55 MR. RIOUS
Bahkan sejak setengah jam sebelum berangkat ke sebuah restoran bintang lima di Kota Clausador, yaitu Herfamoni, Zeze masih sibuk mencari-cari kunci Porsche-nya.
Kamar, gudang, laci bupet ruang tamu, semuanya ia geledah. Tapi nihil, kunci tersebut bagaikan ditelan bumi.
"Sebenarnya apa yang kau lakukan?" Tanya Juni keheranan. Sejak tadi ia duduk di sofa, memperhatikan Zeze yang tengah berjongkok sembari mengaduk-aduk laci meja ruang tamu. Sementara gadis itu masih memakai kaus dan jaket denimnya, Juni telah siap dengan A-line dress berwarna ungu gelapnya dipadu dengan celana legging berwarna hitam.
"Kunci... aku mencari kunci Porsche oranyeku," gumam Zeze, frustrasi.
Juni mengerutkan kening, "kenapa di sini?"
"Aku biasa tidur di sini. Aduh, sebenarnya ada di mana sih!?" Zeze mengacak-acak rambutnya.
"Ze, Porsche itu mobil lama dari abad ke-21, gantilah dengan yang baru," celetuk Airo yang duduk di sebelah kanan Juni. Laki-laki itu mengenakan hoodie bergambar senapan dengan bawahan celana jeans berwarna biru tua.
Zeze menghentikan tangannya sejenak, "justru itu! Karena mobil itu antik aku tidak akan melepaskannya begitu saja. Mobil itu pernah menjadi kebanggaan pada masanya, dan para kolektor lain rela menghabiskan setengah kekayaan mereka untuk mendapatkannya. Dan masalahnya, bukan hanya uang yang kukeluarkan untuk mendapatkannya, tapi juga nyawa!"
"Hah?" Juni terperangah.
"Kau tidak akan tahu betapa susahnya aku mendapatkannya. Oh ayolah, dimana kunci itu!?" Zeze kembali mengaduk-aduk laci meja itu. Ia tidak akan tenang jika tidak menemukannya sekarang juga.
Tak lama kemudian, datanglah Rhea yang mengenakan blus berwarna biru muda. "Ayo, sudah siapkan? Driko dan yang lainnya telah menunggu di mobil."
Mata cokelatnya bergeser ke arah Zeze yang terlihat uring-uringan. "Sedang apa kau, Ze?"
"Kunci Porsche-nya hilang." Jawaban Airo terdengar seperti mencibir.
Alis Rhea bertaut, "Porsche? Apa Porsche yang berwarna oranye itu?"
Zeze mendongak dengan cepat ke arahnya, "kau tahu!?"
Rhea mengangguk, namun rautnya terlihat bingung. "Bukannya kau telah memberikannya kepada Zafth?"
"Apa? Aku tidak pernah memberikannya," bantah Zeze tak kalah bingung.
"Tapi waktu itu Zafth bilang kalau kau mengizinkannya membawanya, jadi—"
"Si Sialan itu." Zeze tersenyum sengit dengan mata mendingin.
"Kak, kalian duluan saja. Malam ini juga, aku harus mendapatkan Porsche-ku kembali," tandas Zeze, bangkit berdiri menuju kamarnya.
Satu jam telah terlewat. Mungkin Rhea dan yang lainnya telah sampai di Herfamoni. Namun Zeze masih saja berkutat di ponselnya, mendial nomor Zafthkail berkali-kali.
Tak ada satu pun panggilannya yang diangkat. Jika satu kali saja Zafth mengangkatnya, Zeze bisa meminta tolong Zero untuk melacak nomornya. Tapi sepertinya laki-laki menyebalkan itu telah mengganti nomornya.
Zeze membanting ponselnya ke kasur. Ponsel itu memantul beberapa kali sebelum akhirnya berhenti. Suasana hatinya benar-benar buruk kali ini.
Di tengah kekesalannya itu, tiba-tiba terdengar bunyi engsel pintu yang perlahan-lahan terbuka. Zeze melihat sekeliling. Itu bukanlah pintu kamarnya, maka tak salah lagi suara itu datang dari kamar di sebelahnya.
Zeze mengintip dari balik pintu. Nihil, tidak ada siapa-siapa. Kemudian ia berjalan ke arah pintu balkon yang terbuka. Dan matanya dibuat melebar ketika melihat seorang laki-laki berambut cokelat gelap, keluar dari dalam kamar samping dan berdiri diam di balkon.
Laki-laki itu mengenakan masker dan hoodie tanpa retsleting berwarna hitam, dipadu dengan ripped jeans berwarna senada. Hoodie itu adalah hoodie yang pernah dipakai Kion.
Dan dari postur tubuhnya, tidak salah lagi itu adalah dia.
Agar dapat mengintip tanpa ketahuan, Zeze beringsut mundur lalu menempelkan punggungnya pada pintu dengan kepala yang terjulur ke belakang. Dulu ia sempat mempelajari beberapa teknik membunuh seperti cara menekan keberadaan dari para assassin seperti Obi dan Juni. Hitung-hitung mempermudah langkahnya sebagai seeker.
Zeze lupa bahwa sejak satu bulan yang lalu, kamar mereka berdua bersebelahan. Atau lebih tepatnya, kamarnya-lah yang dipindahkan di sebelah kamar laki-laki itu. Siapa lagi kalau bukan karena ulah Madam Thoryvos.
Pemandangan ini seperti mengingatkannya akan suatu hal. Dan entah mengapa ia langsung menghubungkannya dengan kejadian di perpustakaan. Zeze mundur, masuk sepenuhnya ke dalam kamar dan berjalan mondar-mandir di depan kasur untuk berpikir.
Jika dipikir-pikir, Kion tidak menuliskan namanya di buku harian, tetapi dia bilang kalau dia masuk seperti biasanya lewat pintu depan.
Zeze bisa lolos karena waktu itu ia mengendap-endap, masuk bersamaan dengan salah satu siswi berbadan besar yang membuat dirinya tidak terlihat oleh penjaga perpustakaan.
Dan juga, jika diingat-ingat, jendela di hadapan Kion terbuka lebar, sementara jendela yang lainnya tertutup rapat. Apakah mungkin seseorang membuka jendela di musim dingin seperti itu?
