47 LUS

Seminggu telah berlalu, dan sekarang adalah hari pertama masuk sekolah. Pada saat jam istirahat, di kantin Zeze aktif bercengkerama dan melontarkan lelucon, membuat suasana menjadi lebih hidup, setelah beberapa hari ini ia hanya menjadi pendengar yang sama sekali tidak ambil pusing untuk ikut bergabung dengan mereka. Obi, Juni, dan Rhea tentunya menyadari Zeze sedang dalam mood yang bagus.

Zeze puas sekali ketika mendengar berita bahwa 4 orang pelaku penculikan dan jual-beli organ telah tertangkap dan diadili di penjara. Untuk kasus ini, nama Énkavma sudah bersih. Ia harus mencari cara berterima kasih pada Glen yang memutuskan untuk tidak membunuh mereka. Ya, walaupun sebelumnya ia mencemooh Glen karena tidak melakukannya.

Tapi ada satu hal yang mengganggunya. Glen bilang kalau organ-organ itu ternyata milik narapidana yang pernah kabur. Bukan hanya itu, 4 orang anggota Jack O'Lantern yang tersisa juga merupakan tahanan lama penjara. Intinya, semua yang ada di sana adalah para sampah masyarakat, bukan anak-anak.

Dan yang lebih mencengangkannya lagi, anggota Jack O'Lantern yang ditahan sama sekali tidak ingat apa yang terjadi dengan mereka. Mereka juga lupa siapa nama mereka. Entah ini settingan atau bagaimana.

Zeze tidak mengatakan tentang narapidana itu kepada Obi. Bisa-bisa nanti ia diamuk olehnya karena berhubungan lagi dengan Glen.

Saat seorang laki-laki berambut pirang berantakan lewat dengan membawa gitar, ia memanggilnya dengan lantang, membuat orang itu dan seisi kantin menoleh ke arahnya.

"Raven!" Panggilnya, dengan senyum mengembang.

Raven mengangkat sebelah alisnya. Tumben-tumbennya Zeze memanggilnya. Interaksi terakhir mereka adalah di kantin waktu itu. Saat itu ia belum mengetahui bahwa gadis yang luar biasa menyenangkan dan cantik ini adalah seorang keturunan kerajaan, terlebih lagi adalah seorang Ankhatia, salah satu dari 3 keluarga kerajaan tertinggi.

Raven menghampiri meja orang-orang populer itu dan menyapa, "yo, Tuan Putri. Lama tidak bertemu." Ia menyunggingkan senyum provokatif.

Zeze hanya memutar bola matanya, tapi pada akhirnya balas tersenyum juga.

"Itu... kau ingin memainkannya?" Matanya menunjuk gitar merah yang dipegang Raven.

"Ini? Tidak, memangnya kenapa?"

Seringainya yang semakin lebar membuat Raven mengangkat alisnya. Belum pernah ia melihat gadis itu sebahagia ini.

Zeze berdiri, "ya sudah kalau begitu. Aku ingin meminjamnya."

Ia mengambil begitu saja gitar itu dari tangan Raven seolah telah mengenal satu sama lain dalam waktu yang lama.

"Nanti kembalikan ke ruang musik. Hati-hati ini mahal, aku membelinya dengan uangku sendiri," tekan Raven.

"Iya, berisik." Zeze mengusirnya dengan kibasan tangan.

"Apa-apaan itu tadi? Bagaimana Yang Mulia bisa kenal dengan dia?" Volta terlihat kaget.

"Kau tahu, Ze? Dia itu bagian dari anak-anak yang bermasalah." Airo menambahkan.

Zeze kembali duduk, tetapi ia menarik kursinya sedikit menjauh dari meja, "lalu?" Tanyanya sambil mengatur senar gitar di pangkuannya. "Dia baik dan menyenangkan. Aku sampai tidak dapat berhenti tertawa jika mendengar leluconnya."

