52 SWEET SEVENTEEN

Mungkin setiap orang bertanya-tanya mengapa Zeze memakai masker hari ini, tepatnya di hari kelima masuk sekolah. Sebagian telah menerka jawaban yang berhubungan dengan cuaca, yaitu flu.

Namun sebenarnya, tak ada satu pun jawaban yang ada di kepala mereka adalah alasan utama Zeze.

Hari ini, tanggal 23 Februari, adalah hari ulang tahunnya yang ke-17 tahun. Remaja jaman sekarang menyebutnya dengan sebutan 'sweet seventeen' meskipun Zeze tidak mengerti dari mana sebutan itu berasal.

Istirahat pertama kali ini, Zeze lebih memilih bungkam di perpustakaan. Ia menghindari bencana yang mungkin saja akan menjemputnya, meski di sekolah sekalipun.

Otaknya memutar kejadian tahun lalu, tahun lalunya lagi, tahun lalunya lagi. Terus mundur sampai tahun lalu yang ke-8. Kakak-kakaknya selalu mempunyai cara untuk mengecohnya. Walaupun pada hari ulang tahunnya, Zeze berhasil lolos, tapi di hari berikutnya, ia dipastikan tidak akan bisa mengelak lagi.

Contohnya sekarang, Zeze sedang mewanti-wanti bencana apa yang nanti akan dihadapinya. Dan sialnya sekarang ia terkurung di dalam sekolah.

Meskipun tadi pagi mereka semua terlihat biasa-biasa saja, pastinya Zeze tahu itu semua hanyalah pura-pura.

Zeze menganyam langkah ke arah jejeran rak buku yang menjulang paling belakang. Sebenarnya Zeze tidak begitu suka membaca, ia lebih suka menulis. Buku yang biasa dibacanya hanyalah cerita bergenre misteri.

Deretan rak ini lumayan senyap. Zeze mengambil satu buku secara acak. Judulnya bertuliskan Harry Potter. Dilihat dari sampulnya, ini pasti buku lama.

Zeze membolak-balik lembarannya dengan kaki yang terus melangkah. Ia sama sekali tidak sadar bahwa kakinya telah meniti semakin dalam. Suara-suara gemeresik lembaran buku yang lirih khas perpustakaan pun tak lagi didengarnya.

Hingga langkahnya terpenggal ketika melihat sepatu sket putih bertali coklat milik seseorang. Jika dilihat dari posisinya, orang ini pasti tengah bersandar di sisi samping rak.

Zeze makin mendekat untuk melihat rupa orang itu. Dan ketika ia mengintip, matanya langsung dibuat mengerjap cepat.

Kion tengah tertidur pulas dengan buku yang terbuka di pangkuannya. Pantas saja setiap jam istirahat pertama, Zeze jarang sekali melihatnya. Ternyata di sinilah tempat persembunyiannya.

Zeze duduk di seberang Kion dengan punggung menempel ke dinding. Ia menekuk lutut, menjaga agar sepatunya tidak sampai menyentuh sepatu Kion.

Terakhir kali matanya mempunyai kesempatan untuk menjelajahi wajah Kion adalah saat pesta debutante Silian. Dan kesempatan itu kini datang lagi kepadanya.

Sebenarnya Zeze bukan tipe orang yang peduli dengan penampilan seseorang. Asalkan orang itu menghargainya, Zeze pasti akan balas menghargai orang itu.

Namun sekali lagi, mata manusia tidak pernah sanggup bohong. Dan Zeze tahu itu. Karena dirinya juga hanyalah seorang manusia biasa yang naif.

Waktu kian terkikis namun sepasang matanya masih betah mengarungi wajah damai Kion.

'Sebenarnya apa yang sedang aku lakukan!?' Zeze menggeleng cepat dan kembali fokus ke arah bukunya.

Sejak kapan dia mulai tertarik memperhatikan laki-laki lain selain Glen? Well, Zeze telah menemukan jawabannya, yaitu sejak tadi. Dan laki-laki lain itu adalah Kion, sepupu sekaligus tunangannya sendiri.