Dan bila memang Kion yang membukanya, namun kenapa waktu itu dia berniat bangkit untuk menutupnya? Lalu, untuk apa laki-laki itu duduk di depan jendela yang terbuka jika dia tidak menyukai udara dingin?
Tidak beres. Ada yang tidak beres.
Ketika Zeze kembali mengintip, Kion telah lenyap. Zeze keluar dan melompat ke arah balkon Kion. Kosong. Di kamarnya pun Kion tidak ada.
Jadi benar, Kion mengendap-endap. Pantas saja jendela perpustakaan waktu itu terbuka. Kion masuk lewat situ!
Tak salah lagi, Kion lupa menutupnya karena ketiduran. Dan ketika Zeze muncul, dia mencoba menutupnya karena khawatir Zeze akan kedinginan. Sudah ia duga, instingnya tidak mungkin salah.
Namun, kenapa Kion berbohong? Terlebih lagi, kenapa dia mengendap-endap? Mungkinkah karena dia tidak ingin diikuti pengawalnya? Ataukah....
Sial, Zeze berpikir terlalu lama sampai lupa perihal Porsche tadi. Frustrasi, Zeze menggigit bibir bawahnya. Matanya menyorot ke depan, ke arah pepohonan yang mengelilingi tembok besar istana dengan sorot aneh yang rumit.
Urusan Porsche itu bisa nanti. Sekarang ia harus mengungkap Tuan Misterius itu dulu. Orang yang selalu membuatnya—atau bahkan mungkin para pembaca—penasaran.
Apakah instingnya juga akan berlaku terhadap Sang Pangeran?
========
Telah lewat setengah jam Zeze berputar-putar di gang sempit dan gelap ini. Sebelumnya, tak salah lagi ia melihat sosok berhoodie hitam itu masuk lewat sini. Namun, boom! Ketika ia mengejarnya, tidak ada sama sekali bekas keberadaannya.
Padahal Zeze telah merambatkan aura ke tanah dan dinding-dinding bangunan di sekitarnya.
Hawa keberadaannya benar-benar lenyap, seperti ditelan bumi. Zeze mengenal orang yang sangat hebat dalam hal bersembunyi seperti ini, yaitu Rajanya.
Dengan napas ngos-ngosan, Zeze keluar dari balik gang menuju jalan raya. Di seberangnya, terdapat penjual Chatime. Kebetulan sekali ia sedang kehausan. Zeze pun menyeberang dan memesan Chatime rasa karamel.
Semenjak kejadian satu tahun yang lalu, staminanya menjadi cepat sekali terkuras habis. Ia jadi mudah lelah, karena itulah sekarang aktivitas yang menguras waktu tidak cocok lagi dengannya. Saat bertarung, ia lebih memilih langsung menghabisi mangsanya tanpa bertele-tele menyiksa mereka terlebih dahulu seperti apa yang Juni lakukan.
Sembari menunggu minumannya, Zeze memandang papan iklan besar di sebuah gedung yang menampilkan wajah seorang gadis remaja cantik berambut cokelat. Gadis itu tersenyum bahagia, seakan tak pernah ada beban di dalam hidupnya. Sepasang mata hazelnya memancarkan kasih sayang yang begitu besar kepada dunia yang dilihatnya.
Tapi ironisnya, di bawahnya terpajang tulisan 'Rest In Peace' yang begitu menyesakkan.
"Oh, sekarang hari memperingati tujuh tahun meninggalnya Putri Sageta ya?" Zeze mendengar seseorang di sampingnya berbicara.
"Semoga beliau diberkati," kata yang lainnya.
"Putri Sageta... Yang Mulia Ratu... Ternyata benar, orang-orang baik selalu pergi lebih cepat." Orang itu mendesah kecewa. "Putri Thalasa memang iblis! Seharusnya dia dihukum mati!"
Zeze bersyukur ternyata Sageta disenangi banyak orang. Walaupun tidak mengherankan mengingat betapa baiknya gadis itu. Bahkan Zeze berani mengatakan bahwa Sageta adalah manusia terbaik di dunia ini.
Sayangnya orang-orang ini tidak tahu, bahwa putri baik hati mereka telah bergabung dengan organisasi yang paling dibenci di dunia.
Benar, orang itu—orang yang telah mengacaukan masa depan Sageta—berhak mati. Walau sebenarnya Sageta bukan mati di tangannya, tapi mulai dari orang itulah masa depan Sageta hancur.
Seharusnya Sageta masih tersenyum sampai sekarang. Seharusnya Sageta yang baik hati itu tidak bergabung dengan orang-orang jahat sepertinya. Tidak seharusnya dia mati dikenang sebagai bagian dari Énkavma. Tidak seharusnya dia mati karena diburu sebagai seorang penjahat.
Jika bukan karena orang itu...
Setelah Chatime itu berada di genggamannya, Zeze kembali menyeberang. Ia memilih kembali ke rumah sembari menyisir gang-gang sempit, dengan pikiran; siapa tahu ia dapat menemukan Kion.
Tahu-tahu, terdengar suara kaleng terjatuh. Tidak, lebih tepatnya tong sampah! Zeze makin mempercepat langkahnya lalu menengok ke arah belokan gang di sebelah kanannya.
Matanya dibuat terbelalak ketika melihat enam orang laki-laki berlari dengan sangat cepat ke arahnya. Tidak, ini lebih terlihat seperti lima orang mengejar satu orang yang paling depan!
Sepasang mata milik orang yang lari paling depan juga ikut terbelalak ketika melihat Zeze. Sekejap kemudian, sorot matanya meruncing. Orang itu makin mempercepat larinya, namun kali ini seakan hendak menghampiri Zeze.
Harusnya Zeze menyingkir sekarang juga. Namun entah mengapa ia tidak bisa bergerak. Ia tidak bisa berpaling dari kejadian yang sama sekali tidak pernah dibayangkannya saat ini. Zeze kenal perasaan ini. Ini adalah sebongkah perasaan yang biasa ia alami ketika baru saja menemukan barang antik nan langka yang sama sekali belum pernah ia lihat sebelumnya.
Zeze meninggalkan lamunannya ketika tangan kanan orang itu menarik paksa tangan kirinya. Dia membawanya berlari, begitu cepat sampai-sampai membuat Zeze kesulitan mengimbangi langkahnya.
