48 HOME
Setelah punggung Aiden benar-benar menghilang, Kion berbalik dan menarik serta tangan Zeze bersamanya ke ruangan serba putih yang waktu itu.
Setelah sampai di dalam, Kion melepaskan tangannya dan mereka mengambil duduk saling berhadapan di sofa.
"Well, terima kasih," ucap Zeze, melihat ke arah lain.
"Apa yang dia lakukan padamu sebelum aku datang?" Tanya Kion, terdengar menuntut.
Zeze menatapnya tanpa ekspresi, "tidak ada."
Namun Kion tidak percaya begitu saja. Ia mengangkat sebelah alis tebalnya dengan pandangan skeptis.
Zeze berdecak kesal. "Sungguh," gerutunya.
"Sedang apa tadi kakak ada di sana?" Tanyanya, mengalihkan pembicaraan.
"Untuk ke sini."
Mereka berdua kembali saling tatap, membiarkan keheningan mewarnai suasana di antara mereka. Kemudian, Kion memecahnya dengan sebuah pertanyaan, "aku ingin bertanya, apakah Fridom benar-benar mati?"
Keluar topik, tapi tentunya Zeze paham maksud dari pertanyaan itu. Fridom adalah nama tokoh utama di dalam novelnya yang berjudul Freedom.
"Dia tidak mati." Jawaban singkat Zeze membuat Kion menegakkan punggungnya, gelagat antara tertarik dan penasaran.
"Dia masih hidup, di sini." Zeze menunjuk hatinya.
"Jadi, dia benar-benar mati." Kion kembali menyandarkan punggungnya.
"Sudah kubilang dia tidak mati. Itu tergantung perspektifmu. Jika bagimu dia tidak mati, maka dia tidak akan mati."
"Lalu, bagaimana denganku?"
Zeze menautkan alisnya.
"Apakah aku sudah mati..." Kion memberi jeda dengan menyilangkan kakinya di atas kakinya yang lain, "...di hatimu?" Lanjutnya.
Zeze berusaha keras membaca ekspresinya, namun gagal. Ia sama sekali tidak dapat mengerti laki-laki itu, bahkan lebih menyulitkan dari membaca ekspresi Glen yang kadang-kadang masih dapat ia tebak.
"Aku akan berusaha minta maaf sekarang. Apa pun salahku kepadamu, aku minta maaf. Maaf, aku tidak memberitahu hal itu terlebih dahulu kepadamu, padahal aku sudah lama tahu. Mungkin jika aku memberitahumu lebih dulu, kita masih menjadi kakak-adik seperti sebelumnya."
Tatapan Zeze terjatuh pada meja empuk di hadapannya. Ia ingin menolak, ia ingin mengatakan ini bukan salahnya. Tidak ada yang salah di sini.
"Yang aku harapkan hanya kau bahagia, ke mana pun kau pergi, dimana pun kau berada. Tanpa beban, bebas, seperti yang dulu kau impikan."
"Kau salah..." gumam Zeze. "Aku tidak pernah marah maupun membencimu."
Zeze kembali menatap matanya, "aku baru sadar bahwa yang selama ini aku benci adalah diriku sendiri. Kau tidak salah apa-apa. Itu hanya keegoisanku karena tidak bisa menerima kenyataan."
Kion tetap setia memperhatikannya. Mungkin ini adalah pertama kalinya setelah sekian lama mereka berbicara terus terang.
"Justru aku yang ingin meminta maaf. Waktu itu aku bilang... aku membencimu. Aku bilang kau adalah orang jahat yang merenggut kebebasanku. Padahal, kau juga korban sama sepertiku. Jadi... Kakak,"
Zeze mengambil napas panjang sebelum melanjutkan, "mungkin kita tidak akan bisa sama seperti dulu lagi. Tapi bagiku, kau adalah kakak laki-laki terhebat, terbaik, ter... pokoknya tidak ada duanya."
Zeze mengangguk mantap sementara Kion senyum geli.
"Terima kasih kau sudah mau mampir setiap minggu untuk bermain denganku. Terima kasih sudah mengubah hari-hariku yang membosankan menjadi berwarna. Kau, Obi, dan Glen... aku tidak tahu bagaimana caranya berterima kasih. Kalian adalah penyelamatku di penjara itu.
"Mungkin kau sudah tidak dapat membacakanku cerita seperti dulu lagi, kita tidak bisa bermain puzzle lagi, kita tidak bisa melakukan hal-hal yang sewaktu kecil biasa kita lakukan sekarang, tapi aku tetap ingin kau menganggapku sebagai adikmu," ungkap Zeze panjang lebar.
"Apakah kau masih menganggapku begitu?" Tanyanya hati-hati.
Kion mengganti posisi kakinya, "hmm... itu pertanyaan sulit."
Zeze semakin lekat menatapnya, agak gugup mewanti-wanti jawabannya.
"Kau tahu? Pertama kali aku bertemu denganmu saat aku berumur 7 tahun. Saat itu, ibuku memperkenalkanmu sebagai orang yang akan menjadi masa depanku. Saat itu aku... pokoknya aku pikir itu aneh. Bagaimana mereka bisa menentukan masa depanku begitu saja.
"Tapi karena mereka selalu memberitahukan hal yang sama, aku jadi berpikir bahwa kau ini memang spesial, jadi aku harus menjagamu.
"Aku telah terbiasa dengan segala kepalsuan di sekelilingku. Tapi saat bersamamu, aku merasa bahwa ini bukanlah hal yang harus dianggap biasa lagi. Aku tidak bisa terus-terusan berada di tempat yang bukan tempatku—yang tidak cocok denganku.
"Aku tidak tega melihatmu yang selalu terlihat tidak memiliki semangat hidup. Tapi tanpa disangka, suatu hari kau bilang padaku kalau kau menyukai seorang anak laki-laki yang kau temui waktu itu. Dan saat itulah pertama kalinya kau bilang kau mempunyai impian. Kau ingin menjadi penyanyi dan komposer musik, kau ingin tumbuh dewasa lalu menikah dengannya." Kion terkekeh.
