51 CODE
"...Ingrid Voan Enochlei."
Terjadi hening. Tak ada yang dapat berkata-kata. Obi yang pertama kali memecah keheningan, "kenapa?" Tanyanya. Ia curiga kali ini Zeze hanya bermain insting seperti biasanya.
"Jadi begini," kata Zeze, sedikit tersinggung. "Kau punya telinga kan?"
Obi mengangkat sebelah alisnya. "Apa MATAMU itu tidak bisa melihat dua buah benda yang menggantung di masing-masing sisi kepalaku ini?"
"Bisa," jawab Zeze. "Kalau begitu, TELINGAMU itu pasti juga bisa 'kan mendengar ucapan perempuan itu saat dia berpidato di aula sekolah?"
"Bagian mananya?"
"Bagian dia mengundang saudara-saudarinya—para keturunan kerajaan itu—untuk makan malam bersama seusai pesta."
Lalu, apa hubungannya dengan Ingrid yang meracuni Luna? Bukankah mereka dekat? Buktinya, Ingrid bersedia mengundang Luna, padahal makan malam itu hanya ditujukan untuk para keturunan kerajaan.
Mereka semua masih terlihat bingung. Meski begitu, tak ada yang bersuara.
"Kau bilang, sebelumnya kau melihat Penyelidik memeriksa orang-orang itu satu per satu, tapi tidak ditemukan apa-apa. Namun ketika dia memeriksa barang-barang di atas meja dan menggeledah ke dalam paperbag Helen, ditemukan sebungkus racun di dompetnya."
Zeze juga menunjukkan foto yang diambilnya. Meja itu bersih. Hanya ada hidangan. Tidak ada paperbag, bertolak belakang dengan foto yang diambil Obi. "Normalnya, orang-orang pasti akan menaruh barang yang notabenenya memakan tempat di bawah meja.
"Dan keanehan yang kedua. Paperbag-nya berada di antara sup Helen dan Ingrid, itu berarti di sebelah kiri Helen. Dan jika pun benar Helen menaruhnya di atas meja, pasti tidak mungkin di sebelah kirinya karena itu dapat memotong aksesnya untuk berbicara dengan Ingrid. Dari tingginya saja sudah dapat menutupi pandangan. Dan juga, menurut pengamatanku, biasanya orang-orang akan menaruh barang di sebelah kanannya, apalagi jika barang itu yang mengandung sesuatu, misalnya dompet. Kecuali jika orang itu kidal. Tapi tadi sebelumnya Helen memegang sendok dengan tangan kanan."
"Itu belum membuktikan Ingrid adalah pelakunya," tukas Juni.
Mau tak mau Juni merasa tersinggung karena jauh di dalam lubuk hatinya, ia adalah penggemar Ingrid. Juni selalu berpikir bahwa Ingrid berbeda dari keturunan kerajaan lain yang hanya bisa bernaung di bawah nama dan juga harta orang tua mereka. Ingrid juga dermawan karena sering menjadi relawan dan juga donatur tetap untuk anak-anak kelaparan di benua Afrika. Ingrid itu adalah sebuah definisi dari kesempurnaan yang seluruh wanita di dunia ini ingin miliki. Bedanya jauh sekali dari putri aneh yang hanya bisa bermalas-malasan di rumah untuk bermain game dan menonton kartun itu.
Jika saja Juni tidak 'hancur' luar-dalam, ia ingin seperti Ingrid. Ia ingin mengikuti jejaknya dan menjadi berguna bagi orang lain bukan dalam artian yang buruk seperti sekarang ini. Ia ingin menebar kebaikan, bukan menghukum kejahatan.
"Memang belum, karena aku belum selesai." Zeze merasa terusik. "Sebenarnya kalau kau bisa menyadari maksud ucapanku kepada Obi barusan, keanehan yang ketiga yaitu, untuk apa Ingrid tiba-tiba mengundang Lady Luna—yang notabenenya bukan keturunan kerajaan—padahal sebelumnya di aula sekolah dia bilang HANYA akan menjalin silaturahmi dengan saudara-saudarinya?"
Juni termangu, sementara Obi membuka mulutnya. Jadi itu maksud Zeze menanyakan keberadaan telinganya. Obi memang mendengar Ingrid mengatakannya di aula, tapi tidak pernah menyangka bahwa hal itu akan ada hubungannya dengan teka-teki satu ini. Di saat yang lainnya menyimpulkan bahwa itu adalah bukti kedekatan mereka, Zeze tidak. Dia benar-benar melihat semuanya dari sudut pandang yang berbeda.
Benar juga. Kalau dipikir-pikir, dari sekian banyaknya bangsawan yang menghadiri pesta itu, kenapa hanya Luna yang Ingrid undang untuk makan malam bersama? Terlebih lagi, mendadak.
