53 SPRING CUP

Dua bulan telah berlalu, begitu pula dengan musim dingin. Kini musim semi yang cerah menyambut pagi setiap orang di Aplistia.

Meski begitu, bukan berarti Zeze tidak akan memakai jaket denimnya. Seperti biasanya, ia pergi ke sekolah dengan jaket yang warnanya telah memudar dan sobek di berbagai tempat itu.

Mungkin bagi sebagian ahli fashion seperti Luna dan Volta, hal itu justru terlihat keren dan SWAG. Sebenarnya sobekan itu tidak disengaja. Jaket itu adalah saksi bisu banyaknya pertarungan yang pernah Zeze lewati.

Dan juga bukti bahwa pemilik asli jaket ini pernah berada di dunia. Benar, jaket ini milik kakak tirinya, Afrodi. Zeze terus membawanya ke mana pun ia pergi.

"Telah lewat 2 bulan, tapi penyebab kematian Raven belum ditemukan. Tidakkah kau pikir ada yang aneh?" Tanyanya kepada Obi.

Mereka berdua sedang duduk berhadapan di perpustakaan pada jam pertama, jam pelajaran kimia. Zeze paling tidak menyukai pelajaran kimia, berbanding terbalik dengan Obi. Tapi Zeze begitu memaksa Obi dan akhirnya, dengan terpaksa Obi juga ikut terbawa ke sini.

Perpustakaan baru dibuka satu minggu yang lalu karena kepolisian memerlukan TKP untuk penyelidikan.

"Yang aneh itu... untuk apa pembunuh itu membunuh Raven? Terutama di sekolah," balas Obi lirih.

Zeze mengangguk. "Aku pikir juga begitu. Jika pun Raven memiliki musuh di tempat tongkrongannya, bukankah ini cara yang nekat? Terlebih lagi dia adalah anak dari Viscount, seorang pejabat."

"Dan tidak ada satu pun yang tertangkap CCTV." Obi mengerutkan alisnya. "Bahkan Raven pun tidak terlihat. Penjaga perpustakaan juga bingung mengapa dia bisa di sini. Dia belum pernah masuk ke perpustakaan sebelumnya. Dan anehnya lagi, bagaimana bisa namanya tertulis di buku harian tapi penjaga perpustakaan tidak tahu?"

"Apa yang akan kita lakukan sekarang?" Zeze mengangkat sebelah alisnya.

"Kau sudah tahu jawabannya." Obi tersenyum miring. "Tapi kali ini hanya kau dan aku. Kita tidak perlu membebankannya kepada yang lain. Kasihan mereka, dua bulan ini menjalankan misi terus. Biar ini menjadi tanggung jawab kita. Aku yang akan mengumpulkan bukti-bukti, kau yang menganalisis."

Kata-kata Obi begitu menggoda di telinga Zeze.

"Jangan berpikir terlalu lama, beberapa jam lagi acara pembukaan Piala Musim Semi," sambungnya ketika melihat kebimbangan terpajang di mata Zeze.

"Apa? Hari ini?" Zeze langsung mengingat janjinya kepada Glen. "Bukankah itu malah bagus? Ketika setiap orang berada di stadion menonton berbagai pertunjukan, kita bisa leluas—"

"Kita akan sulit menanyai orang-orang," potong Obi.

"Oh ya, kau benar." Zeze menunduk, menatap buku Harry Potter-nya.

"AAAH!"

Zeze terperanjat dan cepat-cepat mengangkat wajah ketika mendengar teriakan Obi. Ia baru menyadari alasannya berteriak adalah Silian yang memeluk lehernya dari belakang.

"Apa yang kau lakukan!? Tidak bisakah kau menyapa dengan cara biasa!?" Desis Obi. Untung saja hanya ada segelintir orang yang berkunjung ke perpustakaan semenjak peristiwa pembunuhan itu.

Entah sejak kapan perlakuan Obi terhadap Silian menjadi berubah—atau mungkin ini hanya karena Zeze kurang memperhatikan mereka berdua. Obi tidak lagi bersikap sopan di hadapan Silian. Dan yang anehnya lagi, gadis itu tidak pernah ambil pusing dengan sikap kasar Obi. Silian tetap saja menempel padanya, walau Obi telah berusaha mendorongnya menjauh.

