46 DISCUSS
=====================
VOLUME 2
The Pandora's Box
"Kotak Pandora"
=====================
Daftar nama kontak berawalan huruf Z langsung menjajah layar ponsel peraknya. Tanpa menunggu lama, Zeze menekan nama paling atas, Zafthkail. Nada sambung mengalun sebelum kemudian orang yang ia tuju mengangkat panggilannya.
"Kau masih di Aplistia kan? Kita harus berkumpul. Katakan dimana lokasimu agar aku bisa menjemputmu." Zeze langsung menyambar bahkan sebelum orang di ujung sana sempat berkata halo.
"Wow-wow. Tunggu dulu, Anak Kecil. Kau tidak bertanya apakah aku bisa atau tid—"
"Tidak ada waktu lagi. Katakan dimana lokasimu maka semua ini akan cepat selesai," tandas Zeze.
"Dan apa itu anak kecil? Kita hanya berbeda 5 tahun jadi berhenti memanggilku begitu, ORANG TUA."
"Baiklah-baiklah. Aku ada di tempat yang waktu itu."
"Oke." Zeze menutup panggilannya sepihak.
Ia memacu mobilnya ke tempat di mana Zafth berada dan membiarkan Kai dan Obi pulang terpisah dengannya. Butuh waktu sekitar satu jam sampai laki-laki berambut kelabu itu kini berada di dalam mobilnya dan menggantikannya menyetir. Laki-laki itu masih mengenakan hoodie yang sama seperti terakhir kali ia melihatnya. Zeze sampai heran sendiri apakah orang ini benar-benar tidak punya uang untuk hanya sekedar beli baju?
"Ada apa? Mengapa terlihat mendesak sekali?" Zafth melirik Zeze yang duduk di sebelah kanannya.
"Sebaiknya kau fokus saja ke depan dan mempercepat kemudimu yang seperti kura-kura itu." Sepertinya suasana hati Zeze sedang memburuk saat ini. Ia juga kerap kali terlihat mengantuk karena terus menguap.
Untuk mengurangi rasa kantuknya, Zeze memilih mengobrol. "Zafth, tadi aku bertemu dengan Zero."
"Oh, kembaranmu itu?" Balas Zafth tanpa mengalihkan matanya dari jalanan.
"Aku mengatakan hal yang ingin aku katakan kepadanya."
"Oh, itu bagus. Bagaimana reaksinya?"
"Seperti perkiraanmu. Dan aku bersyukur karena telah mengatakannya. Beban di dadaku terasa berkurang."
"Lalu, apakah kue di belakang itu sebagai tanda ucapan terima kasih untukku?"
"Tentu saja tidak!" Sergah Zeze, jengkel.
Kening Zafth berkerut. "Ayolah Ze, atau tidak... bisakah kau membagi tumpukan kertas itu padaku? Aku harus melamar seseorang."
"Kau mengatakan itu tahun lalu, dan tahun lalu lagi, dan tahun lalunya lagi. Sebenarnya berapa banyak perempuan yang ingin kau lamar?" Zeze mendelik pedas ke arahnya.
"Bagaimana aku bisa melamar mereka semua jika kau dan Obi tidak pernah memberiku uang!?" Zafth tak mau kalah, balas mendelik ke arahnya.
"Tuh kan! Pokoknya aku tidak akan memberikan ataupun meminjamkanmu sepeser pun uangku. Di sana banyak orang-orang yang kelaparan, yang bahkan tidak pernah tahu apakah besok mereka masih bisa makan atau tidak. Sedangkan kau, seenaknya ingin menghabiskan uang untuk jalang-jalangmu itu."
Zafth mati kutu. Bibirnya menipis, membentuk satu garis lurus. Ia tidak menyinggung tentang uang itu lagi.
"Ze, simpan ini." Zafth menyerahkan sebuah kantung plastik ke pangkuan Zeze.
Membukanya, Zeze melihat banyak sekali jepitan rambut. Tapi model dan warnanya milik perempuan. Aneh, tapi Zeze tidak banyak tanya dan menyimpannya di kantong abu-abunya.
Porsche oranye itu berhenti di depan gerbang tinggi berwarna coklat dengan patung rusa jantan yang menghiasi masing-masing sisi atasnya.
Guardian berpakaian serba hitam terlihat berdiri memegang senapan dan perisai segi lima di samping gerbang. Guardian ini tersebar di setiap sisi bangunan luar istana. Mereka ditugaskan untuk melindungi 12 istana Aplistia selama turun-temurun.
Zeze turun untuk meletakan sidik jarinya ke sensor di dinding putih dekat gerbang. Guardian itu tak bergerak sama sekali, padahal Zeze berada di sampingnya. Hal itu menunjukkan totalitas dan profesionalitas mereka dalam bekerja.
Namun sepertinya Zeze salah sangka, karena setelahnya, Guardian itu berteriak dan melakukan hormat kemiliteran kepadanya. Zeze sampai berjengit kaget dan mengutuk dalam hati. Zafth yang melihat dari dalam mobil tidak bisa menahan tawanya.
Gerbang langsung terbelah dua. Zeze tidak masuk kembali ke dalam mobil dan memilih mengekor di belakangnya.
"Wah, besar juga ya." Takjub, Zafth mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Mata hitamnya mendarat pada dua baris Guardian bagian dalam yang berjalan tertib mengitari bangunan luas ini. Langkah kaki mereka yang serentak terdengar menggema. Belum lagi suara mereka ketika merespons panggilan komandan, sangat berwibawa dan tegas. Zafth merasa seperti sedang melihat pertunjukan baris berbaris pramuka. Ia bahkan heran apakah orang-orang ini tidak kelelahan mengitari bangunan ini terus-menerus.