"Apa? Tapi..." Volta ingin menyanggah pernyataan itu. Ia tahu gosip-gosip tentang anak-anak seperti itu. Yang dikatakan Zeze sangat bertentangan dari apa yang ia dengar.

"Tenang saja. Kami berteman dengan mereka semua," ujar Juni sambil mengunyah pancake-nya. "Kalian tahu Max? Sean? Cardi? Charty? Bahkan kita kadang-kadang hang out bersama mereka."

Zeze sedikit melirik Juni. Seperti yang ia duga, Juni tidak menyebut nama Kai di ucapannya. Hubungan kedua orang itu memang rumit, bahkan mungkin sama rumitnya dengan hubungannya dengan Glen.

"Kalian tahu? Bahkan dia saja berteman dengan putra satu-satunya Duke Arthares," ujar Luna tiba-tiba.

Obi, Juni, Rhea, serta Zeze tersentak mendengarnya. Tangan Zeze yang sejak tadi memetik gitar tiba-tiba terhenti. "Bagaimana kau tahu?" Tanyanya, heran dan terperangah di saat yang sama.

"Waktu aku dan Volta ke kantin, aku melihat kalian bertiga sedang bersama mereka," jawab Luna polos. "Memangnya kenapa? Tidak ada yang boleh tahu ya?" Luna cemas melihat wajah terkejut keempat orang itu.

Zeze mengangkat bahu dan memilih memfokuskan matanya lagi ke gitar, "asalkan jangan ada orang lain yang sampai tahu. Dia itu juga bagian dari Énkavma."

"Zeze!" Tegur Juni, mulai kesal dengan sikap terang-terangannya. "Kita belum memberitahu kalau kita semua saling bekerja sama kepada Kai! Jangan asal bicara!"

"Belum? Berarti kau saja yang telat. Kai sudah lama tahu."

Mata Juni melebar, "apa? Sejak kapan?"

"Aku ini seeker kalian, dan Kai adalah leader-ku juga salah satu strategist kita kali ini. Mana mungkin aku tidak mendiskusikan ini kepadanya sebelumnya? Kalau tidak, bagaimana kita bisa menyusun rencana? Yang penting tidak ada orang lain lagi yang tahu selain mereka, karena Duke Arthares itu memihak bagian kanan. Kita tunggu sampai Kai menyerahkan gelar itu ke boneka barunya."

"Kita punya Megaloan, Gahernam, dan sekarang Arthares tanpa kita sadari." Saga menggeleng kagum. Sepertinya laki-laki pendiam itu menjadi antusias jika berhubungan dengan rencana pangeran mereka.

"Kenapa kalian tidak bertanya kepada teman kalian satu itu? Dia juga sering kali berkumpul dengan mereka." Ucapan Zeze membuat mereka semua bingung.

Menyadari hal itu, Zeze menunjuk Driko yang duduk di hadapannya dengan dagu.

"Apa!?" Pekik Luna kaget, ia langsung menghunus Driko dengan tatapannya.

"Mereka bilang, Deka sering kali bermain sepak bola dengan mereka." Zeze menjelaskan.

"Apa yang kau lakukan, Dri? Kau ini putra dari salah satu Duke di Aplistia!?" Cecar Luna, menatap tak percaya Driko yang malah terlihat cuek.

"Sudahlah, Lady Luna. Memangnya apa bedanya Deka dan kita semua dengan mereka? Kita sama-sama manusia, sama-sama tinggal di bumi, sama-sama membutuhkan makan." Zeze mencoba menengahi.

"Bahkan kotoran kita pun sama," timpal Obi.

Zeze tertawa mendengarnya, "benar, kotoran kita pun sama. Tidak ada bedanya, jadi tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Lagi pula, menilai seseorang dari luarnya saja itu adalah hal terbodoh yang pernah ada di dunia ini. Sekarang ini sudah abad ke-22, sampai kapan pikiranmu akan tertinggal di masa lalu?"

