49 RIGH
Mata Juni menyusuri baris demi baris nilai raport Zeze di tabletnya. Mulutnya seperti kehilangan kemampuan untuk menutup, takjub pada angka-angka sempurna tanpa kecacatan yang terpampang tepat di depan wajahnya.
"Wah." Rhea sama takjubnya, duduk di sebelah kiri Juni dengan kepala terjulur ke arah tablet.
"Kau yakin belum pernah sekolah sebelumnya, Ze?"
"Junigra, jika kau mengatakan pertanyaan sialan itu sekali lagi aku akan—"
"Oke-oke, maaf. Tapi ini sungguh tidak mungkin, Rozeale. Belum pernah ada orang di akademi ini yang nilai berbaris 100 seluruhnya. Apa kau gila? Aku sekarang benar-benar yakin kau ini alien yang sedang menyamar untuk menginvasi bumi."
Zeze yang duduk di hadapan Juni mendengus, "ha-ha, lucu," ujarnya sembari memainkan ponselnya, mengetik cepat sekali.
"Belum pernah ada? Mungkin kau belum pernah melihat catatan raport Pangeran Kion," sambar Luna yang duduk di samping kanan Zeze sembari menikmati jus alpukatnya.
"Sejujurnya, Ni. Kau menanyakan hal yang salah pada seseorang yang memiliki ingatan fotografis," ledek Rhea.
Mata Juni membulat dan bertanya heboh, "benarkah? Zeze memilikinya?"
Zeze berdecak, "berisik." Kemudian jarinya kembali menari di layar ponselnya.
"Karena itulah sebaiknya kau hati-hati. Dia mungkin masih mengingat hal-hal bodoh yang pernah kau lakukan," canda Rhea menakut-nakuti.
"Contohnya?" Alis Juni terangkat samar.
"Kau payah jika tidak dapat menebaknya." Wajah Juni merah padam mendengar ejekan Rhea.
Volta yang duduk di sebelah kanan Juni bergumam, "berarti rumor itu memang benar."
"Rumor apa?" Tanya Juni.
"Ankhatia memang dikenal dengan kegeniusannya. Mungkin karena itulah sejak turun menurun, mereka selalu menjadi penasihat raja-raja sebelumnya," jelas Volta.
"Putri Vourtsa dan Ratu Mionares juga merupakan penderita ingatan fotografis. Kurasa semua yang berdarah Ankhatia memilikinya. Pangeran Kion juga." Volta melanjutkan.
"Kenapa disebut dengan penderita? Bukankah memiliki kemampuan seperti itu malah bagus?" Tanya Rhea, bingung.
"Coba kau bayangkan, Rhe. Apa rasanya tidak pernah bisa melupakan hal-hal yang ingin sekali kau lupakan? Terlebih lagi, ingatan itu adalah pengalaman buruk yang membuat trauma. Itu sangat menyiksa." Juni menatap Zeze prihatin.
Luna mengangguk, "tapi karena hal itu juga, mereka seperti menjauh dari keluarga keturunan kerajaan lainnya. Seperti... Ankhatia merasa terlalu hebat untuk bergaul dengan mereka."
"Mungkin bukan seperti itu alasan sebenarnya," bantah Rhea. "Orang lain tidak akan bisa mengimbangi cara berpikir mereka, karena itulah mereka memilih mengasingkan diri. Aku sudah 5 tahun mengenal Zeze, jadi aku tahu segala keanehannya."
"Aku tidak bisa mengerti itu adalah sebuah pujian atau hinaan." Zeze mencibir, masih berkutat di ponselnya.
Rhea tergelak, "Kau tahu kan, tidak ada hal yang sempurna di dunia ini."
"Ngomong-ngomong dimana para laki-laki? Mengapa mereka tidak datang juga?" Tanya Juni, melihat ke sana kemari.
"Airo tadi mengirim pesan, mereka sedang berada di Grandelius" Volta memberitahu.
"Apa itu Grandelius?" Tanya Juni, bingung.
"Itu ruangan khusus istirahat Pangeran." Luna yang menjawab.
"Oh, well. Besok sudah mulai liburan musim dingin, bagusnya kita ke mana?" Juni meminta saran.
"Apa yang biasa kau lakukan saat liburan?" Tanya Volta.
Juni memiringkan kepalanya sambil melihat atap, "hmm... aku pulang ke markas. Kita melakukan banyak hal di sana. Nonton film, main kartu, catur, dan permainan lainnya. Dan juga kadang-kadang menghabisi para brengsek yang menyelundupkan narkoba, pokoknya banyak."
"Apakah kau nanti akan pulang juga?" Volta terdengar murung.
Juni mengedikkan bahu. "Entahlah, aku tidak yakin. Karena belum tentu yang lainnya ada di markas kali ini. Aku tidak ingin sendirian."
"Ngomong-ngomong dimana markas kalian itu? Apa masih di wilayah Aplistia?" Tanya Luna.
Juni menggeleng, "di Perancis. Tapi aku tidak tahu sebelumnya berada dimana. Baru 2 tahun sejak aku bergabung, sedangkan Rhea 5 tahun. Zeze yang paling lama di antara kami."
"Sama saja, tidak pernah pindah," kata Zeze.
"Ngomong-ngomong kau sedang apa? Dari tadi sibuk dengan ponselmu itu." Luna melihat Zeze dengan terheran-heran.
"Paling membalas pesan-pesan yang telah menumpuk sampai berjuta-juta," ledek Juni.
"Tidak sampai sejuta, hanya 13.000." Zeze menjawab enteng sambil mengusap matanya yang telah berair karena lelah.
Juni melongo mendengarnya, "hanya!?"
"Pesan apa saja itu? Kenapa sampai banyak begitu?" Tanya Luna tak kalah kaget.
"Zeze..." Juni melayangkan pandangan skeptis ke arahnya. "Walaupun kelihatannya dia selalu melihat ponselnya, dia jarang membalas pesan kami. Dia biarkan menumpuk sampai berbulan-bulan, baru dibalasnya satu persatu. Dia jarang sekali muncul di grup, padahal kami sangat mengharapkan dia untuk bergabung. Tapi jika sekalinya muncul, tidak ada yang mengerti apa yang dia bicarakan. Kami juga bingung ingin membalas apa. Paling-paling hanya Obi, Zafth, Kai..."
Juni berhenti di nama Kai. Ia menengok ke meja anak berandalan itu. Namun tanpa disangka, Kai menyadarinya dan mata mereka malah bertemu. Juni cepat-cepat membuang muka dengan wajah merah padam.
Zeze bersiul pelan tanpa mengalihkan matanya dari ponsel.
Juni mendelik ke arahnya. "Diam!"
"Memangnya apa yang aku lakukan?" Tanya Zeze, merasa tak bersalah.
Saat Zeze selesai membaca pesan dari Zafth dan berniat kembali ke menu utama, tiba-tiba muncul pop up pesan dari kontak bernama Kaiven.
[Apa yang kalian lakukan?]
Zeze menoleh ke arah mejanya. Mereka saling berpandangan sebelum akhirnya Zeze melihat ke ponselnya lagi untuk membalas.
[Jika ingin mengatakan sesuatu cepat katakan.]