Chatime yang tadi dipegang tangan kanannya pun terpaksa Zeze jatuhkan begitu saja, sehingga membuat satu orang yang mengejar mereka terpeleset dan jatuh.
Zeze mendengar orang di depannya ini terkekeh kecil. "Kerja yang bagus." Suaranya agak teredam karena masker yang membalut mulutnya.
Akal sehatnya menyuruhnya untuk menyentak paksa tangan itu dan berbalik pergi. Namun tidak bisa. Ini benar-benar perasaan yang sulit dijelaskan. Kabel yang menyambungkan otak dan hatinya terasa seperti terputus begitu saja.
Mata birunya bahkan tak sanggup sedikit saja berpaling dari punggung tegap itu. Entah apa yang terjadi, tapi Zeze yang tadinya merasa kelelahan, menjadi semangat kembali.
Walau peluh membasahi pelipisnya. Walau lelah menyendat napasnya, senyum Zeze justru merekah. Sudah lama sekali ia tidak merasa sehidup ini. Sudah lama sekali ia tidak merasakan adrenalin berpacu di setiap nadinya. Sudah lama sekali ia tidak menikmati sebuah pelarian.
"Berhenti, brengsek!"
Senyumnya kandas ketika ia mendengar orang-orang di belakangnya membentak kasar. Suara itu membuatnya tersadar bahwa sekarang ia sedang berada dalam bahaya.
Zeze menengok ke belakang. Tersisa empat orang. Yang satunya lagi pasti telah tertinggal di belakang karena Chatime barusan.
Entah ke mana orang di depannya ini akan membawanya. Orang ini sama sekali tidak ingin pergi ke jalan raya. Mereka berdua hanya melarikan diri di gang-gang sempit yang terlihat bagaikan labirin ini.
Jika itu Zeze, ia hanya akan membawa serta orang-orang idiot ini ke jalan raya. Dengan begitu, keramaian bisa membantu mereka berdua menyaru.
Tapi sepertinya ada hal lain yang tengah dipikirkan orang di depannya ini. Dia tidak ingin membuat kekacauan. Jika saja orang ini membawa Zeze ke jalanan, pasti akan ada pihak yang ikut terenggut dalam bahaya, atau mungkin mengalami kecelakaan karena ulah mereka.
Tangan Zeze semakin ditarik, hingga kini gantian dirinyalah yang memimpin di depan, sementara orang itu berada di belakangnya.
"Duluan." Dia berkata singkat. matanya menusuk, terlihat sangat otoriter dan berwibawa, menyiratkan tidak menerima sedikit pun bantahan.
Entah mengapa Zeze merasa orang ini mirip Zero. Jiwa kepemimpinannya sangat kuat. Dan karena itulah Zeze tidak sanggup mengabaikannya.
Zero, Glen dan dia, adalah orang-orang yang sama sekali tidak dapat Zeze tolak maupun tebak. Zeze sempat merasa gagal sebagai seeker ketika sedang bersama dengan ketiga orang itu.
Tapi ia mencoba tabah karena pasti selalu ada sebuah pengecualian dari sebuah kelebihan. Jangan merasa tertekan jika tidak dapat melakukan suatu hal dengan benar, karena setiap orang pasti memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing.
Entah sudah sejauh apa Zeze berlari, ia tidak dapat memperkirakan. Yang terulang-ulang di otaknya hanyalah sebuah perintah yang menyuruhnya untuk berlari duluan. Padahal fisiknya tak sekuat dulu, tapi ia tetap melaksanakan apa yang orang itu suruh.
Zeze tiba di ujung gang. Jalan raya penuh kendaraan langsung menyambutnya. Ia bimbang, haruskah ia terus berlari... atau bagaimana? Masalahnya, napasnya sudah sangat ngos-ngosan.
Tiba-tiba, wajahnya berubah terperangah seperti orang tolol. Tujuannya ke sini adalah untuk menyelidiki tunangannya itu, dan sekarang tanpa sadar ia telah membiarkan tujuannya pergi begitu saja!
Zeze menepuk dahinya lalu menggerutu panjang lebar.
Tidak bisakah hanya Glen yang selalu membuatnya kehilangan akal sehat? Dan sekarang tambah satu lagi, yaitu Si Tuan Misterius ini.
"Lelah?"
Zeze terperanjat. Perlahan-lahan, ia menoleh ke belakang dan melihat orang itu muncul dari gelapnya gang dengan segelas Chatime di tangan kanannya. Dia menurunkan maskernya sampai ke dagu. Wajahnya yang bagaikan lukisan dewa itu kini sepenuhnya terlihat di bawah sinar lampu jalan.
Tanpa Zeze sangka, tujuannya kembali lagi kepadanya.
Kion menyerahkan chatime itu kepada Zeze. Namun Zeze hanya memandangi mata hazelnya tanpa berniat menyambut minuman tersebut.
Melihat sikap aneh Zeze, Kion pun menjelaskan, "aku membeli yang baru, tenang saja. Dan belum aku minum."
Namun bukan itu yang membuat Zeze membatu. Zeze masih tidak sanggup mempercayai bahwa sekarang Kion berada di sini, tepat di hadapannya.
Kion mulai terlihat kebingungan, "...atau kau ingin rasa lain? Minuman lain mungkin?"
Zeze menggigit bibir bawahnya kemudian menggeleng. Akhirnya ia pun menerima minuman itu.
"Apakah kau baik-baik saja?" Zeze bertanya setelah menyedot sedikit Chatime-nya.
Sepasang alis tebal Kion terangkat, "aku? Aku baik-baik saja."
Walau gadis itu terlihat santai, tapi Kion tahu dia sedang menuntut penjelasan darinya. Dan Kion paham, dirinya tidak akan bisa menghindar kali ini.
Ia sudah terlanjur masuk ke dalam air, jadi sekalian saja tenggelam.
"Sepertinya banyak sekali hal yang ingin kau tanyakan." Kion sedikit memiringkan kepalanya, menilai ekspresi wajah Zeze.
Saat Kion mengatakan hal itu, ekspresi Zeze sedikit berubah. Dan Kion tahu arti dari ekspresi tersebut. Sebuah ekspresi yang menuangkan sebuah balasan berbunyi, 'memang'.