"Itu patut dipertanyakan," Zeze melanjutkan. "Dan keanehan keempat: kenapa aku, Kakak dan Silly tidak ikut dipanggil untuk dimintai keterangan? Terlalu klasik jika alasannya adalah karena kami yang membantunya, atau kami saling mengenal. Jika begitu, harusnya Silly yang dicurigai karena dia tidak begitu dekat dengan Lady Luna, dan juga pada saat kejadian, dia pergi untuk memanggil Kak Rhea. Ingrid tidak sempat memikirkan hal ini, karena tujuannya telah lebih dulu terpenuhi. Yang dia pikirkan hanyalah bagaimana cara agar racun itu bisa masuk ke tubuh Lady Luna dan Helen yang dituduh.
"Atau," Zeze menekankan, "dia tidak ingin salah satu dari kami bertiga ikut campur. Dan alasannya aku tidak tahu kenapa.
"Dan seperti yang sebelumnya Kakak bilang, ini adalah cara paling berantakan untuk meracuni seseorang. Seperti... well, mana mungkin kau menawarkan racun terang-terangan kepada korbanmu? Jika dari awal Helen memang memiliki niatan untuk meracuni Lady Luna, harusnya dia tidak perlu menawarkan sup segala. Terlebih lagi dia membuang bekas racunnya di paperbag-nya sendiri. Harusnya dia membuangnya ke tempat lain."
"Membunuh dua burung dengan satu batu," kutip Juni, tanpa sadar mengiyakan deduksi Zeze.
"Jadi maksudmu, dia ingin mencelakai Luna sekaligus menuduh Putri Helen?" Tanya Airo.
Juni mengangkat bahu. "Siapa tahu. Buktinya dia mengundang Luna juga kan?"
Zeze ingin mencibir Juni karena begitu cepatnya gadis berambut hitam itu berbalik memihaknya. Tapi ia langsung mengurungkan niatnya karena sedang sebal telah diragukan teman sendiri.
Driko mendesah. "Untuk apa dia mencelakai Luna? Memangnya Luna salah apa?"
"Mungkin ada hubungannya dengan Marquess Vierhent yang menentang kebijakan keluarga Enochlei tentang penyerahan kapal asing yang melakukan illegal fishing di perairan Aplistia kepada para nelayan lokal." Airo menebak. Ia tahu hal ini dari ayahnya.
"Memangnya kenapa? Bukankah itu bagus? Daripada ditenggelamkan, lebih baik diberikan kepada para nelayan untuk membantu usaha mereka," Juni menanggapi. "Atau tidak dilelang untuk menambah pendapatan negara."
"Jika begitu, lalu apa gunanya kapal produksi dalam negeri?" Balas Driko. "Apakah kau tahu, kapal-kapal ilegal yang ditenggelamkan itu bisa menjadi rumah para ikan. Serta juga bisa dijadikan objek wisata bawah laut. Tentunya pendapatan negara juga akan bertambah nantinya." Seperti yang diharapkan dari putra Duke Megaloan.
"Ekosistem bawah laut di seluruh dunia pada abad ini sedang mengalami masa kritis. Terumbu karang sebagai habitat para ikan banyak yang rusak. Solusinya ya... terumbu karang buatan seperti ini," tambah Rhea. Kedua orang ini memang selalu sepaham jika menyangkut hal-hal semacam ini. Pantas saja mereka berdua selalu terlihat asyik sendiri mengobrol.
"Tapi... kenapa sampai segitunya? Sampai berniat membunuh..." Volta terenyak.
Di sisi lain, Luna terdiam. Jantungnya mulai berdegup kencang tak beraturan. Ia dilanda dilema antara mengatakan yang sebenarnya atau tidak.
Luna tidak bisa mengatakan bahwa Ingrid beberapa kali mengajaknya ke ruangannya. Mereka mengobrol banyak hal sampai-sampai menyambung ke hal lain dan menanyakan tentang Zeze. Ingrid mengatakan dia butuh bantuannya. Dia ingin Luna menyampaikan informasi apa saja tentang Zeze, karena dia tahu, Luna membenci Zeze.
Dan tentu saja Luna menolaknya. Ia tidak bisa mengkhianati teman-temannya begitu saja. Didikan keluarganya mengenai kesetiaan begitu kental di dalam darah dan dagingnya. Terlebih lagi, Luna mempunyai hutang nyawa dengan Zeze.
Ingrid hanya tersenyum lembut ketika mendengar penolakannya waktu itu. Dia tidak begitu mempermasalahkan dan bahkan memuji kepribadian Luna. Ingrid bilang hubungan pertemanan mereka tidak akan berakhir hanya karena hal ini. Dan Luna yang mendengarnya pun senang bukan main. Ternyata benar, Putri Ingrid Enochlei adalah Tuan Putri terbaik yang pernah dimiliki Aplistia. Namun kejadian kali ini dan pernyataan Zeze barusan sukses mengejutkan Luna.
Satu hal yang Luna mengerti, Ingrid ingin membuatnya tutup mulut. Sebenarnya tanpa Ingrid melakukan hal semacam ini pun, Luna akan menutup mulutnya rapat-rapat. Jika teman-temannya, terlebih lagi Kion sampai tahu ia berhubungan dengan kubu kanan....
"Jadi, apa yang harus kita lakukan?" Rhea meminta pendapat.
"Apa maksudmu? Kau ingin membantu Si Helen itu tanpa bukti yang kuat?" Cecar Juni.