Zeze dan Obi saling bertukar pandang. Sorot mata mereka seperti mengatakan 'apakah-kau-merasakan-dia-datang?'

Namun tak ada satu pun dari mereka yang merasakannya. Obi dan Zeze sama-sama menggeleng, menjawab pertanyaan dalam benak masing-masing.

"Ternyata kau ada di sini! Aku mencarimu ke mana-mana." Silian berganti menatap Zeze dengan pandangan tak suka. "Sedang apa kalian berduaan di sini?"

"Berkencan dengan Obi tentunya." Zeze menjawab asal.

Tanpa disangka, Silian tersulut emosinya. "A—apa!?"

"Silian, ini di perpustakaan." Obi mendelik ke belakang.

Sambil terus melototi Zeze yang sama sekali tidak terlihat peduli, Silian beralih duduk di sebelah kanan Obi dan dengan manja langsung memagut lengannya

"Awas kalau kau macam-macam!" Silian mengancam Zeze, yang lagi-lagi mengacuhkannya.

Obi mendesah lelah, "tidak bisakah kau meninggalkanku sehari saja?"

"Tidak bisa! Aku kan sudah bilang bahwa kau akan menjadi pacarku!"

Obi menoleh ke arahnya, "apa aku pernah bilang setuju?"

"Hmm... maaf TUAN dan NONA, ini tempat untuk membaca." Zeze mengingatkan dengan nada sarkastis.

Obi menatapnya dan menuntut, "jadi bagaimana?"

"Bagaimana apanya?" Tanya Silian, mengamati kedua orang ini secara bergantian dengan penuh selidik.

"Kami sedang memutuskan ke mana tempat kencan kami selanjutnya."

"Bohong," Obi menyela sebelum Silian kembali meledak. "Kau tidak perlu tahu, sebaiknya kembali saja ke kelas."

Silian menggeleng kuat-kuat, "tidak mau!" Tolaknya tegas. "Aku ingin bersamamu, Bian."

Zeze terkekeh kecil, "Bian? Pffttt..."

Obi mendelik sebal, "jangan tertawa."

Zeze berdeham pelan. "Yang harus kita tanyai pertama kali adalah Charty."

"Bagaimana dengan dia?" Obi mengedikan bahu, menuding Silian yang kini tengah bersandar di bahunya.

Mata Zeze menyelami Silian, menimbang-nimbang. "Mau bagaimana lagi. Kita ajak saja. Tapi kau harus janji untuk diam saja."

Silian memutar bola matanya, "iya-iya, aku janji."

Sembari menunggu Sang Saksi, mereka bertiga menempati meja paling pojok di kantin lantai tiga. Biasanya Charty dan gengnya akan melenggang sekitar jam pelajaran ke-3, tentunya dengan membolos.

Dan benar, beberapa menit kemudian, Charty berjalan masuk ke kantin. Dan lebih beruntungnya lagi, sendirian! Mungkin karena belakangan ini ia tengah berduka karena kehilangan soulmate-nya.

Senyum Zeze langsung merekah. Ia melambai ke arah Charty, "Charty!" Serunya.

Mata sembab Charty langsung terbuka lebar ketika melihat Zeze. Setelah menimbang-nimbang sejenak, akhirnya Charty memutuskan bergabung dengan mereka bertiga.

"Apa yang kau lakukan di sini? Mengapa kau tidak makan di kantin lantai satu?" Tanya Charty heran, mengambil duduk di samping kiri Zeze, berhadapan dengan Silian yang masih setia memeluk lengan Obi.

"Tidak ada larangannya kan?" Zeze membalas.

"Ngomong-ngomong, kau selalu sendirian saja akhir-akhir ini?" Singgung Obi. Zeze tahu Obi sedang berusaha memancing Charty.

'Kerja yang bagus, Jaksa Penuntut Umum.' Zeze terkekeh pada ide itu. Ia yakin Obi bisa menjadi jaksa yang hebat suatu saat nanti.

Kepala Charty tertunduk semakin dalam. Rambut pirang bergelombangnya kian mengubur wajahnya yang terlihat agak pucat. Mencoba bersimpati, Zeze mengusap-usap pundak Charty.

"Aku... aku merindukan Raven," isaknya.

"Ssstt... tidak apa." Zeze mencoba menenangkannya.

"Biasanya setelah pulang sekolah kita selalu hang out bersama... pergi ke club saat malam. Tapi dia..." Charty terisak lagi.