Kion menahan senyum. "Kalau begitu, bagaimana jika kita berbicara sambil makan malam? Kau belum makan kan?" Tawarnya, seakan-akan tak pernah terjadi apa pun sebelumnya.
Jika Kion menganggap ini kencan pertamanya, itu tidak sepenuhnya benar. Dulu saat berumur sekitar 15 tahun, Earl Swarovske sengaja meninggalkan Kion dengan putrinya berduaan di sebuah restoran privat. Meskipun ia sama sekali tidak pernah menganggapnya. Bahkan ia tidak pernah membalas kata-kata gadis itu.
Tanpa membiarkan Zeze menjawab, Kion langsung saja menyeberangi zebra cross. Untungnya ia telah memikirkan rute pelarian mereka matang-matang sehingga Zeze berhenti tepat di seberang sebuah restoran. Walaupun tidak terlihat terlalu mewah, tapi bagi ukuran orang-orang umum, restoran ini sangat pas untuk berkencan dengan pasangan.
Tapi tunggu, apakah Zeze adalah pasangannya? Kion langsung tersenyum masam.
'Tidak perlu berharap lebih,' Kion berulang kali mengingatkan dirinya.
Ketika masuk, Kion mengambil duduk di bilik paling pojok, di sudut ruangan lantai dua. Ia membuka pintu kecil bilik tersebut dan duduk berhadapan dengan Zeze di sebuah single chair empuk berwarna putih.
Pelayan yang membawa buku menu langsung menghampiri mereka. Gadis itu terlihat salah tingkah karena kehadiran Kion. Kion memesan Fusilli dan satu cola tanpa mengindahkan pelayan tersebut. Ketika Zeze ditanya, ia hanya menjawab hal yang sama seperti yang Kion pesan.
Mendengar hal itu, Kion menyamarkan senyumnya.
Sembari menunggu pesanan mereka tiba, Zeze memakan Zuccotto yang telah tersuguh di atas meja. Ia mengunyah dalam diam, menghindari mata Kion.
Sementara Kion sendiri, ia memandangi jemari lentik Zeze yang terus-terusan mengambil potongan demi potongan Zuccotto.
"Jadi..." Zeze memulai, membuat Kion mengangkat matanya. "Siapa mereka?"
Kion terlihat menimbang sebelum menjawab. "Apakah kau akan percaya jika aku bilang mereka adalah pengawalku?"
Zeze menipiskan bibirnya, "kurasa iya." Kehidupan di istana tidak semenyenangkan yang orang kira. Penuh persaingan dan politik kotor. "Tapi... entah mengapa aku merasa mereka bukanlah pengawalmu yang biasanya."
Kion terkekeh pelan dengan mata terkunci. "Kau benar. Mereka... bagaimana aku menjelaskannya ya?" Kion membuka matanya dengan sepasang alis yang bertaut. "Semacam pengawas. Ya, pengawas."
Zeze menopang dagunya dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya memegang potongan Zuccotto.
"Mereka semua selalu mencari-cari kesempatan agar bisa membunuhku. Tadi itu... aku kurang hati-hati saat keluar rumah sehingga pergerakanku terbaca oleh mereka."
"Apakah yang kemarin itu juga ulah mereka?"
"Tidak, mereka dari pihak lain."
Mata Zeze menyipit, "lalu, kelima orang tadi dari pihak mana?"
Karena Kion tidak kunjung menjawab, Zeze mengambil kesimpulan sepihak. "Dewan?" Kion masih enggan menjawab, sehingga Zeze mengangguk mantap dan berkata, "dewan." Rasanya tidak mungkin kubu kanan menyerang secara terang-terangan. Berarti ada pihak ketiga di antara mereka, yaitu para bangsawan.
"Apa yang terjadi dengan mereka? Jika dewan tahu bahwa kau yang melakukannya, mereka akan tambah mencari cara untuk menyingkirkanmu." Mata biru Zeze berubah curiga, "dimana mereka berlima sekarang?"
"Di atas." Kion menjawab datar.
Sebelah alis Zeze terangkat, "mati?"
Kion terkekeh pelan mendengarnya, "tidak, mereka benar-benar di atas. Jika kau mau, kau bisa melihat mereka dari sini." Kion melirik jendela di samping kirinya.
Zeze menghela napas, "tidak, terima kasih." Meski sebenarnya, ia masih bingung dengan pernyataan Kion barusan. Maksud dari 'atas' itu adalah benar dari definisi sesungguhnya atau hanyalah sebuah majas?
"Tapi kurasa kau benar. Aku harus segera menyingkirkan mereka," Kion bergumam.
Sayangnya Zeze tidak mendengarnya karena Kion berbicara begitu lirih.
"Well, tentang yang kemarin itu?" Zeze kembali menyinggung.
"Permisi."
Mereka berdua menoleh ke arah seorang pelayan laki-laki yang berdiri di balik pintu bilik. Ia mendorong pintu yang hanya sebatas pinggang tersebut lalu menyajikan pesanan mereka di atas meja.
Saat membayar tagihan, Kion menyelipkan tip yang melebihi harga kedua makanan ini, sehingga pelayan itu pun terlihat sangat berterima kasih kepadanya.
Biarlah untuk kali ini saja. Kion sedang dalam mood yang baik karena tengah merasakan kencan tak resminya ini.
Selain itu, Kion tidak tahan melihat pelayan itu terus-terusan mencuri pandang ke arah Zeze. Jika bisa menggeram, mungkin ia sudah menggeram sejak tadi. Meskipun ia tahu, hal itu bukanlah salah pelayan tersebut. Mata manusia tidak akan pernah bisa berbohong ketika melihat kecantikan bagai dewi Aphrodite di hadapannya ini.
Tapi di saat yang sama, mereka terlalu naif. Bagaimana bisa mereka menyukai sesuatu yang fana?
Gadis ini terlalu berharga untuk dicintai hanya berdasarkan parasnya saja. Bahkan Kion pikir, itu bukanlah cinta. Itu hanyalah nafsu semata.
"Jadi?" Zeze kembali menuntut. Sejak tadi, mata birunya tak sedikit pun melepaskan wajah Kion yang terlihat sangat rumit.