Zeze mendengus pelan, kemudian mulai membedah bab pertama buku tebal di tangannya ini. Ia mengambil posisi nyaman dengan duduk bersila lalu mulai membaca.

Keningnya mengernyit. Bab pertama buku ini sama sekali tidak dapat dicerna olehnya. Seperti... ada yang terlewat. Tapi apa? Apakah mungkin ada lembar yang tertinggal? Tapi ini bab pertama.

'Mungkinkah, ada seri lain sebelum ini?'

"Kau membaca seri ketujuh, makanya kau tidak akan bisa mengerti jalan ceritanya."

Zeze mengangkat wajahnya karena suara tiba-tiba itu. Mata hazel Kion yang semula terbungkus, kini terlihat mengawasinya. Bentuk matanya begitu tajam dan tegas khas penduduk Timur Tengah, tetapi juga tenang di saat yang bersamaan.

"Sebaiknya kau berikan itu padaku. Karena aku baru saja selesai membaca seri keenam."

Kion mengulurkan tangannya, sementara Zeze menatap ragu tangan itu. Toh, akhirnya ia menyerahkannya juga.

"Sinopsis?" Tanyanya.

"Tentang sihir. Seorang anak yang ternyata adalah penyihir," gumam Kion, membuka bab pertama.

"Apakah ceritanya menarik?"

Kion mengangguk, "seri pertama ada di rak depan. Dimana kau menemukan ini? Sudah berminggu-minggu aku mencari-cari seri ketujuhnya."

"Di rak yang sedang kau sandarkan."

Kion menatapnya, "hmm... mungkin seseorang menaruhnya di tempat yang salah." Kemudian matanya mendarat pada jendela besar yang terbuka di atas kepala Zeze. Gordennya menari-nari tertiup angin, membawa serta suhu dingin bersamanya.

Saat Kion hendak berdiri, Zeze menahannya, "biar aku saja." Kemudian ia menjulang dan menutup kaca jendela itu.

Namun ketika kembali duduk, Zeze tidak mengambil tempat yang sama. Ia pindah ke samping kanan Kion. Karena sisi rak itu terbilang sempit, lengan kiri Zeze sampai harus beradu dengan lengan kanan Kion agar punggungnya dapat kebagian tempat untuk bersandar.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Zeze bertanya tanpa menoleh. Karena jika ia melakukannya, wajah mereka berdua pasti akan langsung bertemu.

"Membaca." Kion menjawab ragu, seakan Zeze baru saja mengutarakan pertanyaan yang aneh. Tentu saja perpustakaan adalah tempat untuk membaca.

Zeze memutar bola matanya, namun Kion tak dapat melihat itu. "Maksudku di belakang sini. Bukankah masih banyak meja? Jika kau tidak ingin diganggu, kau tinggal mengusir mereka. Aku yakin tidak akan ada yang keberatan."

Kion tersenyum samar, "aku tidak akan melakukan itu. Lebih nyaman di sini."

"Dimana para pengawalmu? Dan Saga, apakah dia tidak khawatir?"

"Kau juga, dimana Froura? Obi?" Kion balik bertanya.

"Entahlah." Zeze bergumam asal. Sebenarnya ia tengah kebingungan tentang bagaimana cara Kion lolos dari mereka semua.

Terjadi hening. Kion tenggelam dalam buku sementara Zeze memandangi sepatu mereka. Sepatu sket hitam Zeze bahkan tidak mampu menyamai sepatu besar Kion. Zeze memperkirakan tinggi lelaki itu pasti hampir 190 cm.

Tanpa sengaja, sepatu Zeze mengetuk pelan tulang kering Kion, sehingga membuatnya mengangkat matanya dari buku.

Kion melihat kaki mungil itu tengah bergoyang-goyang ke kanan dan ke kiri. Mata hazelnya meredup dan berubah hambar ketika pindah ke puncak kepalanya.