"Maaf jika ini membangkitkan kesedihanmu, tapi... mengapa saat itu Raven bisa..." Zeze tidak bisa melanjutkan kata-katanya. "Apakah dia mempunyai masalah dengan orang lain?"

Charty menggeleng, "aku tidak tahu. Aku saja sangat kaget saat tahu mayatnya ditemukan di perpustakaan. Dia sama sekali tidak pernah menginjakkan kaki di sana."

Zeze melirik Obi. Mengerti arti dari lirikan itu, Obi pun bertanya dengan sikap normal, "apakah tidak ada tingkah-tingkah aneh yang Raven tunjukkan waktu itu?"

"Tidak ada. Dia masih bersama kami di kantin ini waktu itu. Dia meminta ijin untuk ke toilet sebentar ketika aku sedang mencuci tangan di wastafel. Sekitar setengah jam kemudian kami mendapat kabar bahwa Raven telah..."

Zeze memetik tisu di atas meja dan menyeka air mata Charty.

"Raven bilang ke toilet. Tapi perpustakaan berada di lantai dua. Bukankah di sini juga terdapat toilet?" Tanya Obi, mengernyit.

"Yang aku dengar, toiletnya sedang diperbaiki karena mampat." Charty menjawab sesenggukan.

Obi tersentak seperti baru saja mendapat pencerahan. Benar juga, toilet siswa lantai dua berada di samping perpustakaan dan juga ruang TU.

"Jadi, kau tidak menemukan hal aneh pada Raven saat itu?"

Charty menggeleng sembari mengelap air matanya. "Ah, aku ingat satu hal," katanya tiba-tiba.

Obi memajukan duduknya, membuat Silian juga ikut tertarik.

"Saat aku mencuci tangan, Raven meneleponku. Tapi sebelum kuangkat, dia mematikannya lagi. Karena bingung, aku balik meneleponnya."

"Dan apa yang dia katakan?" Tanya Obi.

"Dia tidak berbicara apa-apa. Namun dia seperti habis dikejar sesuatu. Yang kudengar waktu itu hanya suara napasnya yang terengah-engah. Beberapa saat kemudian tidak ada suara lagi jadi kumatikan karena kupikir dia sedang mengerjaiku. Dan saat aku kembali, aku bertanya kepada teman-temanku dimana Raven. Mereka bilang Raven ke toilet."

Lagi-lagi Zeze melirik Obi.

"Aku bisa menunjukkan riwayatnya padamu." Charty menunjukkan ponsel yang terpajang panggilan nama Raven Kronicles di sana.

[Pukul 9.45]

"Raven pergi ke toilet sekitar jam berapa?" Obi kembali bertanya.

"Beberapa menit sebelum panggilan ini. Sekitar... 9.40."

"Kau tidak menyerahkan ini pada polisi?" Suara Zeze terkesan menyelidik. Mau tidak mau ia curiga.

Charty menggeleng, "aku tidak diwawancara, hanya teman-temannya saja. Aku... juga tidak berani menyerahkannya langsung."

Tapi alasannya tidak cukup untuk memadamkan kecurigaan Zeze yang kian membara.

Selama setengah jam, Obi menanyakan banyak hal. Tapi tak ada satu pun jawaban yang menurutnya membantu. Dan ajaibnya, Charty tidak merasa seperti sedang diinterogasi. Itulah hebatnya Obi, ia pandai dalam berinteraksi dengan orang-orang.

Akhirnya mereka harus menyudahi tanya-jawab ini karena pengumuman dari pengeras suara terdengar menyuruh para warga sekolah untuk pergi ke stadion.

Charty pamit pergi, sementara Zeze dan Obi memutuskan untuk terus maju, mengungkap tabir ini. Dan tentunya dengan ditambah satu orang lagi, Silian.

Saat mereka bertiga berjalan menyusuri lorong lantai dua yang telah sepi, Obi bertanya dengan tenang, "ada teori?"

"Tidak ada. Masih abu-abu." Zeze mendengus. "Penyelidikan setengah-setengah dan terbatas seperti ini tidak akan mungkin."

"Mengapa kalian tidak mendengarkan rekaman suaranya? Siapa tahu ada pesan tersembunyi di sana."