Kion berdeham dan memperbaiki air mukanya.
"Habiskan dulu makananmu, baru aku jawab."
Kamar, gudang, laci bupet ruang tamu, semuanya ia geledah. Tapi nihil, kunci tersebut bagaikan ditelan bumi.
"Sebenarnya apa yang kau lakukan?" Tanya Juni keheranan. Sejak tadi ia duduk di sofa, memperhatikan Zeze yang tengah berjongkok sembari mengaduk-aduk laci meja ruang tamu. Sementara gadis itu masih memakai kaus dan jaket denimnya, Juni telah siap dengan A-line dress berwarna ungu gelapnya dipadu dengan celana legging berwarna hitam.
"Kunci... aku mencari kunci Porsche oranyeku," gumam Zeze, frustrasi.
Juni mengerutkan kening, "kenapa di sini?"
"Aku biasa tidur di sini. Aduh, sebenarnya ada di mana sih!?" Zeze mengacak-acak rambutnya.
"Ze, Porsche itu mobil lama dari abad ke-21, gantilah dengan yang baru," celetuk Airo yang duduk di sebelah kanan Juni. Laki-laki itu mengenakan hoodie bergambar senapan dengan bawahan celana jeans berwarna biru tua.
Zeze menghentikan tangannya sejenak, "justru itu! Karena mobil itu antik aku tidak akan melepaskannya begitu saja. Mobil itu pernah menjadi kebanggaan pada masanya, dan para kolektor lain rela menghabiskan setengah kekayaan mereka untuk mendapatkannya. Dan masalahnya, bukan hanya uang yang kukeluarkan untuk mendapatkannya, tapi juga nyawa!"
"Hah?" Juni terperangah.
"Kau tidak akan tahu betapa susahnya aku mendapatkannya. Oh ayolah, dimana kunci itu!?" Zeze kembali mengaduk-aduk laci meja itu. Ia tidak akan tenang jika tidak menemukannya sekarang juga.
Tak lama kemudian, datanglah Rhea yang mengenakan blus berwarna biru muda. "Ayo, sudah siapkan? Driko dan yang lainnya telah menunggu di mobil."
Mata cokelatnya bergeser ke arah Zeze yang terlihat uring-uringan. "Sedang apa kau, Ze?"
"Kunci Porsche-nya hilang." Jawaban Airo terdengar seperti mencibir.
Alis Rhea bertaut, "Porsche? Apa Porsche yang berwarna oranye itu?"
Zeze mendongak dengan cepat ke arahnya, "kau tahu!?"
Rhea mengangguk, namun rautnya terlihat bingung. "Bukannya kau telah memberikannya kepada Zafth?"
"Apa? Aku tidak pernah memberikannya," bantah Zeze tak kalah bingung.
"Tapi waktu itu Zafth bilang kalau kau mengizinkannya membawanya, jadi—"
"Si Sialan itu." Zeze tersenyum sengit dengan mata mendingin.
"Kak, kalian duluan saja. Malam ini juga, aku harus mendapatkan Porsche-ku kembali," tandas Zeze, bangkit berdiri menuju kamarnya.
Satu jam telah terlewat. Mungkin Rhea dan yang lainnya telah sampai di Herfamoni. Namun Zeze masih saja berkutat di ponselnya, mendial nomor Zafthkail berkali-kali.
Tak ada satu pun panggilannya yang diangkat. Jika satu kali saja Zafth mengangkatnya, Zeze bisa meminta tolong Zero untuk melacak nomornya. Tapi sepertinya laki-laki menyebalkan itu telah mengganti nomornya.
Zeze membanting ponselnya ke kasur. Ponsel itu memantul beberapa kali sebelum akhirnya berhenti. Suasana hatinya benar-benar buruk kali ini.
Di tengah kekesalannya itu, tiba-tiba terdengar bunyi engsel pintu yang perlahan-lahan terbuka. Zeze melihat sekeliling. Itu bukanlah pintu kamarnya, maka tak salah lagi suara itu datang dari kamar di sebelahnya.
Zeze mengintip dari balik pintu. Nihil, tidak ada siapa-siapa. Kemudian ia berjalan ke arah pintu balkon yang terbuka. Dan matanya dibuat melebar ketika melihat seorang laki-laki berambut cokelat gelap, keluar dari dalam kamar samping dan berdiri diam di balkon.
Laki-laki itu mengenakan masker dan hoodie tanpa retsleting berwarna hitam, dipadu dengan ripped jeans berwarna senada. Hoodie itu adalah hoodie yang pernah dipakai Kion.
Dan dari postur tubuhnya, tidak salah lagi itu adalah dia.
Agar dapat mengintip tanpa ketahuan, Zeze beringsut mundur lalu menempelkan punggungnya pada pintu dengan kepala yang terjulur ke belakang. Dulu ia sempat mempelajari beberapa teknik membunuh seperti cara menekan keberadaan dari para assassin seperti Obi dan Juni. Hitung-hitung mempermudah langkahnya sebagai seeker.
Zeze lupa bahwa sejak satu bulan yang lalu, kamar mereka berdua bersebelahan. Atau lebih tepatnya, kamarnya-lah yang dipindahkan di sebelah kamar laki-laki itu. Siapa lagi kalau bukan karena ulah Madam Thoryvos.
Pemandangan ini seperti mengingatkannya akan suatu hal. Dan entah mengapa ia langsung menghubungkannya dengan kejadian di perpustakaan. Zeze mundur, masuk sepenuhnya ke dalam kamar dan berjalan mondar-mandir di depan kasur untuk berpikir.
Jika dipikir-pikir, Kion tidak menuliskan namanya di buku harian, tetapi dia bilang kalau dia masuk seperti biasanya lewat pintu depan.
Zeze bisa lolos karena waktu itu ia mengendap-endap, masuk bersamaan dengan salah satu siswi berbadan besar yang membuat dirinya tidak terlihat oleh penjaga perpustakaan.
Dan juga, jika diingat-ingat, jendela di hadapan Kion terbuka lebar, sementara jendela yang lainnya tertutup rapat. Apakah mungkin seseorang membuka jendela di musim dingin seperti itu?