"Sayangnya tidak sesederhana itu, Ze," ujar Driko.

"Ngomong-ngomong, kalian ini sudah saling kenal sebelumnya ya? Aku perhatikan cara bicara kalian terdengar akrab sekali," selidik Luna.

Zeze dan Driko bertukar pandang. Kemudian mereka menoleh ke arah Kion yang sedang terpejam. Zeze heran kenapa orang itu selalu tidur. Apakah dia tidak cukup tidur saat malam hari?

Karena melihat Driko dan Kion yang tidak berniat menanggapi, Zeze akhirnya berbaik hati menjelaskan. "Aku sering bertemu dengannya waktu kecil. Deka selalu bersama dia saat mengunjungi rumahku."

"Itu sudah lama sekali sampai aku ragu dia masih mengingatku." Driko menambahkan.

"Tentu saja aku ingat. Kau dan Obi selalu membuatku hampir buang air di celana."

Obi dan Driko tertawa. "Kau ingin merasakannya lagi, Ze?" Tawar Driko.

Zeze menimang-nimang gitar di pangkuannya, "ini berat, ya?" Tanyanya.

Tawa Obi pecah ketika melihat ekspresinya, "memangnya kenapa kalau berat?" Dia bertanya setelah tawanya reda.

"Jika mengenai kepala seseorang pasti akan sakit," jawab Zeze.

"Karena itulah jangan dibuat mengenai kepala." Driko terkekeh, "coba mainkan sesuatu."

Saat Zeze memulai bait pertama, semua mata di kantin menatapnya. Mereka akui, suara Zeze sangat atraktif, unik, dan berbeda dari yang lain. Terlebih lagi high note dan improvisasi nada yang sampai menyebabkan mereka semua lupa menutup mulut dan mata mereka.

Sepertinya belum ada yang bisa move on dari penampilannya di pesta ulang tahun Kion waktu itu.

Seketika suasana di kantin menjadi sunyi, hanya suara merdu Zeze yang mengisi. Saat memasuki bagian chorus, Juni, Rhea, Obi, Airo dan Driko ikut bernyanyi, menyatu dan tersebar ke seluruh bagian kantin.

Saat lagu berakhir, tangan Zeze masih belum berhenti memetik senar, mengiri obrolan mereka dengan nada melankolis.

"Ngomong-ngomong, aku penasaran. Apakah hanya Master dan Zeze keturunan kerajaan yang makan di kantin ini?" Tanya Obi, melihat wajah-wajah di sekelilingnya.

"Sebenarnya mereka mempunyai ruang istirahat sendiri, hanya kadang-kadang mereka ke sini," jelas Luna, kembali menyuap makanannya.

"Memangnya banyak ya keturunan kerajaan yang bersekolah di sini?" Tanya Juni polos.

Alis Luna bertaut ketika menatapnya. "Semuanya bersekolah di sini bahkan dari berpuluh-puluh tahun yang lalu. Kau tidak tahu? Hanya Ankhatia yang dari dulu tidak pernah bersekolah di sini. Sampai akhirnya dia datang." Luna menunjuk Zeze dengan dagunya.

"Tunggu dulu, itu berarti—"

"Kioooon!"

Ucapan Zeze terpotong saat suara nyaring yang menyebalkan terdengar dari arah belakangnya. Tak perlu menoleh untuk mengetahui bahwa pemilik suara itu adalah Si Silly, orang yang tadi ingin ia tanyakan.

Mata Kion langsung membuka. Setelah melihat visual Silian, ia langsung mendesah pasrah. Sepertinya waktu tenang di siang hari ini tidak akan berpihak kepadanya.

Namun tanpa disangka Silian bukannya langsung menyerbu seperti biasanya, tapi langkahnya malah terhenti ketika melihat Obi di meja itu. Ia menunduk malu-malu saat mata Obi bertemu dengan mata hazel-nya.

