50 RIDDLE

Malam ini, Zeze mengenakan gaun hitam berkerah U yang melingkari lehernya. Gaun tanpa lengan itu memiliki bahan yang pendek sampai ke lutut, namun panjang sampai ke mata kaki di bagian belakang. Pinggangnya terikat dengan pita yang simpul kupu-kupunya terletak di bagian samping.

Sejak tadi Zeze hanya memperhatikan Kion yang mengobrol silih berganti dengan anak dari para pejabat dan pengusaha. Laki-laki itu seperti biasa mengenakan baju dan jubah kerajaannya.

Kali ini Zeze tidak mengeluh dan menurut saja ketika Kion menarik pinggangnya ke sana ke mari untuk mengobrol dengan orang yang berbeda-beda.

Kion pun menyadari perubahan tingkahnya, karena itulah ia menyinggung lirih tanpa menatapnya, "kau tidak banyak bicara hari ini, ada apa?"

Zeze sedikit terkejut dan memilih tetap melanjutkan jalan di sisi kanannya dengan kepala tertunduk, "tidak ada."

"Lelah?" Tanya Kion dengan suara beratnya.

Walaupun Zeze menggeleng, tapi Kion berasumsi sebaliknya. Karena itulah ia malah membawa Zeze menuju ke salah satu ruangan di kediaman keluarga Enochlei untuk istirahat.

Setelah sampai di lorong sepi, Kion langsung melepaskan lengannya dari pinggang Zeze dan berjalan lebih dulu. Dan mau tak mau, hal tersebut membuat mata Zeze melebar, karena biasanya dirinyalah yang selalu berjalan meninggalkannya.

Menatap punggung tegapnya dari jauh seperti ini, tanpa sadar telah memutar kenangan masa lalunya. Saat kecil, Kion adalah pahlawannya. Dia mengajarinya banyak hal, membantunya keluar dari kesengsaraan di dalam pagar besi berkarat berkedok emas. Ketika Kion bilang bahwa Glen-lah yang membuatnya memiliki impian, itu tidak sepenuhnya benar.

Karena yang membuatnya pertama kali memiliki impian adalah dia. Sewaktu kecil, Kion selalu memperkenalkannya berbagai hal baru, contohnya buku. Zeze selalu memintanya untuk membacakannya berbagai jenis buku yang dengan senang hati akan dilakukannya. Karena saat kecil, Zeze selalu disodorkan buku tentang angka-angka oleh ibunya sehingga sampai membuatnya berpikir bahwa seluruh buku di dunia ini hanya tentang hal-hal semacam itu. Ternyata tidak. Dunia itu luas.

Sejak saat itu, impian pertamanya terlahir. Ia ingin menjadi seorang penulis, dan hal itu telah terwujud dengan indahnya.

Tapi sampai detik ini pun ia belum benar-benar mengenal pahlawannya. Apa yang tengah dipikirkannya, apa yang tengah dirasakannya, apa yang akan dilakukannya, dan apa yang sebelumnya dia lakukan. Sebuah perasaan keingintahuan merasuk begitu saja ke dalam hatinya secara tiba-tiba.

Zeze ingin tahu banyak tentang dia.

Matanya mendung ketika ia memperhatikan punggung berlapis jubah kerajaan berwarna merah itu. Punggung tegap yang menanggung semua beban sendirian. Detik itu juga, timbul rasa ingin memeluknya, membagi beban berat itu bersama-sama.

Dan tanpa bisa dicegah akal sehatnya, Zeze menyusulnya dengan langkah cepat. Ia melingkarkan kedua lengannya, memeluk pahlawannya dari belakang.

Sontak hal itu menghentikan langkah Kion. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Ia selalu waspada, tapi mengapa ia tidak menyadari hal tiba-tiba ini. Tidak, itu tidaklah penting. Yang mendominasi pikirannya sekarang adalah: apa yang dilakukan gadis itu? Mengapa?

Zeze menenggelamkan wajahnya di punggung Kion, memeluk pinggangnya dengan sangat erat. Ia dapat merasakan tangan Kion berada di atas tangannya, mencoba melepaskan.

"Roz—"

"Kenapa Kakak tidak cerita!?" Zeze bertanya kalut dengan suara yang agak teredam.