Dari kejauhan, Kai terkekeh, sehingga membuat orang-orang di dekatnya melongo. Mereka takjub karena Kai yang dingin dan irit bicara itu baru saja tertawa.
"Kenapa, Kai?" Tanya Norofi di sebelah kanannya.
Menggeleng, Kai kembali mengetik pesannya.
[Ada apa dengan Juni?]
Beberapa detik kemudian, muncul balasan dari akun bernama Loze.
[Entahlah, kenapa tidak tanya saja sendiri? Tidak mempunyai mulut? Gagu? Punya kontaknya, kan? Tanya sendiri!]
Kai terpejam dengan bibir melengkung membentuk senyum. Adiknya itu memang lurus dan tepat sasaran seperti biasanya.
"Bos, kau ini kenapa dari tadi tertawa dan tersenyum sendiri? Jangan membuatku takut." Kaló bergidik.
Kai menggeleng. Ia mematikan ponselnya lalu menjejalkannya ke dalam saku celana.
"Bagaimana dengan Jendral Xeveruz?" Norofi bertanya dengan nada serius.
"Langsung beres," balas Kai dari sela giginya yang terkatup.
"Bohong," bantah Kaló, terkekeh geli. "Bos menyiksanya dulu seharian penuh. Kau pasti akan tertawa ketika melihat Bos membuat kalung yang disambung dari jari-jari Jendral bodoh itu."
"Aku bisa membayangkannya." Norofi terkekeh lalu meringis karena merasakan nyeri diperutnya.
"Bos membakar tubuhnya setelah itu. Tapi dia hanya menyisakan kepalanya."
"Untuk?"
"Tentu saja sebagai pesan. Ini adalah peringatan untuk para sampah itu agar lebih berhati-hati. Kita akan selalu mencium bau busuk mereka." Kaló tersenyum licik, "beruntung dia sedang dinas ke luar kota, jadi aku, Bos, dan Obi tidak terlalu kesulitan karena penjaganya yang sedikit."
Tatapan Norofi jatuh ke meja. "Maaf, aku tidak bisa ikut." Suaranya terdengar menyesal.
"Tidak masalah, kau kan sedang dalam masa pemulihan. Kekuatan Rhea memang luar biasa, namun efek sampingnya menakutkan. Kau akan merasakan rasa terbakar di bagian yang terluka."
Segala aktivitas di dalam kantin terhenti sejenak untuk mendengar pengumuman dari pengeras suara yang menyuruh siswa-siswi dari tahun pertama sampai kelima untuk berkumpul di aula.
Zeze dan yang lainnya pun ikut menuju ruang aula yang memiliki empat pasang pintu kembar sekaligus. Ketika pintu dibuka, mereka langsung disuguhi penampakan ruangan luas berdinding putih dengan corak daun-daun emas yang samar. Di dalamnya terdapat 52 meja bundar kecil bertaplak putih dengan 6 kursi di tiap-tiap mejanya.
Zeze mengambil duduk bersama Rhea, Luna, Driko, Saga, dan Kion di meja bagian tengah. Sementara yang lain di meja sebelah.
"Oi, ada apa ini?" Zeze berbisik pada Juni yang ada di belakangnya. Punggung mereka saling menempel karena Zeze sedikit memundurkan duduknya.
"Hal yang biasa. Pada saat menjelang Festival Piala Musim Semi Exousia, Rhytmite akan mengadakan pertemuan seperti ini."
"Rhytmite?" Tanya Zeze.
Juni mengangguk tapi Zeze tidak dapat melihatnya. "Organisasi siswa intra sekolah, semacam itulah. Mereka terdiri dari orang-orang terpilih dari kelas tahun pertama sampai tahun kelima. Deka, Luna dan Saga juga termasuk."
"Jadi, sekarang apa yang akan mereka lakukan?"
"Entahlah, aku juga tidak tahu. Aku selalu mengambil cuti awal setelah pembagian raport."
"Mereka akan memberikan info-info dari program kerja angkatan tahun ini, lalu sekedar penghargaan-penghargaan kecil." Rhea yang duduk di sebelah kiri Zeze menjawab.
Zeze mengangguk-angguk paham, kemudian matanya memandang Kion di hadapannya yang sedang mengobrol serius dengan Driko.
"Dia tidak ikut?" Bisiknya ke Juni.
"Tentu saja ikut. Yang aku maksud dengan 'terpilih' tentu saja termasuk para keturunan kerajaan. Tapi sepertinya pangeranmu itu tidak ingin ambil pusing dengan hal-hal semacam itu. Untuk Deka, well... dia terpilih untuk bagian klub sepak bola, Luna untuk klub tata rias, sedangkan Saga di bagian berpedang."
"Sebenarnya kau juga termasuk. Tapi mungkin untuk angkatan tahun depan." Luna menambahkan.
"Merepotkan, aku tidak akan ikut." Zeze beralih memainkan ponselnya sampai tak menyadari seorang gadis berparas cantik dengan rambut panjang bergelombang berwarna coklat madu, naik ke atas panggung. Mata hazel-nya yang jernih terlihat sangat memesona dan memikat.
"Selamat siang semuanya." Sambutan gadis itu begitu hangat.
Para hadirin langsung memusatkan perhatian ke depan. Mereka terlihat terkesima oleh eksistensi dewi satu ini.
"Mungkin semuanya yang ada di sini sudah tahu siapa namaku, tapi aku tetap akan mengatakannya." Dia tertawa kecil, tawanya menghangatkan hati baik pria maupun wanita di ruangan megah itu.
"Aku Ingrid Voan Enochlei, selaku ketua Rhytmite." Dia tersenyum manis.
Siapa yang tidak mengenalnya? Ingrid, salah satu 'berlian' yang pernah dimiliki Aplistia. Di usianya yang masih muda, dia berhasil membangun banyak relasi dan ikut dalam berbagai kegiatan bakti sosial dan menjadi donatur tetap organisasi kemanusian FBI. Wajahnya banyak terpajang di majalah-majalah di seluruh dunia sebagai sosok yang menginspirasi. Bahkan tak sedikit negara-negara yang mendukung gadis itu menjadi ratu Aplistia.
Ingrid memulai pidato pembukaannya lalu menutupnya dengan sebuah undangan.
"...ya, jadi hanya segitu yang dapat aku sampaikan. Oh iya, nanti malam aku akan mengadakan pesta di Istana Selatan Aplistia, rumahku. Kuharap kalian jangan lupa menyempatkan diri untuk datang. Dan juga untuk saudara-saudaraku, aku mengundang kalian makan malam bersama seusai pesta. Walaupun marga kita berbeda-beda, di nadi kita masih mengalir darah yang sama. Dulu para pendahulu kita memutuskan untuk bersatu dan membentuk kerajaan tempat dimana kita bernaung ini. Kita tidak boleh menyia-nyiakan perjuangan mereka hanya karena ego kita masing-masing. Kuharap kita masih bisa saling merangkul satu sama lain ke depannya. Sekian, terima kasih banyak."
Ingrid melambai dengan senyuman yang teramat manis hingga mampu melelehkan hati siapa saja. Tepuk tangan penuh kekaguman pun menggelegar seiring langkahnya menuruni anak tangga.