"Tutup pintu mobilnya," Zeze menyeru dari kejauhan tatkala melihat Zafth masih betah menikmati pemandangan istananya dengan pintu mobil yang dibiarkan terbuka.
Setelah menutup pintu mobil, Zafth menyusul Zeze yang telah lebih dulu tiba di depan pintu kembar yang luar biasa besarnya.
Begitu Zeze membuka pintunya, mata Zafth kembali dibuat berkeliling menikmati tiap sudut desain interior yang memadukan nuansa Eropa abad ke-19 dengan kontemporer.
"Jadi..." Zafth menimbang-nimbang dengan seringai di bibirnya. "Ze, dimana mobil-mobil antikmu yang banyak itu?"
Zeze memutar bola matanya, "tidak sekarang, Zafth."
Gema langkah kaki seseorang yang menuruni tangga terdengar. Zeze dan Zafth serentak mendaratkan mata mereka ke arah tangga, menanti sang pembuat suara menampakkan wujudnya.
Dia tampak menawan hanya dengan balutan kemeja hitam polos berlengan panjang yang dikeluarkan dari celana jeans birunya.
Zeze tersentak kaget melihat keberadaannya, namun yang lebih mengagetkan lagi adalah reaksi Zafth yang serupa dengannya.
Zeze tidak sempat menyinggung kenapa Zafth membuat ekspresi aneh seperti itu, karena ia sendiri juga tengah dilanda kebingungan.
'Kenapa dia masih ada di sini? Tidak, kenapa dia bisa ada di sini? Bukankah dia ikut liburan?'
Zeze tersadar dari kebekuannya saat mata hazel Sang Pangeran jatuh kepadanya. Ia membersihkan tenggorokannya sebelum bertanya, "kalian tidak jadi liburan?"
Sebenarnya Zeze telah tahu jawabannya. Sebelumnya, ia mengirim pesan kepada Juni untuk cepat pulang. Dan perjalanan dari vila memakan waktu setidaknya 6 jam, tidak mungkin mereka telah sampai di rumah secepat itu. Dan itu berarti hanya ada satu kemungkinan: Kion tidak ikut dengan mereka.
Kion tidak menjawab, yang memang menurut Zeze adalah keputusan yang bagus. Mata hazel-nya berpindah ke arah Zafth dengan cepat. Kedua laki-laki itu saling tatap untuk waktu yang lama.
Zeze kembali dilanda kebingungan ketika melihat alis tebal Kion bertaut. Jarang sekali ia melihat ekspresi itu keluar dari wajahnya yang selalu terlihat tenang, berwibawa, dan dewasa.
Namun ketika Zeze menoleh ke arah Zafth di samping kirinya, ia jauh lebih heran lagi. Zafth juga memandang Kion dengan cara yang sama.
Mata birunya pindah berulang-ulang dari Kion ke Zafth. Ia ingin melerai dua pasang mata yang terlihat saling menghisap itu, tapi rencananya sama sekali tak terwujud.
Ia membiarkan kedua orang itu saling pandang untuk waktu yang lama. Sampai akhirnya, suara Zafth yang terdengar aneh merusak keheningan.
"Ze, siapa dia?"
Zeze sama sekali tidak bisa menebak raut wajah Zafth.
"Dia..."
Zafth menengok Zeze karena kata-katanya yang terdengar ragu-ragu itu.
"Dia tunanganku." Suara Zeze melirih.
Entah mengapa Zeze merasa seolah mendengar bunyi jangkrik yang biasanya ada di kuburan. Keheningan ini sungguh luar biasa sampai membuatnya bergidik sendiri.
Zeze bingung harus bersyukur atau tidak karena gelak tawa Zafth telah memecah kesunyian di antara mereka.
Zeze melayangkan pandangan terusik ke arah Zafth. Laki-laki itu sempat mengusap air mata yang menggenang di pelupuk matanya dengan ujung jari. Sepertinya tawanya tadi memang tidak dibuat-buat.
Dari caranya tertawa, bisa ditebak bahwa Zafth tengah menertawakan hal terbodoh paling tidak masuk akal yang pernah didengar telinganya.
"Tunangan?" Tawa Zafth kembali pecah, namun kali ini tidak terlalu memakan waktu. "Kau tidak sedang bercanda kan, Ze?"
Zeze memutar bola matanya dengan jengah.
"Jadi ini alasan kau menolak Ari dan para lelaki yang telah mengejarmu mati-matian itu? Kalau dilihat dari tampangnya, aku bisa mengerti kenapa." Zafth menyentuh dagu, menilai Kion dari ujung kepala sampai kaki.
Hidung Zeze mengernyit, "apa? Kata-katamu makin tak masuk akal setiap harinya. Apakah otakmu semakin mengecil karena selalu ereksi?"
Zafth berdecak sambil menggeleng, "anak kecil tidak akan pernah tahu definisi dari kenikmatan surga dunia."
Gerakan Zafth selanjutnya cukup membuat Zeze membuka matanya lebar-lebar. Laki-laki itu dengan santainya berjalan mendekati Kion yang masih berdiri diam di anak tangga terakhir.
Zafth menepuk kedua pundak Kion, "apa kau yakin menjadikan alien ini sebagai tunanganmu?" Tanyanya, sembari tertawa kecil. "Semoga berhasil."
Zeze memutar bola matanya. Ia sudah malas dan lelah menghadapi hal-hal semacam ini.