Zeze menggigit bibir bawahnya, malu. Impian kekanak-kanakan yang ingin sekali ia wujudkan. Andai saja hidup sesederhana itu.
"Itu adalah pertama kalinya kau berbicara tentang orang lain kepadaku. Biasanya yang selalu kau bicarakan adalah tokoh-tokoh cerita yang tidak nyata.
"Dia membuatmu mempunyai impian di saat kau telah menyerah untuk menentukan takdirmu sendiri. Dia datang dan menjadi impian itu sendiri.
"Aku akan mendukung apa saja yang kau lakukan. Memang benar kita tidak akan bisa seperti saat kecil lagi, seperti dulu lagi. Itu karena kita sudah besar, kita sudah berada di masa sekarang. Tidak ada gunanya melakukan hal-hal usang. Jadi daripada meratapi hal-hal yang telah berlalu, mengapa kita tidak memulai yang baru?"
Kion tersenyum dan matanya pun melembut. Tapi semua itu justru membuat Zeze makin merasa bersalah.
"Apakah kau tidak... tidak kecewa melihatku yang sekarang?" Tanyanya hati-hati.
Kion menatapnya intens. "Apakah kau menyukai apa yang kau lakukan sekarang?"
Zeze mengangguk yakin.
"Maka itu sudah cukup. Untuk apa aku kecewa terhadap seseorang yang menyukai dan tahu pasti apa yang sedang dilakukannya? Roze yang aku kenal tidak akan begitu saja mau melakukan hal yang tidak disukainya."
Zeze mendenguskan senyum dan kembali menjatuhkan tatapannya ke meja.
"Roze."
Zeze mengangkat pandangannya atas panggilan itu.
"Apa pun yang telah kau lakukan ataupun yang nantinya akan kau lakukan, aku akan tetap bangga kepadamu."
Detik itu juga, Zeze terkesima.
"Kau memilikiku di belakangmu, jadi jangan sungkan-sungkan berbalik jika kau membutuhkanku. Tapi bukan berarti kau boleh mundur," lanjut Kion.
"Kakak tahu? Aku sangat berharap kata-kata kakak barusan juga diucapkan oleh orang lain."
Kion menangkap secercah perubahan di raut wajahnya.
"Tapi sayangnya itu tidak akan pernah terjadi." Zeze mendesah sedih dan menyisir poninya ke belakang dengan jari.
"Dan dia adalah inspirasiku dalam menulis buku itu. Cerita itu berasal dari perjalanan hidupnya."
Tertarik, Kion mencondongkan tubuh ke depan. "Maksudnya?" Tanyanya penasaran.
"Kau tahu kan, ibu kandung Obi, Sara Dargnaith, sebelumnya dia mempunyai anak bersama ayahku?" Tanya Zeze yang dijawab Kion dengan anggukan.
"Itu dia. Namanya Afrodi."
========
Malam itu, di salah satu kota di Aplistia, Roze duduk di bawah payung besar sebuah rumah makan outdoor pinggir trotoar yang menghalanginya dari langit malam penuh bintang serta salju yang berjatuhan.
Bahkan saat restoran telah sepi karena memasuki waktu tutup, ia masih setia menopang dagunya, memperhatikan orang-orang yang lalu-lalang di atas trotoar.
Tersisa tiga orang laki-laki yang masih setia duduk di satu meja sambil menghisap rokok mereka. Roze tidak terlalu memedulikan mereka. Karena walaupun mereka mengganggunya, ia membawa pisau lipat di kantung hoodie berwarna hitamnya. Ia handal dalam permainan pisau. Semuanya berkat Glen yang mengajarinya.
Jalanan makin sepi dan para penjual pun telah menutup kios mereka, meninggalkan bangku serta meja bundar berpayung yang menancap permanen di tanah.
Roze menyandarkan punggung mungilnya ke kepala bangku. Ia mengayun-ayunkan kedua kaki kecilnya yang tidak sampai menapak tanah karena keterbatasan tinggi.
Mulai terpikir olehnya untuk tidur di sini, karena tidak mungkin ia pulang ke rumah, atau lebih tepatnya penjara itu. Ia sudah tidak tahan dengan tekanan mental yang mereka berikan kepadanya.
Ini hidupnya, ia akan menjalani hidupnya, hidupnya yang ia tentukan sendiri. Bukannya hidup sebagai boneka yang selalu diatur-atur. Mereka selalu merenggut hal-hal yang dicintainya. Dari dulu selalu begitu.
Ia tidak pernah boleh melakukan sesuatu yang tidak diizinkan oleh mereka. Jika ingin melakukan sesuatu, semuanya harus berdasarkan kehendak mereka. Benar-benar seperti boneka.
"Halo."
Sapaan itu membuatnya mengangkat kepala. Tiga orang laki-laki yang tadi duduk tidak jauh darinya sekarang berdiri di samping mejanya.
Yang satu berambut hitam dan bermata biru, mengenakan kaus merah dengan jaket denim berwarna biru dongker yang agak pudar di luarnya.
Sementara yang lainnya berambut kemerahan dengan mata berwarna coklat. Dia mengenakan kemeja abu-abu dengan jaket kulit putih di luarnya. Mereka berdua terlihat seperti remaja berumur 18 tahunan, namun yang berambut hitam terlihat beberapa senti lebih tinggi dari yang berambut merah.
Sementara yang satunya lagi sangat dingin dan tak bersahabat. Umurnya terlihat tak jauh berbeda dari umur Roze. Rambutnya berwarna pirang dan matanya berwarna turquoise—biru kehijauan. Dia mengenakan hoodie merah dengan gambar api hitam di tengahnya. Di kepalanya terhias topi merah dengan tulisan 'BURN' berwarna hitam membentuk setengah lingkaran.
"Dimana orang tuamu? Kau tidak pulang?" Tanya yang berambut hitam.