Tanpa aba-aba, Zeze mendongak, ikut menoleh ke arahnya, dan hal yang tak ingin Zeze alami justru terjadi. Hidung mereka hampir bersentuhan. Jika saja tidak terhalang masker, Zeze yakin napas mereka pasti akan terjalin.

Jantung Zeze memukul-mukul kuat tulang rusuknya, sampai telinganya sendiri pun dapat mendengar bunyi degupnya.

Baik Kion maupun Zeze tidak ada yang bisa berpaling. Namun senyum hangat Kion yang tiba-tiba mengembang berhasil menyadarkan mata Zeze untuk berkedip. Zeze menunduk dengan cepat, membuang matanya ke buku di tangan Kion.

Sebenarnya Kion agak kecewa karena mata biru itu cepat berpaling darinya. Namun ia menekan kuat perasaan itu dan mencoba sadar diri, bahwa mata bagaikan Sapphire itu bukan tercipta untuk melihat ke arahnya.

Musik yang entah datang dari mana mulai mengalun, menindih suasana sunyi di antara mereka berdua. Dan bukannya bersyukur, Zeze malah mengutuk siapa pun yang menyetelnya.

Karena Zeze mengetahui judul musik ini, Kiss The Rain ciptaan Yiruma. Nadanya yang melankolis justru memperkeruh perasaannya saat ini.

Zeze sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi terhadap dirinya. Ia belum pernah segugup ini saat bersama laki-laki lain selain Glen. Apa yang salah?

"Apakah kau ingin aku membacakanmu cerita?"

Mendadak Kion menawarkan. Zeze tidak mempunyai pilihan untuk menolak, karena ia sendiri juga tidak tahu harus menjawab apa.

Zeze memutuskan mengangguk. Sebenarnya jauh di dalam lubuk hatinya, ia merasakan nostalgia yang amat ia rindukan.

Yang Kion ceritakan kepadanya adalah ringkasan dari buku yang tadi diambilnya, Harry Potter. Namun Kion menceritakan seri awalnya. Zeze sedikit tertarik dengan alurnya. Ia memutuskan untuk mencari seri pertamanya dan meminjamnya nanti.

Sembari mendengarkan, kepala Zeze bersandar pada bahu Kion. Keduanya merasa seperti dibawa kembali ke masa lampau. Dulu Kion sering membacakannya dongeng hingga Zeze terlelap di pangkuannya, sampai Zeze sendiri pun tidak sadar dia telah dipindahkan ke atas tempat tidur.

Dan keesokan harinya ketika membuka mata, Zeze langsung kecewa karena Kion telah pergi. Ia harus bersabar menunggu satu minggu untuk dapat bertemu dengan pendongengnya lagi.

"Kenapa lagunya sejak tadi tidak berganti?" Tanya Zeze.

Kion menatap atap, "hmm... mungkin penyiar kali ini lupa."

"Penyiar?" Zeze mengerutkan kening.

"Anggota klub radio sekolah."

"Ada ya klub seperti itu?"

"Tentu ada. Kenapa? Tertarik bergabung?"

Zeze menggeleng dan tiba-tiba teringat sesuatu. "Kakak masuk ke klub mana?"

Kion tidak langsung menjawab. Ia sibuk membaca satu lembar bukunya. Zeze pun menunggu dengan sabar sampai Kion menjawab ringkas, "tidak ada."

"Kenapa tidak ada?" Di sekolah sebesar ini pasti ada klub sastra. Mengapa Kion tidak ikut?

"Tidak ada yang berkaitan dengan keahlianku di sini."

"Hmm? Bukannya kau suka membaca?"

"Apakah sebuah 'kesukaan' itu termasuk keahlian?" Kion balik bertanya.

Zeze mendongak, hingga matanya dapat meliput garis rahang dan hidung Kion yang luar biasa sempurna. "Memangnya apa keahlianmu?"

Zeze bisa merasakan bahu Kion bergerak. "Sesuatu yang selalu dianggap remeh banyak orang."

Zeze menaikkan kedua alisnya, "oh ya?" Matanya kembali tenggelam di buku.