Selanjutnya, seorang perempuan berambut hitam pendek yang merupakan pembawa acara mengambil alih. Acara terus berlanjut hingga satu jam ke depan yang kebanyakan adalah sosialisasi dan semacamnya. Hingga akhirnya, acara pun ditutup dengan penampilan klub tari, paduan suara, musik, drama dan lain-lain.
Tanpa disangka, Zeze menerima banyak medali dan dua piala di belakang panggung. Rhea sampai harus membantu membawakan satu pialanya.
"Apa gunanya gelas kosong dan kalung kain seperti ini?" Zeze bergumam heran sembari berjalan bersama para gadis menuju Grandelius.
Dari arah belakangnya, Zeze mendengar seseorang bersiul lalu berkata dengan nada menggoda, "sepertinya boleh juga jika mentraktir kita makan."
Zeze mengenali suara itu. Itu adalah suara milik Raven. Zeze tidak perlu berbalik untuk mengetahui bahwa dia adalah lelaki yang sering mengincarnya itu. Namun ketika Raven mengetahui bahwa Zeze adalah tunangan Kion, dia mulai mundur perlahan. Karena itulah mereka hanya sekedar teman sekarang.
"Kalau boleh tahu, memangnya kau siapa memintaku untuk mentraktirmu makan?" Tanya Zeze sarkastis. Tapi Raven tahu Zeze sedang bercanda, karena itulah ia tertawa pelan.
"Kau hebat juga, Ze."
Zeze juga mengenali suara seksi itu. Charty, ketua geng siswi tidak tahu aturan di akademi ini.
Sejak tadi, Luna agak merasa tidak nyaman dengan berjalan di depan mereka. Namun ketika mendengar Zeze dan Juni berbincang akrab dengan mereka, ia menjadi agak tenang. Tentunya Luna tahu berbagai macam keburukan anak-anak itu. Mereka juga tidak segan menentang Rhytmite terang-terangan.
"Kami duluan, dah." Juni melambai ke belakang. Mereka berenam berbelok ke arah yang berlawanan dengan geng Charty dan Raven.
Setelah sampai di Grandelius, Zeze langsung menyandarkan punggungnya ke sofa single di samping Saga.
Di sofa panjang sebelah kanannya, terdapat Airo dan Volta yang tengah membicarakan sesuatu. Sementara Juni, Rhea dan Luna mengambil duduk di seberangnya, memfokuskan perhatian ke arah TV di atas perapian.
"Dimana Obi?" Tanyanya. Sebenarnya Zeze juga berniat bertanya tentang Kion, tetapi ia mengurungkan niatnya.
"Dia sedang bersama Yang Mulia, Driko dan juga Froura," jawab Saga.
Zeze menoleh ke kiri, "kenapa kau tidak ikut?"
Saga balas menatapnya, "menurutmu?" Dia malah balik bertanya.
Melihat tanda-tanda Zeze tidak mengerti, akhirnya Saga menjelaskan, "jika Froura dan Obi bersama Yang Mulia, itu artinya aku yang menggantikan mereka di sini untuk menjagamu."
Zeze memasang ekspresi aneh. Air mukanya seperti mengatakan 'apa kau serius?' Rasanya ia ingin tertawa saat itu juga seakan Saga baru saja melontarkan lelucon paling aneh kepadanya.
Justru suara tawa itu keluar dari mulut Juni, "ya ampun, Tuan Putri. Ke mana-mana harus membawa penjaga," ejeknya, mendengus geli.
Zeze memilih mengabaikannya untuk menonton TV. Namun acara yang ditontonnya kali ini harus terpotong karena breaking news.
"Selama siang para pemirsa di rumah. Saya Sonya Taelio akan membawakan berita mengenai ditemukannya kepala Jendral Xeveruz di atas tempat tidurnya di dalam salah satu kamar Hotel Thalia di Kota Saufrity. Polisi masih belum menemukan dimana anggota tubuhnya yang lain. Dugaan sementara ini adalah ulah dari organisasi terlarang Énkavma. Dimohon para pemirsa sekalian untuk selalu waspada..."
Zeze bersiul, sehingga mengundang Saga melihat ke arahnya. "Kalian?" Tanyanya datar.
Juni menggeleng, dan menjawab. "Aku tidak ikut waktu itu. Tapi untungnya dia mati juga." Ia tertawa puas.
"Kalau begitu pasti Obi," tebak Airo.
"Bingo," balas Zeze, membuat tembakan dengan jari telunjuk dan jempolnya ke arah Airo.
"Kali ini apa lagi salahnya?" Tanya Saga, kembali memfokuskan mata ke arah TV.
"Sampah itu melakukan pemerasan kepada bawahannya dan bisnis prostitusi untuk ditawarkan kepada CEO perusahaan-perusahaan besar agar mendapatkan banyak relasi untuk mendukung jabatannya. Memang dasar menjijikkan," Juni mencibir sambil menggigiti kukunya.
"Mungkin percuma untuk menanyakan ini tapi, mengapa kalian tidak membuatnya dipenjara saja?" Luna bertanya hati-hati.
"Luna... jika dia dipenjara, lalu selanjutnya apa?" Balas Juni. "Dia masih bisa makan enak, tidur nyaman... dan penjara ada durasinya, mereka masih bisa keluar beberapa tahun setelahnya. Sementara korbannya? Mau dibawa ke mana trauma mereka? Sampai mati pun luka psikis itu tidak akan bisa hilang! Apakah kau tidak pernah berpikir bahwa mungkin saja beberapa dari wanita malang itu adalah ibu dari seseorang, atau saudari dari seseorang.
"Coba bayangkan jika itu terjadi kepadamu? Atau kepada saudarimu sendiri? Ibumu mungkin? Jadi, untuk apa orang-orang semacam ini dipenjarakan, lalu beberapa tahun kemudian dibiarkan bebas lagi? Apa kau mau menjabat tangannya jika bertemu?"
"Jujur, kalau aku tidak sudi," celetuk Zeze.
Juni mengangguk setuju. "Jika dunia saja berani menaruh harga pada nyawa kami, kenapa tidak dengan orang-orang semacam ini?"
Zeze dan Rhea mengangguk setuju. Terlebih lagi Zeze, ia dapat mengerti kenapa Juni begitu menggebu-gebu menjelaskannya. Juni pernah merasakan berada di posisi mereka. Jika saja Kai tidak menolongnya, gadis itu mungkin tidak akan bisa duduk dengan nyaman di sini.
"Kau boleh mengatakan apa pun kepadaku," ujar Juni. "Tapi aku tetap akan berjalan serius di jalan ini. Lagi pula, Aplistia itu adalah tempatku lahir. Aku tidak bisa mengabaikannya begitu saja. Sebenarnya aku lebih suka saat negara ini masih berbentuk kerajaan, tapi mengapa Yang Mulia Raja malah mengubah sistem turun temurun ini?"
"Aku rasa masalah pribadi. Beliau ingin menikmati hidup bersama Yang Mulia Ratu. Namun semenjak Yang Mulia Ratu meninggal 4 tahun yang lalu..."
"Apa? Siapa yang meninggal?" Desak Zeze, terkaget-kaget.