Kion menoleh ke belakang dengan wajah terkejut. Butuh waktu sampai ia benar-benar mengerti hal apa yang bisa membuat Zeze bertingkah seperti ini.

Ia berhenti mencoba melepaskan tangan Zeze dari pinggangnya. Tangannya terjatuh di sisi tubuhnya. Ia menunduk, menatap datar lantai berkarpet coklat di bawah kakinya.

Zeze mengubah posisi kepalanya sehingga pipi kanannya menempel di punggung Kion. "Sendirian... pasti akan sulit," katanya, merih.

Ia membayangkan Kion yang sejak kecil sudah harus berurusan sendirian dengan berbagai macam kepalsuan di sekitarnya. Walau Kion menyadarinya sekalipun, dia tetap tidak bisa melaakukan apa-apa.

Sudah diputuskan, Zeze tidak akan pernah meninggalkannya. Anggap saja ini sebagai balasan sewaktu kecil dulu.

"Kakak, terima kasih."

"Untuk?" Tanya Kion, mengangkat alis samar.

"Segalanya," jawabnya, tulus. Dari suaranya Kion bisa menebak dia sedang tersenyum.

Kion mendengus untuk menyamarkan tawanya. "Sama-sama."

Setelah pesta usai, seperti yang dijanjikan, Ingrid mengundang para keturunan kerajaan lain untuk makan malam. Memang benar terdapat kedua belah kubu yang saling bersaing di dalam kerajaan ini. Namun ajaibnya, mau itu dari kubu kanan atau pun kiri, mereka semua memperlakukan Ingrid dengan sangat baik. Gadis itu seakan menghancurkan tembok yang menjulang kokoh di antara kedua belah kubu. Mungkin karena itulah banyak pihak yang mendukungnya menjadi Ratu kerajaan ini.

Zeze sadar bahwa mereka semua menjaga jarak darinya. Sekarang ia bisa merasakan secara langsung betapa terasingnya Ankhatia di dalam ruang lingkup keluarga kerajaan. Pantas saja di akademi tidak ada satu pun keturunan kerajaan yang menegurnya.

Ada banyak orang-orang yang tidak Zeze kenal. Tapi untungnya, Kion yang duduk di sebelah kirinya bersedia memberitahu lewat bisikan.

Yang lainnya menyadari hubungan mesra kedua orang ini. Bahkan saat Kion mendekatkan bibirnya ke telinga kiri Zeze, para tuan putri langsung menahan napas.

Hal itu membuat Zeze terkikik geli, yang pastinya ia samarkan. Namun yang mengacaukan suasana hatinya pasti selalu ada. Contohnya adalah orang yang duduk di sebelah kiri Kion ini.

Sejak tadi orang itu asyik sekali menggelayuti lengan Kion. Bahkan saat Kion berniat memberitahu suatu hal kepada Zeze, orang itu langsung sigap menariknya menjauh.

Orang itu membuat Zeze dongkol setengah mati, namun ia mengontrol wajahnya agar tetap terlihat tenang.

"Hei, kau tidak ingin melakukan apa pun?" Bisik Luna di samping kanannya. Gadis itu memakai gaun merah tanpa lengan yang panjangnya sampai ke mata kaki. Luna juga ikut serta karena Ingrid sendiri yang meminta. Sepertinya mereka berdua sangat dekat.

"Tidak, untuk apa?" Jawabnya, mencoba menahan ledakan emosi di hatinya.

"Walaupun kau tidak masalah tapi aku—" Luna cepat-cepat menutup mulutnya.

Zeze menoleh dengan kedua alis terangkat.

"T- tidak, tidak apa-apa. Tapi Pangeran Kion di sini sebagai tunanganmu. Apa kau berniat membiarkannya bersama Putri Silian sepanjang makan malam?"

Zeze berdecak, kemudian mendengus panjang. Ia sedikit memundurkan kursinya untuk melihat Silian yang terhalang oleh Kion. Gadis itu mengenakan gaun berwarna wheat dengan kerah berhias permata.

"Putri Silian yang terhormat." Silian menoleh atas panggilannya.