Apa yang dianggap remeh? Terlebih lagi, siapa yang berani meremehkan Kion? Bahkan Zeze sendiri mengakui kegeniusan Kion dalam berbagai hal.

"Apakah kau menyukai keahlianmu itu?" Zeze balik mengetesnya.

Kion menyeringai puas dengan pertanyaan Zeze. Ia seperti ditanya balik oleh pertanyaannya sendiri. "Tentu. Aku merasa nyaman di bidang ini. Aku merasa... bisa menjadi diri sendiri jika aku berada di jalan ini."

Zeze termenung sesaat. Ia dapat memahami itu semua. 8 tahun ia tinggal di tempat dimana ia tidak yakin dengan dirinya sendiri, walaupun hidupnya telah direncanakan untuk berpuluh-puluh tahun ke depan oleh kedua orang tuanya. Namun ia tidak yakin, apakah ini benar dirinya, kemauannya, dan benarkah ini hidup yang ia inginkan.

"Kalau begitu jangan berhenti. Oh tidak, berhenti boleh, tapi mundur jangan," balas Zeze.

Zeze dapat mendengar suara tawa Kion di atas kepalanya "Tentu," jawabnya.

Musik berganti. Kali ini Für Elise ciptaan Beethoven. Setelah musik kandas, tiba-tiba bunyi buku jatuh membuat Zeze berhenti bersandar pada Kion.

Zeze melihat ke arah kanannya, sementara Kion ke arah kiri. Tidak ada yang mereka temukan. Namun entah mengapa perasaan Zeze mulai merasa tidak enak.

"AAAA!!! Tolong!!! Ada... ada mayat!"

Refleks, Zeze dan Kion melejit dengan sikap waspada. Mereka saling bertukar pandang. Wajah Kion tetap tenang seperti biasanya, namun Zeze dapat menangkap secercah kerumitan di sorot matanya.

Kion mengait tangan Zeze dan perlahan membawanya mendekati sumber suara. Di sisi lain, Zeze memperhatikan tangannya yang tengah digandeng Kion. Tak sengaja ia melihat jam tangan lelaki itu. Jarumnya rehat di pukul 10.05.

Ketika melewati lorong sempit penuh rak yang menjulang, Kion menyempatkan diri menaruh kembali kedua buku tebal tersebut.

Saat mengintip, Kion menemukan tubuh seorang laki-laki yang mengenakan seragam Exousia tengah duduk bersandarkan rak dengan satu kaki ditekuk. Puluhan belatung terlihat memakan pelan-pelan dagingnya hingga bagian kiri wajahnya hanya tinggal tengkorak.

"Ada apa?" Tanya Zeze dari belakang. Ia maju dan detik itu juga, matanya langsung membulat lebar, seakan siap meloncat keluar dari tempatnya.

'Dia... dia adalah Raven!'

Zeze mencoba mengidentifikasi dengan hanya mengandalkan pengamatannya. Belatung yang telah merayap-rayap menandakan bahwa mayat ini sudah sangat lama.

Tapi tunggu, namun mengapa kulitnya yang lain masih terlihat bersih dan segar? Ada yang aneh. Dan juga ini adalah Raven, siswa tidak tahu aturan yang sering membolos. Mana mungkin dia masuk perpustakaan.

Zeze merasakan tangannya ditarik dari belakang. Ketika ia menoleh, Kion memberi isyarat untuk mundur dengan gerakan kepala. Sedetik kemudian, datanglah penjaga perpustakaan, penjaga sekolah, dan segerombolan siswa.

Dengan mengendap-endap, Kion membawa Zeze keluar dari perpustakaan tanpa seorang pun yang menyadari. Entah mengapa sikap Kion seperti melarangnya untuk ikut campur lebih dalam. Dan Zeze pun tidak membantah.

Mereka berlabuh di Grandelius. "Tunggu di sini sampai polisi datang," titah Kion dengan wajah kaku. "Kau tidak mau kan diwawancara sebagai saksi?"

