54 MYSTERIOUS

Zeze mungkin tidak akan pernah percaya pada apa yang tengah dilihatnya kali ini, di sini, di malam yang gelap ini, di jalanan Perumahan Negara dekat istananya

Ia berulang kali mengusap-usap mata lalu mencubit pipinya sendiri untuk menyadarkan bahwa yang ia lihat di hadapannya ini benar nyata.

"Kakak?" Zeze bertanya dengan hati-hati kepada tubuh lelaki yang tengah terduduk di aspal bersandarkan pagar depan salah satu rumah tua yang menyeramkan.

Perasaan gelisah langsung membengkak di benaknya ketika mengingat kejadian pembunuhan dua bulan lalu.

'Jangan-jangan dia juga....'

Zeze menghampiri lelaki itu. Dan benar, matanya tidak salah lihat, itu adalah tunangannya. Kion mengenakan hoodie hitam berlengan panjang tanpa retsleting yang dipadu dengan ripped jeans berwarna biru yang terlihat agak pudar. Melihat pakaiannya yang acak-acakan begini saja, Zeze sudah mengernyit. Bagaimana mungkin seorang Pangeran memakai pakaian dengan model seperti ini?

Zeze berjongkok di samping kirinya untuk mengecek nadi di lehernya. Masih terasa. Zeze menghembuskan napas lega. Kemudian, pikirannya mulai melayang-layang lagi.

Sedang apa dia di sini? Mengapa dia bisa berada di sini? Bagaimana dia bisa pergi dari para pengawalnya? Dan apa yang terjadi padanya? Semuanya menyerbu masuk tanpa satu pun jawaban.

Awalnya, Zeze berniat pergi ke kediaman Duke Arthares untuk berdiskusi dengan Kai, namun ia malah bertemu Kion yang tak sadarkan diri di sini.

'Apa aku telepon Saga saja?' Pikirnya. Tapi ia langsung menendang jauh-jauh pikiran itu. Tekad untuk menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang menginvasi kepalanya begitu kuat.

"Kak?"

Tiada jawaban, Zeze mulai menggoyang-goyangkan pundak Kion.

"Kion!" Nadanya meninggi.

Mendengus pasrah, Zeze memutuskan untuk membawanya menggunakan taksi online.

Setelah taksi datang, Zeze meminta tolong sopirnya untuk membawa Kion masuk ke mobil. Perjalanan tak berlangsung lama, hanya sekitar 15 menit. Dan selama itu, Zeze telah menjejalkan obat yang didapatnya dari Rhea ke mulut Kion untuk membuatnya cepat sadar.

Namun nyatanya reaksi obat itu cukup lama. Zeze mendesah pasrah di dalam mobil. Berarti tidak ada pilihan lain lagi.

Setelah turun dari taksi, Zeze terbang ke balkon kamarnya dengan membawa Kion di dalam dekapannya. Ia langsung menghempaskan tubuh Kion di atas kasur, sedikit terengah-engah karena ternyata Kion lumayan berat. Selanjutnya, ia mengikat rambut platinumnya menjadi satu. Bulir-bulir keringat terlihat menggenang di sekitar leher putihnya.

Kejadian ini seperti mengingatkannya sewaktu Kion menyelamatkannya dulu. Well, hitung-hitung membalas budi.

Karena tidak menemukan tanda-tanda luka di tempat lain, Zeze memutuskan menyingkap hoodie Kion untuk mengecek keadaan perutnya. Aroma maskulin langsung menyeruak, merasuki indra penciumannya. Zeze meneguk ludah. Namun sedetik kemudian, ia segera menggeleng.

Sebenarnya ada apa dengannya? Ia sama sekali tidak pernah mempersalahkan ini semua di dekat teman-temannya yang kebanyakan adalah laki-laki. Namun mengapa setiap berada di dekat Kion selalu membuatnya salah tingkah?

Ternyata masih terdapat satu lapisan pakaian lagi, yaitu kaus berwarna hitam. Zeze mulai mencomot ujung bawah kaus tersebut dengan telunjuk dan jempolnya supaya kali ini ia dapat benar-benar melihat perutnya.