Namun Zeze tidak meneruskan ucapannya. Ia hanya memberikan senyuman yang sukses membuat Silian bergidik. Senyuman itu seperti mengisyaratkan, 'lepas, atau mati'

Dengan ragu, Silian melepas pelukannya dari lengan Kion. Ia masih tidak dapat berpaling dari senyum itu. Ada baiknya jika sekarang ia menyerah jika tidak ingin diperlakukan macam-macam oleh Zeze di hadapan orang banyak.

Ingrid, sang tokoh utama dalam pesta ini, memakai gaun ketat berwarna putih yang menutupi seluruh tubuhnya. Namun hal itu justru memamerkan lekuk tubuhnya yang indah di balik balutan sutra tersebut. Ingrid membuka makan malam ini dengan sedikit perbincangan yang klise.

Sementara Zeze dan Kion memilih mendengarkan sambil sesekali berbicara dalam bisikan.

"...jadi begitu, semoga kalian menikmati hidangan makan malam kali ini. Jangan sungkan-sungkan untuk bilang tidak enak, dengan begitu aku bisa memecat kepala koki di sini," candanya. Orang-orang yang mendengarnya tertawa hangat. Namun Zeze dan Kion tidak bisa menemukan dimana letak lucunya.

"Oh ya, saudari kita, Putri Helen Re Zilevo membuatkan sup khusus turun-menurun keluarga Zilevo." Ingrid menatap hangat Helen yang duduk di sebelah kanannya. Helen pun membalasnya dengan senyuman.

"Aku yang akan menyajikannya sendiri," kata Helen. Gadis bergaun biru itu bangkit berdiri dan memberi isyarat kepada maid di dekat dinding untuk membawa sup tersebut masuk.

Dengan loyang cekung yang dipegang maid tersebut, Helen menyajikan sup dari mangkuk ke mangkuk. Setelah selesai, dia pun duduk manis kembali.

"Silakan dicoba." Helen mempersilahkan.

Saat kuah sup itu menyentuh lidah mereka, pikiran mereka terasa seperti dibawa melayang-layang melewati luasnya samudra dan hutan rimba yang sejuk. Ini mungkin adalah sup terenak yang pernah menyentuh lidah mereka.

Zeze pun merasakan hal yang sama. Jika saja tidak ada orang-orang ini, ia pasti akan membuang jauh-jauh table manners merepotkan itu dan meminum langsung kuahnya lewat mangkuk.

"Luar biasa," gumam Zeze, mengundang Kion yang tengah menyuap supnya untuk menoleh. "Dave mempunyai saingan," lanjutnya, menatap Kion dengan mata birunya yang berbinar-binar.

Kion terkekeh melihat ekspresinya lalu menjelaskan dengan mata melembut, "keluarga Zilevo memang terkenal dengan keahliannya dalam memasak."

Zeze mengangguk-angguk paham.

Sepertinya keadaan sedang tidak berpihak kepadanya untuk lebih lama lagi menikmati sup yang luar biasa enak itu. Karena beberapa menit setelahnya, orang di sebelahnya ini terjatuh hingga kepalanya membentur lantai yang untungnya berlapiskan karpet.

Hal itu sontak membuat yang lainnya berdiri karena terkejut. Termasuk Zeze dan Kion.

"Lady Vierhent? Apa yang terjadi?"

"Seseorang cepat panggil dokter!"

"Apa? Ada apa ini?"

Tanpa menghiraukan kebisingan itu, Zeze cepat-cepat mengangkat kepala Luna dan menaruhnya di pahanya, diikuti oleh Kion yang berlutut dengan satu kaki di sebelah kanannya.

Ketika menyibak rambut yang menutupi wajah Luna, Zeze dibuat terkejut karena melihat busa yang serta-merta keluar dari mulutnya.

"Oh Tuhan!" Pekik Silian, terkejut.

Zeze melayangkan pandangan serius ke arahnya, "panggil Rhea."

Awalnya Silian bingung siapa Rhea, tapi kemudian ia mengingat wajah putri pertama dari Baron Algheus itu. Silian mengangguk dan cepat-cepat menuju Ipotis pribadinya untuk menyuruh mereka memanggil Rhea.

Kion meletakkan tangan di punggung dan di bawah lutut Luna lalu menggendongnya menuju ruangan terdekat.

Namun Zeze tidak ikut bersamanya. Ia tetap tinggal, karena jika ia pergi, barang bukti bisa saja hilang.