"Tapi, Ni, dia orang yang tidak bersalah! Apakah kita harus diam saja?"
"Dia tidak ada hubungannya dengan kita," ujar Zeze. "Lagi pula, kau ingat kan Raja menyarankan untuk tidak ikut campur dalam masalah keluarga kerajaan. Kita tidak punya cukup kekuatan untuk melakukannya. Jadi hentikan saja. Biarkan saja mereka saling berperang asalkan jangan sampai melibatkan rakyat kecil. Ayo pulang. Dia sudah bisa langsung berjalan kan?"
"Seharusnya bisa." Juni melirik Luna.
"B—bisa, bisa," jawab Luna. Ia bangun dibantu Rhea lalu melepaskan infus dari punggung tangannya. Dan benar saja, tubuhnya terasa seperti terlahir kembali. Darah Juni benar-benar manjur.
Obi yang sejak tadi berdiri di belakang sofa Kion, baru menyadari ada Silian di ruangan ini. Dan ketika ia melihat ke arah Silian, mata mereka justru bertemu.
Obi tersenyum lalu merendahkan kepalanya, memberi hormat, berbeda dengan reaksi Silian yang malah gelagapan dan mengalihkan pandangan dengan wajah merah padam.
Mereka semua akhirnya keluar dari ruangan itu untuk menuju mobil yang terparkir di basement. Silian berpisah di ruang utama karena ia harus pulang bersama dengan sepupu dari pihak ibunya, yang tak lain adalah Helen.
Namun baru setengah jalan, Juni bilang dia melupakan pulpennya dan berniat kembali. Zeze langsung melarangnya, dan berkata bahwa ia yang akan mengambilnya.
Akhirnya di sinilah Zeze, mendorong pintu kembar berwarna putih itu hingga terbuka. Ia segera berjalan menuju tempat tidur bermotif bunga lily kuning dan menemukan pulpen hitam Juni di atasnya.
Setelah mendapatkannya, Zeze merasakan ponsel di dalam genggamannya bergetar. Ia melihat notifikasi pesan dari Zafth di layarnya.
Ia asyik sendiri membalas pesan demi pesan yang dikirimkan laki-laki itu sampai tidak sadar akan arah jalannya. Dan akibatnya, lututnya malah membentur kaki belakang sofa. Ia meringis sambil berjinjit-jinjit dan mengusap-usap lututnya.
Niatnya hanya ingin menendang balik sofa itu untuk melampiaskan kekesalannya, namun ia malah menemukan hal yang tak terduga.
Di belakang sofa putih itu terdapat bercak coklat kemerahan. Berjongkok, Zeze mengusap bercak itu dengan dua jarinya. Teksturnya sedikit kasar karena telah tertinggal lama. Karena ia telah berpengalaman menangani urusan autopsi mayat, ia yakin bahwa ini adalah bercak darah.
Ia berdiri lalu mengedarkan pandangannya ke sekitar. Pulpen yang dipegangnya tiba-tiba terjatuh, menggelinding sampai berhenti menabrak dinding, membuatnya harus membungkuk dan mengambilnya kembali.
Dan tanpa bisa ia perkirakan, ia menemukan hal menarik lainnya. Bercak darah lain tertinggal di sudut lantai putih itu. Hanya setitik, seperti tetesan cat. Tapi Zeze tahu itu adalah darah.
Zeze memandangi dinding di hadapannya ini. Dinding itu dilapisi oleh kertas bercorak bunga lily kuning.
Ia menemukan celah kertas yang menganga karena lem yang sudah kehilangan kemampuannya untuk melekat. Saat disingkap, ia terkejut bukan main karena terdapat bercak merah yang sudah agak kecokelatan menempel di dinding yang berwarna asli krem tersebut.
Bentuknya begitu menakutkan, seperti sengaja disiramkan ke arah dinding. Tak tinggal diam, Zeze membuka seluruhnya dengan hati-hati agar tidak ada kertas yang terobek, kemudian memfotonya. Setelahnya, Zeze menutup kembali dinding itu dan melihat hasil jepretannya.
Urusannya di sini telah selesai, tak ada gunanya juga ia berada di sini lama-lama. Zeze pun pergi menyusul yang lainnya menuju parkiran.
Ketika sampai di mobil, ia asyik sendiri memandangi foto darah di dinding itu. Ketika Obi yang duduk di samping kirinya menjulurkan kepala, ia malah menjauhkan ponselnya. "Tidak sekarang," gumamnya. Suara dan ekspresinya cukup rumit.
Bibir Obi agak mencebik, tapi toh ia memaklumi. Karena ia percaya, tidak ada satu pun rahasia yang sanggup Zeze pendam lama-lama darinya.
Ketika memasuki ruang tamu, Obi bertanya, "Ze, kau mau main kartu tidak?"
"Tidak, aku akan langsung tidur," tolaknya. Entah mengapa suaranya terdengar aneh.
"Kenapa? Ayo sini duduk, kita mengobrol terlebih dahulu. Baru pukul 9," bujuk Juni.
Mereka semua telah mengambil duduk di ruang tamu. Obi mulai menyetel DVD film horor agar obrolan mereka tambah menarik.