Kion tidak mengeluarkan ekspresi apa-apa bahkan setelah Zafth pergi menyusul Zeze yang telah lebih dulu mendaki tangga.
Namun Zeze tidak pernah tahu, kilatan misterius yang tersirat dalam sepasang mata kedua laki-laki itu saat mereka berdua sedang berhadapan. Sebuah tanda sederhana yang akan mengubah hidup, bahkan perasaannya sendiri tanpa ia sadari.
========
"Sebenarnya ada apa? Mengapa kau menyuruh mereka berdua pulang lebih cepat? Padahal hanya tersisa 3 hari lagi." Luna melipat tangannya di depan dada dengan sikap menuntut karena sejak tadi baik Juni maupun Rhea tidak ada yang mempunyai petunjuk tentang apa yang sebenarnya tengah terjadi.
Sementara orang yang ditanyanya tidak terlihat terganggu sama sekali. Dengan santainya, ia menghisap Chatime-nya dengan pandangan jatuh ke bawah.
"Dan siapa lagi ini? Bukankah sudah kubilang jangan bawa orang asing sembarangan ke tempat ini!? Bagaimana jika terjadi apa-apa dengan Pangeran Kion?"
Sedotan yang sejak tadi bersemayam di mulutnya mulai Zeze lepas. Ia mengecap sebentar sisa-sisa karamel di mulutnya sebelum berbicara, "maaf tapi bisakah kalian..." ia menyapukan matanya ke arah orang-orang yang tengah duduk di sofa.
"Tidak, tidak ada apa-apa. Biar kami saja yang pergi." Zeze berdiri. "Bi, Zafth, Juni, Kak Rhea." Ia memberi isyarat dengan dagu agar mereka berempat mengikutinya.
"Kalian ingin ke mana?"
Lagi-lagi suara menuntut yang kini datang dari mulut yang berbeda. Dan suaranya lebih melengking daripada milik Luna yang berhasil membuatnya bergidik ngilu.
Zeze menoleh dengan pandangan terusik ke belakang. Silian telah beranjak berdiri untuk mengikutinya, atau lebih tepatnya mengikuti lelaki berambut hitam di sampingnya ini.
Sebenarnya Zeze telah merasakan ada hal yang tidak beres dengan kedua orang ini. Entah sejak kapan, Silian dan Obi jadi bertambah akrab, atau lebih tepatnya Silian-lah yang mencoba akrab dengan Obi.
"Tidak ke mana-mana, kami hanya ingin bicara." Zeze mencoba menjelaskan setenang mungkin. Kemudian melangkah cepat, menjauh dari sana.
Mereka berempat mengambil duduk dengan pikiran bertanya-tanya. Namun seperti biasa, bukannya duduk di sofa, mereka lebih memilih melingkar, memanjakan bokong mereka di lapisan karpet berbulu lembut.
"Kai telah aku beritahu tadi di telepon. Sekarang giliran kalian, walau mungkin aku tidak akan banyak mendapat petunjuk."
Zeze mulai menjelaskan dengan rinci kejadian-kejadian yang dialaminya dini hari tadi. Tak banyak perubahan ekspresi di wajah mereka kecuali di wajah Juni dan Obi.
"Jadi kau berpikir kalau clue pada permainan itu mengarah pada pengkhianatan seseorang di Énkavma?" Tanya Obi memastikan. Ia tidak mendengar hal ini sebelumnya dari Kai karena lelaki itu langsung menyuruhnya pergi menyusul Zeze.
Zeze menunduk, "sebenarnya bukan aku, tapi seseorang yang kebetulan ada di sana dan membantuku."
"Siapa?"
"Zero."
Obi termenung, kemudian mengangguk paham. "Lanjutkan, Ze."
"Ya... jadi begitu. Aku juga bingung apa yang ingin aku lanjutkan. Aku dan Zafth baru bergabung selama 8 tahun dengan Énkavma, kau 7 tahun, Juni 2 tahun, dan Kak Rhea 5 tahun. Tidak ada hal yang menarik bukan selama ini? Berarti orang-orang yang bergabung sebelum kita yang tahu."
"Apa kita kembali ke markas dan melaporkan hal ini pada Raja?" Usul Juni.
"Kai sedang melakukannya, karena itulah dia dan Kaló tidak datang," balas Zeze. "Kemungkinan besok mereka baru sampai. Aku tidak tahu kapan mereka akan kembali, tapi untuk sementara ini kita tidak melakukan apa pun dulu."
"Kurasa ini hanyalah lelucon orang asing. Mana ada orang seperti itu di dalam Énkavma." Zafth terdengar kontra.
"Apa yang akan kita lakukan sekarang?" Tanya Obi, melihat Zafth dan Zeze bergantian.
"Mau bagaimana lagi? Kita ditugaskan sekarang untuk di sini. Maka fokus saja di sini. Mungkin Raja akan melakukan sesuatu dan mengirim orang lain."
"Kau tidak ikut ke sana?" Tanya Rhea. "Pada saat seperti ini pasti para strategist akan sangat dibutuhkan. Raja mengambil keputusan juga berdasarkan dari pemikiran kalian berempat. Kau, Zarai, Kai, dan Edgar, kalian pasti akan disuruh melakukan voting jika pun ada perbedaan pendapat. Dan jika seri, maka Raja pasti juga akan ikut menggunakan suaranya."
"Haruskah? Aku rasa kali ini aku tidak dibutuhkan. Walaupun aku ditanya sekalipun, aku akan langsung setuju dengan apa pun yang akan dikatakan Edgar dan Kai."
"Kau sepertinya sangat tidak menyukai Zarai ya?" Obi memancingnya.