Dan bila memang Kion yang membukanya, namun kenapa waktu itu dia berniat bangkit untuk menutupnya? Lalu, untuk apa laki-laki itu duduk di depan jendela yang terbuka jika dia tidak menyukai udara dingin?
Tidak beres. Ada yang tidak beres.
Ketika Zeze kembali mengintip, Kion telah lenyap. Zeze keluar dan melompat ke arah balkon Kion. Kosong. Di kamarnya pun Kion tidak ada.
Jadi benar, Kion mengendap-endap. Pantas saja jendela perpustakaan waktu itu terbuka. Kion masuk lewat situ!
Tak salah lagi, Kion lupa menutupnya karena ketiduran. Dan ketika Zeze muncul, dia mencoba menutupnya karena khawatir Zeze akan kedinginan. Sudah ia duga, instingnya tidak mungkin salah.
Namun, kenapa Kion berbohong? Terlebih lagi, kenapa dia mengendap-endap? Mungkinkah karena dia tidak ingin diikuti pengawalnya? Ataukah....
Sial, Zeze berpikir terlalu lama sampai lupa perihal Porsche tadi. Frustrasi, Zeze menggigit bibir bawahnya. Matanya menyorot ke depan, ke arah pepohonan yang mengelilingi tembok besar istana dengan sorot aneh yang rumit.
Urusan Porsche itu bisa nanti. Sekarang ia harus mengungkap Tuan Misterius itu dulu. Orang yang selalu membuatnya—atau bahkan mungkin para pembaca—penasaran.
Apakah instingnya juga akan berlaku terhadap Sang Pangeran?
========
Telah lewat setengah jam Zeze berputar-putar di gang sempit dan gelap ini. Sebelumnya, tak salah lagi ia melihat sosok berhoodie hitam itu masuk lewat sini. Namun, boom! Ketika ia mengejarnya, tidak ada sama sekali bekas keberadaannya.
Padahal Zeze telah merambatkan aura ke tanah dan dinding-dinding bangunan di sekitarnya.
Hawa keberadaannya benar-benar lenyap, seperti ditelan bumi. Zeze mengenal orang yang sangat hebat dalam hal bersembunyi seperti ini, yaitu Rajanya.
Dengan napas ngos-ngosan, Zeze keluar dari balik gang menuju jalan raya. Di seberangnya, terdapat penjual Chatime. Kebetulan sekali ia sedang kehausan. Zeze pun menyeberang dan memesan Chatime rasa karamel.
Semenjak kejadian satu tahun yang lalu, staminanya menjadi cepat sekali terkuras habis. Ia jadi mudah lelah, karena itulah sekarang aktivitas yang menguras waktu tidak cocok lagi dengannya. Saat bertarung, ia lebih memilih langsung menghabisi mangsanya tanpa bertele-tele menyiksa mereka terlebih dahulu seperti apa yang Juni lakukan.
Sembari menunggu minumannya, Zeze memandang papan iklan besar di sebuah gedung yang menampilkan wajah seorang gadis remaja cantik berambut cokelat. Gadis itu tersenyum bahagia, seakan tak pernah ada beban di dalam hidupnya. Sepasang mata hazelnya memancarkan kasih sayang yang begitu besar kepada dunia yang dilihatnya.
Tapi ironisnya, di bawahnya terpajang tulisan 'Rest In Peace' yang begitu menyesakkan.
"Oh, sekarang hari memperingati tujuh tahun meninggalnya Putri Sageta ya?" Zeze mendengar seseorang di sampingnya berbicara.
"Semoga beliau diberkati," kata yang lainnya.
"Putri Sageta... Yang Mulia Ratu... Ternyata benar, orang-orang baik selalu pergi lebih cepat." Orang itu mendesah kecewa. "Putri Thalasa memang iblis! Seharusnya dia dihukum mati!"
Zeze bersyukur ternyata Sageta disenangi banyak orang. Walaupun tidak mengherankan mengingat betapa baiknya gadis itu. Bahkan Zeze berani mengatakan bahwa Sageta adalah manusia terbaik di dunia ini.
Sayangnya orang-orang ini tidak tahu, bahwa putri baik hati mereka telah bergabung dengan organisasi yang paling dibenci di dunia.
Benar, orang itu—orang yang telah mengacaukan masa depan Sageta—berhak mati. Walau sebenarnya Sageta bukan mati di tangannya, tapi mulai dari orang itulah masa depan Sageta hancur.
Seharusnya Sageta masih tersenyum sampai sekarang. Seharusnya Sageta yang baik hati itu tidak bergabung dengan orang-orang jahat sepertinya. Tidak seharusnya dia mati dikenang sebagai bagian dari Énkavma. Tidak seharusnya dia mati karena diburu sebagai seorang penjahat.
Jika bukan karena orang itu...
Setelah Chatime itu berada di genggamannya, Zeze kembali menyeberang. Ia memilih kembali ke rumah sembari menyisir gang-gang sempit, dengan pikiran; siapa tahu ia dapat menemukan Kion.
Tahu-tahu, terdengar suara kaleng terjatuh. Tidak, lebih tepatnya tong sampah! Zeze makin mempercepat langkahnya lalu menengok ke arah belokan gang di sebelah kanannya.
Matanya dibuat terbelalak ketika melihat enam orang laki-laki berlari dengan sangat cepat ke arahnya. Tidak, ini lebih terlihat seperti lima orang mengejar satu orang yang paling depan!
Sepasang mata milik orang yang lari paling depan juga ikut terbelalak ketika melihat Zeze. Sekejap kemudian, sorot matanya meruncing. Orang itu makin mempercepat larinya, namun kali ini seakan hendak menghampiri Zeze.
Harusnya Zeze menyingkir sekarang juga. Namun entah mengapa ia tidak bisa bergerak. Ia tidak bisa berpaling dari kejadian yang sama sekali tidak pernah dibayangkannya saat ini. Zeze kenal perasaan ini. Ini adalah sebongkah perasaan yang biasa ia alami ketika baru saja menemukan barang antik nan langka yang sama sekali belum pernah ia lihat sebelumnya.
Zeze meninggalkan lamunannya ketika tangan kanan orang itu menarik paksa tangan kirinya. Dia membawanya berlari, begitu cepat sampai-sampai membuat Zeze kesulitan mengimbangi langkahnya.