Luna agak terkejut, namun tetap menjawab, "Yang Mulia Ratu... Ratu Mionares Dean Ankhatia."
Mata Zeze melebar. Ia mematung, bahkan sempat berhenti menghirup oksigen. Kenangan masa lalunya mulai terpatri di otaknya. Zeze pernah beberapa kali bertemu dengan Mionares saat Kion mengunjunginya. Dia adalah sosok yang hangat dan lembut, berbeda dengan ibunya. Dan Kion pun sangat menyayanginya.
Dan sekarang, Luna mengatakan dia telah tiada...
Zeze menjatuhkan pandangannya ke lantai dan bergumam, "begitu... jadi begitu." Sekarang ia mengerti dengan segala perubahan yang terjadi di sekelilingnya.
========
Bau menjijikkan obat berwarna kuning yang sekarang tengah dioleskan oleh seorang perawat di lengan kirinya, berhasil membuat hidungnya mengernyit.
Ditambah lagi suara cemas berlebihan yang dibuat ibunya. Jika begini, bisa-bisa ia mati duluan karena depresi.
"Kamu ini bagaimana Aiden!?" Pekik sang Ibu, Ailiza Laktisma. Rambutnya yang ikal dan berwarna pirang kecokelatan dibiarkan tergerai sampai ke pinggang. Ia mengenakan blus putih selutut dan high heels berwarna merah yang senada dengan bibirnya. Ia berdiri di samping kiri ranjang Aiden dengan sepasang alis yang bertaut.
"Sudah berapa kali Mom bilang, jika sakit beritahu Mom!"
Aiden mendesah, "Mom—"
"Dan apa lagi ini!?" Aiden sampai meringis mendengar pekikan Ailiza. "Kamu ini harus menjaga tanganmu! Kamu mungkin saja akan mewarisi Dad memimpin keluarga!
Aiden menggeram tertahan. Ia sudah ingin beranjak dari tempat tidur rumah sakit ini jika tidak mengingat bahwa tangannya tengah diobati sekarang.
"Itu tidak akan pernah terjadi, Mom. Dad lebih menyukai Airo dan Louise," sergah Aiden.
Ailiza mendesah, "apa yang kau katakan? Di antara saudaramu itu hanya kaulah yang mempunyai potensi tinggi! Bahkan paman dan bibimu mengakui kau ini lebih berbahaya dari Dad-mu itu ketika muda dulu."
Sudah tak terhitung banyaknya Aiden mendesahkan emosi dari dalam dadanya. Jujur dalam hatinya, ia miris melihat keluarga ini.
"Kita harus membuktikan bahwa keluarga kita tidak kalah hebat dibanding keluarga Marquess Barier itu." Ucapan Ailiza lebih terdengar seperti sebuah paksaan di telinga Aiden.
Aiden menatap sendu ke arah tangannya yang kini tengah dijahit.
Beginilah keluarganya, tidak pernah mau kalah dari siapa pun. Selalu iri pada pencapaian orang lain. Tidak pernah bisa menghargai diri sendiri. Padahal setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, tapi yang mereka lihat hanyalah kekurangannya saja. Tidak pernah merasa puas.
Karena tidak mau kalah dari keluarga Marquess Barier, kakeknya mulai menjilati kaki raja terakhir mereka, Gen Naios Zesto. Berusaha mengambil hati serta kepercayaannya agar keluarga Marquess Laktisma mendapatkan posisi di mata masyarakat.
Ia terus melamun hingga tak sadar tangannya telah selesai dibalut perban berwarna coklat. Perawat itu pun membungkuk pamit kepada Ailiza dan pergi di balik pintu otomatis.
Ailiza mendesah lelah. "Sebenarnya apa yang terjadi, Aiden? Mengapa kamu bisa sampai terluka seperti ini? Mom rasanya hampir terkena serangan jantung saat dokter bilang ada racun di pembuluh darah dekat lukamu itu. Siapa yang melakukan ini padamu? Coba katakan."
Perkataan Ailiza barusan mengundang Aiden untuk memandangi lengannya. Ia juga tidak tahu bagaimana cara menjawabnya.
Sebenarnya ia bersyukur karena dirinyalah yang terkena pedang beracun itu. Ia tidak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi jika orang-orang itu berhasil mencapai targetnya.
Tangannya terkepal kuat ketika mengingat sekelompok orang yang berniat membunuh dia pada malam itu, di Istana Barat kediaman Asteri.
Saat Aiden tengah berjalan di lorong, tak sengaja matanya menangkap 4 orang pria berpakaian serba hitam dengan masker yang menutupi wajah, berjalan mengendap-endap dengan pedang tajam di genggaman mereka.
Awalnya Aiden hanya ingin numpang lewat lalu pergi. Ia tidak ingin ikut campur dalam suatu urusan yang tidak ada hubungannya dengan dirinya. Tapi perasaannya makin tidak enak ketika ia mendengar suara percakapan beberapa perempuan di belokan lorong itu.
Ia memutuskan mendekat dan suara gadis itu terdengar semakin jelas. Tanpa pikir panjang, Aiden langsung mengeluarkan dýnami-nya.
Salah satu dari mereka menyadari kehadirannya dan berniat menebasnya. Untungnya Aiden memiliki refleks yang bagus, walaupun kurang persiapan, hingga mata pisaunya berhasil menyayat siku yang ia gunakan untuk bertahan.
Dýnami-nya membutuhkan waktu sekitar satu menit agar dapat terhubung sempurna dengan dimensi ruang dan waktu berbentuk kubus. Untuk itu, ia perlu mengulur waktu dengan menghajar mereka semua.
Setelah satu menit, mereka semua akhirnya terkurung di dalam dimensi miliknya. Tak ada seorang pun yang dapat melihat maupun mendengar, sehingga Aiden bebas mengurus para brengsek ini.
Namun tanpa Aiden sendiri sadari, darah di lengannya menetes dan terjatuh di lantai, meninggalkan bukti keberadaan dirinya.
Siapa bilang menjadi bagian dari keluarga kerajaan berarti hidup bahagia. Aiden pun menyadarinya, jalan gadis itu tidak akan mudah kali ini.
Sejujurnya, Aiden lebih suka jika gadis itu tetap menyamar seperti dulu, agar tidak ada tembok di antara mereka, agar ia bebas melakukan apa pun kepadanya. Agar ia bisa mendengar lebih banyak suaranya, meskipun yang diucapkannya bukanlah kata-kata yang bersahabat.
Ia lebih suka jika dirinyalah yang memberi luka pada gadis itu, daripada melihatnya tersiksa karena orang lain. Ia tidak ingin melihatnya menderita di dunia barunya itu, dunia yang benar-benar menjijikkan.
Samar-samar ia mendengar namanya dipanggil. "...Den, Aiden!"
Aiden menoleh cepat ke arah Ailiza yang tanpa ia sadari telah duduk di pinggir tempat tidur.
"Kenapa malah melamun?" Tuntut Ailiza, alisnya bertaut cemas. "Sebenarnya apa yang terjadi? Siapa yang melakukannya? Tenang saja, Mom akan menemukan siapa pun orang itu dan—"
"Mom," sela Aiden tak tahan lagi. "Sudah cukup, aku ingin pulang."