Zeze dan Obi tersentak bersamaan. Mereka saling bertukar pandang. Bukan karena mendengar usulan dari Silian yang mengekor di belakang mereka, tapi karena mereka sama sekali tidak menyadari ada Silian di sana!

"Kau," mata Zeze meruncing. "Bagaimana bisa aku tidak menyadarimu?"

"Apa maksudmu? Aku selalu mengikuti kalian." Silian menatapnya aneh.

Benar juga. Tetapi yang anehnya lagi adalah, walaupun Zeze melihat persis Silian menjulang di hadapannya, tapi ia tidak bisa merasakan hawa keberadaannya.

Well, Zeze akui ini membingungkan. Bagaimana bisa orang yang jelas-jelas terpampang wujudnya, tapi tidak bisa dirasakan?

Berhenti di depan perpustakaan, Obi dan Zeze kembali bertukar pandang.

"Sepertinya dia memiliki dýnami yang tidak biasa." Zeze menebak seraya menilai Silian dengan matanya yang memicing.

"Silian, apa kau seorang Nomathyst?" Tanya Obi.

Kening Silian berkerut, "Nomathyst?"

"Kau ini di sini belajar tidak sih!?" Gerutu Zeze.

"Nomathyst adalah orang-orang yang diberi bakat dýnami sejak lahir tanpa perlu repot-repot belajar. Mereka biasa disebut dengan 'orang-orang terpilih'," jawab Obi.

"Tapi tentu saja, di setiap kelebihan pasti ada kekurangan. Berbeda dengan orang-orang yang perlu usaha untuk bisa mengendalikan dýnami, para Nomathyst tidak bisa memilih Simathyst mereka. Kekuatan mereka sudah dipilihkan dari sananya," tambahnya.

"Aku tidak tahu. Kalau memang iya, memangnya apa bakatku?" Silian menggaruk pelipisnya dengan kuku di ujung telunjuk.

"Apakah kau tidak pernah menyadari sikap orang-orang di sekitarmu terhadapmu?"

Silian terlihat menimbang-nimbang, "hmm... suatu waktu, mereka selalu melihat ke arahku, seakan aku menyedot semua perhatian mereka. Tapi di lain waktu, mereka mengabaikanku sampai aku harus berteriak-teriak di depan muka mereka."

Zeze menipiskan bibirnya, "oh, well..."

"Kenapa?" Silian menatap bingung mereka berdua bergantian.

"Ini akan sangat berguna jika kau bisa mengendalikannya," ujar Zeze.

"Kau harus belajar mengasah bakatmu itu. Aku percaya padamu," tambah Obi, sorot matanya mengeras penuh keyakinan.

Silian terpana, tidak menyangka Obi akan berkata seperti itu kepadanya. Ia menunduk dengan wajah merah padam.

"Bi- Bian... kalau kau, apakah kau juga seorang Nomathyst?" Tanyanya, mencoba menyamarkan kegugupannya yang ternyata gagal total.

"Aku? Tidak. Zeze juga bukan. Nomathyst adalah peristiwa langka. Sudahlah ayo kita masuk."

Mereka bertiga memutuskan memeriksa perpustakaan dengan berpura-pura mencari buku. Penjaga perpustakaan tidak terlalu menaruh perhatian lebih karena mengenali dua di antara mereka adalah keturunan kerajaan dan satunya adalah anak seorang Marquess.

Zeze mendarat di tempat dimana mayat Raven ditemukan, tepat di antara dua rak buku yang menjulang tinggi. Tidak ada bekas yang ditinggalkan. Darah Raven yang membekas di rak buku pun telah menghilang.

"Bi, Silly, coba ke sini sebentar."

"Ada apa?" Tanya Obi, berjalan mendekatinya bersama Silian.

"Kau ingat apa kata Charty? Sekitar 5 menit setelah Raven pergi dan dia menelepon Charty, kemudian Charty balik meneleponnya. Tapi polisi tidak mewawancarai Charty. Jika polisi sudah membedah barang bukti seperti ponsel Raven, seharusnya mereka akan menemukan riwayat panggilan itu, bukan? Dan harusnya lagi, polisi pasti akan langsung meminta keterangan Charty."

Obi mengerutkan kening. "Jadi maksudmu?"

"Tidak ada riwayat panggilan itu di ponsel Raven."

