45 CONTINUED
Suara napas yang terengah-engah terdengar saling bersahutan di pagi yang lumayan cerah ini. Sudah lama sejak terakhir kali awan bersedia menyingkir, memberi peluang matahari agar dapat kembali menjatuhkan sinarnya.
"Sialan..." kata-kata Zeze terpenggal ketika ia mengatur napasnya. Bibirnya mencetak senyum yang amat lebar. "Tadi itu menyenangkan sekali."
Zeze menoleh ke belakang dan melihat Glen sedang berdiri membelakanginya. Kepalanya tertunduk, memperhatikan potongan tangan dekat kakinya. Zeze mengenali potongan tangan itu, karena ia sendiri yang membuatnya terpisah dari tubuhnya.
Saat melihat sekeliling, barulah Zeze sadar Glen tidak benar-benar menghabisi bagiannya. Empat dari mereka hanya tak sadarkan diri dengan kepala mengeluarkan darah yang tidak terlalu banyak.
Ketika mata birunya mengarah ke gagang katana Glen, ia melihat noda berwarna kemerahan. Mungkin laki-laki itu hanya menggunakan gagangnya untuk memukul kepala mereka. Perbuatan yang menurut Zeze naif sekali.
"Ternyata bukan kalian." Glen berkata samar.
"Menjilat ludah sendiri, hmm?" Zeze mengetesnya dengan sebelah alis terangkat.
Sekarang ia bisa mengerti kenapa orang-orang sulit mempercayai rumor tentang Énkavma yang hanya menargetkan orang-orang besar yang merugikan publik. Bahkan Glen pun juga begitu. Ternyata penyebabnya adalah idiot-idiot ini. Pasti bukan kali ini saja mereka menggunakan nama Énkavma.
Dan Zeze bisa paham mengapa mereka memilih Aplistia. Negara ini adalah negara yang menjadi kiblat untuk negara-negara di dunia. Jika negara ini membenci Énkavma, maka begitu pun negara lain. Mereka pasti akan mengikutinya.
Glen berbalik dan mata mereka bertemu. Zeze langsung terperangah karena ia dapat menikmati mata hijau itu lagi, mata indah yang lagi-lagi seakan menyedot semua fokusnya.
Tak kuasa menatapnya terlalu lama, Zeze menunduk dan melihat bangkai gagak di dekat kakinya. Tadi ia sempat terkejut karena sekumpulan gagak tiba-tiba datang dan membantunya melawan kedelapan orang itu.
Ketika kembali mengangkat kepala, Zeze melihat pemandangan indah bagaikan lukisan di hadapannya: dengan rambut dan jubah yang berkibar ditiup angin, Glen mendongak, memandangi langit cerah dengan burung gagak yang beterbangan di sekitarnya.
Zeze cepat-cepat mengambil ponselnya dan memotret pemandangan itu. Ia tidak ingin melewatkannya begitu saja.
Tetapi, sebuah pertanyaan mengganggu langsung melintas di otaknya ketika ia menurunkan ponsel itu dari wajahnya. Akankah Glen membunuhnya di sini? Akankah mereka melanjutkan perang berdarah mereka di sini?
Terlebih lagi, sekarang ia muncul sebagai Artemis, bukan sebagai Rozeale.
Zeze meneguk salivanya di saat ia memandangi sisi samping wajah Glen. Jujur, ia tidak rela segala kebahagiaan ini berlalu begitu saja.
Tiba-tiba, tanah berguncang, mengembalikan sikap defensifnya serta mengubah air mukanya yang semula mendung menjadi kosong melompong.
Ia melupakan Zero! Namun di detik berikutnya ia dilanda dilema. Untuk apa ia memikirkan Zero? Laki-laki itu... dan mereka semua bukan lagi urusannya. Ia sudah ingin bebas dari hal-hal yang berhubungan dengan mereka semua.
Tapi mau bagaimana pun, ini tidaklah benar. Ia bisa sampai ke sini, ke titik ini, semua juga berkat Zero. Dan ia telah setuju akan menjadi partnernya. Bukankah partner saling membantu hingga akhir?