Aiden turun dari tempat tidur dan pergi ke balik pintu, meninggalkan Ailiza di dalam ruangan serba putih itu sendirian.
"Wah." Rhea sama takjubnya, duduk di sebelah kiri Juni dengan kepala terjulur ke arah tablet.
"Kau yakin belum pernah sekolah sebelumnya, Ze?"
"Junigra, jika kau mengatakan pertanyaan sialan itu sekali lagi aku akan—"
"Oke-oke, maaf. Tapi ini sungguh tidak mungkin, Rozeale. Belum pernah ada orang di akademi ini yang nilai berbaris 100 seluruhnya. Apa kau gila? Aku sekarang benar-benar yakin kau ini alien yang sedang menyamar untuk menginvasi bumi."
Zeze yang duduk di hadapan Juni mendengus, "ha-ha, lucu," ujarnya sembari memainkan ponselnya, mengetik cepat sekali.
"Belum pernah ada? Mungkin kau belum pernah melihat catatan raport Pangeran Kion," sambar Luna yang duduk di samping kanan Zeze sembari menikmati jus alpukatnya.
"Sejujurnya, Ni. Kau menanyakan hal yang salah pada seseorang yang memiliki ingatan fotografis," ledek Rhea.
Mata Juni membulat dan bertanya heboh, "benarkah? Zeze memilikinya?"
Zeze berdecak, "berisik." Kemudian jarinya kembali menari di layar ponselnya.
"Karena itulah sebaiknya kau hati-hati. Dia mungkin masih mengingat hal-hal bodoh yang pernah kau lakukan," canda Rhea menakut-nakuti.
"Contohnya?" Alis Juni terangkat samar.
"Kau payah jika tidak dapat menebaknya." Wajah Juni merah padam mendengar ejekan Rhea.
Volta yang duduk di sebelah kanan Juni bergumam, "berarti rumor itu memang benar."
"Rumor apa?" Tanya Juni.
"Ankhatia memang dikenal dengan kegeniusannya. Mungkin karena itulah sejak turun menurun, mereka selalu menjadi penasihat raja-raja sebelumnya," jelas Volta.
"Putri Vourtsa dan Ratu Mionares juga merupakan penderita ingatan fotografis. Kurasa semua yang berdarah Ankhatia memilikinya. Pangeran Kion juga." Volta melanjutkan.
"Kenapa disebut dengan penderita? Bukankah memiliki kemampuan seperti itu malah bagus?" Tanya Rhea, bingung.
"Coba kau bayangkan, Rhe. Apa rasanya tidak pernah bisa melupakan hal-hal yang ingin sekali kau lupakan? Terlebih lagi, ingatan itu adalah pengalaman buruk yang membuat trauma. Itu sangat menyiksa." Juni menatap Zeze prihatin.
Luna mengangguk, "tapi karena hal itu juga, mereka seperti menjauh dari keluarga keturunan kerajaan lainnya. Seperti... Ankhatia merasa terlalu hebat untuk bergaul dengan mereka."
"Mungkin bukan seperti itu alasan sebenarnya," bantah Rhea. "Orang lain tidak akan bisa mengimbangi cara berpikir mereka, karena itulah mereka memilih mengasingkan diri. Aku sudah 5 tahun mengenal Zeze, jadi aku tahu segala keanehannya."
"Aku tidak bisa mengerti itu adalah sebuah pujian atau hinaan." Zeze mencibir, masih berkutat di ponselnya.
Rhea tergelak, "Kau tahu kan, tidak ada hal yang sempurna di dunia ini."
"Ngomong-ngomong dimana para laki-laki? Mengapa mereka tidak datang juga?" Tanya Juni, melihat ke sana kemari.
"Airo tadi mengirim pesan, mereka sedang berada di Grandelius" Volta memberitahu.
"Apa itu Grandelius?" Tanya Juni, bingung.
"Itu ruangan khusus istirahat Pangeran." Luna yang menjawab.
"Oh, well. Besok sudah mulai liburan musim dingin, bagusnya kita ke mana?" Juni meminta saran.
"Apa yang biasa kau lakukan saat liburan?" Tanya Volta.
Juni memiringkan kepalanya sambil melihat atap, "hmm... aku pulang ke markas. Kita melakukan banyak hal di sana. Nonton film, main kartu, catur, dan permainan lainnya. Dan juga kadang-kadang menghabisi para brengsek yang menyelundupkan narkoba, pokoknya banyak."
"Apakah kau nanti akan pulang juga?" Volta terdengar murung.
Juni mengedikkan bahu. "Entahlah, aku tidak yakin. Karena belum tentu yang lainnya ada di markas kali ini. Aku tidak ingin sendirian."
"Ngomong-ngomong dimana markas kalian itu? Apa masih di wilayah Aplistia?" Tanya Luna.
Juni menggeleng, "di Perancis. Tapi aku tidak tahu sebelumnya berada dimana. Baru 2 tahun sejak aku bergabung, sedangkan Rhea 5 tahun. Zeze yang paling lama di antara kami."
"Sama saja, tidak pernah pindah," kata Zeze.
"Ngomong-ngomong kau sedang apa? Dari tadi sibuk dengan ponselmu itu." Luna melihat Zeze dengan terheran-heran.
"Paling membalas pesan-pesan yang telah menumpuk sampai berjuta-juta," ledek Juni.
"Tidak sampai sejuta, hanya 13.000." Zeze menjawab enteng sambil mengusap matanya yang telah berair karena lelah.
Juni melongo mendengarnya, "hanya!?"
"Pesan apa saja itu? Kenapa sampai banyak begitu?" Tanya Luna tak kalah kaget.
"Zeze..." Juni melayangkan pandangan skeptis ke arahnya. "Walaupun kelihatannya dia selalu melihat ponselnya, dia jarang membalas pesan kami. Dia biarkan menumpuk sampai berbulan-bulan, baru dibalasnya satu persatu. Dia jarang sekali muncul di grup, padahal kami sangat mengharapkan dia untuk bergabung. Tapi jika sekalinya muncul, tidak ada yang mengerti apa yang dia bicarakan. Kami juga bingung ingin membalas apa. Paling-paling hanya Obi, Zafth, Kai..."
Juni berhenti di nama Kai. Ia menengok ke meja anak berandalan itu. Namun tanpa disangka, Kai menyadarinya dan mata mereka malah bertemu. Juni cepat-cepat membuang muka dengan wajah merah padam.
Zeze bersiul pelan tanpa mengalihkan matanya dari ponsel.
Juni mendelik ke arahnya. "Diam!"
"Memangnya apa yang aku lakukan?" Tanya Zeze, merasa tak bersalah.
Saat Zeze selesai membaca pesan dari Zafth dan berniat kembali ke menu utama, tiba-tiba muncul pop up pesan dari kontak bernama Kaiven.
[Apa yang kalian lakukan?]
Zeze menoleh ke arah mejanya. Mereka saling berpandangan sebelum akhirnya Zeze melihat ke ponselnya lagi untuk membalas.
[Jika ingin mengatakan sesuatu cepat katakan.]
Dari kejauhan, Kai terkekeh, sehingga membuat orang-orang di dekatnya melongo. Mereka takjub karena Kai yang dingin dan irit bicara itu baru saja tertawa.