Zeze hanya melambai tanpa melihat ke belakang. Ia menaiki anak tangga sampai ke kamarnya, diikuti oleh Kion dan Froura di belakangnya.
"Ada apa dengannya?" Tanya Juni pada Obi yang tengah sibuk mengutak-atik TV yang tergantung di dinding. "Dia tidak mungkin marah karena kita meragukan deduksinya kan?"
"Tidak tahu." Obi menjawab seadanya tanpa menoleh.
Setelah sampai di kamar, Zeze langsung menyalakan lampu balkon dan lampu kamarnya. Tanpa melepas gaun hitamnya, ia duduk bersandar ke kepala kasur dengan kedua kaki terulur ke depan. Yang ia lakukan selanjutnya, tak lain dan tak bukan adalah mengamati lagi darah di dinding itu.
Sialnya, hal yang sama sekali tidak ingin ia ingat justru melintas begitu saja di otaknya. Ia memutuskan untuk mencari tahu dugaannya ini. Karena entah mengapa, ia tidak bisa percaya. Ia tidak mau percaya.
Zeze meninggalkan kamarnya untuk pergi ke sayap barat istana dan berhenti di salah satu pintu coklat tua bergagang melingkar. Diketuknya pintu itu, membuat si pemilik kamar keluar, yang tak lain adalah Madam Thoryvos. Wanita itu memakai gaun tidur satin berwarna putih yang panjangnya sampai ke mata kaki dengan pita di sekitar dadanya.
Dia terkejut ketika mendapati Zeze ada di hadapannya, "Y- Yang Mulia? Sedang apa Anda di sini?"
"Ma'am, ada yang ingin aku pastikan. Um, boleh aku masuk?" Tanya Zeze sopan.
Madam Thoryvos mengerjap, "ah, tentu, silakan Yang Mulia."
Setelah Zeze duduk di sofa samping tempat tidur, Madam Thoryvos bertanya, "Yang Mulia, Anda ingin minum apa?"
"Tidak apa, Ma'am aku hanya ingin menanyakan sesuatu dengan cepat kemudian kembali. Sebelumnya maaf karena telah mengganggu tidur Anda."
"Tidak, sama sekali tidak Yang Mulia, saya belum mau tidur. Jadi, apa yang ingin Anda tanyakan?" Madam Thoryvos mengambil duduk di sofa seberang dan agak terkejut ketika Zeze malah pindah dan memilih duduk di samping kanannya.
"Masih seputar pelajaran. Ma'am, aku mau tanya, apakah Anda mengenali ini?" Zeze menyodorkan ponselnya ke hadapan Madam Thoryvos.
Mata Madam Thoryvos menyipit untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke matanya yang telah rabun. "Tunggu sebentar," ujarnya, mengambil kacamata di nakas lalu kembali duduk di samping Zeze.
Akhirnya ia dapat juga mengenali gambar itu. Ini adalah gambar noda kecokelatan yang mengotori dinding.
"Itu ada di salah satu ruangan kediaman Enochlei." Zeze menjelaskan setelah melihat raut bingung Madam.
Detik itu juga, mata Madam Thoryvos membulat. Ia tentu tahu maksudnya. "Y- Yang Mulia ini..." ia cukup terkejut karena tidak mengira bukti ini masih ada.
Zeze mengangguk, "apa benar?" Bisiknya. Ia mematikan layar ponselnya dan menaruhnya di atas paha.
Madam Thoryvos meneguk salivanya kemudian berkata mantap, "ini adalah barang bukti terbunuhnya Putri Sageta La Qiseidon 6 tahun yang lalu."
Aneh kah jika Zeze tidak terkejut? Tentunya tidak. Sejak perjalanan ke sini, ia sudah meneguhkan hatinya.
Ya meskipun ia telah tahu jawabannya, tidak ada yang bisa ia lakukan sekarang. Sageta tidak benar-benar dibunuh, dan Zeze seratus persen yakin itu hanyalah copy-an dirinya.
Sageta memiliki nama samaran yang diambil dari salah satu dewi Yunani, yaitu Hestia, dewi perapian dan keluarga. Wanita itu memiliki dýnami yang bisa meniru orang atau benda dan juga membuat tiruannya. Tak heran jika ia bisa menciptakan tiruan dirinya sendiri.
Yang terbunuh saat itu adalah Sageta yang palsu. Jika tidak, bagaimana mungkin 6 tahun yang lalu Afrodi bisa membawa Sageta bergabung dengan mereka?
Tidak... bukan begitu... jika saja tidak ada yang mencoba membunuh Sageta, dia tidak akan mungkin bergabung dengan Énkavma. Dan yang lebih penting... dia tidak akan mati di tangan Aridna.
Sekarang semuanya jelas, tak ada alasan lain lagi baginya berada di sini. "Kalau begitu, Ma'am. Aku pamit dulu."
Zeze pun kembali ke kamarnya. Suhu malam ini lumayan dingin sehingga membuatnya cepat terlelap. Namun sebelum benar-benar menutup mata, ia menciptakan tekad yang telah diteguhkan hatinya.
