan takut mendengar jawaban Zeze.
"Jadi, kau mengakui bahwa kau curang dan... berbohong?" Zeze mengerutkan kening.
"Untuk curang iya. Tapi aku bersumpah tadi aku mengatakan yang sebenarnya."
Zeze menghela napas. "Maka itu sudah cukup. Aku memaafkan kecuranganmu tadi."
"Aneh, tidak seperti dirimu," Kion bergumam, tapi Zeze tidak bisa mendengarnya.
"Kita pulang?" Zeze bertanya setelah suapan terakhir.
"Tentu."
Sesampainya di luar, keramaian serta-merta menyambut mereka. Terdapat 3 mobil polisi dan 2 ambulance yang berlabuh di trotoar seberang jalan. Para wartawan berdesakan untuk meliput. Antrean mereka bahkan sampai menyelimuti jalanan.
Dalam lirikan matanya, Zeze melihat Kion berjalan menjauh. Awalnya Zeze mengira bahwa laki-laki itu akan meninggalkannya, tapi setelah melihat Kion berhenti di sebuah mobil sport berwarna silver, kening Zeze mengernyit. 'Dia membawa mobil?'
Kion membuka pintu penumpang dan memandang ke arahnya. Ia mengedikkan kepala, memberi isyarat untuk menyuruh Zeze masuk. Walau sedang kebingungan begini, Zeze tetap menurut.
'Jika dia telah memarkirkan mobil di sini, apakah itu berarti dia sudah memperkirakan bahwa kita berdua akan berhenti di sini? Dan jika itu benar, berarti... berarti dia sudah tahu kalau aku mengikutinya!'
'Sialan,' umpat Zeze. Ia sebal ditipu lagi. Mungkin bagi sebagian orang, merasa tertipu karena hal-hal kecil itu biasa. Tapi tidak bagi Zeze yang telah terbiasa tahu segalanya.
Dengan jengkel, Zeze mendekat lalu menduduki kursi penumpang. Kion tertawa saat menutup pintu lalu berjalan memutar untuk menduduki kursi kemudi.
"Sekedar informasi, ini bukan mobilku." Kion berbisik setelah mendarat di kursi kemudi.
Zeze menoleh cepat ke arahnya.
"Bagus ya? Aku rasa besok aku harus membeli yang seperti ini." Kion menyunggingkan senyum.
"Sabuk pengaman." Kion mengingatkan seraya memasang sabuk pengamannya sendiri.
Seusai memasang sabuk pengaman, Zeze cepat-cepat bertanya. "Kau mencurinya? Bagaimana bisa?"
"Logaritmanya lebih sederhana daripada yang kukira. Sayang sekali, body mobilnya saja yang bagus, tapi tingkat keamanannya rendah," sesal Kion. Ia mulai menimbang-nimbang lagi apakah akan jadi membelinya sembari memundurkan mobilnya keluar dari trotoar.
"Bagaimana dengan CCTV?" Tuntut Zeze.
"Tenang, mobil ini terparkir di tempat yang sama sekali tidak terpasang CCTV."
Kening Zeze berkerut, "berarti kau mencurinya sudah lama? Tempat tadi kan ada CCTV-nya."
"Memang." Kion mengedikkan bahu.
"Berarti... memang benar kau mengetahui aku mengikutimu?" Zeze menuntut lagi.
Kion terkekeh, "memang."
Zeze menghela napas panjang dan membuang muka ke luar jendela, sehingga membuat Kion terus-terusan meliriknya karena Zeze tak kunjung bersuara.
Ini membuat Kion gusar. Ia ingin mendengar suaranya lagi sebelum matahari menjulang. Karena Kion tidak tahu kapan dirinya akan diberi kesempatan untuk berbicara dengannya lagi.
Kion mencoba mengenyahkan pikiran itu. Bukankah ia sendiri yang bilang untuk tidak terlalu berharap? Akhirnya ia memilih menyetel musik yang selalu berhasil membuatnya lupa akan sekitar. Dan ia berharap hal itu juga berlaku untuk saat ini, walaupun ada Zeze di sampingnya.
Dan tanpa disangka, Kion malah mendengar suaranya. "Nirvana?"
"Ya?" Sahut Kion tanpa menatapnya.
"Kau mengetahuinya?" Zeze menyorotnya dengan takjub. Ia tidak menyangka ada juga yang menyukai musik sekitar abad ke-20 selain dirinya.
"Mmm... ya, aku menyukai lagu-lagunya."
"Ada lagi yang kau suka?" Tanya Zeze antusias.
Kion terlihat menimbang-nimbang. "One Ok Rock? Linkin Park? Queen?"
"Ah! Kau juga tahu itu!" Zeze terlihat sangat girang. Ternyata Kion menyukai musik rock sama sepertinya. Obi sama sekali tidak menyukai musik rock sehingga membuatnya sulit untuk membagi perasaannya.
Tambah satu lagi misteri yang terbuka dari lelaki misterius di sampingnya ini. Zeze berpikir, apakah dirinya bisa lanjut membongkar siapa sebenarnya lelaki itu?
Bukan karena penasaran, tapi karena Zeze ingin mengenalnya.