Dan wow! Juni pasti akan langsung menjerit-jerit jika melihat ini. Tubuh Kion sangat luar biasa atletis. Padahal Zeze tidak pernah melihatnya olahraga. Atau mungkin, Kion olahraga tetapi tidak pernah dilihat orang lain?

Tidak, tidak, bukan saatnya memikirkan hal itu! Yang jadi permasalahan adalah, perut itu mencetak warna biru yang mengerikan di tengah-tengahnya. Pasti Kion tak sadarkan diri karena ini. Well, Zeze akui, jika itu terjadi padanya, dirinya pasti juga akan bernasib sama seperti Kion.

Setelah mengoleskan obat pada perut Kion, Zeze terduduk di lantai, bersandar pada kaki depan ranjang. Tanpa sadar, ia ketiduran dengan dahi bertemu lutut.

Mimpinya kembali membawanya berkelana ke masa-masa kelamnya. Saat terakhir kali ia melihat Afrodi dan Sageta, saat terakhir kali ia mendengar suara Tera. Selalu seperti itu. Zeze sampai berpikir bahwa mimpinya ini rusak karena terus-terusan mengulang adegan yang sama.

Akhirnya, secercah cahaya menyusup masuk dan dengan nakal mengusik tidurnya. Membuka matanya, yang pertama kali Zeze lihat adalah pantulan dirinya sendiri, ikatan rambut semerawut dan kaus hitam yang lecek.

Zeze menghela napas. Ia lupa kalau langit-langit kamarnya adalah cermin besar. Waktu itu, ia meminta kepada Nana untuk memasangkan cermin di langit-langit kamarnya agar lebih mudah untuk mengatasi penyusup yang masuk.

Setelah mempelajari apa yang tengah terjadi, mata Zeze terbelalak lebar dan terduduk dengan tergesa-gesa. Ia melupakan Kion! Dan mengapa sekarang ia malah tertidur di kasur? Mengapa ia tidak merasakan seseorang telah memindahkannya?

Zeze mengedarkan pandangan. Tapi matanya sama sekali tidak menangkap kehadiran Kion.

"Di sini."

Suara berat itu menahan matanya. Ia mengecek ke bawah dan melihat Kion sedang duduk di tempat yang tadi malam didudukinya. Lutut kirinya terlipat dengan lengan bertengger di atasnya. Matanya menatap kosong ke depan, ke arah pintu balkon yang terbuka.

"Apa yang kau lakukan?" Dia bertanya dengan suara tak bernada.

Zeze mengerutkan alis. "Maksudmu?"

"Kenapa kau bisa membawaku ke sini? Bagaimana kau menemukanku?"

"Aku sedang berjalan... well, keluar rumah, dan aku menemukanmu tak sadarkan diri."

Hening mendominasi. Hanya sahutan kicauan burung-lah yang berani mendobrak senyapnya ruangan itu.

"Terima kasih," ucap Kion beberapa menit kemudian. Nadanya terdengar misterius.

Zeze mulai merasa tak enak hati. Ketika Kion menolongnya kala itu, bukannya mengucapkan terima kasih, ia malah bersikap tidak baik kepadanya.

"Tidak masalah. Dan... dan terima kasih juga... waktu itu," cicitnya. Zeze mulai merutuki dirinya sendiri karena bicara tidak jelas.

"Ya, sama-sama."

Kion bangkit menjulang dan Zeze menebak dia pasti akan pergi kali ini. Mungkin alasan dia tidak pergi dari tadi adalah karena menunggunya terbangun.

"Tunggu dulu."

Langkah Kion terpenggal di depan pintu. Ia menengok ke belakang dan melihat Zeze berjalan menghampirinya.

"Apa yang kau lakukan tadi malam sampai bisa seperti itu?"

Pertanyaan itu sulit untuk dijawabnya. Karena ia sadar, jika ia menjawabnya, maka seluruhnya akan terbongkar.

"Maaf, aku tidak bisa menjawabnya," tolaknya secara halus, sehalus tatapan dan nada dalam suaranya.