Roze tidak menjawab. Matanya malah asyik naik-turun menilai ketiga orang ini satu per satu. Sebenarnya dalam interaksi sosial, tidak baik melakukan hal ini. Namun mau bagaimana lagi, Roze hampir tidak pernah berinteraksi dengan orang baru, jadi ia tidak mengerti tata krama seperti itu.
"Ck, bukankah tidak sopan memandangi orang seperti itu? Sudahlah ayo pulang saja." Bocah bertopi itu berbalik pergi, tapi lelaki yang berambut merah dengan sigap menarik penutup hoodie-nya.
"Hei-hei-hei. Apakah kau tidak diajari bagaimana caranya memperlakukan perempuan? Mungkin saja dia kebingungan dan sedang tersesat. Kita harus membantunya," kata yang berambut hitam.
Yang berambut merah duduk di samping kiri Roze dengan senyuman terukir di wajahnya. Tampangnya sangat ramah dan bersahabat sehingga membuatnya agak rileks.
"Hai, aku Tera," ujarnya ramah sembari mengulurkan tangan.
Roze hanya menatap datar tangan itu, tak ada niatan untuk menyambut. Tera pun memaklumi. Jadi dengan rendah hati ia menurunkan tangannya kembali. "Sedang apa kau di sini? Apakah kau sedang tersesat?"
Mata Roze memicing, mencoba menilai orang ini. Tapi ia tidak dapat menemukan niat mencurigakan darinya.
Dari banyaknya orang yang lalu lalang, cuma mereka yang mengakui keberadaannya, cuma mereka yang menyempatkan diri singgah untuknya. Mungkin itulah yang membuatnya agak tersentuh.
Yang berambut hitam mengambil duduk di hadapan Roze. Dia mengeluarkan sesuatu dari jaket denimnya dan memberikannya kepadanya. Itu adalah sesuatu yang terbungkus plastik. Menyadari tatapan ragu Roze, dia memberitahu, "coklat."
Jujur, ini pertama kalinya Roze melihat coklat yang terbungkus seperti itu.
Roze mulai mengangkat tangannya. Melihat keraguannya, lelaki itu menarik tangan kecilnya dan langsung saja menjejalkan coklat itu ke dalam genggamannya.
"Makan ya? Kalau suka, masih ada banyak di sini." Dia menepuk-nepuk kantungnya.
"Jangan memberikan coklatku kepadanya." Bocah bertopi itu mengancam.
"Kai, jangan pelit begitu. Kau kan masih bisa beli lagi nanti." Tera menegurnya.
"Siapa namamu?" Tanya yang berambut hitam. Mata birunya menatap Roze begitu lekat. Dan entah kenapa, Roze merasa seperti familier dengan mata itu. Orang itu... mirip dengan seseorang yang Roze kenal.
"...Loze," jawabnya, terdengar skeptis.
"Loze?" Dia memajukan telinganya, agar dapat mendengar lebih jelas.
Roze menggeleng, "R." Ia bersusah payah menyebutkan huruf R, sampai-sampai ia malah menelan langsung coklat yang seharusnya ia kunyah dulu.
Tera tertawa melihat wajahnya. Kai juga ikut tertawa, tapi ia menyembunyikannya di balik batuk.
Laki-laki berambut hitam itu terkekeh pelan, "oh, Roze. Baiklah Roze, salam kenal. Aku Afrodi." Dia mengulurkan tangannya yang tentu saja langsung Roze sambut.
Perbedaannya begitu kontras. Tangan kecil berwarna putih milik Roze menjabat tangan besar Afrodi yang berwarna agak kecokelatan.
"Tidak adil. Mengapa tadi aku tidak kau terima?" Tera mengeluh di sampingnya.
Roze melepaskan tangan Afrodi dan beralih mengulurkan tangan kepada Tera. melihat itu, tawa Tera seketika pecah. Bingung akan tingkahnya, Roze mengangkat sebelah alisnya. Namun pada akhirnya, Tera menjabat tangannya juga.
"Jadi, Roze sedang apa di sini?" Afrodi bertanya.
Tanpa menjawab, Roze malah menjatuhkan pandangannya.
Melihat itu, Kai berdecak kesal. "Dia ini sepertinya tidak tahu terima kasih. Sudahlah ayo pulang." Tapi lagi-lagi, penutup hoodie-nya ditarik, membuatnya tetap duduk dengan terpaksa.
"Tunggu dulu," ujar Afrodi dengan tegas. Ia melepaskan hoodie Kai dan kembali menatap Roze, "nah, Roze."
Roze mendongak.
"Apa kau mempunyai teman?"
Roze bergeming.
"Kau mempunyai keluarga?"
Roze masih bergeming.
"Rumah untuk pulang?"
Untuk yang terakhir kalinya, Roze masih tetap membisu. Suaranya seakan tertahan di dalam mulutnya.
Namun semua itu justru menerbitkan senyuman di wajah Afrodi. Dia terpejam, membiarkan kedamaian membingkai wajahnya.
"Jadi begitu." Afrodi membuka matanya kemudian bangkit berdiri, diikuti oleh dua orang yang lainnya
"Baiklah. Mulai sekarang, aku akan menjadi temanmu, keluargamu, dan rumahmu," ujar Afrodi, dengan senyuman yang bahkan mengalahkan terangnya bintang-bintang di langit.
Roze tidak dapat berpaling darinya. Ia terpana. Ia seperti baru saja menemukan benda paling antik, emas paling murni, dan berlian paling berkilau yang pernah ada di dunia ini.
"Ayo, Roze." Afrodi mengulurkan tangannya.
Walau sempat membeku beberapa detik, akhirnya dengan perlahan ia menggapainya. Dan tangan itu, tangan hangat itu membawanya berdiri.
Tersenyum, Afrodi membawa Roze berjalan di sampingnya dengan tangan yang saling menggenggam. Perbedaan tingginya lumayan jauh. Kepala Roze hanya sebatas pinggangnya.
Selama ini tidak ada yang bisa membebaskannya dari penjara emas itu. Dan bahkan jika ia bebas, tidak akan ada yang mau menerimanya. Tapi dia, orang asing yang sama sekali tidak pernah mengenalnya, dengan mudahnya...