Inilah salah satu dari sekian banyak hal dalam dirinya yang ia benci. Ia tidak bisa pergi begitu saja. Perasaan loyalnya tinggi. Menurutnya, perasaan ini justru bagus jika ditujukan kepada orang yang tepat, tapi jika Zero... tunggu dulu, apakah Zero bukanlah orang yang tepat?
Zeze dilanda pening, terukir jelas di guratan antara alisnya yang makin dalam. Sejak tadi Glen memperhatikan perubahan-perubahan di wajahnya dalam diam. Saat dia panik, kalut, berubah ke bimbang, pasrah—semuanya.
"Apakah ada masalah?" Glen mendekat dan berhenti selangkah darinya, menunduk agar bisa sejajar dengan wajahnya yang terlihat agak pucat.
Tidak bisa begini terus. Tadi pikirannya kacau karena memikirkan dongeng sialan itu, selanjutnya Zero, dan sekarang ditambah lagi dengan wajah Glen yang sangat dekat dengan wajahnya. Bahkan ia bisa merasakan uap dingin dari napasnya. Bisa-bisa kepalanya pecah jika terus-menerus diserbu semua serangan ini.
Selain itu, ia harus menjaga jarak darinya. Ia tidak ingin mati sekarang. Masih belum boleh. Siapa tahu Glen berniat membunuhnya sekarang. Terlebih lagi, tidak ada orang lain lagi di sini. Hanya ada perempuan berambut cokelat tadi.
Siapa yang dapat menjamin Glen tidak memberitahukan identitasnya kepada perempuan itu? Mereka berdua kan dekat. Bisa-bisa mereka mengeroyoknya.
Akhirnya Zeze memilih mundur tiga langkah. Yang menjadi pokok utamanya adalah Zero sekarang. "Tidak ada." Ia menjawab singkat tanpa nada dalam suaranya.
Ia memutuskan berjalan melewati Glen, menuju lubang menganga tadi. Tapi tanpa disangka, pintu samping toko mainan itu terbuka.
Mereka langsung memasang sikap defensif. Karena melihat reaksi Glen yang sama dengannya, Zeze jadi dapat mengambil kesimpulan bahwa orang di balik pintu itu bukanlah salah satu teman Glen.
Sepasang kaki yang dilapisi jeans hitam dan sepatu sket melangkah keluar. Tubuhnya yang tinggi tegap dibalut oleh kaus abu-abu berlengan panjang.
Ketika pintu tertutup, visual orang itu terpampang sepenuhnya. Dia berjalan santai menuruni tangga kecil dengan kedua tangan tenggelam di dalam saku celana. Wajahnya tak terlihat karena ia menundukkan kepalanya yang memakai topi berwarna hitam.
Refleks, Zeze menyentuh puncak kepalanya. Ia baru sadar kalau topinya tak lagi menghiasi kepalanya. Rambutnya ternyata sudah tergerai sejak tadi. Namun mengapa ia tidak menyadarinya? Tidak salah lagi, topi yang dipakai orang itu adalah miliknya.
Orang itu mengangkat wajah, memperlihatkan bagian bawah wajahnya, yaitu hidungnya yang ramping dan bentuk rahangnya yang sempurna. Tak lupa juga bibirnya yang penuh dan mempesona.
Perlahan, dia menghampiri tempat Zeze berdiri dan berhenti setelah cukup dekat.
"Siapa dia?" Dia bertanya. Zeze bersyukur itu adalah suara Zero. Entah mengapa ia menjadi makin paranoid sejak permainan tebak-tebakan yang menyangkut pengkhianat tadi.
Zero masih tetap menoleh ke arah kirinya, ke arah Glen yang juga tengah menatapnya. Sayangnya, mata Glen tidak dapat menjangkau mata Zero yang tersembunyi di balik bayang-bayang topi.
"Kau kenal dia, Ze?" Tanyanya lagi, tanpa memberi kesempatan Zeze menjawab pertanyaan sebelumnya.
Tak kunjung mendapat jawaban, akhirnya mata Zero meninggalkan Glen dan beralih menatap Zeze yang terlihat menunduk, menjatuhkan pandangannya ke bawah. Matanya kosong tanpa tujuan.
Bibirnya sudah terbuka sejak tadi, tapi jawabannya terdengar beberapa saat kemudian. "Tidak."