Zeze menekuk sebelah lututnya, "kau ingin jawaban langsung atau yang tersirat?"
"Sejak kapan seorang Zeze suka bertele-tele?" Obi tersenyum miring.
"Well... benar, aku tidak menyukainya. Rasanya seperti ada yang dia sembunyikan dari kita."
"Insting?" Tebak Obi, mengangkat sebelah alisnya.
Kedua sahabat itu saling pandang untuk waktu yang lama.
"Insting."
Obi terpejam sembari menyunggingkan senyum geli.
Zafth berdecak, "cobalah rasional untuk kali ini, Ze. Aku bingung kau ini sebenarnya genius atau idiot."
Juni terkekeh dan menyambar, "keduanya."
"Terserah kalian ingin bilang apa. Tapi kalian tidak bisa mengelak bahwa semua instingku selalu benar. Terutama kau, dan Obi. Kalian berdua adalah penjaga gerbang sama sepertiku. Kalian tentunya paham karena selalu berada di bawah pimpinanku."
Zafth menaikkan alis. Tapi memang benar, dan ia mengakui itu semua.
Juni merenungkan dalam hati maksud dari perkataan Zeze. Ia baru 2 tahun bergabung dengan keluarga barunya ini, tentunya hanya sedikit pengetahuan yang ia miliki. Ia coba mengingat-ingat hal yang tadi disinggung oleh Zeze.
Dalam markas Énkavma, terdapat 5 lapisan. Di antaranya yaitu: gerbang (Gate Of Hell); lantai satu (Living Room); lantai dua (Dining Room); lantai tiga (Bedroom); dan ruang bawah tanah atau basement (Underworld) yang merupakan singgasana raja mereka.
Kelima-limanya dijaga oleh beberapa anggota Énkavma. Untuk Gerbang, anggota Énkavma yang menjaganya adalah Zeze, Obi, Zafth, Mia, Leah, Aurel, dan Chanara. Pemimpin mereka adalah Zeze. Gerbang adalah lapisan pertama pertahanan Énkavma.
Jika gerbang telah tertembus, maka harapan kedua mereka adalah lantai satu. Lantai satu dijaga 6 orang yang dipimpin oleh Kai, seorang Attacker sekaligus Strategist. Kaló dan Norofi juga termasuk dalam keenam orang itu. Lantai satu berbentuk seperti ruang penerima tamu. Ada banyak sekali sofa-sofa yang terletak di sembarang tempat tanpa aturan. Dan tentunya jebakan-jebakan di dalamnya berhubungan dengan tema ruangan tersebut.
Lapisan ketiga adalah lantai dua yang merupakan ruang makan (Dining Room), yang berada tepat di bawah lantai satu. Memang benar, karena bangunan asli markas Énkavma yang sebenarnya adalah menjorok ke dalam seperti ruang bawah tanah. Lantai dua yang sesungguhnya ada di bawah tanah. Sementara lantai dua yang ada di atas lantai satu sama sekali tidak berpenghuni. Lantai dua palsu itu hanyalah pengecoh, yang sesekali digunakan Zeze dan penjaga gerbang lainnya untuk tidur.
Lapisan keempat yaitu lantai tiga yang merupakan bedroom. Disebut begitu karena banyak sekali kamar, yang sebenarnya adalah dimensi lain yang dibuat oleh pemimpin penjaga lantai tersebut. Jika musuh salah memasuki kamar, bisa-bisa ia tersedot ke dalamnya tanpa jalan keluar.
Lantai tiga adalah baris pertahanan terakhir Énkavma. Assassin dan defender terbaik menjaga lantai ini. Jika musuh telah berhasil melewatinya, maka mereka telah berhasil menggapai pusat tertinggi dari Énkavma yaitu basement (underworld), singgasana Raja.
Penghuni basement hanya terdapat 4 orang, termasuk Raja sendiri. Zarai, yang merupakan strategist utama juga menghuni tempat ini.
Anggota Énkavma yang belum pernah Juni temui secara empat mata adalah Zarai, dan beberapa orang penghuni lantai tiga lainnya. Ia hanya mendengar beberapa hal tentang laki-laki itu. Satu-satunya kesempatan untuk bertemu mereka hanyalah pada saat terjadinya pesta-pesta kemenangan Énkavma.
Bukan karena perasaan sombong atau apa pun itu, tapi karena kebanyakan dari mereka jarang ada di markas karena sering menerima misi ataupun mengurus kehidupan pribadi sebagai orang-orang penting di negara mereka masing-masing.
Juni menjaga lantai dua (dining room), bersama dengan Rhea dan 4 orang lainnya. Biasanya jika ada salah satu dari penjaga lantai yang tidak bisa hadir dalam misi, kekosongan itu akan diisi oleh penjaga lantai lain yang tak jauh dari mereka. Tapi tak menutup kemungkinan mereka bisa satu tim dengan para penjaga lantai yang cukup jauh dari tempat mereka berjaga.
Contohnya seperti pada saat penyerangan ke pertemuan para bangsawan, Zeze kebetulan memilih Juni. Faktor yang mendukungnya adalah karena Juni merupakan anak dari salah satu bangsawan, dan juga karena kekuatannya yang spesial. Tentunya hal itu menguntungkan bagi tim Zeze.
Tanpa sadar Juni telah tenggelam begitu jauh hingga percakapan keempat orang di sekitarnya hanya berupa dengungan di telinganya. Obrolan singkat itu berakhir dengan hanya 40% yang dapat ia mengerti.
Mereka kembali menjalankan aktivitas masing-masing. Sementara Zeze langsung mendarat di kasur empuknya dan terlelap sampai pagi.