Terjadi hening. Tak ada yang dapat berkata-kata. Obi yang pertama kali memecah keheningan, "kenapa?" Tanyanya. Ia curiga kali ini Zeze hanya bermain insting seperti biasanya.
"Jadi begini," kata Zeze, sedikit tersinggung. "Kau punya telinga kan?"
Obi mengangkat sebelah alisnya. "Apa MATAMU itu tidak bisa melihat dua buah benda yang menggantung di masing-masing sisi kepalaku ini?"
"Bisa," jawab Zeze. "Kalau begitu, TELINGAMU itu pasti juga bisa 'kan mendengar ucapan perempuan itu saat dia berpidato di aula sekolah?"
"Bagian mananya?"
"Bagian dia mengundang saudara-saudarinya—para keturunan kerajaan itu—untuk makan malam bersama seusai pesta."
Lalu, apa hubungannya dengan Ingrid yang meracuni Luna? Bukankah mereka dekat? Buktinya, Ingrid bersedia mengundang Luna, padahal makan malam itu hanya ditujukan untuk para keturunan kerajaan.
Mereka semua masih terlihat bingung. Meski begitu, tak ada yang bersuara.
"Kau bilang, sebelumnya kau melihat Penyelidik memeriksa orang-orang itu satu per satu, tapi tidak ditemukan apa-apa. Namun ketika dia memeriksa barang-barang di atas meja dan menggeledah ke dalam paperbag Helen, ditemukan sebungkus racun di dompetnya."
Zeze juga menunjukkan foto yang diambilnya. Meja itu bersih. Hanya ada hidangan. Tidak ada paperbag, bertolak belakang dengan foto yang diambil Obi. "Normalnya, orang-orang pasti akan menaruh barang yang notabenenya memakan tempat di bawah meja.
"Dan keanehan yang kedua. Paperbag-nya berada di antara sup Helen dan Ingrid, itu berarti di sebelah kiri Helen. Dan jika pun benar Helen menaruhnya di atas meja, pasti tidak mungkin di sebelah kirinya karena itu dapat memotong aksesnya untuk berbicara dengan Ingrid. Dari tingginya saja sudah dapat menutupi pandangan. Dan juga, menurut pengamatanku, biasanya orang-orang akan menaruh barang di sebelah kanannya, apalagi jika barang itu yang mengandung sesuatu, misalnya dompet. Kecuali jika orang itu kidal. Tapi tadi sebelumnya Helen memegang sendok dengan tangan kanan."
"Itu belum membuktikan Ingrid adalah pelakunya," tukas Juni.
Mau tak mau Juni merasa tersinggung karena jauh di dalam lubuk hatinya, ia adalah penggemar Ingrid. Juni selalu berpikir bahwa Ingrid berbeda dari keturunan kerajaan lain yang hanya bisa bernaung di bawah nama dan juga harta orang tua mereka. Ingrid juga dermawan karena sering menjadi relawan dan juga donatur tetap untuk anak-anak kelaparan di benua Afrika. Ingrid itu adalah sebuah definisi dari kesempurnaan yang seluruh wanita di dunia ini ingin miliki. Bedanya jauh sekali dari putri aneh yang hanya bisa bermalas-malasan di rumah untuk bermain game dan menonton kartun itu.
Jika saja Juni tidak 'hancur' luar-dalam, ia ingin seperti Ingrid. Ia ingin mengikuti jejaknya dan menjadi berguna bagi orang lain bukan dalam artian yang buruk seperti sekarang ini. Ia ingin menebar kebaikan, bukan menghukum kejahatan.
"Memang belum, karena aku belum selesai." Zeze merasa terusik. "Sebenarnya kalau kau bisa menyadari maksud ucapanku kepada Obi barusan, keanehan yang ketiga yaitu, untuk apa Ingrid tiba-tiba mengundang Lady Luna—yang notabenenya bukan keturunan kerajaan—padahal sebelumnya di aula sekolah dia bilang HANYA akan menjalin silaturahmi dengan saudara-saudarinya?"
Juni termangu, sementara Obi membuka mulutnya. Jadi itu maksud Zeze menanyakan keberadaan telinganya. Obi memang mendengar Ingrid mengatakannya di aula, tapi tidak pernah menyangka bahwa hal itu akan ada hubungannya dengan teka-teki satu ini. Di saat yang lainnya menyimpulkan bahwa itu adalah bukti kedekatan mereka, Zeze tidak. Dia benar-benar melihat semuanya dari sudut pandang yang berbeda.
Benar juga. Kalau dipikir-pikir, dari sekian banyaknya bangsawan yang menghadiri pesta itu, kenapa hanya Luna yang Ingrid undang untuk makan malam bersama? Terlebih lagi, mendadak.