Zeze tidak peduli dengan penilaian Zero tentang kebohongannya. Tentunya mereka berdua sadar kalau mereka tidak dapat berbohong satu sama lain.
Namun siapa sangka Zero menerimanya. Dia mengeluarkan tangan kanannya dari dalam saku celana dan merangkulnya. "Ya sudah, ayo," ajaknya.
Tinggallah Glen seorang yang mengawasi punggung mereka yang kian menjauh.
Glen melihat lelaki itu membuka topinya dan menaruhnya di atas kepala Zeze. Dan di saat itulah mata hijaunya melebar.
Warna rambut mereka sama.
=========
Suara dentingan sendok bertemu dengan piring terdengar saling tindih-menindih dengan suara obrolan di sekitar Zeze dan Zero yang kini tengah menyantap sarapan mereka di salah satu restoran cepat saji.
Mereka berdua duduk berhadapan di meja paling pinggir dekat kaca jendela besar, memperlihatkan dengan jelas orang-orang yang berlalu-lalang di atas trotoar.
Tak ada kendaraan, sehingga telinga serta paru-paru mereka bersih dari polusi.
Zeze mengalihkan matanya dari jendela ke arah Zero yang sedari tadi tak henti-hentinya memperhatikan dirinya. Pantas saja Zeze merasa aneh. Ia juga tidak dapat menebak apa yang sedang dipikirkan orang itu. Sebenarnya jika tahu, mulutnya pasti akan menganga, karena saat ini Zero sedang menilai penampilannya.
Zero takjub saat tahu wajah Zeze benar-benar mirip dengannya. Namun hal itu tak tercetak jelas di wajahnya yang datar, berbanding terbalik dengan pikirannya yang aneh dan berantakan.
"Butuh akhir dari permainannya?" Tiba-tiba Zero bertanya setelah menelan habis roti coklatnya.
Zeze tidak menjawab dan hanya memandang santai sepasang manik mata yang sama persis seperti miliknya itu.
"Tapi sepertinya kau harus kecewa."
Alis Zeze mencuat ketika mendengarnya.
"Permainannya masih terus berlanjut."
Zero mengambil lagi sepotong roti berbentuk segitiga di hadapannya. Ia mengunyahnya sebentar tanpa memalingkan matanya dari Zeze.
"Tangan kirimu," ucap Zeze tiba-tiba, membuat Zero berhenti mengunyah. "Kenapa tangan kirimu?"
Zero terkekeh pelan lalu lanjut mengunyah. Ia sudah menduga Zeze pasti bisa menangkap keanehan meski sekecil apa pun itu. Daya analisanya tinggi.
Zeze pasti menyadari mengapa dari tadi Zero menaruh tangan kirinya di atas paha, terhalang oleh meja. Bahkan sejak keluar dari toko mainan itu, Zero langsung menenggelamkannya ke dalam saku.
Dengan perlahan, Zero mendaratkan tangan kirinya ke atas meja. Mata Zeze sedikit melebar. Tangan yang semula putih dan mulus itu telah berubah menghitam sampai ke kuku-kukunya. Bahkan Zeze yakin tangan itu akan luruh jika ia menepuknya.
"Luar biasa, 500.000 volt ternyata tidak main-main." Zero mengedikan bahu, terlihat tak terlalu peduli.
Kening Zeze berkerut ketika kembali menatapnya. "Kenapa hanya tangan?"
"Itulah yang ingin aku tanyakan, kenapa hanya tangan?"
"Jangan bertanya. Kau lebih tahu daripada aku," desis Zeze, tidak sabar.
Zero kembali mengambil rotinya dan menoleh ke samping, menikmati kesibukan pejalan kaki.
"Es. Es adalah isolator." Zero menjawab, suaranya terdengar samar di telinga Zeze. "sudah kubilang aku hanya menghadapi apa yang tidak bisa kau hadapi. Sayang sekali dia harus menghadapi musuh yang salah."
Zeze menaikkan sebelah alisnya, "dia?"
"Karena aku tidak mengenalnya, makanya aku panggil 'dia'." Pupil Zero melebar ketika ia kembali menatapnya, "atau mungkin, kau yang mengenalnya?"
Alis Zeze bertaut bingung, "aku... tidak mengerti."
"Aku juga." Zero tersenyum miring.