VOLUME 2
The Pandora's Box
"Kotak Pandora"
=====================
Daftar nama kontak berawalan huruf Z langsung menjajah layar ponsel peraknya. Tanpa menunggu lama, Zeze menekan nama paling atas, Zafthkail. Nada sambung mengalun sebelum kemudian orang yang ia tuju mengangkat panggilannya.
"Kau masih di Aplistia kan? Kita harus berkumpul. Katakan dimana lokasimu agar aku bisa menjemputmu." Zeze langsung menyambar bahkan sebelum orang di ujung sana sempat berkata halo.
"Wow-wow. Tunggu dulu, Anak Kecil. Kau tidak bertanya apakah aku bisa atau tid—"
"Tidak ada waktu lagi. Katakan dimana lokasimu maka semua ini akan cepat selesai," tandas Zeze.
"Dan apa itu anak kecil? Kita hanya berbeda 5 tahun jadi berhenti memanggilku begitu, ORANG TUA."
"Baiklah-baiklah. Aku ada di tempat yang waktu itu."
"Oke." Zeze menutup panggilannya sepihak.
Ia memacu mobilnya ke tempat di mana Zafth berada dan membiarkan Kai dan Obi pulang terpisah dengannya. Butuh waktu sekitar satu jam sampai laki-laki berambut kelabu itu kini berada di dalam mobilnya dan menggantikannya menyetir. Laki-laki itu masih mengenakan hoodie yang sama seperti terakhir kali ia melihatnya. Zeze sampai heran sendiri apakah orang ini benar-benar tidak punya uang untuk hanya sekedar beli baju?
"Ada apa? Mengapa terlihat mendesak sekali?" Zafth melirik Zeze yang duduk di sebelah kanannya.
"Sebaiknya kau fokus saja ke depan dan mempercepat kemudimu yang seperti kura-kura itu." Sepertinya suasana hati Zeze sedang memburuk saat ini. Ia juga kerap kali terlihat mengantuk karena terus menguap.
Untuk mengurangi rasa kantuknya, Zeze memilih mengobrol. "Zafth, tadi aku bertemu dengan Zero."
"Oh, kembaranmu itu?" Balas Zafth tanpa mengalihkan matanya dari jalanan.
"Aku mengatakan hal yang ingin aku katakan kepadanya."
"Oh, itu bagus. Bagaimana reaksinya?"
"Seperti perkiraanmu. Dan aku bersyukur karena telah mengatakannya. Beban di dadaku terasa berkurang."
"Lalu, apakah kue di belakang itu sebagai tanda ucapan terima kasih untukku?"
"Tentu saja tidak!" Sergah Zeze, jengkel.
Kening Zafth berkerut. "Ayolah Ze, atau tidak... bisakah kau membagi tumpukan kertas itu padaku? Aku harus melamar seseorang."
"Kau mengatakan itu tahun lalu, dan tahun lalu lagi, dan tahun lalunya lagi. Sebenarnya berapa banyak perempuan yang ingin kau lamar?" Zeze mendelik pedas ke arahnya.
"Bagaimana aku bisa melamar mereka semua jika kau dan Obi tidak pernah memberiku uang!?" Zafth tak mau kalah, balas mendelik ke arahnya.
"Tuh kan! Pokoknya aku tidak akan memberikan ataupun meminjamkanmu sepeser pun uangku. Di sana banyak orang-orang yang kelaparan, yang bahkan tidak pernah tahu apakah besok mereka masih bisa makan atau tidak. Sedangkan kau, seenaknya ingin menghabiskan uang untuk jalang-jalangmu itu."
Zafth mati kutu. Bibirnya menipis, membentuk satu garis lurus. Ia tidak menyinggung tentang uang itu lagi.
"Ze, simpan ini." Zafth menyerahkan sebuah kantung plastik ke pangkuan Zeze.
Membukanya, Zeze melihat banyak sekali jepitan rambut. Tapi model dan warnanya milik perempuan. Aneh, tapi Zeze tidak banyak tanya dan menyimpannya di kantong abu-abunya.
Porsche oranye itu berhenti di depan gerbang tinggi berwarna coklat dengan patung rusa jantan yang menghiasi masing-masing sisi atasnya.
Guardian berpakaian serba hitam terlihat berdiri memegang senapan dan perisai segi lima di samping gerbang. Guardian ini tersebar di setiap sisi bangunan luar istana. Mereka ditugaskan untuk melindungi 12 istana Aplistia selama turun-temurun.
Zeze turun untuk meletakan sidik jarinya ke sensor di dinding putih dekat gerbang. Guardian itu tak bergerak sama sekali, padahal Zeze berada di sampingnya. Hal itu menunjukkan totalitas dan profesionalitas mereka dalam bekerja.
Namun sepertinya Zeze salah sangka, karena setelahnya, Guardian itu berteriak dan melakukan hormat kemiliteran kepadanya. Zeze sampai berjengit kaget dan mengutuk dalam hati. Zafth yang melihat dari dalam mobil tidak bisa menahan tawanya.
Gerbang langsung terbelah dua. Zeze tidak masuk kembali ke dalam mobil dan memilih mengekor di belakangnya.
"Wah, besar juga ya." Takjub, Zafth mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Mata hitamnya mendarat pada dua baris Guardian bagian dalam yang berjalan tertib mengitari bangunan luas ini. Langkah kaki mereka yang serentak terdengar menggema. Belum lagi suara mereka ketika merespons panggilan komandan, sangat berwibawa dan tegas. Zafth merasa seperti sedang melihat pertunjukan baris berbaris pramuka. Ia bahkan heran apakah orang-orang ini tidak kelelahan mengitari bangunan ini terus-menerus.