"Apakah maksudmu gadis itu berbohong?" Silian tiba-tiba bertanya. Lagi-lagi Zeze dan Obi dibuat terlonjak sambil memegangi dada.

"Kau!" Rutuk Zeze.

"Silian, jangan muncul tiba-tiba seperti ini," gerutu Obi.

Silian terlihat bersalah, "maaf." Walau ia hanya merasa bersalah kepada Obi.

"Sudahlah, lupakan." Zeze menghela napas. "Bukan itu maksudku. Itu berarti pembunuhnya menghapus riwayat panggilan Charty di ponsel Raven. Sangat bersih sampai sidik jarinya tidak terdeteksi.

"Aku tadi sempat melihat durasi panggilannya. Hanya 8 detik dan Charty bilang cuma terdengar suara Raven yang terengah-engah." Zeze melihat langit-langit, mencoba menyusun petunjuk.

"Itu berarti setelah panggilan terputus, Raven sudah mati," sambungnya.

"Mengapa kau yakin sekali?" Obi mengangkat alis.

"Raven terengah-engah karena mulutnya tidak bisa bergerak. Aku melihat mayatnya, sebelah wajahnya hancur sampai merobek mulutnya."

"Jika begitu, berarti setelah itu si pembunuh langsung menghapus riwayat panggilannya. Tapi tunggu dulu, bagaimana kau bisa melihat mayatnya?" Obi mengernyit.

"Dan mengapa si pembunuh berbaik hati memberikan Raven ponsel untuk menelepon?" Silian menambahkan. Zeze mengangkat alis karena tidak menyangka otak Silian bisa cair juga.

Zeze menjawab Obi terlebih dahulu, "aku bersembunyi di perpustakaan saat itu. Well, kau bisa menebak kenapa," gerutunya. "Di sini aku bertemu dengan Kion, dan ya... kau bisa menebak kelanjutannya."

"Memangnya apa kelanjutannya?" Goda Obi.

Zeze menghunusnya dengan tatapan sengit, "diam, kita tidak sedang membahas ini!" Ia menghela napas. "Dan juga... aku dan Kion mendengar suara teriakan orang yang menemukan mayatnya."

"Dimana kau dan Master duduk?"

"Di sana." Zeze menunjuk rak paling pojok.

"Itu tidak jauh dari sini, kau yakin tidak mendengar apa-apa selain teriakan?" Tanya Obi memastikan.

Zeze menggeleng. "Waktu itu... bagaimana aku menjelaskannya." Ia bingung karena waktu itu pikirannya tidak fokus karena ada Kion, dan juga... oh ya!

"Suara musik," gumamnya. "Waktu itu terdengar dua kali Kiss The Rain dan satu kali Für Elise."

"Jika dijumlahkan sekitar 9 menit," gumam Obi. Dia memang mengetahui banyak tentang musik klasik terutama piano.

"Suara teriakan itu terdengar setelah musik berhenti," ujar Zeze. "Aku sempat melihat jam tangan Kion saat itu. Musik berhenti dan suara teriakan terdengar pada pukul 10.05, sedangkan Raven menelepon pukul 9.45."

"Dan dugaanmu Raven mati saat panggilannya diputus, yaitu pada pukul 9.45. Itu berarti mayat Raven baru ketahuan sekitar 20 menit setelahnya." Obi memperjelas.

"Pusing," keluh Silian dengan bibir mengerucut.

Obi dan Zeze mengabaikannya. Zeze memilih melanjutkan, "aku ke sini pukul 9.45, sedangkan musik dimulai 9 menit sebelum 10.05, yang berarti pada pukul 9.56."

"Itu berarti kau ke sini saat Raven telah mati. Jadi kesimpulannya musik itu bukanlah untuk menutup-nutupi?" Tanya Obi.

"Kurasa bukan." Zeze menggeleng, agak ragu.

"Aku ingin mengungkapkan teoriku tapi jangan tertawa?" Zeze memastikan.

"Ya, apa?" Balas Obi.

"Aku... mencurigai Kion."

"Daripada tertawa, kukira aku akan marah." Obi melontarkannya dengan nada sedingin es.

"Kau tahu, saat aku datang, Kion sudah lebih dulu di sini. Dia sedang tertidur sambil memegang buku. Apa kau yakin dia tidak tahu apa-apa?" Kata Zeze, agak cemas.