Roze melepas tautan tangan mereka. Terkejut, Afrodi berhenti dan mengecek ke bawah. Dan ia lebih terkejut lagi ketika Roze malah memeluknya. Pelukan itu sangat erat bagaikan seseorang yang bergantung pada ranting pohon saat melihat jurang di bawah kakinya.
Tera dan Kai ikut berhenti. Mereka tak bisa berkata-kata melihat pemandangan itu.
"Terima kasih, Afrodi."
Ia tidak ingin menunjukkan wajahnya yang menangis pada orang lain. Bahkan mungkin ini pertama kalinya ia menangis di depan orang lain.
Ia sudah cukup tidak berguna, ia tidak ingin melakukan hal yang tambah membuatnya menjadi tidak berguna lagi.
Karena percuma, air mata tidak akan menenggelamkan masalah begitu saja. Mau ia menangis ataupun tidak, semua tetap sama seperti semestinya, tidak ada yang berubah.
Ia selalu memberitahu dirinya sendiri untuk tidak pernah menangis lagi karena itu semua tidak ada gunanya.
Namun ia rasa kali ini percuma, karena itulah...
Ia merasakan tubuhnya diangkat. Afrodi mengangkatnya dan membawanya ke dadanya, menggendongnya dalam dekapannya yang erat. Lalu, tangannya mengusap-usap punggung kecilnya dengan lembut. Mungkin sekarang baju Afrodi telah basah oleh air matanya.
'Karena itulah... aku ingin kau untuk...'
"Sstt... aku sudah memelukmu, jadi berhenti menangis ya?"
Roze terlambat. Afrodi telah melakukannya bahkan sebelum ia meminta.
Tidak ada yang perlu ditakutkan. Siapa pun pantas bahagia. Tidak peduli seburuk apa pun masa lalu, pasti akan selalu ada alasan di masa depan, mengapa kita harus tersenyum.
Jangan pernah menolak ketika cahaya datang. Suatu saat, akan ada cahaya yang akan menyinari gelapnya malam kalian.
Jika tidak sekarang, mungkin nanti. Tidak perlu takut, karena giliran kalian pasti akan tiba. Tidak peduli siapa pun itu, pasti akan tiba.
Dan kalian pantas menerimanya.
========
Mereka berdua menyusuri lorong sepi itu dengan Zeze yang memimpin di depan. Ia benar-benar menceritakan semuanya kepada Kion, saat awal bagaimana ia bisa bergabung dengan Énkavma, bagaimana ia bertemu dengan mereka.
Dan Kion pun mendengarkan dengan sabar. Saat cerita berakhir, Kion berbicara, "orang itu... Afrodi, aku harap, aku bisa menemuinya. Dan berterima kasih banyak hal kepadanya."
Hubungan mereka memang tidak serenggang sebelumnya. Namun tetap saja, masih tersisa rasa canggung, terlebih lagi untuk Zeze sendiri. Kakak sepupunya itu entah mengapa terlihat seperti orang yang berbeda. Mata hazelnya terlihat seperti mata orang mati, tak ada cahaya maupun gairah.
Entah apa yang mengubahnya seperti itu, tapi Zeze rasa dirinya bisa mengerti. Karena ia akui, dirinya sendiri pun juga berubah.
Kion memperhatikan punggung yang dibalut jaket denim itu dari jauh. Memang benar sebelumnya ia berkata bahwa ia akan selalu ada di belakangnya. Dan ketika ia bilang jangan sungkan-sungkan untuk menoleh ke belakang, ada maksud lain di baliknya.
Karena selama ini, gadis itu selalu mengejar hal lain. Dia tidak pernah melihatnya yang selalu ada di belakangnya. Jangankan melihat, Kion yakin sekali gadis itu bahkan tidak pernah menyadarinya, menyadari dirinya yang selalu mencoba menggapainya dari sini, dari jarak ini.
Tapi tidak masalah, dari dulu ia memang selalu melihatnya dari jauh. Jadi apa salahnya jika sekarang ia melakukannya lagi.
"Aku berharap yang terbaik untukmu..." ucapnya lirih, selirih embusan angin dingin yang menyusup masuk lewat jendela di sampingnya.
"...cinta pertama..."
Kata-kata itu keluar bagai bisikan yang hanya lewat tanpa mencapai tujuannya.
Tatapan Kion jatuh ke bawah, kepada sepatu hitamnya yang membuat suara pertemuan berulang-ulang dengan lantai berwarna coklat
Dapat melihatnya dari jauh saja sudah lebih dari cukup. Melihatnya bahagia dan bebas tanpa sangkar yang membelenggu.
Kion ingin berterima kasih kepada orang itu, Afrodi. Berterima kasih karena selama ini telah menjaga dia, karena telah mengulurkan tangan untuk dia, karena telah memberi dia kebebasan yang diimpikannya.
Sejujurnya, masih terbesit di dalam hatinya harapan bahwa suatu saat nanti dia akan melihatnya. Namun Kion terlalu mengenalnya. Gadis itu tidak akan mudah menyerah pada hal yang disukainya. Dia itu tipe orang yang hanya akan setia pada satu hal, sampai-sampai mengabaikan hal yang lain.
Biarlah angan-angan itu menguap bagai embusan napas yang keluar dari mulutnya.
Ia pernah membaca sebuah buku yang terdapat kata-kata Buddha di sana. Sebuah kata-kata indah yang membahas perbedaan antara 'cinta' dan 'suka'
Diibaratkan dengan bunga. Jika kau 'menyukai' sebuah bunga, kau hanya akan 'memetik' bunga itu.
Tetapi ketika kau 'mencintai' bunga itu, kau akan merawat dan menyiramnya, hingga bunga itu tumbuh makin cantik.
Itulah cinta.
Dan itulah prinsip yang selalu tertanam di hati dan pikirannya. Kion tersenyum saat kembali menatap lurus ke depan.
Sebuah perumpamaan yang bagus. Pas sekali dengan situasinya saat ini. Benar, ia hanya akan merawat dan menjaga bunga ini.