Mendengarnya, mata Zeze mengerjap cepat. Tapi Zeze tidak akan menyerah sebelum mendapatkan satu saja informasi yang dapat membungkam rasa penasaran ini. Ia terbiasa tahu segalanya. Dan jika ada satu hal yang mengganjalnya, kepala serta hatinya pasti akan terus merasa dihantui.

"Kau pergi mengendap-endap? Saga dan Froura tahu?"

Kion tidak langsung menjawab. Ia berbalik hingga posisi tubuhnya kini sepenuhnya menghadap Zeze.

"Aku ingin menanyakan hal itu juga kepadamu."

Sekakmat! Zeze keceplosan bicara. Ia lupa bahwa dirinya baru saja mengakui bahwa ia keluar mengendap-endap.

'Cih.'

"Oke, aku mengakuinya. Walaupun tidak setiap malam. Nah, sekarang giliranmu."

Bibir Kion tertarik di kedua sudutnya, mencetak secercah senyum yang amat sangat mempesona. Jika Luna berada di sini, gadis itu pasti akan langsung pingsan di tempat.

Tapi sayangnya, yang saat ini berada di hadapannya hanyalah Zeze yang tengah terpesona... tunggu dulu... apa? terpesona?

Senyum itu masih belum lenyap ketika Kion membuka bibirnya.

"Rahasia."

========

"Kau sebenarnya niat atau tidak!? Aku sudah berusaha keras menyingkirkan Silian, tapi sekarang kau malah terlihat malas-malasan seperti ini."

Zeze memijit pangkal hidungnya kemudian mendesah, "aku tidak yakin, Bi. Terlalu banyak yang menggangguku kali ini."

Obi memajukan duduknya, "ada apa?"

Zeze menggeleng. Kepalanya terkulai di atas tangannya yang terlipat di atas meja panjang perpustakaan.

Obi mendesah lalu kembali bersandar, "jadi begini, Ze. Ada beberapa petunjuk yang aku temukan. Pertama, seluruh CCTV di lantai tiga dan dua sama sekali tidak menyala pada waktu itu, karena itulah tak ada yang tertangkap. Kedua, mayat telah dipenuhi belatung walaupun baru meninggal sekitar 20 menit. Ketiga, tentang penyiar radio—"

"Itu dia, radio. Siapa yang bertugas saat itu?" Potong Zeze.

"Di daftarnya tertera nama Amartha J. Haedos."

"Haedos? Salah satu keluarga keturunan kerajaan?" Tanya Zeze, suaranya terdengar samar karena teredam tangan. Ternyata Putri Amartha yang ia dengar waktu itu berasal dari Keluarga Haedos.

"Ya. Tapi Amartha sama sekali tidak ada di ruang kontrol pada kejadian waktu itu."

"Tidak ada partnernya? Tidak mungkin sekali bertugas hanya sendirian."

"Tidak ada."

"Apa teorimu?" Tanya Zeze.

"Dia menyetel lagu lalu pergi membunuh Raven?" Kemudian Obi menggeleng, "tidak lupakan saja."

Zeze terkekeh, "naif sekali. Sedangkan Raven sudah mati sebelum musik itu diputar. Lebih masuk akal jika dia membunuh Raven lalu pergi ke ruang kontrol dan memutar musik agar orang-orang cukup lama menemukan mayatnya, setelah itu baru kabur."

"Makanya 'kan aku bilang lupakan. Itu hanya hipotesis asal."

"Berarti kau buruk dalam menyusun hipotesis. Belajar lagi, Bi. Kau tidak bisa terus menerus bergantung pada otot."

"Ya, aku tahu," gumam Obi. "Lalu apa teorimu?"

Zeze menegakkan tubuhnya, "ini aneh."

Obi mengerutkan kening, "apanya?"

"Kau tahu hal ini karena polisi menyelidiki Amartha?" Tanya Zeze, yang lebih terdengar seperti tebakan.

"Ya... dia diinterogasi kemarin."

"Kenapa polisi menginterogasi orang yang sama sekali tidak ada di TKP?"

Detik itu juga, pikiran Obi terasa seperti didobrak paksa. Matanya serta-merta melebar, merasakan beribu-ribu pencerahan melesak ke otaknya.

"Seseorang mencoba melimpahkan ini semua kepada Amartha," kata Zeze yakin.