"Dia menarikku ke Grandelius ketika orang-orang mengerubungi mayat Raven. Katanya, agar aku tidak terseret terlalu dalam. Tapi entah mengapa aku yakin dia mengetahui sesuatu."

Obi menghela napas, mencoba membuang emosinya kemudian mengingatkan, "pertanyaan Silian."

"Oh, ya tentang itu... aku tidak begitu yakin, tapi pembunuh ini sangat cepat. Coba kau bayangkan, dalam waktu 5 menit Raven telah mati. Dan dia mengizinkan Raven untuk menelepon. Kalau menurut instingku... dia tidak sedang berbaik hati."

"Tapi tidak mungkin 'kan dia memberi barang bukti begitu saja kepada Charty. Ataukah mungkin target selanjutnya adalah Charty?" Tambah Obi.

"Aku juga berpikir begitu. Silly benar, kita harus mengecek panggilan..." kata-kata Zeze terpenggal ketika melihat seseorang yang dikenalnya keluar dari balik rak.

"Glen?"

Obi dan Silian langsung berbalik. Glen yang merasa terpanggil pun melihat ke arah Zeze. Kemudian, mata palsu lelaki itu mendarat di Obi.

Menyadari Obi juga ada di sini, Zeze langsung sigap menjulang di depan Obi, menghalangi jalannya untuk menerjang Glen. Namun Glen rasa itu tidak diperlukan, karena Obi terlihat sangat terkendali kali ini.

Zeze menghela napas setelah memastikan Obi tidak akan melakukan hal yang macam-macam. Ia berbalik menghadap Glen dan bertanya, "sedang apa kau di sini?" Namun setelahnya ia menarik ucapannya. "Tidak, lupakan. Kau pasti datang untuk menyelidiki juga kan?"

"Kau memiliki sesuatu yang tidak polisi miliki," tandas Glen, terdengar yakin.

"Apa kau mendengarnya?"

"Dengar apa?" Glen balik bertanya dengan raut bingung. Sepertinya dia benar-benar tidak menyadari mereka ada di sini.

"Lupakan, mengapa kau bisa yakin sekali?"

"Aku tahu. Karena kau pasti akan selalu maju selangkah dariku jika menyangkut hal-hal seperti ini."

Senyum Zeze terbit, tapi ia memaksa tenang kembali. "Begitu? Tapi sayangnya aku tidak akan memberitahukan apa pun kepadamu."

"Aku tahu," balasnya. Suaranya terdengar misterius di telinga Zeze.

"Semoga berhasil." Setelah pamit lewat tatapan mata, Glen langsung keluar dari perpustakaan.

Upacara pembukaan Piala Musim Semi Akademi Exousia berlangsung ramai dibanding tahun lalu. Yang paling mencolok adalah klub marching band karena membawakan lagu dari band rock fenomenal tahun ini yang diaransemen ulang.

Zeze, Obi, dan Silian datang terlambat, namun untungnya Juni telah menyiapkan tempat duduk, walaupun hanya untuk dua orang.

Silian tidak terima jika Zeze duduk di samping Obi. Tapi bukan Zeze namanya jika tidak memiliki segudang ide agar situasi berbalik menguntungkannya.

Zeze membisikkan Silian sesuatu yang langsung dijawab anggukan mantap olehnya. Obi bingung tentang hal apa yang sanggup membuat Silian menyerah dengan mata berbinar-binar seperti itu.

Namun kemudian, pertanyaannya dijawab ketika Silian duduk di pangkuannya.

"Apa yang kau lakukan!?" Obi mencoba mendorong Silian. Namun Silian malah menggerak-gerakan bokongnya di paha Obi hingga membuatnya menegang dan meneguk liur.

Melihat ekspresi Obi, Zeze terkekeh geli. Obi memang seperti dirinya, tidak berpengalaman dengan urusan semacam ini. Meski itu wajar saja karena masa kecil mereka disibukkan oleh darah dan kematian.

Di saat semuanya sibuk mengagumi pertunjukan demi pertunjukan yang diberikan oleh masing-masing klub ekstrakurikuler Exousia, Zeze malah termenung, menyusun puzzle yang masih rumpang di kepalanya.

Sayang sekali Zeze tidak menyadari Kion yang sejak tadi memperhatikan dirinya dari bangku atas dengan sorot yang rumit.
RECENTLY UPDATES