"Tutup pintu mobilnya," Zeze menyeru dari kejauhan tatkala melihat Zafth masih betah menikmati pemandangan istananya dengan pintu mobil yang dibiarkan terbuka.
Setelah menutup pintu mobil, Zafth menyusul Zeze yang telah lebih dulu tiba di depan pintu kembar yang luar biasa besarnya.
Begitu Zeze membuka pintunya, mata Zafth kembali dibuat berkeliling menikmati tiap sudut desain interior yang memadukan nuansa Eropa abad ke-19 dengan kontemporer.
"Jadi..." Zafth menimbang-nimbang dengan seringai di bibirnya. "Ze, dimana mobil-mobil antikmu yang banyak itu?"
Zeze memutar bola matanya, "tidak sekarang, Zafth."
Gema langkah kaki seseorang yang menuruni tangga terdengar. Zeze dan Zafth serentak mendaratkan mata mereka ke arah tangga, menanti sang pembuat suara menampakkan wujudnya.
Dia tampak menawan hanya dengan balutan kemeja hitam polos berlengan panjang yang dikeluarkan dari celana jeans birunya.
Zeze tersentak kaget melihat keberadaannya, namun yang lebih mengagetkan lagi adalah reaksi Zafth yang serupa dengannya.
Zeze tidak sempat menyinggung kenapa Zafth membuat ekspresi aneh seperti itu, karena ia sendiri juga tengah dilanda kebingungan.
'Kenapa dia masih ada di sini? Tidak, kenapa dia bisa ada di sini? Bukankah dia ikut liburan?'
Zeze tersadar dari kebekuannya saat mata hazel Sang Pangeran jatuh kepadanya. Ia membersihkan tenggorokannya sebelum bertanya, "kalian tidak jadi liburan?"
Sebenarnya Zeze telah tahu jawabannya. Sebelumnya, ia mengirim pesan kepada Juni untuk cepat pulang. Dan perjalanan dari vila memakan waktu setidaknya 6 jam, tidak mungkin mereka telah sampai di rumah secepat itu. Dan itu berarti hanya ada satu kemungkinan: Kion tidak ikut dengan mereka.
Kion tidak menjawab, yang memang menurut Zeze adalah keputusan yang bagus. Mata hazel-nya berpindah ke arah Zafth dengan cepat. Kedua laki-laki itu saling tatap untuk waktu yang lama.
Zeze kembali dilanda kebingungan ketika melihat alis tebal Kion bertaut. Jarang sekali ia melihat ekspresi itu keluar dari wajahnya yang selalu terlihat tenang, berwibawa, dan dewasa.
Namun ketika Zeze menoleh ke arah Zafth di samping kirinya, ia jauh lebih heran lagi. Zafth juga memandang Kion dengan cara yang sama.
Mata birunya pindah berulang-ulang dari Kion ke Zafth. Ia ingin melerai dua pasang mata yang terlihat saling menghisap itu, tapi rencananya sama sekali tak terwujud.
Ia membiarkan kedua orang itu saling pandang untuk waktu yang lama. Sampai akhirnya, suara Zafth yang terdengar aneh merusak keheningan.
"Ze, siapa dia?"
Zeze sama sekali tidak bisa menebak raut wajah Zafth.
"Dia..."
Zafth menengok Zeze karena kata-katanya yang terdengar ragu-ragu itu.
"Dia tunanganku." Suara Zeze melirih.
Entah mengapa Zeze merasa seolah mendengar bunyi jangkrik yang biasanya ada di kuburan. Keheningan ini sungguh luar biasa sampai membuatnya bergidik sendiri.
Zeze bingung harus bersyukur atau tidak karena gelak tawa Zafth telah memecah kesunyian di antara mereka.
Zeze melayangkan pandangan terusik ke arah Zafth. Laki-laki itu sempat mengusap air mata yang menggenang di pelupuk matanya dengan ujung jari. Sepertinya tawanya tadi memang tidak dibuat-buat.
Dari caranya tertawa, bisa ditebak bahwa Zafth tengah menertawakan hal terbodoh paling tidak masuk akal yang pernah didengar telinganya.
"Tunangan?" Tawa Zafth kembali pecah, namun kali ini tidak terlalu memakan waktu. "Kau tidak sedang bercanda kan, Ze?"
Zeze memutar bola matanya dengan jengah.
"Jadi ini alasan kau menolak Ari dan para lelaki yang telah mengejarmu mati-matian itu? Kalau dilihat dari tampangnya, aku bisa mengerti kenapa." Zafth menyentuh dagu, menilai Kion dari ujung kepala sampai kaki.
Hidung Zeze mengernyit, "apa? Kata-katamu makin tak masuk akal setiap harinya. Apakah otakmu semakin mengecil karena selalu ereksi?"
Zafth berdecak sambil menggeleng, "anak kecil tidak akan pernah tahu definisi dari kenikmatan surga dunia."
Gerakan Zafth selanjutnya cukup membuat Zeze membuka matanya lebar-lebar. Laki-laki itu dengan santainya berjalan mendekati Kion yang masih berdiri diam di anak tangga terakhir.
Zafth menepuk kedua pundak Kion, "apa kau yakin menjadikan alien ini sebagai tunanganmu?" Tanyanya, sembari tertawa kecil. "Semoga berhasil."
Zeze memutar bola matanya. Ia sudah malas dan lelah menghadapi hal-hal semacam ini.
Kion tidak mengeluarkan ekspresi apa-apa bahkan setelah Zafth pergi menyusul Zeze yang telah lebih dulu mendaki tangga.