"Insting?" Obi mengangkat sebelah alisnya.

"Tidak, kali ini 100% teori."

Obi memajukan duduknya. "Lalu?"

Mata Zeze menyapu ke segala arah. Hanya ada segelintir orang, sama seperti di hari-hari sebelumnya.

Kemudian ia berbisik, "aku sampai ingin muntah karena harus mendengarkan gosip anak perempuan untuk mendapatkan informasi. Mereka bilang, Amartha, Raven, dan Charty terlibat cinta segitiga. Tapi Raven lebih memilih Amartha. Dan sayangnya, Amartha hanya dijadikan sebagai 'pemuas' olehnya. Tentu saja Amartha patah hati."

Obi terkekeh kecil. Ini lucu. Zeze tidak pernah mendengarkan gosip sebelumnya. Dan cara dia bercerita begitu menggelikan karena harus berbisik-bisik segala. Dia seperti menirukan bagaimana cara para gadis bergosip.

"Tapi, Ze, bukankah itu berarti masuk akal kalau Amartha yang merancang plot pembunuhan Raven? Dia melakukan itu untuk membuatnya tutup mulut mengenai hubungan mereka, karena ini mempertaruhkan reputasinya sebagai putri kerajaan. Lagi pula, mana ada yang berani membunuh putra Viscount selain pihak-pihak yang memiliki pengaruh tinggi seperti keluarga kerajaan. Dan juga, sampai sekarang kepolisian belum bisa menangkap pelakunya, berarti memang ada 'kekuatan besar' di balik semua ini. Jadi apa yang benar?" Obi bertanya dengan sisa-sisa kegelian di suaranya. Ia juga kerap kali terlihat menahan tawa.

Zeze ikut menahan tawanya ketika menyadari apa yang Obi tertawakan. Mereka berdua malah seperti bergosip dibanding diskusi. Well, setidaknya ini semua bisa mengikis stresnya karena jawaban Kion tadi pagi.

"Dan juga, Ze, bukankah kau sebelumnya juga curiga dengan musik itu?"

"Itu karena aku berada di dekat TKP. Sedangkan polisi? Apakah kau yakin orang-orang yang ada pada saat itu akan bersaksi bahwa mereka mendengar musik aneh yang diputar dua kali? Tidak mungkin. Sebenarnya Bi, aku masih lebih yakin dengan instingku dibanding teori."

"Mengapa?"

"Teori itu terbatas. Teori diambil berdasarkan fakta-fakta yang sama sekali terbatas. Sementara insting itu bagai imajinasi, tidak ada batasnya."

"Dan kali ini, instingmu mengarah ke mana?"

'...Kion'

Zeze terbatuk, "itu dia masalahnya. Aku sama sekali tidak mempunyai petunjuk."

Sebenarnya Zeze ingin menjawab Kion, tapi ia langsung mengurungkan niatnya karena takut diamuk Obi. Ketika mendengar bahwa hal ini memiliki benang merah dengan salah satu keturunan kerajaan, ia langsung menaruh curiga pada Kion. Dia ada di sana saat kejadian berlangsung. Tidak mungkin jika dia tidak mengetahui apa-apa. Terlebih lagi, Raven mati hanya dalam waktu 5 menit! Zeze datang saat pembunuh itu baru saja menyelesaikan aksinya, itu artinya pembunuh itu masih ada di sana. Tapi Zeze tidak menemukan siapa pun kecuali Kion di deretan rak paling belakang. Zeze selalu percaya pada instingnya dan sekarang instingnya mengarah kepada tunangannya itu.

Zeze berasumsi mungkin saja Kion ingin menumpas satu per satu anggota kerajaan supaya dapat mencapai ambisinya. Mungkin saja Kion ingin mencoreng nama baik keluarga Haedos seperti apa yang Ingrid lakukan kepada Helen. Zeze ingat sekali semenjak kejadian itu menyebar, reputasi Helen dan juga keluarga Zilevo benar-benar tercoreng di mata masyarakat.