"Itu patut dipertanyakan," Zeze melanjutkan. "Dan keanehan keempat: kenapa aku, Kakak dan Silly tidak ikut dipanggil untuk dimintai keterangan? Terlalu klasik jika alasannya adalah karena kami yang membantunya, atau kami saling mengenal. Jika begitu, harusnya Silly yang dicurigai karena dia tidak begitu dekat dengan Lady Luna, dan juga pada saat kejadian, dia pergi untuk memanggil Kak Rhea. Ingrid tidak sempat memikirkan hal ini, karena tujuannya telah lebih dulu terpenuhi. Yang dia pikirkan hanyalah bagaimana cara agar racun itu bisa masuk ke tubuh Lady Luna dan Helen yang dituduh.
"Atau," Zeze menekankan, "dia tidak ingin salah satu dari kami bertiga ikut campur. Dan alasannya aku tidak tahu kenapa.
"Dan seperti yang sebelumnya Kakak bilang, ini adalah cara paling berantakan untuk meracuni seseorang. Seperti... well, mana mungkin kau menawarkan racun terang-terangan kepada korbanmu? Jika dari awal Helen memang memiliki niatan untuk meracuni Lady Luna, harusnya dia tidak perlu menawarkan sup segala. Terlebih lagi dia membuang bekas racunnya di paperbag-nya sendiri. Harusnya dia membuangnya ke tempat lain."
"Membunuh dua burung dengan satu batu," kutip Juni, tanpa sadar mengiyakan deduksi Zeze.
"Jadi maksudmu, dia ingin mencelakai Luna sekaligus menuduh Putri Helen?" Tanya Airo.
Juni mengangkat bahu. "Siapa tahu. Buktinya dia mengundang Luna juga kan?"
Zeze ingin mencibir Juni karena begitu cepatnya gadis berambut hitam itu berbalik memihaknya. Tapi ia langsung mengurungkan niatnya karena sedang sebal telah diragukan teman sendiri.
Driko mendesah. "Untuk apa dia mencelakai Luna? Memangnya Luna salah apa?"
"Mungkin ada hubungannya dengan Marquess Vierhent yang menentang kebijakan keluarga Enochlei tentang penyerahan kapal asing yang melakukan illegal fishing di perairan Aplistia kepada para nelayan lokal." Airo menebak. Ia tahu hal ini dari ayahnya.
"Memangnya kenapa? Bukankah itu bagus? Daripada ditenggelamkan, lebih baik diberikan kepada para nelayan untuk membantu usaha mereka," Juni menanggapi. "Atau tidak dilelang untuk menambah pendapatan negara."
"Jika begitu, lalu apa gunanya kapal produksi dalam negeri?" Balas Driko. "Apakah kau tahu, kapal-kapal ilegal yang ditenggelamkan itu bisa menjadi rumah para ikan. Serta juga bisa dijadikan objek wisata bawah laut. Tentunya pendapatan negara juga akan bertambah nantinya." Seperti yang diharapkan dari putra Duke Megaloan.
"Ekosistem bawah laut di seluruh dunia pada abad ini sedang mengalami masa kritis. Terumbu karang sebagai habitat para ikan banyak yang rusak. Solusinya ya... terumbu karang buatan seperti ini," tambah Rhea. Kedua orang ini memang selalu sepaham jika menyangkut hal-hal semacam ini. Pantas saja mereka berdua selalu terlihat asyik sendiri mengobrol.
"Tapi... kenapa sampai segitunya? Sampai berniat membunuh..." Volta terenyak.
Di sisi lain, Luna terdiam. Jantungnya mulai berdegup kencang tak beraturan. Ia dilanda dilema antara mengatakan yang sebenarnya atau tidak.
Luna tidak bisa mengatakan bahwa Ingrid beberapa kali mengajaknya ke ruangannya. Mereka mengobrol banyak hal sampai-sampai menyambung ke hal lain dan menanyakan tentang Zeze. Ingrid mengatakan dia butuh bantuannya. Dia ingin Luna menyampaikan informasi apa saja tentang Zeze, karena dia tahu, Luna membenci Zeze.
Dan tentu saja Luna menolaknya. Ia tidak bisa mengkhianati teman-temannya begitu saja. Didikan keluarganya mengenai kesetiaan begitu kental di dalam darah dan dagingnya. Terlebih lagi, Luna mempunyai hutang nyawa dengan Zeze.
Ingrid hanya tersenyum lembut ketika mendengar penolakannya waktu itu. Dia tidak begitu mempermasalahkan dan bahkan memuji kepribadian Luna. Ingrid bilang hubungan pertemanan mereka tidak akan berakhir hanya karena hal ini. Dan Luna yang mendengarnya pun senang bukan main. Ternyata benar, Putri Ingrid Enochlei adalah Tuan Putri terbaik yang pernah dimiliki Aplistia. Namun kejadian kali ini dan pernyataan Zeze barusan sukses mengejutkan Luna.
Satu hal yang Luna mengerti, Ingrid ingin membuatnya tutup mulut. Sebenarnya tanpa Ingrid melakukan hal semacam ini pun, Luna akan menutup mulutnya rapat-rapat. Jika teman-temannya, terlebih lagi Kion sampai tahu ia berhubungan dengan kubu kanan....
"Jadi, apa yang harus kita lakukan?" Rhea meminta pendapat.
"Apa maksudmu? Kau ingin membantu Si Helen itu tanpa bukti yang kuat?" Cecar Juni.