Namun Zeze tidak pernah tahu, kilatan misterius yang tersirat dalam sepasang mata kedua laki-laki itu saat mereka berdua sedang berhadapan. Sebuah tanda sederhana yang akan mengubah hidup, bahkan perasaannya sendiri tanpa ia sadari.
========
"Sebenarnya ada apa? Mengapa kau menyuruh mereka berdua pulang lebih cepat? Padahal hanya tersisa 3 hari lagi." Luna melipat tangannya di depan dada dengan sikap menuntut karena sejak tadi baik Juni maupun Rhea tidak ada yang mempunyai petunjuk tentang apa yang sebenarnya tengah terjadi.
Sementara orang yang ditanyanya tidak terlihat terganggu sama sekali. Dengan santainya, ia menghisap Chatime-nya dengan pandangan jatuh ke bawah.
"Dan siapa lagi ini? Bukankah sudah kubilang jangan bawa orang asing sembarangan ke tempat ini!? Bagaimana jika terjadi apa-apa dengan Pangeran Kion?"
Sedotan yang sejak tadi bersemayam di mulutnya mulai Zeze lepas. Ia mengecap sebentar sisa-sisa karamel di mulutnya sebelum berbicara, "maaf tapi bisakah kalian..." ia menyapukan matanya ke arah orang-orang yang tengah duduk di sofa.
"Tidak, tidak ada apa-apa. Biar kami saja yang pergi." Zeze berdiri. "Bi, Zafth, Juni, Kak Rhea." Ia memberi isyarat dengan dagu agar mereka berempat mengikutinya.
"Kalian ingin ke mana?"
Lagi-lagi suara menuntut yang kini datang dari mulut yang berbeda. Dan suaranya lebih melengking daripada milik Luna yang berhasil membuatnya bergidik ngilu.
Zeze menoleh dengan pandangan terusik ke belakang. Silian telah beranjak berdiri untuk mengikutinya, atau lebih tepatnya mengikuti lelaki berambut hitam di sampingnya ini.
Sebenarnya Zeze telah merasakan ada hal yang tidak beres dengan kedua orang ini. Entah sejak kapan, Silian dan Obi jadi bertambah akrab, atau lebih tepatnya Silian-lah yang mencoba akrab dengan Obi.
"Tidak ke mana-mana, kami hanya ingin bicara." Zeze mencoba menjelaskan setenang mungkin. Kemudian melangkah cepat, menjauh dari sana.
Mereka berempat mengambil duduk dengan pikiran bertanya-tanya. Namun seperti biasa, bukannya duduk di sofa, mereka lebih memilih melingkar, memanjakan bokong mereka di lapisan karpet berbulu lembut.
"Kai telah aku beritahu tadi di telepon. Sekarang giliran kalian, walau mungkin aku tidak akan banyak mendapat petunjuk."
Zeze mulai menjelaskan dengan rinci kejadian-kejadian yang dialaminya dini hari tadi. Tak banyak perubahan ekspresi di wajah mereka kecuali di wajah Juni dan Obi.
"Jadi kau berpikir kalau clue pada permainan itu mengarah pada pengkhianatan seseorang di Énkavma?" Tanya Obi memastikan. Ia tidak mendengar hal ini sebelumnya dari Kai karena lelaki itu langsung menyuruhnya pergi menyusul Zeze.
Zeze menunduk, "sebenarnya bukan aku, tapi seseorang yang kebetulan ada di sana dan membantuku."
"Siapa?"
"Zero."
Obi termenung, kemudian mengangguk paham. "Lanjutkan, Ze."
"Ya... jadi begitu. Aku juga bingung apa yang ingin aku lanjutkan. Aku dan Zafth baru bergabung selama 8 tahun dengan Énkavma, kau 7 tahun, Juni 2 tahun, dan Kak Rhea 5 tahun. Tidak ada hal yang menarik bukan selama ini? Berarti orang-orang yang bergabung sebelum kita yang tahu."
"Apa kita kembali ke markas dan melaporkan hal ini pada Raja?" Usul Juni.
"Kai sedang melakukannya, karena itulah dia dan Kaló tidak datang," balas Zeze. "Kemungkinan besok mereka baru sampai. Aku tidak tahu kapan mereka akan kembali, tapi untuk sementara ini kita tidak melakukan apa pun dulu."
"Kurasa ini hanyalah lelucon orang asing. Mana ada orang seperti itu di dalam Énkavma." Zafth terdengar kontra.
"Apa yang akan kita lakukan sekarang?" Tanya Obi, melihat Zafth dan Zeze bergantian.
"Mau bagaimana lagi? Kita ditugaskan sekarang untuk di sini. Maka fokus saja di sini. Mungkin Raja akan melakukan sesuatu dan mengirim orang lain."
"Kau tidak ikut ke sana?" Tanya Rhea. "Pada saat seperti ini pasti para strategist akan sangat dibutuhkan. Raja mengambil keputusan juga berdasarkan dari pemikiran kalian berempat. Kau, Zarai, Kai, dan Edgar, kalian pasti akan disuruh melakukan voting jika pun ada perbedaan pendapat. Dan jika seri, maka Raja pasti juga akan ikut menggunakan suaranya."
"Haruskah? Aku rasa kali ini aku tidak dibutuhkan. Walaupun aku ditanya sekalipun, aku akan langsung setuju dengan apa pun yang akan dikatakan Edgar dan Kai."
"Kau sepertinya sangat tidak menyukai Zarai ya?" Obi memancingnya.