Tapi masalahnya, Keluarga Haedos adalah pengikut kubu kiri. Apakah Kion mencoba menenggelamkan sekutunya juga? Meski sebenarnya, hal itu mungkin saja terjadi. Dalam berpolitik, teman bisa saja menjadi lawan. Kehidupan di dalam istana memang benar-benar rumit.

Terlebih lagi, Kion cukup—bahkan sangat—cerdas. Untuk merancang skema serapi ini, Kion adalah kandidat terkuat. Dan Zeze benar-benar tidak mampu menebak isi pikiran tunangannya itu. Dia terlalu misterius. Terlalu banyak rahasia.

Mereka berdua kembali merenung. Masih ada satu tempat lagi yang belum mereka kunjungi, toilet pria. Dan Zeze segera menggeleng pada ide itu.

"Ze, kita berdua tahu kita memikirkan hal yang sama." Obi menyeringai penuh arti ketika melihat penolakan di wajah Zeze.

"Silakan." Zeze tersenyum sengit.

Mereka pergi keluar perpustakaan untuk menuju ke dalam toilet pria, walau sebenarnya hanya Obi yang masuk. Namun ketika ia masuk ke dalam, seseorang yang sama sekali tidak ingin ditemuinya malah berada di hadapannya.

Sepasang mata Obi menghunus orang itu dengan tatapan tajamnya. Tapi Obi buru-buru teringat misinya dan mulai fokus mengamati isi ruangan ini.

"Jika kau mencari sesuatu, sudah terlambat. Benda itu telah ada padaku."

Langkahnya terpenggal, tapi Obi tidak menoleh ke belakang. Dadanya kembang kempis karena mendengar suara itu, suara yang dibencinya.

"Kalau kau mau, aku bisa memberitahuka—"

"Tidak perlu," sergah Obi. "Urus urusanmu sendiri. Dan jangan menawarkan itu pada Zeze."

Orang itu menunduk dengan ekspresi rumit, "itu... itu sebuah anting," gumamnya, lalu cepat-cepat melangkah keluar.

Sementara itu, Zeze bersandar pada dinding samping kiri pintu toilet sembari mengetuk-ngetukkan sepatunya ke lantai, menunggu Obi yang lama sekali di dalam.

Beberapa menit kemudian, ia mendengar suara langkah kaki dari dalam. Ia hendak menyapa, namun ternyata, orang itu bukanlah Obi.

"Glen..."

Orang itu berhenti lalu menoleh ke arahnya. Raut wajahnya terlihat kacau, seperti menahan sakit. Zeze baru saja membuka mulutnya, tapi Glen langsung melangkah pergi begitu saja.

Apakah mungkin Obi memukuli Glen di dalam? Pertanyaan negatif itu langsung menyusup ke kepalanya. Mengapa dirinya banyak sekali pikiran akhir-akhir ini? Bisa-bisa rambutnya yang telah putih menjadi makin putih.

Ketika Obi melangkah keluar, Zeze langsung mencecarnya dengan pertanyaan. "Bi, apa yang kau lakukan? Kau tidak memukuli Glen, kan? Apa kau menemukan sesuatu? Sedang apa kalian tadi di dalam?"

Obi berdecak dengan ketus, "aku baru tahu ternyata kau bisa cerewet juga."

"Cepat jawab!" Desaknya.

Obi mengusap kasar wajahnya dengan kedua tangan. Setelahnya, ia melepas topinya dan menggunakannya sebagai kipas.

"Kau... baik-baik saja?"

"Tidak," sergahnya dan langsung berjalan pergi, membiarkan Zeze mengekor di belakang.

Langkah Obi berlabuh di tempat mereka semula, perpustakaan. Kemudian, mereka berdua mengambil duduk berhadapan seperti sebelumnya.

"Menemukan sesuatu yang menarik?" Zeze mencoba membuka topik, tapi Obi justru melayangkan tatapan sengit ke arahnya.

Menyadari apa yang lelaki itu pikirkan, bibir Zeze mencebik, "bukan tentang yang tadi, jangan salah sangka! Yang kumaksud adalah tentang petunjuknya."

"Anting." Obi bergumam cepat.

Zeze mengangkat sepasang alisnya, "hanya itu? Mana sini aku lihat."