"Jelaskan." Zeze meminta, atau lebih tepatnya memohon.
Zero yang sejak tadi bersandar, mulai memajukan duduknya, menatap lekat saudari kembarnya itu tepat di manik mata.
"Aku tidak bisa membunuhnya, lebih tepatnya gagal." Suaranya terdengar kesal untuk suatu alasan.
"Dia laki-laki, berambut kemerahan. Sejak bertemu denganku dia memakai masker hitam. Tapi aku berhasil merobeknya. Aku sempat melihat wajahnya sekilas sebelum dia melakukan hal ini padaku. Tapi percuma, aku tidak mengenalinya. Wajahnya terlihat asing, dan aku yakin sekali aku belum pernah bertemu dengannya sebelumnya. Dan untuk ular... Ze, tidak ada ular. Dia murni melawanku dengan listrik."
"Listrik..." gumam Zeze.
Zero mengangguk, "ada petunjuk?"
Zeze menopang dagunya dengan punggung tangannya dan menjawab yakin, "tidak."
"Jadi aku benar? Ular itu kata lain dari pengkhianat dan ada orang lainnya yang memerankan tokoh ular ini?"
"Entahlah," Zeze menghela napas.
"Jika benar ada, apakah itu artinya orang yang berkhianat dan yang ingin membalas dendam saling bekerja sama? Itukah hubungan yang dimaksud?" Zero masih lanjut membuat kepalanya pusing.
Percuma saja. Delapan tahun ia bergabung dengan Énkavma, tidak ada yang aneh. Mereka semua berkeluarga. Jika ada pertengkaran, itu hanyalah adu mulut kecil yang malah lucu jika diperhatikan.
Tapi tunggu, apakah ada yang terjadi sebelum ia bergabung dengan Énkavma?
Kesimpulan cerita pertama, Pied Piper of Hamelin adalah tentang seseorang yang dikhianati dan pembalasan dendam. Sedangkan cerita kedua adalah tentang seseorang tak bersalah yang tersakiti dan pahlawan yang menyelamatkannya.
'Apakah itu hubungannya yang dia maksud? Pengkhianatan... balas dendam... menyelamatkan...'
"Aku mempunyai teman dengan Simathyst yang unik, kau mau tanganmu disembuhkan?" Tawar Zeze.
"Kau sungguh ingin membantu atau hanya ingin mencari alasan agar pikiranmu bisa lepas dari semua itu?"
Zeze berdecak sebal. Seharusnya ia tidak menawarkan ini padanya.
"Terserah. Jika kau ingin hidup dengan memakan makanan yang kau ambil dari tangan yang sama yang kau gunakan untuk membersihkan bokongmu, silakan saja," cetus Zeze, langsung dan tepat tanpa sensor.
Reaksi yang Zero berikan sungguh di luar dugaan. Dia tertawa terbahak-bahak sembari memukul-mukul meja. Zeze mengerutkan kening. Sebenarnya apa yang lucu?
Zeze tidak tahu saja sudah sejak lama Zero menantikan hal ini. Zero merasa sangat cocok saat mengobrol dengannya. Ia merasa seperti ada yang bisa mengimbanginya—seseorang yang serupa dengannya.
Setelah bertahun-tahun lamanya, Zero hampir lupa ia mempunyai saudari kembar. Meski hal itu wajar saja karena semenjak kecil pun ia sudah dipisahkan dari Zeze. Mereka berdua sering dibeda-bedakan terlebih lagi oleh ibunya.
Selama ini orang-orang di sekitarnya sulit untuk dapat memahaminya, membuatnya merasa terasing dengan cara kerja pikirannya yang terbilang tidak biasa dan berbeda dari kebanyakan orang. Terkadang menjadi berbeda itu tak sepenuhnya bagus.
Untung takdir menciptakannya teman sedarah. Ia jadi tidak merasa sendirian lagi. Sebenarnya ia sangat penasaran dengan saudari kembarnya itu. Lima jam singkat bersamanya telah berhasil menjawab semua pertanyaannya, dan tak ada satu pun yang mengecewakan.
Zero ingin berteman dengannya.
"Well... terima kasih." Ia tersenyum miring.
"Untuk mentraktirmu makan?"