Dengan ekspresi rumit, Zeze memandangi Putri Helen yang terlihat panik. Lalu matanya bergeser ke sup di mangkuk Luna. Berbagai macam spekulasi mulai memenuhi otaknya.

Panggilan Silian membuyarkan lamunannya. ia menoleh dan melihat Rhea dengan tergesa-gesa menghampirinya dalam balutan gaun putih berlengan panjang.

Ternyata bukan hanya Rhea yang datang, tapi Juni yang mengenakan gaun hitam selutut tanpa lengan, juga ikut serta bersamanya. Zeze juga melihat Driko yang mengenakan tuxedo hitam mengikuti dari belakang.

"Dimana?" Tanya Rhea cemas.

"Di sana." Zeze menunjuk pintu yang terpajang di sisi barat dengan dagu.

Tanpa pikir panjang, Rhea segera menuju ke sana bersama Driko dan Juni. Namun ketika melihat Zeze tak kunjung bergerak, Juni menghentikan langkahnya dan memanggilnya, "Ze?"

"Duluan," gumamnya dari sela giginya. Sorot matanya begitu serius sampai membuat Juni menatap heran. Tak ingin larut terlalu lama, Juni lanjut menyusul Rhea dan Driko.

"Kenapa kau tidak ikut?" Tanya Silian, ia memilih tetap tinggal bersamanya.

Zeze mengeluarkan ponselnya dan memotret suasana dalam ruangan itu sebelum menjawab dengan senyum samar, "karena ada teka-teki yang sayang untuk dilewatkan."

========

Zeze dan Silian akhirnya memasuki ruangan tempat Luna dirawat. Ruangan yang dindingnya terlapisi kertas bercorak bunga lily kuning ini dihiasi oleh dua set sofa panjang berwarna putih dan tiga set sofa single berwarna abu-abu. Di tengah-tengahnya terdapat meja berisi pasir yang tertutupi kaca.

Saat mereka masuk, dokter berniat keluar. Kedua dokter perempuan itu membungkuk kepada mereka berdua sebelum menghilang di balik pintu.

"Bagaimana?" Tanya Zeze kepada orang-orang di sofa itu.

"Racun," jawab Rhea yang duduk di tepi tempat tidur sudut ruangan untuk memeriksa Luna. Sementara Juni berdiri memperhatikan di sebelahnya.

Zeze dan Silian mengambil duduk di seberang Kion dan Driko.

"Mungkin ini giliranku," ujar Juni. "Kau tidak bisa menyembuhkan racun kan?"

"Apa yang akan kau lakukan?" Tanya Driko, curiga.

Juni tidak menjawab. Ia mengeluarkan sebuah pulpen yang berasal dari kantung kecil berwarna abu-abu—kantung yang sama seperti milik Zeze—kemudian menekan tombol pulpen itu hingga ujung tajamnya terlihat.

Driko yang sejak tadi memperhatikan, mulai bangkit berdiri dan berjalan mendekat agar dapat melihat dengan jelas.

Driko melihat Juni membuka badan pulpen itu hingga tintanya terlihat. Tinta itu berwarna merah pekat. Namun tanpa disangka, Juni malah menjejalkannya masuk ke mulut Luna.

"Apa yang kau lakukan!" Driko panik dan menarik tangan Juni yang sedang memegang tinta.

Juni berdecak, "apa yang kau lakukan? Kau ingin dia sembuh atau tidak?" Suaranya meninggi.

"Tentu saja! Tapi apa yang sedang kau coba lakukan!? Memasukkan tinta itu ke tubuhnya!?"

"Tentu, tidak bisakah kau melihatnya?" Balas Juni tak kalah ngotot.

"Drama gratis." Zeze terkekeh.

Silian menoleh ke arahnya dengan raut bingung. "Apa yang sedang mereka lakukan? Mengapa orang itu ingin memasukkan tinta pulpen ke mulut Luna?" Tanyanya. Suaranya yang melengking tinggi terdengar mengusik di telinga Zeze.

"Itu kekuatan Juni. Dan tinta itu bukanlah tinta, melainkan darahnya," jelas Zeze seadanya.

"Apa? Darahnya?" Tuntut Driko, menoleh cepat ke belakang.

Zeze berdecak tidak sabar. "Sudahlah! Kau hanya akan mengganggunya. Jika kau biarkan saja mungkin dia sudah bangun sejak tadi."