"Kenapa, Kai?" Tanya Norofi di sebelah kanannya.
Menggeleng, Kai kembali mengetik pesannya.
[Ada apa dengan Juni?]
Beberapa detik kemudian, muncul balasan dari akun bernama Loze.
[Entahlah, kenapa tidak tanya saja sendiri? Tidak mempunyai mulut? Gagu? Punya kontaknya, kan? Tanya sendiri!]
Kai terpejam dengan bibir melengkung membentuk senyum. Adiknya itu memang lurus dan tepat sasaran seperti biasanya.
"Bos, kau ini kenapa dari tadi tertawa dan tersenyum sendiri? Jangan membuatku takut." Kaló bergidik.
Kai menggeleng. Ia mematikan ponselnya lalu menjejalkannya ke dalam saku celana.
"Bagaimana dengan Jendral Xeveruz?" Norofi bertanya dengan nada serius.
"Langsung beres," balas Kai dari sela giginya yang terkatup.
"Bohong," bantah Kaló, terkekeh geli. "Bos menyiksanya dulu seharian penuh. Kau pasti akan tertawa ketika melihat Bos membuat kalung yang disambung dari jari-jari Jendral bodoh itu."
"Aku bisa membayangkannya." Norofi terkekeh lalu meringis karena merasakan nyeri diperutnya.
"Bos membakar tubuhnya setelah itu. Tapi dia hanya menyisakan kepalanya."
"Untuk?"
"Tentu saja sebagai pesan. Ini adalah peringatan untuk para sampah itu agar lebih berhati-hati. Kita akan selalu mencium bau busuk mereka." Kaló tersenyum licik, "beruntung dia sedang dinas ke luar kota, jadi aku, Bos, dan Obi tidak terlalu kesulitan karena penjaganya yang sedikit."
Tatapan Norofi jatuh ke meja. "Maaf, aku tidak bisa ikut." Suaranya terdengar menyesal.
"Tidak masalah, kau kan sedang dalam masa pemulihan. Kekuatan Rhea memang luar biasa, namun efek sampingnya menakutkan. Kau akan merasakan rasa terbakar di bagian yang terluka."
Segala aktivitas di dalam kantin terhenti sejenak untuk mendengar pengumuman dari pengeras suara yang menyuruh siswa-siswi dari tahun pertama sampai kelima untuk berkumpul di aula.
Zeze dan yang lainnya pun ikut menuju ruang aula yang memiliki empat pasang pintu kembar sekaligus. Ketika pintu dibuka, mereka langsung disuguhi penampakan ruangan luas berdinding putih dengan corak daun-daun emas yang samar. Di dalamnya terdapat 52 meja bundar kecil bertaplak putih dengan 6 kursi di tiap-tiap mejanya.
Zeze mengambil duduk bersama Rhea, Luna, Driko, Saga, dan Kion di meja bagian tengah. Sementara yang lain di meja sebelah.
"Oi, ada apa ini?" Zeze berbisik pada Juni yang ada di belakangnya. Punggung mereka saling menempel karena Zeze sedikit memundurkan duduknya.
"Hal yang biasa. Pada saat menjelang Festival Piala Musim Semi Exousia, Rhytmite akan mengadakan pertemuan seperti ini."
"Rhytmite?" Tanya Zeze.
Juni mengangguk tapi Zeze tidak dapat melihatnya. "Organisasi siswa intra sekolah, semacam itulah. Mereka terdiri dari orang-orang terpilih dari kelas tahun pertama sampai tahun kelima. Deka, Luna dan Saga juga termasuk."
"Jadi, sekarang apa yang akan mereka lakukan?"
"Entahlah, aku juga tidak tahu. Aku selalu mengambil cuti awal setelah pembagian raport."
"Mereka akan memberikan info-info dari program kerja angkatan tahun ini, lalu sekedar penghargaan-penghargaan kecil." Rhea yang duduk di sebelah kiri Zeze menjawab.
Zeze mengangguk-angguk paham, kemudian matanya memandang Kion di hadapannya yang sedang mengobrol serius dengan Driko.
"Dia tidak ikut?" Bisiknya ke Juni.
"Tentu saja ikut. Yang aku maksud dengan 'terpilih' tentu saja termasuk para keturunan kerajaan. Tapi sepertinya pangeranmu itu tidak ingin ambil pusing dengan hal-hal semacam itu. Untuk Deka, well... dia terpilih untuk bagian klub sepak bola, Luna untuk klub tata rias, sedangkan Saga di bagian berpedang."
"Sebenarnya kau juga termasuk. Tapi mungkin untuk angkatan tahun depan." Luna menambahkan.
"Merepotkan, aku tidak akan ikut." Zeze beralih memainkan ponselnya sampai tak menyadari seorang gadis berparas cantik dengan rambut panjang bergelombang berwarna coklat madu, naik ke atas panggung. Mata hazel-nya yang jernih terlihat sangat memesona dan memikat.
"Selamat siang semuanya." Sambutan gadis itu begitu hangat.
Para hadirin langsung memusatkan perhatian ke depan. Mereka terlihat terkesima oleh eksistensi dewi satu ini.
"Mungkin semuanya yang ada di sini sudah tahu siapa namaku, tapi aku tetap akan mengatakannya." Dia tertawa kecil, tawanya menghangatkan hati baik pria maupun wanita di ruangan megah itu.
"Aku Ingrid Voan Enochlei, selaku ketua Rhytmite." Dia tersenyum manis.
Siapa yang tidak mengenalnya? Ingrid, salah satu 'berlian' yang pernah dimiliki Aplistia. Di usianya yang masih muda, dia berhasil membangun banyak relasi dan ikut dalam berbagai kegiatan bakti sosial dan menjadi donatur tetap organisasi kemanusian FBI. Wajahnya banyak terpajang di majalah-majalah di seluruh dunia sebagai sosok yang menginspirasi. Bahkan tak sedikit negara-negara yang mendukung gadis itu menjadi ratu Aplistia.
Ingrid memulai pidato pembukaannya lalu menutupnya dengan sebuah undangan.
"...ya, jadi hanya segitu yang dapat aku sampaikan. Oh iya, nanti malam aku akan mengadakan pesta di Istana Selatan Aplistia, rumahku. Kuharap kalian jangan lupa menyempatkan diri untuk datang. Dan juga untuk saudara-saudaraku, aku mengundang kalian makan malam bersama seusai pesta. Walaupun marga kita berbeda-beda, di nadi kita masih mengalir darah yang sama. Dulu para pendahulu kita memutuskan untuk bersatu dan membentuk kerajaan tempat dimana kita bernaung ini. Kita tidak boleh menyia-nyiakan perjuangan mereka hanya karena ego kita masing-masing. Kuharap kita masih bisa saling merangkul satu sama lain ke depannya. Sekian, terima kasih banyak."
Ingrid melambai dengan senyuman yang teramat manis hingga mampu melelehkan hati siapa saja. Tepuk tangan penuh kekaguman pun menggelegar seiring langkahnya menuruni anak tangga.