"Tapi, Ni, dia orang yang tidak bersalah! Apakah kita harus diam saja?"
"Dia tidak ada hubungannya dengan kita," ujar Zeze. "Lagi pula, kau ingat kan Raja menyarankan untuk tidak ikut campur dalam masalah keluarga kerajaan. Kita tidak punya cukup kekuatan untuk melakukannya. Jadi hentikan saja. Biarkan saja mereka saling berperang asalkan jangan sampai melibatkan rakyat kecil. Ayo pulang. Dia sudah bisa langsung berjalan kan?"
"Seharusnya bisa." Juni melirik Luna.
"B—bisa, bisa," jawab Luna. Ia bangun dibantu Rhea lalu melepaskan infus dari punggung tangannya. Dan benar saja, tubuhnya terasa seperti terlahir kembali. Darah Juni benar-benar manjur.
Obi yang sejak tadi berdiri di belakang sofa Kion, baru menyadari ada Silian di ruangan ini. Dan ketika ia melihat ke arah Silian, mata mereka justru bertemu.
Obi tersenyum lalu merendahkan kepalanya, memberi hormat, berbeda dengan reaksi Silian yang malah gelagapan dan mengalihkan pandangan dengan wajah merah padam.
Mereka semua akhirnya keluar dari ruangan itu untuk menuju mobil yang terparkir di basement. Silian berpisah di ruang utama karena ia harus pulang bersama dengan sepupu dari pihak ibunya, yang tak lain adalah Helen.
Namun baru setengah jalan, Juni bilang dia melupakan pulpennya dan berniat kembali. Zeze langsung melarangnya, dan berkata bahwa ia yang akan mengambilnya.
Akhirnya di sinilah Zeze, mendorong pintu kembar berwarna putih itu hingga terbuka. Ia segera berjalan menuju tempat tidur bermotif bunga lily kuning dan menemukan pulpen hitam Juni di atasnya.
Setelah mendapatkannya, Zeze merasakan ponsel di dalam genggamannya bergetar. Ia melihat notifikasi pesan dari Zafth di layarnya.
Ia asyik sendiri membalas pesan demi pesan yang dikirimkan laki-laki itu sampai tidak sadar akan arah jalannya. Dan akibatnya, lututnya malah membentur kaki belakang sofa. Ia meringis sambil berjinjit-jinjit dan mengusap-usap lututnya.
Niatnya hanya ingin menendang balik sofa itu untuk melampiaskan kekesalannya, namun ia malah menemukan hal yang tak terduga.
Di belakang sofa putih itu terdapat bercak coklat kemerahan. Berjongkok, Zeze mengusap bercak itu dengan dua jarinya. Teksturnya sedikit kasar karena telah tertinggal lama. Karena ia telah berpengalaman menangani urusan autopsi mayat, ia yakin bahwa ini adalah bercak darah.
Ia berdiri lalu mengedarkan pandangannya ke sekitar. Pulpen yang dipegangnya tiba-tiba terjatuh, menggelinding sampai berhenti menabrak dinding, membuatnya harus membungkuk dan mengambilnya kembali.
Dan tanpa bisa ia perkirakan, ia menemukan hal menarik lainnya. Bercak darah lain tertinggal di sudut lantai putih itu. Hanya setitik, seperti tetesan cat. Tapi Zeze tahu itu adalah darah.
Zeze memandangi dinding di hadapannya ini. Dinding itu dilapisi oleh kertas bercorak bunga lily kuning.
Ia menemukan celah kertas yang menganga karena lem yang sudah kehilangan kemampuannya untuk melekat. Saat disingkap, ia terkejut bukan main karena terdapat bercak merah yang sudah agak kecokelatan menempel di dinding yang berwarna asli krem tersebut.
Bentuknya begitu menakutkan, seperti sengaja disiramkan ke arah dinding. Tak tinggal diam, Zeze membuka seluruhnya dengan hati-hati agar tidak ada kertas yang terobek, kemudian memfotonya. Setelahnya, Zeze menutup kembali dinding itu dan melihat hasil jepretannya.
Urusannya di sini telah selesai, tak ada gunanya juga ia berada di sini lama-lama. Zeze pun pergi menyusul yang lainnya menuju parkiran.
Ketika sampai di mobil, ia asyik sendiri memandangi foto darah di dinding itu. Ketika Obi yang duduk di samping kirinya menjulurkan kepala, ia malah menjauhkan ponselnya. "Tidak sekarang," gumamnya. Suara dan ekspresinya cukup rumit.
Bibir Obi agak mencebik, tapi toh ia memaklumi. Karena ia percaya, tidak ada satu pun rahasia yang sanggup Zeze pendam lama-lama darinya.
Ketika memasuki ruang tamu, Obi bertanya, "Ze, kau mau main kartu tidak?"
"Tidak, aku akan langsung tidur," tolaknya. Entah mengapa suaranya terdengar aneh.
"Kenapa? Ayo sini duduk, kita mengobrol terlebih dahulu. Baru pukul 9," bujuk Juni.
Mereka semua telah mengambil duduk di ruang tamu. Obi mulai menyetel DVD film horor agar obrolan mereka tambah menarik.