"Dri, jika darahnya bertemu dengan darah orang lain, maka darahnya akan menggumpal dan melepaskan suhu panas yang membakar. Tapi jika darahnya bertemu sesuatu yang bersifat asam seperti asam lambung, maka akan menjadi obat penetral racun." Rhea menjelaskan dengan lembut.

Driko terkejut mendengarnya. Dengan perlahan, ia mengendurkan cengkeramannya di tangan Juni.

Juni pun langsung menarik paksa tangannya. "Kau membuat ini tambah sulit," gerutunya.

Juni kembali menyodorkan pipa kecil berisi darahnya itu ke dalam mulut Luna. Setelah itu, ia menggerak-gerakan kerongkongan Luna agar cairan itu mengalir langsung ke lambungnya.

Di saat yang sama, terdengar pintu dibuka, menampilkan Volta dalam balutan gaun ungu berkerah X, dan Froura yang mengenakan gaun hijau toska berlengan panjang. Di belakang keduanya, menyusul Saga dan Airo yang sama-sama mengenakan tuxedo hitam.

"Putri Helen dicurigai karena telah meracuni Luna." Saga memberitahu sembari berjalan mendekat.

"Memang dasar sialan," geram Driko. Kedua tangannya terkepal kuat di samping tubuhnya.

"Sebenarnya apa yang dia inginkan? Kenapa harus Luna?" Tanya Volta, bingung.

"Mungkin salah sasaran? Luna tidak pernah berbicara dengannya. Mungkin targetnya bukan Luna." Airo berspekulasi.

"Lalu siapa?" Tuntut Volta.

"Mana aku tahu? Kenapa kau bertanya kepadaku?"

"Cih, tidak berguna."

"Apa kau bilang!?" Tantangnya, geram.

"Tidak." Volta berjalan mendekati tempat tidur.

Airo dan saga mengambil duduk di masing-masing sofa single, sementara Froura mengambil duduk di sofa yang sama dengan Zeze dan Silian.

"Dimana... dia?" Tanya Silian malu-malu. Tapi ia tetap mempertahankan wajah angkuhnya.

"Obi, maksud Yang Mulia?" Tanya Froura.

Silian mengangguk samar. Ia tidak bertanya lebih lanjut mengapa Froura bisa tahu maksudnya, karena memang otaknya tidak sampai sana.

"Dia sedang kusuruh menyelidiki sesuatu." Zeze yang menjawab.

Tiba-tiba suara batuk Luna memenuhi ruangan itu. Matanya terbuka, menampilkan iris hitam pudar yang terlihat linglung.

"Luna, kau bisa mendengarku?" Tanya Driko, cemas.

Luna mengedarkan pandangan, melihat wajah-wajah di dekatnya. Kemudian matanya berhenti di wajah Driko. "Driko..." sekonyong-konyong, matanya melebar ketika ia menyadari sesuatu.

"Dri! Dimana Pangeran Kion dan Roze? Oh Ya Tuhan! Aku sudah berniat memberitahu mereka kalau sup itu beracun, tapi tiba-tiba saja pandanganku mengelap dan..."

"Ssstt... mereka tidak apa-apa." Driko sedikit bergeser untuk memberi jalan agar Luna dapat melihat Kion dan Zeze yang duduk berseberangan di sofa.

Melihat kedua orang itu baik-baik saja, Luna akhirnya bisa menghembuskan napas lega.

"Jadi benar Putri Helen mencoba meracuni Luna dengan supnya." Volta mendesah. Sejujurnya ia kecewa mengenai hal ini. Ia selalu dididik untuk terus tunduk dan menghormati keluarga keturunan kerajaan. Dan kejadian ini tentu membuatnya syok.

"Benarkah? Tidak bisakah kalian menyadarinya?" Mendadak Zeze berbicara, mengundang semua mata tertuju ke arahnya.

"Apa maksudmu?" Rhea mengangkat alis.

"Sup diracuni... bukankah itu aneh?" Zeze malah balik bertanya.

"Coba kalian pikir, jika supnya benar-benar diracuni, bagaimana bisa aku, Silly, dan Kakak berada di sini, dengan sehatnya berbicara bersama kalian?"