Selanjutnya, seorang perempuan berambut hitam pendek yang merupakan pembawa acara mengambil alih. Acara terus berlanjut hingga satu jam ke depan yang kebanyakan adalah sosialisasi dan semacamnya. Hingga akhirnya, acara pun ditutup dengan penampilan klub tari, paduan suara, musik, drama dan lain-lain.
Tanpa disangka, Zeze menerima banyak medali dan dua piala di belakang panggung. Rhea sampai harus membantu membawakan satu pialanya.
"Apa gunanya gelas kosong dan kalung kain seperti ini?" Zeze bergumam heran sembari berjalan bersama para gadis menuju Grandelius.
Dari arah belakangnya, Zeze mendengar seseorang bersiul lalu berkata dengan nada menggoda, "sepertinya boleh juga jika mentraktir kita makan."
Zeze mengenali suara itu. Itu adalah suara milik Raven. Zeze tidak perlu berbalik untuk mengetahui bahwa dia adalah lelaki yang sering mengincarnya itu. Namun ketika Raven mengetahui bahwa Zeze adalah tunangan Kion, dia mulai mundur perlahan. Karena itulah mereka hanya sekedar teman sekarang.
"Kalau boleh tahu, memangnya kau siapa memintaku untuk mentraktirmu makan?" Tanya Zeze sarkastis. Tapi Raven tahu Zeze sedang bercanda, karena itulah ia tertawa pelan.
"Kau hebat juga, Ze."
Zeze juga mengenali suara seksi itu. Charty, ketua geng siswi tidak tahu aturan di akademi ini.
Sejak tadi, Luna agak merasa tidak nyaman dengan berjalan di depan mereka. Namun ketika mendengar Zeze dan Juni berbincang akrab dengan mereka, ia menjadi agak tenang. Tentunya Luna tahu berbagai macam keburukan anak-anak itu. Mereka juga tidak segan menentang Rhytmite terang-terangan.
"Kami duluan, dah." Juni melambai ke belakang. Mereka berenam berbelok ke arah yang berlawanan dengan geng Charty dan Raven.
Setelah sampai di Grandelius, Zeze langsung menyandarkan punggungnya ke sofa single di samping Saga.
Di sofa panjang sebelah kanannya, terdapat Airo dan Volta yang tengah membicarakan sesuatu. Sementara Juni, Rhea dan Luna mengambil duduk di seberangnya, memfokuskan perhatian ke arah TV di atas perapian.
"Dimana Obi?" Tanyanya. Sebenarnya Zeze juga berniat bertanya tentang Kion, tetapi ia mengurungkan niatnya.
"Dia sedang bersama Yang Mulia, Driko dan juga Froura," jawab Saga.
Zeze menoleh ke kiri, "kenapa kau tidak ikut?"
Saga balas menatapnya, "menurutmu?" Dia malah balik bertanya.
Melihat tanda-tanda Zeze tidak mengerti, akhirnya Saga menjelaskan, "jika Froura dan Obi bersama Yang Mulia, itu artinya aku yang menggantikan mereka di sini untuk menjagamu."
Zeze memasang ekspresi aneh. Air mukanya seperti mengatakan 'apa kau serius?' Rasanya ia ingin tertawa saat itu juga seakan Saga baru saja melontarkan lelucon paling aneh kepadanya.
Justru suara tawa itu keluar dari mulut Juni, "ya ampun, Tuan Putri. Ke mana-mana harus membawa penjaga," ejeknya, mendengus geli.
Zeze memilih mengabaikannya untuk menonton TV. Namun acara yang ditontonnya kali ini harus terpotong karena breaking news.
"Selama siang para pemirsa di rumah. Saya Sonya Taelio akan membawakan berita mengenai ditemukannya kepala Jendral Xeveruz di atas tempat tidurnya di dalam salah satu kamar Hotel Thalia di Kota Saufrity. Polisi masih belum menemukan dimana anggota tubuhnya yang lain. Dugaan sementara ini adalah ulah dari organisasi terlarang Énkavma. Dimohon para pemirsa sekalian untuk selalu waspada..."
Zeze bersiul, sehingga mengundang Saga melihat ke arahnya. "Kalian?" Tanyanya datar.
Juni menggeleng, dan menjawab. "Aku tidak ikut waktu itu. Tapi untungnya dia mati juga." Ia tertawa puas.
"Kalau begitu pasti Obi," tebak Airo.
"Bingo," balas Zeze, membuat tembakan dengan jari telunjuk dan jempolnya ke arah Airo.
"Kali ini apa lagi salahnya?" Tanya Saga, kembali memfokuskan mata ke arah TV.
"Sampah itu melakukan pemerasan kepada bawahannya dan bisnis prostitusi untuk ditawarkan kepada CEO perusahaan-perusahaan besar agar mendapatkan banyak relasi untuk mendukung jabatannya. Memang dasar menjijikkan," Juni mencibir sambil menggigiti kukunya.
"Mungkin percuma untuk menanyakan ini tapi, mengapa kalian tidak membuatnya dipenjara saja?" Luna bertanya hati-hati.
"Luna... jika dia dipenjara, lalu selanjutnya apa?" Balas Juni. "Dia masih bisa makan enak, tidur nyaman... dan penjara ada durasinya, mereka masih bisa keluar beberapa tahun setelahnya. Sementara korbannya? Mau dibawa ke mana trauma mereka? Sampai mati pun luka psikis itu tidak akan bisa hilang! Apakah kau tidak pernah berpikir bahwa mungkin saja beberapa dari wanita malang itu adalah ibu dari seseorang, atau saudari dari seseorang.
"Coba bayangkan jika itu terjadi kepadamu? Atau kepada saudarimu sendiri? Ibumu mungkin? Jadi, untuk apa orang-orang semacam ini dipenjarakan, lalu beberapa tahun kemudian dibiarkan bebas lagi? Apa kau mau menjabat tangannya jika bertemu?"
"Jujur, kalau aku tidak sudi," celetuk Zeze.
Juni mengangguk setuju. "Jika dunia saja berani menaruh harga pada nyawa kami, kenapa tidak dengan orang-orang semacam ini?"
Zeze dan Rhea mengangguk setuju. Terlebih lagi Zeze, ia dapat mengerti kenapa Juni begitu menggebu-gebu menjelaskannya. Juni pernah merasakan berada di posisi mereka. Jika saja Kai tidak menolongnya, gadis itu mungkin tidak akan bisa duduk dengan nyaman di sini.
"Kau boleh mengatakan apa pun kepadaku," ujar Juni. "Tapi aku tetap akan berjalan serius di jalan ini. Lagi pula, Aplistia itu adalah tempatku lahir. Aku tidak bisa mengabaikannya begitu saja. Sebenarnya aku lebih suka saat negara ini masih berbentuk kerajaan, tapi mengapa Yang Mulia Raja malah mengubah sistem turun temurun ini?"
"Aku rasa masalah pribadi. Beliau ingin menikmati hidup bersama Yang Mulia Ratu. Namun semenjak Yang Mulia Ratu meninggal 4 tahun yang lalu..."
"Apa? Siapa yang meninggal?" Desak Zeze, terkaget-kaget.
Luna agak terkejut, namun tetap menjawab, "Yang Mulia Ratu... Ratu Mionares Dean Ankhatia."