Zeze hanya melambai tanpa melihat ke belakang. Ia menaiki anak tangga sampai ke kamarnya, diikuti oleh Kion dan Froura di belakangnya.
"Ada apa dengannya?" Tanya Juni pada Obi yang tengah sibuk mengutak-atik TV yang tergantung di dinding. "Dia tidak mungkin marah karena kita meragukan deduksinya kan?"
"Tidak tahu." Obi menjawab seadanya tanpa menoleh.
Setelah sampai di kamar, Zeze langsung menyalakan lampu balkon dan lampu kamarnya. Tanpa melepas gaun hitamnya, ia duduk bersandar ke kepala kasur dengan kedua kaki terulur ke depan. Yang ia lakukan selanjutnya, tak lain dan tak bukan adalah mengamati lagi darah di dinding itu.
Sialnya, hal yang sama sekali tidak ingin ia ingat justru melintas begitu saja di otaknya. Ia memutuskan untuk mencari tahu dugaannya ini. Karena entah mengapa, ia tidak bisa percaya. Ia tidak mau percaya.
Zeze meninggalkan kamarnya untuk pergi ke sayap barat istana dan berhenti di salah satu pintu coklat tua bergagang melingkar. Diketuknya pintu itu, membuat si pemilik kamar keluar, yang tak lain adalah Madam Thoryvos. Wanita itu memakai gaun tidur satin berwarna putih yang panjangnya sampai ke mata kaki dengan pita di sekitar dadanya.
Dia terkejut ketika mendapati Zeze ada di hadapannya, "Y- Yang Mulia? Sedang apa Anda di sini?"
"Ma'am, ada yang ingin aku pastikan. Um, boleh aku masuk?" Tanya Zeze sopan.
Madam Thoryvos mengerjap, "ah, tentu, silakan Yang Mulia."
Setelah Zeze duduk di sofa samping tempat tidur, Madam Thoryvos bertanya, "Yang Mulia, Anda ingin minum apa?"
"Tidak apa, Ma'am aku hanya ingin menanyakan sesuatu dengan cepat kemudian kembali. Sebelumnya maaf karena telah mengganggu tidur Anda."
"Tidak, sama sekali tidak Yang Mulia, saya belum mau tidur. Jadi, apa yang ingin Anda tanyakan?" Madam Thoryvos mengambil duduk di sofa seberang dan agak terkejut ketika Zeze malah pindah dan memilih duduk di samping kanannya.
"Masih seputar pelajaran. Ma'am, aku mau tanya, apakah Anda mengenali ini?" Zeze menyodorkan ponselnya ke hadapan Madam Thoryvos.
Mata Madam Thoryvos menyipit untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke matanya yang telah rabun. "Tunggu sebentar," ujarnya, mengambil kacamata di nakas lalu kembali duduk di samping Zeze.
Akhirnya ia dapat juga mengenali gambar itu. Ini adalah gambar noda kecokelatan yang mengotori dinding.
"Itu ada di salah satu ruangan kediaman Enochlei." Zeze menjelaskan setelah melihat raut bingung Madam.
Detik itu juga, mata Madam Thoryvos membulat. Ia tentu tahu maksudnya. "Y- Yang Mulia ini..." ia cukup terkejut karena tidak mengira bukti ini masih ada.
Zeze mengangguk, "apa benar?" Bisiknya. Ia mematikan layar ponselnya dan menaruhnya di atas paha.
Madam Thoryvos meneguk salivanya kemudian berkata mantap, "ini adalah barang bukti terbunuhnya Putri Sageta La Qiseidon 6 tahun yang lalu."
Aneh kah jika Zeze tidak terkejut? Tentunya tidak. Sejak perjalanan ke sini, ia sudah meneguhkan hatinya.
Ya meskipun ia telah tahu jawabannya, tidak ada yang bisa ia lakukan sekarang. Sageta tidak benar-benar dibunuh, dan Zeze seratus persen yakin itu hanyalah copy-an dirinya.
Sageta memiliki nama samaran yang diambil dari salah satu dewi Yunani, yaitu Hestia, dewi perapian dan keluarga. Wanita itu memiliki dýnami yang bisa meniru orang atau benda dan juga membuat tiruannya. Tak heran jika ia bisa menciptakan tiruan dirinya sendiri.
Yang terbunuh saat itu adalah Sageta yang palsu. Jika tidak, bagaimana mungkin 6 tahun yang lalu Afrodi bisa membawa Sageta bergabung dengan mereka?
Tidak... bukan begitu... jika saja tidak ada yang mencoba membunuh Sageta, dia tidak akan mungkin bergabung dengan Énkavma. Dan yang lebih penting... dia tidak akan mati di tangan Aridna.
Sekarang semuanya jelas, tak ada alasan lain lagi baginya berada di sini. "Kalau begitu, Ma'am. Aku pamit dulu."
Zeze pun kembali ke kamarnya. Suhu malam ini lumayan dingin sehingga membuatnya cepat terlelap. Namun sebelum benar-benar menutup mata, ia menciptakan tekad yang telah diteguhkan hatinya.