Bunga mawarnya.
Setelah sampai di dalam, Kion melepaskan tangannya dan mereka mengambil duduk saling berhadapan di sofa.
"Well, terima kasih," ucap Zeze, melihat ke arah lain.
"Apa yang dia lakukan padamu sebelum aku datang?" Tanya Kion, terdengar menuntut.
Zeze menatapnya tanpa ekspresi, "tidak ada."
Namun Kion tidak percaya begitu saja. Ia mengangkat sebelah alis tebalnya dengan pandangan skeptis.
Zeze berdecak kesal. "Sungguh," gerutunya.
"Sedang apa tadi kakak ada di sana?" Tanyanya, mengalihkan pembicaraan.
"Untuk ke sini."
Mereka berdua kembali saling tatap, membiarkan keheningan mewarnai suasana di antara mereka. Kemudian, Kion memecahnya dengan sebuah pertanyaan, "aku ingin bertanya, apakah Fridom benar-benar mati?"
Keluar topik, tapi tentunya Zeze paham maksud dari pertanyaan itu. Fridom adalah nama tokoh utama di dalam novelnya yang berjudul Freedom.
"Dia tidak mati." Jawaban singkat Zeze membuat Kion menegakkan punggungnya, gelagat antara tertarik dan penasaran.
"Dia masih hidup, di sini." Zeze menunjuk hatinya.
"Jadi, dia benar-benar mati." Kion kembali menyandarkan punggungnya.
"Sudah kubilang dia tidak mati. Itu tergantung perspektifmu. Jika bagimu dia tidak mati, maka dia tidak akan mati."
"Lalu, bagaimana denganku?"
Zeze menautkan alisnya.
"Apakah aku sudah mati..." Kion memberi jeda dengan menyilangkan kakinya di atas kakinya yang lain, "...di hatimu?" Lanjutnya.
Zeze berusaha keras membaca ekspresinya, namun gagal. Ia sama sekali tidak dapat mengerti laki-laki itu, bahkan lebih menyulitkan dari membaca ekspresi Glen yang kadang-kadang masih dapat ia tebak.
"Aku akan berusaha minta maaf sekarang. Apa pun salahku kepadamu, aku minta maaf. Maaf, aku tidak memberitahu hal itu terlebih dahulu kepadamu, padahal aku sudah lama tahu. Mungkin jika aku memberitahumu lebih dulu, kita masih menjadi kakak-adik seperti sebelumnya."
Tatapan Zeze terjatuh pada meja empuk di hadapannya. Ia ingin menolak, ia ingin mengatakan ini bukan salahnya. Tidak ada yang salah di sini.
"Yang aku harapkan hanya kau bahagia, ke mana pun kau pergi, dimana pun kau berada. Tanpa beban, bebas, seperti yang dulu kau impikan."
"Kau salah..." gumam Zeze. "Aku tidak pernah marah maupun membencimu."
Zeze kembali menatap matanya, "aku baru sadar bahwa yang selama ini aku benci adalah diriku sendiri. Kau tidak salah apa-apa. Itu hanya keegoisanku karena tidak bisa menerima kenyataan."
Kion tetap setia memperhatikannya. Mungkin ini adalah pertama kalinya setelah sekian lama mereka berbicara terus terang.
"Justru aku yang ingin meminta maaf. Waktu itu aku bilang... aku membencimu. Aku bilang kau adalah orang jahat yang merenggut kebebasanku. Padahal, kau juga korban sama sepertiku. Jadi... Kakak,"
Zeze mengambil napas panjang sebelum melanjutkan, "mungkin kita tidak akan bisa sama seperti dulu lagi. Tapi bagiku, kau adalah kakak laki-laki terhebat, terbaik, ter... pokoknya tidak ada duanya."
Zeze mengangguk mantap sementara Kion senyum geli.
"Terima kasih kau sudah mau mampir setiap minggu untuk bermain denganku. Terima kasih sudah mengubah hari-hariku yang membosankan menjadi berwarna. Kau, Obi, dan Glen... aku tidak tahu bagaimana caranya berterima kasih. Kalian adalah penyelamatku di penjara itu.
"Mungkin kau sudah tidak dapat membacakanku cerita seperti dulu lagi, kita tidak bisa bermain puzzle lagi, kita tidak bisa melakukan hal-hal yang sewaktu kecil biasa kita lakukan sekarang, tapi aku tetap ingin kau menganggapku sebagai adikmu," ungkap Zeze panjang lebar.
"Apakah kau masih menganggapku begitu?" Tanyanya hati-hati.
Kion mengganti posisi kakinya, "hmm... itu pertanyaan sulit."
Zeze semakin lekat menatapnya, agak gugup mewanti-wanti jawabannya.
"Kau tahu? Pertama kali aku bertemu denganmu saat aku berumur 7 tahun. Saat itu, ibuku memperkenalkanmu sebagai orang yang akan menjadi masa depanku. Saat itu aku... pokoknya aku pikir itu aneh. Bagaimana mereka bisa menentukan masa depanku begitu saja.
"Tapi karena mereka selalu memberitahukan hal yang sama, aku jadi berpikir bahwa kau ini memang spesial, jadi aku harus menjagamu.
"Aku telah terbiasa dengan segala kepalsuan di sekelilingku. Tapi saat bersamamu, aku merasa bahwa ini bukanlah hal yang harus dianggap biasa lagi. Aku tidak bisa terus-terusan berada di tempat yang bukan tempatku—yang tidak cocok denganku.
"Aku tidak tega melihatmu yang selalu terlihat tidak memiliki semangat hidup. Tapi tanpa disangka, suatu hari kau bilang padaku kalau kau menyukai seorang anak laki-laki yang kau temui waktu itu. Dan saat itulah pertama kalinya kau bilang kau mempunyai impian. Kau ingin menjadi penyanyi dan komposer musik, kau ingin tumbuh dewasa lalu menikah dengannya." Kion terkekeh.