Mata Zeze melebar. Ia mematung, bahkan sempat berhenti menghirup oksigen. Kenangan masa lalunya mulai terpatri di otaknya. Zeze pernah beberapa kali bertemu dengan Mionares saat Kion mengunjunginya. Dia adalah sosok yang hangat dan lembut, berbeda dengan ibunya. Dan Kion pun sangat menyayanginya.
Dan sekarang, Luna mengatakan dia telah tiada...
Zeze menjatuhkan pandangannya ke lantai dan bergumam, "begitu... jadi begitu." Sekarang ia mengerti dengan segala perubahan yang terjadi di sekelilingnya.
========
Bau menjijikkan obat berwarna kuning yang sekarang tengah dioleskan oleh seorang perawat di lengan kirinya, berhasil membuat hidungnya mengernyit.
Ditambah lagi suara cemas berlebihan yang dibuat ibunya. Jika begini, bisa-bisa ia mati duluan karena depresi.
"Kamu ini bagaimana Aiden!?" Pekik sang Ibu, Ailiza Laktisma. Rambutnya yang ikal dan berwarna pirang kecokelatan dibiarkan tergerai sampai ke pinggang. Ia mengenakan blus putih selutut dan high heels berwarna merah yang senada dengan bibirnya. Ia berdiri di samping kiri ranjang Aiden dengan sepasang alis yang bertaut.
"Sudah berapa kali Mom bilang, jika sakit beritahu Mom!"
Aiden mendesah, "Mom—"
"Dan apa lagi ini!?" Aiden sampai meringis mendengar pekikan Ailiza. "Kamu ini harus menjaga tanganmu! Kamu mungkin saja akan mewarisi Dad memimpin keluarga!
Aiden menggeram tertahan. Ia sudah ingin beranjak dari tempat tidur rumah sakit ini jika tidak mengingat bahwa tangannya tengah diobati sekarang.
"Itu tidak akan pernah terjadi, Mom. Dad lebih menyukai Airo dan Louise," sergah Aiden.
Ailiza mendesah, "apa yang kau katakan? Di antara saudaramu itu hanya kaulah yang mempunyai potensi tinggi! Bahkan paman dan bibimu mengakui kau ini lebih berbahaya dari Dad-mu itu ketika muda dulu."
Sudah tak terhitung banyaknya Aiden mendesahkan emosi dari dalam dadanya. Jujur dalam hatinya, ia miris melihat keluarga ini.
"Kita harus membuktikan bahwa keluarga kita tidak kalah hebat dibanding keluarga Marquess Barier itu." Ucapan Ailiza lebih terdengar seperti sebuah paksaan di telinga Aiden.
Aiden menatap sendu ke arah tangannya yang kini tengah dijahit.
Beginilah keluarganya, tidak pernah mau kalah dari siapa pun. Selalu iri pada pencapaian orang lain. Tidak pernah bisa menghargai diri sendiri. Padahal setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, tapi yang mereka lihat hanyalah kekurangannya saja. Tidak pernah merasa puas.
Karena tidak mau kalah dari keluarga Marquess Barier, kakeknya mulai menjilati kaki raja terakhir mereka, Gen Naios Zesto. Berusaha mengambil hati serta kepercayaannya agar keluarga Marquess Laktisma mendapatkan posisi di mata masyarakat.
Ia terus melamun hingga tak sadar tangannya telah selesai dibalut perban berwarna coklat. Perawat itu pun membungkuk pamit kepada Ailiza dan pergi di balik pintu otomatis.
Ailiza mendesah lelah. "Sebenarnya apa yang terjadi, Aiden? Mengapa kamu bisa sampai terluka seperti ini? Mom rasanya hampir terkena serangan jantung saat dokter bilang ada racun di pembuluh darah dekat lukamu itu. Siapa yang melakukan ini padamu? Coba katakan."
Perkataan Ailiza barusan mengundang Aiden untuk memandangi lengannya. Ia juga tidak tahu bagaimana cara menjawabnya.
Sebenarnya ia bersyukur karena dirinyalah yang terkena pedang beracun itu. Ia tidak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi jika orang-orang itu berhasil mencapai targetnya.
Tangannya terkepal kuat ketika mengingat sekelompok orang yang berniat membunuh dia pada malam itu, di Istana Barat kediaman Asteri.
Saat Aiden tengah berjalan di lorong, tak sengaja matanya menangkap 4 orang pria berpakaian serba hitam dengan masker yang menutupi wajah, berjalan mengendap-endap dengan pedang tajam di genggaman mereka.
Awalnya Aiden hanya ingin numpang lewat lalu pergi. Ia tidak ingin ikut campur dalam suatu urusan yang tidak ada hubungannya dengan dirinya. Tapi perasaannya makin tidak enak ketika ia mendengar suara percakapan beberapa perempuan di belokan lorong itu.
Ia memutuskan mendekat dan suara gadis itu terdengar semakin jelas. Tanpa pikir panjang, Aiden langsung mengeluarkan dýnami-nya.
Salah satu dari mereka menyadari kehadirannya dan berniat menebasnya. Untungnya Aiden memiliki refleks yang bagus, walaupun kurang persiapan, hingga mata pisaunya berhasil menyayat siku yang ia gunakan untuk bertahan.
Dýnami-nya membutuhkan waktu sekitar satu menit agar dapat terhubung sempurna dengan dimensi ruang dan waktu berbentuk kubus. Untuk itu, ia perlu mengulur waktu dengan menghajar mereka semua.
Setelah satu menit, mereka semua akhirnya terkurung di dalam dimensi miliknya. Tak ada seorang pun yang dapat melihat maupun mendengar, sehingga Aiden bebas mengurus para brengsek ini.
Namun tanpa Aiden sendiri sadari, darah di lengannya menetes dan terjatuh di lantai, meninggalkan bukti keberadaan dirinya.
Siapa bilang menjadi bagian dari keluarga kerajaan berarti hidup bahagia. Aiden pun menyadarinya, jalan gadis itu tidak akan mudah kali ini.
Sejujurnya, Aiden lebih suka jika gadis itu tetap menyamar seperti dulu, agar tidak ada tembok di antara mereka, agar ia bebas melakukan apa pun kepadanya. Agar ia bisa mendengar lebih banyak suaranya, meskipun yang diucapkannya bukanlah kata-kata yang bersahabat.
Ia lebih suka jika dirinyalah yang memberi luka pada gadis itu, daripada melihatnya tersiksa karena orang lain. Ia tidak ingin melihatnya menderita di dunia barunya itu, dunia yang benar-benar menjijikkan.
Samar-samar ia mendengar namanya dipanggil. "...Den, Aiden!"
Aiden menoleh cepat ke arah Ailiza yang tanpa ia sadari telah duduk di pinggir tempat tidur.
"Kenapa malah melamun?" Tuntut Ailiza, alisnya bertaut cemas. "Sebenarnya apa yang terjadi? Siapa yang melakukannya? Tenang saja, Mom akan menemukan siapa pun orang itu dan—"
"Mom," sela Aiden tak tahan lagi. "Sudah cukup, aku ingin pulang."
Aiden turun dari tempat tidur dan pergi ke balik pintu, meninggalkan Ailiza di dalam ruangan serba putih itu sendirian.