Chatime yang tadi dipegang tangan kanannya pun terpaksa Zeze jatuhkan begitu saja, sehingga membuat satu orang yang mengejar mereka terpeleset dan jatuh.
Zeze mendengar orang di depannya ini terkekeh kecil. "Kerja yang bagus." Suaranya agak teredam karena masker yang membalut mulutnya.
Akal sehatnya menyuruhnya untuk menyentak paksa tangan itu dan berbalik pergi. Namun tidak bisa. Ini benar-benar perasaan yang sulit dijelaskan. Kabel yang menyambungkan otak dan hatinya terasa seperti terputus begitu saja.
Mata birunya bahkan tak sanggup sedikit saja berpaling dari punggung tegap itu. Entah apa yang terjadi, tapi Zeze yang tadinya merasa kelelahan, menjadi semangat kembali.
Walau peluh membasahi pelipisnya. Walau lelah menyendat napasnya, senyum Zeze justru merekah. Sudah lama sekali ia tidak merasa sehidup ini. Sudah lama sekali ia tidak merasakan adrenalin berpacu di setiap nadinya. Sudah lama sekali ia tidak menikmati sebuah pelarian.
"Berhenti, brengsek!"
Senyumnya kandas ketika ia mendengar orang-orang di belakangnya membentak kasar. Suara itu membuatnya tersadar bahwa sekarang ia sedang berada dalam bahaya.
Zeze menengok ke belakang. Tersisa empat orang. Yang satunya lagi pasti telah tertinggal di belakang karena Chatime barusan.
Entah ke mana orang di depannya ini akan membawanya. Orang ini sama sekali tidak ingin pergi ke jalan raya. Mereka berdua hanya melarikan diri di gang-gang sempit yang terlihat bagaikan labirin ini.
Jika itu Zeze, ia hanya akan membawa serta orang-orang idiot ini ke jalan raya. Dengan begitu, keramaian bisa membantu mereka berdua menyaru.
Tapi sepertinya ada hal lain yang tengah dipikirkan orang di depannya ini. Dia tidak ingin membuat kekacauan. Jika saja orang ini membawa Zeze ke jalanan, pasti akan ada pihak yang ikut terenggut dalam bahaya, atau mungkin mengalami kecelakaan karena ulah mereka.
Tangan Zeze semakin ditarik, hingga kini gantian dirinyalah yang memimpin di depan, sementara orang itu berada di belakangnya.
"Duluan." Dia berkata singkat. matanya menusuk, terlihat sangat otoriter dan berwibawa, menyiratkan tidak menerima sedikit pun bantahan.
Entah mengapa Zeze merasa orang ini mirip Zero. Jiwa kepemimpinannya sangat kuat. Dan karena itulah Zeze tidak sanggup mengabaikannya.
Zero, Glen dan dia, adalah orang-orang yang sama sekali tidak dapat Zeze tolak maupun tebak. Zeze sempat merasa gagal sebagai seeker ketika sedang bersama dengan ketiga orang itu.
Tapi ia mencoba tabah karena pasti selalu ada sebuah pengecualian dari sebuah kelebihan. Jangan merasa tertekan jika tidak dapat melakukan suatu hal dengan benar, karena setiap orang pasti memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing.
Entah sudah sejauh apa Zeze berlari, ia tidak dapat memperkirakan. Yang terulang-ulang di otaknya hanyalah sebuah perintah yang menyuruhnya untuk berlari duluan. Padahal fisiknya tak sekuat dulu, tapi ia tetap melaksanakan apa yang orang itu suruh.
Zeze tiba di ujung gang. Jalan raya penuh kendaraan langsung menyambutnya. Ia bimbang, haruskah ia terus berlari... atau bagaimana? Masalahnya, napasnya sudah sangat ngos-ngosan.
Tiba-tiba, wajahnya berubah terperangah seperti orang tolol. Tujuannya ke sini adalah untuk menyelidiki tunangannya itu, dan sekarang tanpa sadar ia telah membiarkan tujuannya pergi begitu saja!
Zeze menepuk dahinya lalu menggerutu panjang lebar.
Tidak bisakah hanya Glen yang selalu membuatnya kehilangan akal sehat? Dan sekarang tambah satu lagi, yaitu Si Tuan Misterius ini.
"Lelah?"
Zeze terperanjat. Perlahan-lahan, ia menoleh ke belakang dan melihat orang itu muncul dari gelapnya gang dengan segelas Chatime di tangan kanannya. Dia menurunkan maskernya sampai ke dagu. Wajahnya yang bagaikan lukisan dewa itu kini sepenuhnya terlihat di bawah sinar lampu jalan.
Tanpa Zeze sangka, tujuannya kembali lagi kepadanya.
Kion menyerahkan chatime itu kepada Zeze. Namun Zeze hanya memandangi mata hazelnya tanpa berniat menyambut minuman tersebut.
Melihat sikap aneh Zeze, Kion pun menjelaskan, "aku membeli yang baru, tenang saja. Dan belum aku minum."
Namun bukan itu yang membuat Zeze membatu. Zeze masih tidak sanggup mempercayai bahwa sekarang Kion berada di sini, tepat di hadapannya.
Kion mulai terlihat kebingungan, "...atau kau ingin rasa lain? Minuman lain mungkin?"
Zeze menggigit bibir bawahnya kemudian menggeleng. Akhirnya ia pun menerima minuman itu.
"Apakah kau baik-baik saja?" Zeze bertanya setelah menyedot sedikit Chatime-nya.
Sepasang alis tebal Kion terangkat, "aku? Aku baik-baik saja."
Walau gadis itu terlihat santai, tapi Kion tahu dia sedang menuntut penjelasan darinya. Dan Kion paham, dirinya tidak akan bisa menghindar kali ini.
Ia sudah terlanjur masuk ke dalam air, jadi sekalian saja tenggelam.
"Sepertinya banyak sekali hal yang ingin kau tanyakan." Kion sedikit memiringkan kepalanya, menilai ekspresi wajah Zeze.
Saat Kion mengatakan hal itu, ekspresi Zeze sedikit berubah. Dan Kion tahu arti dari ekspresi tersebut. Sebuah ekspresi yang menuangkan sebuah balasan berbunyi, 'memang'.