Silian berdeham, mencoba menyamarkan kegugupannya, "kalian sedang makan siang ya? Boleh aku bergabung?"

"Tidak," sambar Zeze, menyulut kejengkelan Silian.

"Aku tidak bertanya padamu!" Sergahnya.

"Lalu? Kurasa Kakakku juga tidak mau kau berada di sini."

"Oke, oke. Duduk saja, tapi jangan ribut. Janji, Lian?" Kion menengahi yang disambut anggukan senang oleh Silian.

"Silly," panggil Zeze, berdiri dari kursinya. "Duduk di sini."

"Mau ke mana kau?" Tanya Obi.

"Mengembalikan ini."

========

Karena Raven menyuruhnya untuk mengembalikan gitarnya ke ruang musik, akhirnya sekarang ia berjalan menyusuri koridor barat lantai satu, mencoba menemukan pintu dengan tulisan digital bertuliskan ruang musik. Ia tidak mengizinkan Froura yang berniat menemaninya, karena itu sangatlah mengganggu.

Semakin dekat, samar-samar Zeze mendengar suara desahan yang saling bersahutan. Tak hanya itu, suara kecupan bibir berulang-ulang juga mengiringi desahan tersebut.

Dan benar, ketika ia berbelok ke kiri, di hadapannya terdapat seorang lelaki berambut emas yang mengurung seorang gadis berambut pirang panjang di tembok dengan kedua tangannya.

Dengan membabi-buta, dia mengecupi bibir merah gadis itu, turun sampai ke dagu, dan jatuh ke leher. Hasrat dan nafsu melebur menjadi satu.

Zeze mengangkat kedua alisnya. Mungkin memang benar, tidak ada yang benar-benar baik di dunia ini. Bahkan di sekolah elite semacam Exousia sekalipun hal seperti ini dapat terjadi.

Ia sama sekali tidak terganggu, namun lebih ke jijik. Ia benar-benar heran kepada orang-orang yang menikmati air liur orang lain. Apa enaknya? Ia sama sekali tidak ingin merasakannya bahkan jika itu punya Glen sekalipun.

Zafth sering melakukan hal ini dengan para wanitanya. Ia juga sering kali melihat Juni menaklukkan mangsanya dengan cara seperti ini. Kata mereka, ini adalah bentuk perlakuan yang akan kau lakukan kepada seseorang yang kau cintai. Membayangkannya saja Zeze sudah geli.

Tanpa memedulikan mereka, Zeze melanjutkan jalannya dengan santai. Tapi tanpa diduga, orang itu melepaskan isapannya pada leher gadis itu dan melihat ke arahnya.

Zeze mengangkat sebelah alisnya ketika melihat wajah orang itu. 'Ternyata dia.' Ia mendengus geli lalu melanjutkan jalan tanpa berhenti.

Mungkin itulah yang ia rencanakan, sebelum sebuah tangan mengganggu rencana melarikan dirinya. Tangan itu menahan lengan kanannya dari belakang. Sepertinya jalannya memang tidak akan mudah.

Zeze menghembuskan napas panjang sebelum berbalik.

"Bukankah tidak sopan melewati orang begitu saja tanpa menyapa, Yang Mulia?" Tanyanya dengan suara parau.

"Aiden..." gadis di belakangnya memanggil tapi dia sama sekali tidak ambil pusing untuk menoleh. Matanya hanya terpaku pada sepasang mata biru yang tengah menatapnya dingin ini.

"Aid—"

"Pergi." Aiden mendesis dari sela giginya, tanpa sedikit pun memandang gadis itu.

Gadis itu tentu saja terlonjak, "tapi—"

"Kubilang pergi." Suaranya begitu dingin, sampai-sampai Zeze merasakannya juga.

Akhirnya gadis itu menyerah dan berbalik pergi, meninggalkan mereka berdua yang saling berperang dalam tatapan masing-masing.