Zeze menekuk sebelah lututnya, "kau ingin jawaban langsung atau yang tersirat?"
"Sejak kapan seorang Zeze suka bertele-tele?" Obi tersenyum miring.
"Well... benar, aku tidak menyukainya. Rasanya seperti ada yang dia sembunyikan dari kita."
"Insting?" Tebak Obi, mengangkat sebelah alisnya.
Kedua sahabat itu saling pandang untuk waktu yang lama.
"Insting."
Obi terpejam sembari menyunggingkan senyum geli.
Zafth berdecak, "cobalah rasional untuk kali ini, Ze. Aku bingung kau ini sebenarnya genius atau idiot."
Juni terkekeh dan menyambar, "keduanya."
"Terserah kalian ingin bilang apa. Tapi kalian tidak bisa mengelak bahwa semua instingku selalu benar. Terutama kau, dan Obi. Kalian berdua adalah penjaga gerbang sama sepertiku. Kalian tentunya paham karena selalu berada di bawah pimpinanku."
Zafth menaikkan alis. Tapi memang benar, dan ia mengakui itu semua.
Juni merenungkan dalam hati maksud dari perkataan Zeze. Ia baru 2 tahun bergabung dengan keluarga barunya ini, tentunya hanya sedikit pengetahuan yang ia miliki. Ia coba mengingat-ingat hal yang tadi disinggung oleh Zeze.
Dalam markas Énkavma, terdapat 5 lapisan. Di antaranya yaitu: gerbang (Gate Of Hell); lantai satu (Living Room); lantai dua (Dining Room); lantai tiga (Bedroom); dan ruang bawah tanah atau basement (Underworld) yang merupakan singgasana raja mereka.
Kelima-limanya dijaga oleh beberapa anggota Énkavma. Untuk Gerbang, anggota Énkavma yang menjaganya adalah Zeze, Obi, Zafth, Mia, Leah, Aurel, dan Chanara. Pemimpin mereka adalah Zeze. Gerbang adalah lapisan pertama pertahanan Énkavma.
Jika gerbang telah tertembus, maka harapan kedua mereka adalah lantai satu. Lantai satu dijaga 6 orang yang dipimpin oleh Kai, seorang Attacker sekaligus Strategist. Kaló dan Norofi juga termasuk dalam keenam orang itu. Lantai satu berbentuk seperti ruang penerima tamu. Ada banyak sekali sofa-sofa yang terletak di sembarang tempat tanpa aturan. Dan tentunya jebakan-jebakan di dalamnya berhubungan dengan tema ruangan tersebut.
Lapisan ketiga adalah lantai dua yang merupakan ruang makan (Dining Room), yang berada tepat di bawah lantai satu. Memang benar, karena bangunan asli markas Énkavma yang sebenarnya adalah menjorok ke dalam seperti ruang bawah tanah. Lantai dua yang sesungguhnya ada di bawah tanah. Sementara lantai dua yang ada di atas lantai satu sama sekali tidak berpenghuni. Lantai dua palsu itu hanyalah pengecoh, yang sesekali digunakan Zeze dan penjaga gerbang lainnya untuk tidur.
Lapisan keempat yaitu lantai tiga yang merupakan bedroom. Disebut begitu karena banyak sekali kamar, yang sebenarnya adalah dimensi lain yang dibuat oleh pemimpin penjaga lantai tersebut. Jika musuh salah memasuki kamar, bisa-bisa ia tersedot ke dalamnya tanpa jalan keluar.
Lantai tiga adalah baris pertahanan terakhir Énkavma. Assassin dan defender terbaik menjaga lantai ini. Jika musuh telah berhasil melewatinya, maka mereka telah berhasil menggapai pusat tertinggi dari Énkavma yaitu basement (underworld), singgasana Raja.
Penghuni basement hanya terdapat 4 orang, termasuk Raja sendiri. Zarai, yang merupakan strategist utama juga menghuni tempat ini.
Anggota Énkavma yang belum pernah Juni temui secara empat mata adalah Zarai, dan beberapa orang penghuni lantai tiga lainnya. Ia hanya mendengar beberapa hal tentang laki-laki itu. Satu-satunya kesempatan untuk bertemu mereka hanyalah pada saat terjadinya pesta-pesta kemenangan Énkavma.
Bukan karena perasaan sombong atau apa pun itu, tapi karena kebanyakan dari mereka jarang ada di markas karena sering menerima misi ataupun mengurus kehidupan pribadi sebagai orang-orang penting di negara mereka masing-masing.
Juni menjaga lantai dua (dining room), bersama dengan Rhea dan 4 orang lainnya. Biasanya jika ada salah satu dari penjaga lantai yang tidak bisa hadir dalam misi, kekosongan itu akan diisi oleh penjaga lantai lain yang tak jauh dari mereka. Tapi tak menutup kemungkinan mereka bisa satu tim dengan para penjaga lantai yang cukup jauh dari tempat mereka berjaga.
Contohnya seperti pada saat penyerangan ke pertemuan para bangsawan, Zeze kebetulan memilih Juni. Faktor yang mendukungnya adalah karena Juni merupakan anak dari salah satu bangsawan, dan juga karena kekuatannya yang spesial. Tentunya hal itu menguntungkan bagi tim Zeze.
Tanpa sadar Juni telah tenggelam begitu jauh hingga percakapan keempat orang di sekitarnya hanya berupa dengungan di telinganya. Obrolan singkat itu berakhir dengan hanya 40% yang dapat ia mengerti.
Mereka kembali menjalankan aktivitas masing-masing. Sementara Zeze langsung mendarat di kasur empuknya dan terlelap sampai pagi.