Kion menahan senyum. "Kalau begitu, bagaimana jika kita berbicara sambil makan malam? Kau belum makan kan?" Tawarnya, seakan-akan tak pernah terjadi apa pun sebelumnya.
Jika Kion menganggap ini kencan pertamanya, itu tidak sepenuhnya benar. Dulu saat berumur sekitar 15 tahun, Earl Swarovske sengaja meninggalkan Kion dengan putrinya berduaan di sebuah restoran privat. Meskipun ia sama sekali tidak pernah menganggapnya. Bahkan ia tidak pernah membalas kata-kata gadis itu.
Tanpa membiarkan Zeze menjawab, Kion langsung saja menyeberangi zebra cross. Untungnya ia telah memikirkan rute pelarian mereka matang-matang sehingga Zeze berhenti tepat di seberang sebuah restoran. Walaupun tidak terlihat terlalu mewah, tapi bagi ukuran orang-orang umum, restoran ini sangat pas untuk berkencan dengan pasangan.
Tapi tunggu, apakah Zeze adalah pasangannya? Kion langsung tersenyum masam.
'Tidak perlu berharap lebih,' Kion berulang kali mengingatkan dirinya.
Ketika masuk, Kion mengambil duduk di bilik paling pojok, di sudut ruangan lantai dua. Ia membuka pintu kecil bilik tersebut dan duduk berhadapan dengan Zeze di sebuah single chair empuk berwarna putih.
Pelayan yang membawa buku menu langsung menghampiri mereka. Gadis itu terlihat salah tingkah karena kehadiran Kion. Kion memesan Fusilli dan satu cola tanpa mengindahkan pelayan tersebut. Ketika Zeze ditanya, ia hanya menjawab hal yang sama seperti yang Kion pesan.
Mendengar hal itu, Kion menyamarkan senyumnya.
Sembari menunggu pesanan mereka tiba, Zeze memakan Zuccotto yang telah tersuguh di atas meja. Ia mengunyah dalam diam, menghindari mata Kion.
Sementara Kion sendiri, ia memandangi jemari lentik Zeze yang terus-terusan mengambil potongan demi potongan Zuccotto.
"Jadi..." Zeze memulai, membuat Kion mengangkat matanya. "Siapa mereka?"
Kion terlihat menimbang sebelum menjawab. "Apakah kau akan percaya jika aku bilang mereka adalah pengawalku?"
Zeze menipiskan bibirnya, "kurasa iya." Kehidupan di istana tidak semenyenangkan yang orang kira. Penuh persaingan dan politik kotor. "Tapi... entah mengapa aku merasa mereka bukanlah pengawalmu yang biasanya."
Kion terkekeh pelan dengan mata terkunci. "Kau benar. Mereka... bagaimana aku menjelaskannya ya?" Kion membuka matanya dengan sepasang alis yang bertaut. "Semacam pengawas. Ya, pengawas."
Zeze menopang dagunya dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya memegang potongan Zuccotto.
"Mereka semua selalu mencari-cari kesempatan agar bisa membunuhku. Tadi itu... aku kurang hati-hati saat keluar rumah sehingga pergerakanku terbaca oleh mereka."
"Apakah yang kemarin itu juga ulah mereka?"
"Tidak, mereka dari pihak lain."
Mata Zeze menyipit, "lalu, kelima orang tadi dari pihak mana?"
Karena Kion tidak kunjung menjawab, Zeze mengambil kesimpulan sepihak. "Dewan?" Kion masih enggan menjawab, sehingga Zeze mengangguk mantap dan berkata, "dewan." Rasanya tidak mungkin kubu kanan menyerang secara terang-terangan. Berarti ada pihak ketiga di antara mereka, yaitu para bangsawan.
"Apa yang terjadi dengan mereka? Jika dewan tahu bahwa kau yang melakukannya, mereka akan tambah mencari cara untuk menyingkirkanmu." Mata biru Zeze berubah curiga, "dimana mereka berlima sekarang?"
"Di atas." Kion menjawab datar.
Sebelah alis Zeze terangkat, "mati?"
Kion terkekeh pelan mendengarnya, "tidak, mereka benar-benar di atas. Jika kau mau, kau bisa melihat mereka dari sini." Kion melirik jendela di samping kirinya.
Zeze menghela napas, "tidak, terima kasih." Meski sebenarnya, ia masih bingung dengan pernyataan Kion barusan. Maksud dari 'atas' itu adalah benar dari definisi sesungguhnya atau hanyalah sebuah majas?
"Tapi kurasa kau benar. Aku harus segera menyingkirkan mereka," Kion bergumam.
Sayangnya Zeze tidak mendengarnya karena Kion berbicara begitu lirih.
"Well, tentang yang kemarin itu?" Zeze kembali menyinggung.
"Permisi."
Mereka berdua menoleh ke arah seorang pelayan laki-laki yang berdiri di balik pintu bilik. Ia mendorong pintu yang hanya sebatas pinggang tersebut lalu menyajikan pesanan mereka di atas meja.
Saat membayar tagihan, Kion menyelipkan tip yang melebihi harga kedua makanan ini, sehingga pelayan itu pun terlihat sangat berterima kasih kepadanya.
Biarlah untuk kali ini saja. Kion sedang dalam mood yang baik karena tengah merasakan kencan tak resminya ini.
Selain itu, Kion tidak tahan melihat pelayan itu terus-terusan mencuri pandang ke arah Zeze. Jika bisa menggeram, mungkin ia sudah menggeram sejak tadi. Meskipun ia tahu, hal itu bukanlah salah pelayan tersebut. Mata manusia tidak akan pernah bisa berbohong ketika melihat kecantikan bagai dewi Aphrodite di hadapannya ini.
Tapi di saat yang sama, mereka terlalu naif. Bagaimana bisa mereka menyukai sesuatu yang fana?
Gadis ini terlalu berharga untuk dicintai hanya berdasarkan parasnya saja. Bahkan Kion pikir, itu bukanlah cinta. Itu hanyalah nafsu semata.
"Jadi?" Zeze kembali menuntut. Sejak tadi, mata birunya tak sedikit pun melepaskan wajah Kion yang terlihat sangat rumit.
Kion berdeham dan memperbaiki air mukanya.
"Habiskan dulu makananmu, baru aku jawab."