Tentu saja Zeze tidak mau. Zeze yakin sekali bahwa nantinya seluruh orang yang tadi berada di perpustakaan akan diperiksa sebagai saksi. Untungnya tadi ia tidak menulis namanya di buku harian perpustakaan.

'Tapi... bagaimana dengan dia?' Zeze bertanya-tanya sembari mendaratkan bokongnya di seberang sofa single yang tengah Kion tempati.

"Ada apa?" Kion bertanya ketika tatapan Zeze semakin lekat di tiap detiknya.

"Bagaimana kau bisa masuk? Apa kau menulis namamu di buku harian?"

Detik kian berjalan, namun Kion masih senyap. Zeze tidak menghitung, tapi ia rasa, kesunyian ini telah lewat lebih dari 30 detik. Dan ketika tiba di sesi jawaban, Kion hanya memberinya sebuah gelengan singkat.

Sebelah alis Zeze terangkat, "lalu?"

"Aku masuk seperti biasanya."

Zeze tidak mencium tanda kebohongan pada wajahnya, sebab wajahnya memang tak berekspresi ketika dia mencurahkannya. Karena itulah Zeze tidak bertanya lebih. Mungkin Kion lupa atau tidak terlihat oleh petugas di sana sama sepertinya.

Zeze mulai mengira-ngira apa yang sebenarnya terjadi di dalam renungannya.

Dalam beberapa jam terakhir, seisi akademi dilanda kepanikan. Meski begitu, pelajaran masih terus berlanjut dan mayat Raven telah dibawa untuk diautopsi.

Bel sekolah pun menjerit lebih cepat dari biasanya. Zeze berpisah dengan Kion yang masih berdiam diri di Grandelius. Mereka berdua membolos sampai pelajaran berakhir.

Setiap percakapan yang didengarnya ketika membelah koridor adalah tentang Raven. Ada yang bersimpati, ada yang merasa ketakutan, dan ada yang sok-sokan menjadi detektif dengan menyusun segenap teori konspirasi dan semacamnya. Serta ada juga yang bergosip. Dan anehnya, justru yang satu inilah yang sanggup menarik perhatian Zeze.

"Kira-kira bagaimana reaksi Putri Amartha ya?"

"Memangnya kenapa?"

"Kau belum tahu? Mereka itu kan sempat kencan sebelumnya."

"Sstt... jangan keras-keras. Kau lupa ketika Charty bilang jangan beritahu siapa pun?"

Dan seterusnya. Ternyata Zeze mendengar lebih banyak dari yang ia kira. Dan ia pun merasa geli sendiri.

Saat menuju parkiran, perasaan Zeze makin tidak nyaman. Namun kali ini tidak berkaitan dengan pembunuhan tadi, tapi keselamatannya sendiri!

Akhirnya bencana yang tadi dibayangkannya, sebentar lagi akan terkabul. Di sudut matanya, Zeze melihat Obi menghampirinya. Di tangan kanannya telah terdapat ember yang berisi cairan kekuningan.

Zeze langsung berlari sejauh mungkin darinya. Obi kurang mampu mengimbanginya karena kekuatan kaki Zeze memang istimewa. Tapi hal itu tak berlangsung lama. Kaki Zeze melambat karena kelelahan. Staminanya memang gampang terkuras habis meski larinya cepat.

Obi tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Ia mengambil jalan memutar, menukik, dan langsung menyiram Zeze dari samping.

Setiap orang yang menyaksikannya langsung dibuat membatu. Mereka terkejut sekaligus bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya tengah terjadi. Bagaimana bisa seorang putra Marquess Barier melakukan hal itu kepada seorang keturunan kerajaan? Terlebih lagi, bukankah mereka berdua berteman?

"Kai!" Seru Obi kepada Kai yang tengah bersemayam di atas kap mobil merahnya. Kai tidak sendiri, tentunya ia bersama dengan gengnya.