Ucapan Zeze barusan mendobrak paksa pikiran mereka. Mata mereka melebar tatkala mencoba menelaah ucapannya yang terdengar bagaikan kisi-kisi ujian.

Kion mendesah dengan mata terpejam, "sup itu beracun hanya pada Luna, itu berarti sendok atau piring Luna yang beracun."

Benar juga!

Jika Zeze, Kion, dan Silian saja masih bisa berinteraksi di sini dengan mereka, berarti bukan supnya yang beracun. Sup itu hanya akan beracun jika menyentuh alat makannya.

"Bingo," kata Zeze kepada Kion. Ia memang tidak pernah sedikit pun meragukan kemampuan kakak sepupunya itu.

"Racunnya ada pada alat makan, tapi sekarang Si Helen itu yang disalahkan. Bukankah itu aneh?" Zeze kembali menguji mereka.

"Bukannya memang Putri Helen yang menaruh racunnya di alat makan Luna?" Tanya Volta, heran.

"Jangan bertele-tele dan cepat katakan," desak Rhea.

Zeze terkekeh jahil. Biasanya Rhea selalu sabar meladeninya, tetapi kali ini sepertinya Rhea sedang kalut melihat kondisi temannya yang mungkin bisa mati kapan pun jika dokter terlambat semenit saja.

"Mungkin Tuan Pangeran mau berbaik hati menjelaskan kata-kata Si Aneh ini?" Sindir Juni.

Kion melipat tangannya di depan dada dan memejamkan matanya sebelum menjawab, "jika dia memang berniat meracuni, caranya terlalu klasik dan berantakan. Apakah ada seseorang yang berniat meracuni orang lain tetapi dia justru mengatakan terang-terangan bahwa racun itu adalah miliknya?"

"Tidak mungkin." Zeze yang menjawab. "Pokoknya kita tunggu saja sampai Obi kembali."

Setelah 15 menit lamanya, pintu pun terbuka dan menampilkan visual Obi dalam balutan tuxedo hitam dengan pita biru di kerahnya serta kamera hitam bermerek terkenal yang menggantung di lehernya.

"Yo, semuanya."

"Bagaimana?" Pertanyaan Juni langsung menyambutnya.

Obi menutup pintu lalu berjalan mendekat, "tidak ada apa-apa. Pelakunya memang Si Zilevo itu."

"Aneh," balas Zeze dengan alis bertaut.

"Hasil penyelidikan ditemukan racun di dompetnya."

"Jadi, dia hanya menaruh racun itu di mangkuk Luna? Atau bagaimana?" Volta mendesak.

"Coba kau jelaskan apa saja yang terjadi di sana," pinta Zeze.

Obi langsung mengatakan apa saja yang ia lihat. Mulai dari proses penggeledahan dan segala macamnya. Tak ada satu pun penjelasan Obi yang terlewat oleh Zeze. Obi juga menunjukkan foto-foto yang diambilnya kepada Zeze.

"Hmm..." gumam Zeze setengah melamun.

"Dapat sesuatu?" Obi bertanya.

"Ya, mungkin." Zeze mengernyit, "ternyata kutipan 'jangan melihat buku dari sampulnya' benar-benar berlaku pada konteks negatif juga."

"Maksudnya?" Obi ikut mengernyit.

Mulut Zeze terlihat bergumam cepat, seperti tengah menyusun kata-kata sebelum ia menyampaikannya lewat lisan. "Apakah semua orang yang sebelumnya ada di situ juga ikut diperiksa?"

"Ya, bahkan pelayan-pelayannya juga."

"Kalau begitu... mengapa aku, Kakak, dan Silly masih ada di sini? Bukankah bisa saja salah satu dari kami yang melakukannya?"

"Jadi," Obi mengangkat alis. "Memangnya itu kau?"

Zeze tersenyum miring.

Mata Obi melebar, "oi... Ze, jangan bercanda!"

"Kau yang jangan bercanda," tukasnya. "Jika berniat membunuh orang, aku tidak akan repot-repot menggunakan racun."

Bahu Obi merosot lega mendengarnya.

"Tentu saja bukan, dan tidak ada di antara kami bertiga yang melakukannya. Oke, langsung saja. Pelakunya adalah Sang Tokoh Utama..."
RECENTLY UPDATES