"Bukan, untuk yang tadi. Terima kasih telah membantuku... dan juga mentraktirku makan tentu saja. Aku lupa dompetku ada di Charlotte." Zero terkekeh kecil.
Tangan Zeze yang semula menopang dagu, beralih mengambil roti coklat di seberang. Ia mengunyah dalam diam, memandangi mata biru Zero yang entah mengapa seolah memberitahunya 'sesuatu'.
Dan ia mengerti artinya.
"Zero, aku... aku rasa aku hanya akan mempercepat ini."
Mata Zero meredup, layaknya paham apa yang akan diucapkan Zeze selanjutnya.
"Aku ingin memutus ikatanku dengan kalian semua... lebih tepatnya sudah. Aku tidak pernah menganggapmu sebagai saudaraku. Alasanku menerima tawaranmu hanya satu, dan kau tahu itu."
Terjadi hening, lebih tepatnya hanya di antara mereka berdua, karena di sekitar mereka begitu berisik oleh orang-orang yang berdatangan untuk sarapan pagi sebagai bekal untuk memulai aktivitas.
Zero membuka mulutnya, kemudian menutupnya lagi. Terus begitu berulang kali. Sebelum kata-kata itu keluar bagai bisikan.
"Ternyata hanya aku yang merasakannya."
Entah mengapa suaranya terdengar seperti umpatan kekecewaan di telinga Zeze.
Zero mundur, menyandarkan punggungnya, tanpa sekalipun melepas tatapannya dari sepasang manik biru di hadapannya itu.
Sepertinya ia tidak menyadari kalau kalimat Zeze masih belum selesai. Dan hal ini membuat Zeze terkikik dalam hati. Ternyata orang seperti Zero bisa sedih juga.
Menahan senyumnya, Zeze melanjutkan, "kapan pun kau membutuhkan bantuan, panggil aku. Aku memang bilang tidak menganggapmu sebagai saudara, tapi lain halnya jika sebagai teman.
"Kita... telah bersama untuk waktu yang lama. Bahkan sebelum terlahir di dunia ini, kau selalu ada di sampingku. Kita berdua berbagi tempat di dalam perut yang gelap itu. Aku menyayangimu sebagai orang yang berbagi darah denganku. Jika... aku bisa mengulang waktu, aku ingin sekali mengajakmu ikut bersamaku, pergi dari mereka semua dan hidup bahagia.
"Jadi... maafkan aku Zero. Jika aku menganggapmu sebagai saudaraku, aku hanya akan berakhir membencimu. Dan aku tidak mau itu. Karena itulah, aku hanya akan menganggap bahwa aku sedang duduk di sini, sarapan bersama teman lamaku."
Lagi-lagi terjadi hening. Kedua orang ini mencoba menebak pikiran masing-masing lewat mata identik mereka yang berujung dengan kekosongan.
Zero yang pertama menyerah. Kelopaknya membungkus bola matanya yang indah, terpejam dengan bibir melengkung memahat sebongkah senyum.
"Begitu?" Suaranya terkesan misterius.
"Ya, begitu." Zeze menjawab ragu. Kali ini ia dibuat bingung dengan reaksinya.
"Panjang juga ya?" Zero membuka matanya dan detik itu juga Zeze mundur ke belakang.
Mata biru Zero berkilat-kilat. Wajahnya berseri-seri seperti seorang anak yang baru saja mendapat permen gratis. Lagi-lagi sebuah reaksi yang tidak dapat Zeze mengerti.
"Kau tahu? Baru pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa seantusias ini saat bertemu seseorang." Zero berdiri dan mengambil satu lagi potongan roti.
"Terima kasih traktirannya. Lain kali aku yang akan membayar." Zero keluar dari bilik dan berjalan menjauh. Dia berhenti sebelum mencapai pintu dan menoleh ke belakang, ke arah Zeze yang masih terhenyak.
"Dan satu hal lagi, Rozeale. Senang berteman denganmu."
Kali ini dia benar-benar pergi. Pintu kaca otomatis itu tertutup dan menelan sosoknya.
Dari kaca besar di sampingnya, Zeze dapat melihat Zero menyeberangi zebra cross dan berhenti di hadapan dua orang. Yang satu seorang laki-laki berambut hitam pekat, dan satunya lagi perempuan berambut pirang stroberi. Mereka berdua mengobrol sebentar di trotoar depan toko bakeri.