Kai langsung berdiri dengan tangan membawa kantung plastik berisi selusin telur. Dengan langkah tegas sekaligus tenang, Ia menghampiri Zeze yang mematung di tengah parkiran. Ia langsung melemparkan telur-telur itu begitu saja hingga pecah dan lendirnya melanda tubuh hingga rambut Zeze.

Tidak bisakah mereka menunggu sampai rumah? Zeze mendengus sebal. Pastinya tidak bisa. Zeze melepas paksa masker yang tidak berguna itu sembari mengambil kuning telur yang terjatuh ke wajahnya. Ia melemparkannya kepada Kai hingga menyambar pipi kirinya. Selanjutnya ia berlari memburu Kai yang mencoba kabur. Sementara itu di pinggir parkiran, Obi tertawa sembari merekam aksi kejar-kejaran itu.

Tak hanya para siswa di parkiran yang dibuat melongo oleh kejadian itu, tapi teman-teman Kai pun juga ikut merasakan hal yang sama. Mereka tak pernah menyangka bahwa Kai sedekat itu dengan Zeze.

Obi langsung mendesak ponselnya hingga tenggelam di saku celana ketika melihat Zeze mendekat horor dengan segelas jus alpukat di tangannya.

Kini buruan Zeze berganti menjadi Obi. "Hajar, Ze!" Sorak Kaló dari pinggir parkiran.

"Kau tidak ikut?" Norofi bertanya di sela-sela tawanya.

"Aku bagian kuenya saja." Kaló mengerling penuh arti.

Keluar dari dalam gedung, tubuh Kai telah basah kuyup serta menyebarkan semerbak aroma jeruk. Topi merah kesayangannya pun juga ikut basah. Namun yang menjerat minat kumpulan pasang mata di sekelilingnya adalah senyum yang mengembang di wajah dinginnya.

Tak sampai semenit, kini gantian Obi yang basah berlumur cairan hijau. Hidung Obi mengernyit jijik. Ia paling anti dengan alpukat.

Dari belakang Zeze, Juni melemparkan tepung ke arahnya. Lagi-lagi Zeze harus membendung kejengkelan yang membengkak di hatinya.

Kemudian Rhea menyusul dengan kedua tangan membawa kue bundar yang terpajang lilin merah membentuk angka 17 di tengahnya.

"Selamat ulang tahun Zeze!" Ucap Rhea, tersenyum manis.

"Happy sweet seventeen!" Seru Juni, heboh sendiri.

Rhea menyuruh yang lainnya berhenti dulu untuk berkumpul, membentuk lingkaran dengan Zeze yang berada di tengah.

"Ayo buat permohonan!" Juni menyuruh dengan mata berbinar-binar.

Zeze memutar bola matanya. Sebenarnya apa coba tujuan dari semua ini? Inilah salah satu alasan mengapa Zeze tidak pernah ingin mengikuti acara semacam ini. Terlalu tidak rasional.

Yang bisa Zeze lakukan hanya mendengus pasrah. Matanya pun terbungkus, melisankan permohonannya di dalam hati.

'Semoga orang-orang yang telah bertemu denganku, ataupun yang akan bertemu denganku di masa depan nanti, selalu diberi kebahagiaan.'

Lalu, ditiupnya secercah api di lilin itu hingga padam. Yang lainnya bertepuk tangan dan bersorak-sorak, bahkan ada yang bersiul-siul sampai membuat Zeze bergidik karena suaranya yang melengking tinggi.

Mata Zeze menangkap Luna, Volta, Saga dan Airo yang berdiri jauh di belakang Rhea. Mereka terlihat tengah bersiap masuk ke dalam mobil. Menyadari itu, Rhea dan Juni menoleh ke belakang. Dan ketika mata Juni menyorot mereka, senyumnya terhampar.

"Sedang apa kalian di situ? Ayo ke sini! Nanti kalian tidak kebagian kue!" Serunya.

Mereka sempat bimbang, sebelum kemudian memutuskan untuk mendekat, menuju kehangatan bagai keluarga yang dengan senang hati menyambut mereka.
RECENTLY UPDATES