Zeze menggigit bibir bawahnya, malu. Impian kekanak-kanakan yang ingin sekali ia wujudkan. Andai saja hidup sesederhana itu.
"Itu adalah pertama kalinya kau berbicara tentang orang lain kepadaku. Biasanya yang selalu kau bicarakan adalah tokoh-tokoh cerita yang tidak nyata.
"Dia membuatmu mempunyai impian di saat kau telah menyerah untuk menentukan takdirmu sendiri. Dia datang dan menjadi impian itu sendiri.
"Aku akan mendukung apa saja yang kau lakukan. Memang benar kita tidak akan bisa seperti saat kecil lagi, seperti dulu lagi. Itu karena kita sudah besar, kita sudah berada di masa sekarang. Tidak ada gunanya melakukan hal-hal usang. Jadi daripada meratapi hal-hal yang telah berlalu, mengapa kita tidak memulai yang baru?"
Kion tersenyum dan matanya pun melembut. Tapi semua itu justru membuat Zeze makin merasa bersalah.
"Apakah kau tidak... tidak kecewa melihatku yang sekarang?" Tanyanya hati-hati.
Kion menatapnya intens. "Apakah kau menyukai apa yang kau lakukan sekarang?"
Zeze mengangguk yakin.
"Maka itu sudah cukup. Untuk apa aku kecewa terhadap seseorang yang menyukai dan tahu pasti apa yang sedang dilakukannya? Roze yang aku kenal tidak akan begitu saja mau melakukan hal yang tidak disukainya."
Zeze mendenguskan senyum dan kembali menjatuhkan tatapannya ke meja.
"Roze."
Zeze mengangkat pandangannya atas panggilan itu.
"Apa pun yang telah kau lakukan ataupun yang nantinya akan kau lakukan, aku akan tetap bangga kepadamu."
Detik itu juga, Zeze terkesima.
"Kau memilikiku di belakangmu, jadi jangan sungkan-sungkan berbalik jika kau membutuhkanku. Tapi bukan berarti kau boleh mundur," lanjut Kion.
"Kakak tahu? Aku sangat berharap kata-kata kakak barusan juga diucapkan oleh orang lain."
Kion menangkap secercah perubahan di raut wajahnya.
"Tapi sayangnya itu tidak akan pernah terjadi." Zeze mendesah sedih dan menyisir poninya ke belakang dengan jari.
"Dan dia adalah inspirasiku dalam menulis buku itu. Cerita itu berasal dari perjalanan hidupnya."
Tertarik, Kion mencondongkan tubuh ke depan. "Maksudnya?" Tanyanya penasaran.
"Kau tahu kan, ibu kandung Obi, Sara Dargnaith, sebelumnya dia mempunyai anak bersama ayahku?" Tanya Zeze yang dijawab Kion dengan anggukan.
"Itu dia. Namanya Afrodi."
========
Malam itu, di salah satu kota di Aplistia, Roze duduk di bawah payung besar sebuah rumah makan outdoor pinggir trotoar yang menghalanginya dari langit malam penuh bintang serta salju yang berjatuhan.
Bahkan saat restoran telah sepi karena memasuki waktu tutup, ia masih setia menopang dagunya, memperhatikan orang-orang yang lalu-lalang di atas trotoar.
Tersisa tiga orang laki-laki yang masih setia duduk di satu meja sambil menghisap rokok mereka. Roze tidak terlalu memedulikan mereka. Karena walaupun mereka mengganggunya, ia membawa pisau lipat di kantung hoodie berwarna hitamnya. Ia handal dalam permainan pisau. Semuanya berkat Glen yang mengajarinya.
Jalanan makin sepi dan para penjual pun telah menutup kios mereka, meninggalkan bangku serta meja bundar berpayung yang menancap permanen di tanah.
Roze menyandarkan punggung mungilnya ke kepala bangku. Ia mengayun-ayunkan kedua kaki kecilnya yang tidak sampai menapak tanah karena keterbatasan tinggi.
Mulai terpikir olehnya untuk tidur di sini, karena tidak mungkin ia pulang ke rumah, atau lebih tepatnya penjara itu. Ia sudah tidak tahan dengan tekanan mental yang mereka berikan kepadanya.
Ini hidupnya, ia akan menjalani hidupnya, hidupnya yang ia tentukan sendiri. Bukannya hidup sebagai boneka yang selalu diatur-atur. Mereka selalu merenggut hal-hal yang dicintainya. Dari dulu selalu begitu.
Ia tidak pernah boleh melakukan sesuatu yang tidak diizinkan oleh mereka. Jika ingin melakukan sesuatu, semuanya harus berdasarkan kehendak mereka. Benar-benar seperti boneka.
"Halo."
Sapaan itu membuatnya mengangkat kepala. Tiga orang laki-laki yang tadi duduk tidak jauh darinya sekarang berdiri di samping mejanya.
Yang satu berambut hitam dan bermata biru, mengenakan kaus merah dengan jaket denim berwarna biru dongker yang agak pudar di luarnya.
Sementara yang lainnya berambut kemerahan dengan mata berwarna coklat. Dia mengenakan kemeja abu-abu dengan jaket kulit putih di luarnya. Mereka berdua terlihat seperti remaja berumur 18 tahunan, namun yang berambut hitam terlihat beberapa senti lebih tinggi dari yang berambut merah.
Sementara yang satunya lagi sangat dingin dan tak bersahabat. Umurnya terlihat tak jauh berbeda dari umur Roze. Rambutnya berwarna pirang dan matanya berwarna turquoise—biru kehijauan. Dia mengenakan hoodie merah dengan gambar api hitam di tengahnya. Di kepalanya terhias topi merah dengan tulisan 'BURN' berwarna hitam membentuk setengah lingkaran.
"Dimana orang tuamu? Kau tidak pulang?" Tanya yang berambut hitam.
Roze tidak menjawab. Matanya malah asyik naik-turun menilai ketiga orang ini satu per satu. Sebenarnya dalam interaksi sosial, tidak baik melakukan hal ini. Namun mau bagaimana lagi, Roze hampir tidak pernah berinteraksi dengan orang baru, jadi ia tidak mengerti tata krama seperti itu.