Zeze mengintip ke belakang Aiden, "dia kabur, kenapa tidak melanjutkan saja? Aku tidak akan bilang siapa-siapa kok." Suaranya terbilang cukup santai.

Namun tidak dengan Aiden. Matanya sama sekali tidak mengisyaratkan kata santai. Seperti ada sesuatu yang tersimpan di balik mata hitamnya itu. Sesuatu yang Zeze sendiri tidak dapat mengerti.

Tangan kiri Aiden yang menahan lengan kanannya, perlahan bergerak turun sampai ke telapak tangannya.

Zeze menunduk, memperhatikan saat ibu jari Aiden beralih mengelus-elus punggung tangannya.

Dan saat ia kembali menatap Aiden, mata itu masih tidak berubah. Mata itu masih menatapnya lekat dan penuh perasaan di saat yang sama. Sorot mata yang sama sekali tidak dapat Zeze mengerti.

Zeze mendesah lelah dengan mata yang terpejam, "lepaskan, aku sedang buru-buru."

"Mengapa aku merasa Yang Mulia selalu terburu-buru saat sedang bersamaku?" Tanyanya. Suaranya lebih rapuh dari yang ia kira.

Mata dingin Zeze kembali membuka, "karena aku ingin cepat-cepat menjauh darimu."

Namun tanpa Zeze duga—tanpa hatinya sedikit pun dapat bersiap—Aiden malah tersenyum. Senyum itu terlihat masam. Zeze kira dia akan melakukan sesuatu padanya, karena di sini sedang tidak orang.

Tapi, apa-apaan senyum yang terlihat seperti orang tersiksa itu?

Mata Zeze melebar, antara kaget dan takjub. Oke, ini tidak pernah terbayangkan olehnya. Ia lebih suka meladeni tingkah seperti kotorannya dibanding harus terjebak di hadapan senyum menjijikkan yang tak dapat ia mengerti ini.

"Jadi..." suara Aiden membawa Zeze kembali ke akal sehatnya. "Yang Mulia dipaksa bertunangan dengan Pangeran, sementara Yang Mulia sendiri menyukai orang lain?"

Zeze menaikkan dagunya, "bukan urusanmu."

Aiden terkekeh, "tragis sekali ya?" Ia mendekatkan bibirnya ke telinga kiri Zeze, "bagaimana rasanya..."

Napas Zeze tertahan. Ia sudah ingin menyentak tangan dan menendang perut orang di hadapannya ini—kalau perlu kemaluannya sekalian—tapi entah mengapa ia masih ingin mendengar lanjutan dari kalimatnya itu.

"...mencintai seseorang yang tidak bisa kau miliki?"

Napas hangat Aiden menerpa telinganya. Harusnya saat itu juga Zeze pergi. Harusnya ia melakukan sesuatu agar terbebas dari orang ini. Tapi tidak bisa, ia tidak berkutik. Kata-kata itu, pertanyaan itu, begitu menusuknya hingga ke dasar terdalam.

Mata Zeze meredup. Jantungnya berpacu cepat memukul-mukul tulang rusuknya. Ia ingin menjawab, bukan hanya kepada orang ini, tapi kepada seluruh dunia bahwa hal tersebut sama sekali tidak menyenangkan.

Aiden kembali menarik diri. Ia memperhatikan raut wajah Zeze yang semula dingin kini mencair dan berubah memprihatinkan. Gadis itu membisu dengan mata sepenuhnya jatuh ke lantai.

Aiden tahu apa jawaban gadis itu, karena saat ini ia juga tengah merasakannya.

Aiden sudah tidak dapat menyangkal lagi. Ia sudah menyerah berpura-pura dalam hatinya. Ia telah terbiasa mendapatkan apa yang diinginkannya. Tapi dia, gadis di hadapannya ini adalah sebuah pengecualian. Bahkan jika dia tidak bertunangan dengan pangeran itu, hatinya tetap milik orang lain.