Zeze melihat yang perempuan mengeluarkan sesuatu dari dalam long coat berwarna putihnya dan menyerahkannya kepada Zero. Dari bentuknya, Zeze yakin itu adalah sebuah dompet. Maka tidak salah lagi dia adalah Charlotte dan yang laki-laki pasti adalah Lucas.
Zero dan Lucas berjalan pergi sambil mengobrol, meninggalkan Charlotte sendirian. Mereka berdua sangat akrab, dilihat dari cara mereka tertawa saat salah satunya berbicara.
Bibir Zeze tertarik di kedua sudutnya, membentuk secercah senyum hangat. Matanya meneduh tatkala melihat kedua punggung itu makin lama makin menjauh hingga tak tergapai matanya lagi.
Ternyata Zeze salah. Bukan hanya dirinya yang bahagia, ternyata Zero juga telah menemukan kebahagiaannya sendiri. Tidak perlu keluar dari sangkar itu tapi Zero dapat tersenyum dengan lebarnya.
Dari sinilah Zeze belajar, bahagia itu ada macam-macam jenisnya. Belum tentu bahagia menurut versinya akan sama dengan versi orang lain.
"Aku tidak perlu mengulang waktu, benar kan?"
Mata Zeze terpejam damai dengan senyuman tulus yang masih membingkai wajahnya.
"Satu lagi penyesalan hilang." Zeze mendesah lega.
Ponselnya yang berada di atas meja bergetar, membuatnya membuka mata. Terlihat nomor 0 tak bernama di sana. Tanpa membuka layar kuncinya, Zeze membaca pesan yang masuk.
[Hadiah dariku. Selamat ulang tahun yang ke-17 untuk kita, well... walaupun masih 3 minggu lagi.]
Zeze melihat ke seberang jalan lagi. Di sana terlihat Charlotte tengah berdiri dengan satu tangan menggenggam box kue ulang tahun.
Karena Charlotte tak kunjung bergerak, Zeze memutuskan untuk memakai topinya dan membayar tagihan di kasir kemudian keluar. Saat pintu terbuka, kakinya yang berniat melangkah keluar tiba-tiba membentur sesuatu.
Ia menunduk untuk mengecek. Dan alisnya terangkat tinggi ketika mendapati box di tangan Charlotte telah berada di dekat kakinya.
Ketika ia mengangkat wajahnya, Charlotte masih berdiri diam di seberang sana, tentu saja dengan tangan yang telah hampa.
Sepintas, ia melihat Charlotte membungkuk dengan satu tangan di depan dada. Ia tidak bisa melihat yang selanjutnya terjadi karena para pejalan kaki telah menghalangi pandangannya. Dan ketika mereka menyingkir, Charlotte telah menghilang.
Gadis itu lenyap entah ke mana.
==========○
THE END OF VOLUME 1
To Be Continued...
"Sialan..." kata-kata Zeze terpenggal ketika ia mengatur napasnya. Bibirnya mencetak senyum yang amat lebar. "Tadi itu menyenangkan sekali."
Zeze menoleh ke belakang dan melihat Glen sedang berdiri membelakanginya. Kepalanya tertunduk, memperhatikan potongan tangan dekat kakinya. Zeze mengenali potongan tangan itu, karena ia sendiri yang membuatnya terpisah dari tubuhnya.
Saat melihat sekeliling, barulah Zeze sadar Glen tidak benar-benar menghabisi bagiannya. Empat dari mereka hanya tak sadarkan diri dengan kepala mengeluarkan darah yang tidak terlalu banyak.
Ketika mata birunya mengarah ke gagang katana Glen, ia melihat noda berwarna kemerahan. Mungkin laki-laki itu hanya menggunakan gagangnya untuk memukul kepala mereka. Perbuatan yang menurut Zeze naif sekali.
"Ternyata bukan kalian." Glen berkata samar.
"Menjilat ludah sendiri, hmm?" Zeze mengetesnya dengan sebelah alis terangkat.
Sekarang ia bisa mengerti kenapa orang-orang sulit mempercayai rumor tentang Énkavma yang hanya menargetkan orang-orang besar yang merugikan publik. Bahkan Glen pun juga begitu. Ternyata penyebabnya adalah idiot-idiot ini. Pasti bukan kali ini saja mereka menggunakan nama Énkavma.