Karena Obi tak kunjung menjawab maupun menyerahkan benda itu kepadanya, akhirnya Zeze mengambil kesimpulan sepihak. "Oh, Glen yang memberitahumu?" Tebaknya.

Obi mendengus, "mengapa kau selalu tahu sih? Ya ampun... Rozeale."

Zeze terkekeh melihat ekspresinya. "Anting perempuan atau laki-laki? Jika perempuan well... kita mempunyai ular betina yang berbahaya di sini."

"Tidak tahu. Dia tidak mengatakan secara detail."

"Dia yang tidak mengatakannya atau kau yang menolaknya?" Zeze mencoba menggodanya.

"Ze, tolonglah..." ujar Obi memelas.

Zeze kembali tertawa, "kalian ini mau sampai kapan terus bertengkar seperti anak kecil?"

"Ck, kenapa jadi bahas hal ini!?" Obi mulai merengut.

"Oke-oke, kembali ke topik utama." Zeze menyudahi.

"Kita bicara di stadion saja, kali ini giliran Driko bertarung pedang," Obi menyarankan.

"Oh, siapa lawannya?" Tanya Zeze, terdengar antusias.

Obi mengangkat bahu, "entahlah."

Festival Piala Musim Semi Exousia memiliki 7 kategori perlombaan yaitu pedang perorangan, pedang kelompok, panahan, beladiri, voli, bulu tangkis, dan sepak bola.

Masing-masing siswa wajib mendaftar minimal satu perlombaan, karena ini juga berguna untuk penilaian kenaikan kelas mereka. Saat penilaian berlangsung, mereka bebas menggunakan dýnami. Karena itulah hal ini justru menyulitkan bagi siswa yang selalu main-main dalam pelajaran dýnami.

Setibanya di stadion, Driko telah memulai aksinya. Dia melawan seorang laki-laki berambut pirang. Zeze beruntung mendapatkan tempat duduk agak ke bawah.

Zeze tertegun, mengamati tiap ketukan Driko yang menggunakan katana bergagang perak di tangan kanannya. Pada akhirnya, ia dan Obi tidak jadi membicarakan perihal anting tadi.

Mendadak, sepasang mata lelaki berambut pirang itu berkedip-kedip seolah kemasukan debu ketika dia hendak menyerang Driko dari samping. Dan jadilah kini Driko yang mengambil alih permainan.

"Apakah dia Nomathyst?" Tanya Zeze kepada Luna yang duduk di bawahnya.

"Tidak, dia bukan Nomathyst," jawab Luna, agak berteriak. "Simathyst-nya adalah gelombang cahaya."

Pantas saja. Itulah mengapa lawannya selalu berkedip-kedip dan menyipitkan matanya. Matanya kewalahan mengatasi banyak cahaya yang masuk. Bagian pada mata yang berfungsi mengatur besar-kecilnya cahaya yang masuk adalah pupil. Jika pupil kelebihan saat menerima cahaya, otomatis pupil akan mengecil.

"Kita sudah dapat pemenangnya." Zeze mendengar Saga yang duduk di samping kanannya bergumam dengan kepuasan yang terkandung dalam suaranya.

Secercah senyum terbingkai di wajah Zeze. Ia bangkit berdiri di atas kursinya sehingga membuat orang-orang di sekitarnya memandang heran.

"Ayo semangat Deka! Wuuu! Deka! Dekaaaa!!!"

Mereka melongo melihat tingkah absurd Zeze. Walau yang lainnya juga terlihat menyoraki, tapi tuan putri seperti dirinya seharusnya menjaga image.

Sorakan itu mengundang Driko untuk melirik Zeze. Driko menggeleng tak habis pikir melihat tingkahnya dan cepat-cepat mengakhiri permainan ini. Beberapa menit kemudian, lawannya menyerah dan bertekuk lutut dengan kedua tangan memegang gagang pedang yang tertancap di hadapannya.

"Wuuuu!!! Deka menaaanggg!!!" Sorak Zeze, terlalu antusias. "TRAKTIR MAKAN MALAM!"

Obi memutar bola matanya kemudian tertawa renyah. Pantas saja Zeze gencar sekali menyemangati Driko. Ternyata ini alasannya.
RECENTLY UPDATES