Dua-duanya tidak dapat ia miliki, baik tubuh maupun hatinya.

Dan itu membuatnya tidak terima, itu membuatnya marah. Tidak bisakah sekali saja dirinya memiliki sesuatu dari gadis ini?

"Bukankah ini sudah saatnya Tuan Muda melepaskan tangannya? Dia terlihat tidak nyaman."

Suara yang tak pernah terduga akan didengar baik oleh Zeze maupun Aiden tiba-tiba menyeruak di antara keheningan mereka.

Aiden menoleh ke belakang. Dan benar, Aiden tidak salah dengar. Itu memang dia, sedang berdiri kaku agak jauh dari mereka dengan kedua tangan tenggelam di dalam saku celana.

Kalau dipikir-pikir, Zeze benar-benar baru menyadari bahwa sejak tadi Aiden masih mengusap-usap punggung tangannya. Tapi harus Zeze akui—walaupun sebenarnya tak ingin—ini menyenangkan. Usapannya begitu lembut dan menenangkan. Gemuruh jantungnya juga agak berkurang gara-gara kelembutan ini.

Orang itu berjalan mendekati mereka berdua dengan sorot mata yang tak terbaca. Kemudian, dia menarik tangan kiri Zeze sehingga tangan kanannya terlepas dari genggaman Aiden.

Lalu dia memosisikan tubuhnya di antara mereka berdua, menghalangi Zeze dari pandangan Aiden di balik punggung tegapnya.

"Mungkin jika Tuan Muda ingat, ini kedua kalinya aku bertanya. Ada urusan apa Tuan Muda dengan tunanganku?"

Kedua laki-laki itu saling tatap dengan mata tajam mereka masing-masing. Kali ini Zeze tidak berniat menginterupsi karena ia sendiri juga masih belum pulih dari keterkejutannya.

Akhirnya Aiden-lah yang memutus kontak mata itu terlebih dahulu. Ia memejamkan mata lalu terkekeh. Saat matanya kembali terbuka, ia berbicara, "maafkan saya, Yang Mulia Pangeran."

Aiden mengintip Zeze dari balik tubuh Kion, "Tuan Putri terlihat sangat cantik, jadi saya tidak dapat menahan diri untuk mengagumi wajah cantiknya."

Zeze mengangkat sebelah alisnya. 'Sebenarnya apa yang sedang dibicarakan idiot itu?'

Sikap Aiden berbeda dengan Kion yang ketenangannya telah terbuang entah ke mana. Zeze hanya pernah sekali merasakan hawa seperti ini, itu pun dulu saat masih kecil.

Hawa yang dibuat Kion ketika dia sedang marah. Walaupun amarah ini bukan ditujukan untuknya, tapi tetap saja Zeze tidak bisa menyangkal bahwa ini menyeramkan.

"Aku harap tidak akan ada lagi kejadian seperti ini di masa depan. Tuan Muda Laktisma tentunya sadar dimana posisi Tuan Muda, benar kan?" Tanya Kion, tenang tapi dingin. Suaranya berubah sarkastis sekarang.

Aiden mundur selangkah, meletakan satu tangan di depan dada, lalu membungkuk hormat dengan mata terpejam. "Saya mengerti, Yang Mulia." Ia menegakkan tubuh, "kalau begitu, saya permisi."

Sebelum berbalik pergi, matanya mengerling penuh makna ke arah Zeze.

Dari belakang sini, Zeze bisa melihat dengan jelas luka yang memanjang dari siku hingga ke punggung tangan kiri Aiden karena lengan jaketnya yang tergulung. Jika dilihat dari bentuknya, tidak salah lagi itu adalah luka yang berasal dari sayatan pedang.

Dan Zeze tahu itu adalah bekas sayatan dari pedang beracun.
RECENTLY UPDATES