Dan Zeze bisa paham mengapa mereka memilih Aplistia. Negara ini adalah negara yang menjadi kiblat untuk negara-negara di dunia. Jika negara ini membenci Énkavma, maka begitu pun negara lain. Mereka pasti akan mengikutinya.
Glen berbalik dan mata mereka bertemu. Zeze langsung terperangah karena ia dapat menikmati mata hijau itu lagi, mata indah yang lagi-lagi seakan menyedot semua fokusnya.
Tak kuasa menatapnya terlalu lama, Zeze menunduk dan melihat bangkai gagak di dekat kakinya. Tadi ia sempat terkejut karena sekumpulan gagak tiba-tiba datang dan membantunya melawan kedelapan orang itu.
Ketika kembali mengangkat kepala, Zeze melihat pemandangan indah bagaikan lukisan di hadapannya: dengan rambut dan jubah yang berkibar ditiup angin, Glen mendongak, memandangi langit cerah dengan burung gagak yang beterbangan di sekitarnya.
Zeze cepat-cepat mengambil ponselnya dan memotret pemandangan itu. Ia tidak ingin melewatkannya begitu saja.
Tetapi, sebuah pertanyaan mengganggu langsung melintas di otaknya ketika ia menurunkan ponsel itu dari wajahnya. Akankah Glen membunuhnya di sini? Akankah mereka melanjutkan perang berdarah mereka di sini?
Terlebih lagi, sekarang ia muncul sebagai Artemis, bukan sebagai Rozeale.
Zeze meneguk salivanya di saat ia memandangi sisi samping wajah Glen. Jujur, ia tidak rela segala kebahagiaan ini berlalu begitu saja.
Tiba-tiba, tanah berguncang, mengembalikan sikap defensifnya serta mengubah air mukanya yang semula mendung menjadi kosong melompong.
Ia melupakan Zero! Namun di detik berikutnya ia dilanda dilema. Untuk apa ia memikirkan Zero? Laki-laki itu... dan mereka semua bukan lagi urusannya. Ia sudah ingin bebas dari hal-hal yang berhubungan dengan mereka semua.
Tapi mau bagaimana pun, ini tidaklah benar. Ia bisa sampai ke sini, ke titik ini, semua juga berkat Zero. Dan ia telah setuju akan menjadi partnernya. Bukankah partner saling membantu hingga akhir?
Inilah salah satu dari sekian banyak hal dalam dirinya yang ia benci. Ia tidak bisa pergi begitu saja. Perasaan loyalnya tinggi. Menurutnya, perasaan ini justru bagus jika ditujukan kepada orang yang tepat, tapi jika Zero... tunggu dulu, apakah Zero bukanlah orang yang tepat?
Zeze dilanda pening, terukir jelas di guratan antara alisnya yang makin dalam. Sejak tadi Glen memperhatikan perubahan-perubahan di wajahnya dalam diam. Saat dia panik, kalut, berubah ke bimbang, pasrah—semuanya.
"Apakah ada masalah?" Glen mendekat dan berhenti selangkah darinya, menunduk agar bisa sejajar dengan wajahnya yang terlihat agak pucat.
Tidak bisa begini terus. Tadi pikirannya kacau karena memikirkan dongeng sialan itu, selanjutnya Zero, dan sekarang ditambah lagi dengan wajah Glen yang sangat dekat dengan wajahnya. Bahkan ia bisa merasakan uap dingin dari napasnya. Bisa-bisa kepalanya pecah jika terus-menerus diserbu semua serangan ini.
Selain itu, ia harus menjaga jarak darinya. Ia tidak ingin mati sekarang. Masih belum boleh. Siapa tahu Glen berniat membunuhnya sekarang. Terlebih lagi, tidak ada orang lain lagi di sini. Hanya ada perempuan berambut cokelat tadi.
Siapa yang dapat menjamin Glen tidak memberitahukan identitasnya kepada perempuan itu? Mereka berdua kan dekat. Bisa-bisa mereka mengeroyoknya.
Akhirnya Zeze memilih mundur tiga langkah. Yang menjadi pokok utamanya adalah Zero sekarang. "Tidak ada." Ia menjawab singkat tanpa nada dalam suaranya.