"Ck, bukankah tidak sopan memandangi orang seperti itu? Sudahlah ayo pulang saja." Bocah bertopi itu berbalik pergi, tapi lelaki yang berambut merah dengan sigap menarik penutup hoodie-nya.
"Hei-hei-hei. Apakah kau tidak diajari bagaimana caranya memperlakukan perempuan? Mungkin saja dia kebingungan dan sedang tersesat. Kita harus membantunya," kata yang berambut hitam.
Yang berambut merah duduk di samping kiri Roze dengan senyuman terukir di wajahnya. Tampangnya sangat ramah dan bersahabat sehingga membuatnya agak rileks.
"Hai, aku Tera," ujarnya ramah sembari mengulurkan tangan.
Roze hanya menatap datar tangan itu, tak ada niatan untuk menyambut. Tera pun memaklumi. Jadi dengan rendah hati ia menurunkan tangannya kembali. "Sedang apa kau di sini? Apakah kau sedang tersesat?"
Mata Roze memicing, mencoba menilai orang ini. Tapi ia tidak dapat menemukan niat mencurigakan darinya.
Dari banyaknya orang yang lalu lalang, cuma mereka yang mengakui keberadaannya, cuma mereka yang menyempatkan diri singgah untuknya. Mungkin itulah yang membuatnya agak tersentuh.
Yang berambut hitam mengambil duduk di hadapan Roze. Dia mengeluarkan sesuatu dari jaket denimnya dan memberikannya kepadanya. Itu adalah sesuatu yang terbungkus plastik. Menyadari tatapan ragu Roze, dia memberitahu, "coklat."
Jujur, ini pertama kalinya Roze melihat coklat yang terbungkus seperti itu.
Roze mulai mengangkat tangannya. Melihat keraguannya, lelaki itu menarik tangan kecilnya dan langsung saja menjejalkan coklat itu ke dalam genggamannya.
"Makan ya? Kalau suka, masih ada banyak di sini." Dia menepuk-nepuk kantungnya.
"Jangan memberikan coklatku kepadanya." Bocah bertopi itu mengancam.
"Kai, jangan pelit begitu. Kau kan masih bisa beli lagi nanti." Tera menegurnya.
"Siapa namamu?" Tanya yang berambut hitam. Mata birunya menatap Roze begitu lekat. Dan entah kenapa, Roze merasa seperti familier dengan mata itu. Orang itu... mirip dengan seseorang yang Roze kenal.
"...Loze," jawabnya, terdengar skeptis.
"Loze?" Dia memajukan telinganya, agar dapat mendengar lebih jelas.
Roze menggeleng, "R." Ia bersusah payah menyebutkan huruf R, sampai-sampai ia malah menelan langsung coklat yang seharusnya ia kunyah dulu.
Tera tertawa melihat wajahnya. Kai juga ikut tertawa, tapi ia menyembunyikannya di balik batuk.
Laki-laki berambut hitam itu terkekeh pelan, "oh, Roze. Baiklah Roze, salam kenal. Aku Afrodi." Dia mengulurkan tangannya yang tentu saja langsung Roze sambut.
Perbedaannya begitu kontras. Tangan kecil berwarna putih milik Roze menjabat tangan besar Afrodi yang berwarna agak kecokelatan.
"Tidak adil. Mengapa tadi aku tidak kau terima?" Tera mengeluh di sampingnya.
Roze melepaskan tangan Afrodi dan beralih mengulurkan tangan kepada Tera. melihat itu, tawa Tera seketika pecah. Bingung akan tingkahnya, Roze mengangkat sebelah alisnya. Namun pada akhirnya, Tera menjabat tangannya juga.
"Jadi, Roze sedang apa di sini?" Afrodi bertanya.
Tanpa menjawab, Roze malah menjatuhkan pandangannya.
Melihat itu, Kai berdecak kesal. "Dia ini sepertinya tidak tahu terima kasih. Sudahlah ayo pulang." Tapi lagi-lagi, penutup hoodie-nya ditarik, membuatnya tetap duduk dengan terpaksa.
"Tunggu dulu," ujar Afrodi dengan tegas. Ia melepaskan hoodie Kai dan kembali menatap Roze, "nah, Roze."
Roze mendongak.
"Apa kau mempunyai teman?"
Roze bergeming.
"Kau mempunyai keluarga?"
Roze masih bergeming.
"Rumah untuk pulang?"
Untuk yang terakhir kalinya, Roze masih tetap membisu. Suaranya seakan tertahan di dalam mulutnya.
Namun semua itu justru menerbitkan senyuman di wajah Afrodi. Dia terpejam, membiarkan kedamaian membingkai wajahnya.
"Jadi begitu." Afrodi membuka matanya kemudian bangkit berdiri, diikuti oleh dua orang yang lainnya
"Baiklah. Mulai sekarang, aku akan menjadi temanmu, keluargamu, dan rumahmu," ujar Afrodi, dengan senyuman yang bahkan mengalahkan terangnya bintang-bintang di langit.
Roze tidak dapat berpaling darinya. Ia terpana. Ia seperti baru saja menemukan benda paling antik, emas paling murni, dan berlian paling berkilau yang pernah ada di dunia ini.
"Ayo, Roze." Afrodi mengulurkan tangannya.
Walau sempat membeku beberapa detik, akhirnya dengan perlahan ia menggapainya. Dan tangan itu, tangan hangat itu membawanya berdiri.
Tersenyum, Afrodi membawa Roze berjalan di sampingnya dengan tangan yang saling menggenggam. Perbedaan tingginya lumayan jauh. Kepala Roze hanya sebatas pinggangnya.
Selama ini tidak ada yang bisa membebaskannya dari penjara emas itu. Dan bahkan jika ia bebas, tidak akan ada yang mau menerimanya. Tapi dia, orang asing yang sama sekali tidak pernah mengenalnya, dengan mudahnya...
Roze melepas tautan tangan mereka. Terkejut, Afrodi berhenti dan mengecek ke bawah. Dan ia lebih terkejut lagi ketika Roze malah memeluknya. Pelukan itu sangat erat bagaikan seseorang yang bergantung pada ranting pohon saat melihat jurang di bawah kakinya.
Tera dan Kai ikut berhenti. Mereka tak bisa berkata-kata melihat pemandangan itu.
"Terima kasih, Afrodi."
Ia tidak ingin menunjukkan wajahnya yang menangis pada orang lain. Bahkan mungkin ini pertama kalinya ia menangis di depan orang lain.
Ia sudah cukup tidak berguna, ia tidak ingin melakukan hal yang tambah membuatnya menjadi tidak berguna lagi.
Karena percuma, air mata tidak akan menenggelamkan masalah begitu saja. Mau ia menangis ataupun tidak, semua tetap sama seperti semestinya, tidak ada yang berubah.
Ia selalu memberitahu dirinya sendiri untuk tidak pernah menangis lagi karena itu semua tidak ada gunanya.
Namun ia rasa kali ini percuma, karena itulah...
Ia merasakan tubuhnya diangkat. Afrodi mengangkatnya dan membawanya ke dadanya, menggendongnya dalam dekapannya yang erat. Lalu, tangannya mengusap-usap punggung kecilnya dengan lembut. Mungkin sekarang baju Afrodi telah basah oleh air matanya.
'Karena itulah... aku ingin kau untuk...'
"Sstt... aku sudah memelukmu, jadi berhenti menangis ya?"
Roze terlambat. Afrodi telah melakukannya bahkan sebelum ia meminta.
Tidak ada yang perlu ditakutkan. Siapa pun pantas bahagia. Tidak peduli seburuk apa pun masa lalu, pasti akan selalu ada alasan di masa depan, mengapa kita harus tersenyum.
Jangan pernah menolak ketika cahaya datang. Suatu saat, akan ada cahaya yang akan menyinari gelapnya malam kalian.
Jika tidak sekarang, mungkin nanti. Tidak perlu takut, karena giliran kalian pasti akan tiba. Tidak peduli siapa pun itu, pasti akan tiba.
Dan kalian pantas menerimanya.
========
Mereka berdua menyusuri lorong sepi itu dengan Zeze yang memimpin di depan. Ia benar-benar menceritakan semuanya kepada Kion, saat awal bagaimana ia bisa bergabung dengan Énkavma, bagaimana ia bertemu dengan mereka.
Dan Kion pun mendengarkan dengan sabar. Saat cerita berakhir, Kion berbicara, "orang itu... Afrodi, aku harap, aku bisa menemuinya. Dan berterima kasih banyak hal kepadanya."
Hubungan mereka memang tidak serenggang sebelumnya. Namun tetap saja, masih tersisa rasa canggung, terlebih lagi untuk Zeze sendiri. Kakak sepupunya itu entah mengapa terlihat seperti orang yang berbeda. Mata hazelnya terlihat seperti mata orang mati, tak ada cahaya maupun gairah.
Entah apa yang mengubahnya seperti itu, tapi Zeze rasa dirinya bisa mengerti. Karena ia akui, dirinya sendiri pun juga berubah.
Kion memperhatikan punggung yang dibalut jaket denim itu dari jauh. Memang benar sebelumnya ia berkata bahwa ia akan selalu ada di belakangnya. Dan ketika ia bilang jangan sungkan-sungkan untuk menoleh ke belakang, ada maksud lain di baliknya.
Karena selama ini, gadis itu selalu mengejar hal lain. Dia tidak pernah melihatnya yang selalu ada di belakangnya. Jangankan melihat, Kion yakin sekali gadis itu bahkan tidak pernah menyadarinya, menyadari dirinya yang selalu mencoba menggapainya dari sini, dari jarak ini.
Tapi tidak masalah, dari dulu ia memang selalu melihatnya dari jauh. Jadi apa salahnya jika sekarang ia melakukannya lagi.
"Aku berharap yang terbaik untukmu..." ucapnya lirih, selirih embusan angin dingin yang menyusup masuk lewat jendela di sampingnya.
"...cinta pertama..."
Kata-kata itu keluar bagai bisikan yang hanya lewat tanpa mencapai tujuannya.
Tatapan Kion jatuh ke bawah, kepada sepatu hitamnya yang membuat suara pertemuan berulang-ulang dengan lantai berwarna coklat
Dapat melihatnya dari jauh saja sudah lebih dari cukup. Melihatnya bahagia dan bebas tanpa sangkar yang membelenggu.
Kion ingin berterima kasih kepada orang itu, Afrodi. Berterima kasih karena selama ini telah menjaga dia, karena telah mengulurkan tangan untuk dia, karena telah memberi dia kebebasan yang diimpikannya.
Sejujurnya, masih terbesit di dalam hatinya harapan bahwa suatu saat nanti dia akan melihatnya. Namun Kion terlalu mengenalnya. Gadis itu tidak akan mudah menyerah pada hal yang disukainya. Dia itu tipe orang yang hanya akan setia pada satu hal, sampai-sampai mengabaikan hal yang lain.
Biarlah angan-angan itu menguap bagai embusan napas yang keluar dari mulutnya.
Ia pernah membaca sebuah buku yang terdapat kata-kata Buddha di sana. Sebuah kata-kata indah yang membahas perbedaan antara 'cinta' dan 'suka'
Diibaratkan dengan bunga. Jika kau 'menyukai' sebuah bunga, kau hanya akan 'memetik' bunga itu.
Tetapi ketika kau 'mencintai' bunga itu, kau akan merawat dan menyiramnya, hingga bunga itu tumbuh makin cantik.
Itulah cinta.
Dan itulah prinsip yang selalu tertanam di hati dan pikirannya. Kion tersenyum saat kembali menatap lurus ke depan.
Sebuah perumpamaan yang bagus. Pas sekali dengan situasinya saat ini. Benar, ia hanya akan merawat dan menjaga bunga ini.
Bunga mawarnya.