Ia memutuskan berjalan melewati Glen, menuju lubang menganga tadi. Tapi tanpa disangka, pintu samping toko mainan itu terbuka.
Mereka langsung memasang sikap defensif. Karena melihat reaksi Glen yang sama dengannya, Zeze jadi dapat mengambil kesimpulan bahwa orang di balik pintu itu bukanlah salah satu teman Glen.
Sepasang kaki yang dilapisi jeans hitam dan sepatu sket melangkah keluar. Tubuhnya yang tinggi tegap dibalut oleh kaus abu-abu berlengan panjang.
Ketika pintu tertutup, visual orang itu terpampang sepenuhnya. Dia berjalan santai menuruni tangga kecil dengan kedua tangan tenggelam di dalam saku celana. Wajahnya tak terlihat karena ia menundukkan kepalanya yang memakai topi berwarna hitam.
Refleks, Zeze menyentuh puncak kepalanya. Ia baru sadar kalau topinya tak lagi menghiasi kepalanya. Rambutnya ternyata sudah tergerai sejak tadi. Namun mengapa ia tidak menyadarinya? Tidak salah lagi, topi yang dipakai orang itu adalah miliknya.
Orang itu mengangkat wajah, memperlihatkan bagian bawah wajahnya, yaitu hidungnya yang ramping dan bentuk rahangnya yang sempurna. Tak lupa juga bibirnya yang penuh dan mempesona.
Perlahan, dia menghampiri tempat Zeze berdiri dan berhenti setelah cukup dekat.
"Siapa dia?" Dia bertanya. Zeze bersyukur itu adalah suara Zero. Entah mengapa ia menjadi makin paranoid sejak permainan tebak-tebakan yang menyangkut pengkhianat tadi.
Zero masih tetap menoleh ke arah kirinya, ke arah Glen yang juga tengah menatapnya. Sayangnya, mata Glen tidak dapat menjangkau mata Zero yang tersembunyi di balik bayang-bayang topi.
"Kau kenal dia, Ze?" Tanyanya lagi, tanpa memberi kesempatan Zeze menjawab pertanyaan sebelumnya.
Tak kunjung mendapat jawaban, akhirnya mata Zero meninggalkan Glen dan beralih menatap Zeze yang terlihat menunduk, menjatuhkan pandangannya ke bawah. Matanya kosong tanpa tujuan.
Bibirnya sudah terbuka sejak tadi, tapi jawabannya terdengar beberapa saat kemudian. "Tidak."
Zeze tidak peduli dengan penilaian Zero tentang kebohongannya. Tentunya mereka berdua sadar kalau mereka tidak dapat berbohong satu sama lain.
Namun siapa sangka Zero menerimanya. Dia mengeluarkan tangan kanannya dari dalam saku celana dan merangkulnya. "Ya sudah, ayo," ajaknya.
Tinggallah Glen seorang yang mengawasi punggung mereka yang kian menjauh.
Glen melihat lelaki itu membuka topinya dan menaruhnya di atas kepala Zeze. Dan di saat itulah mata hijaunya melebar.
Warna rambut mereka sama.
=========
Suara dentingan sendok bertemu dengan piring terdengar saling tindih-menindih dengan suara obrolan di sekitar Zeze dan Zero yang kini tengah menyantap sarapan mereka di salah satu restoran cepat saji.
Mereka berdua duduk berhadapan di meja paling pinggir dekat kaca jendela besar, memperlihatkan dengan jelas orang-orang yang berlalu-lalang di atas trotoar.
Tak ada kendaraan, sehingga telinga serta paru-paru mereka bersih dari polusi.
Zeze mengalihkan matanya dari jendela ke arah Zero yang sedari tadi tak henti-hentinya memperhatikan dirinya. Pantas saja Zeze merasa aneh. Ia juga tidak dapat menebak apa yang sedang dipikirkan orang itu. Sebenarnya jika tahu, mulutnya pasti akan menganga, karena saat ini Zero sedang menilai penampilannya.
Zero takjub saat tahu wajah Zeze benar-benar mirip dengannya. Namun hal itu tak tercetak jelas di wajahnya yang datar, berbanding terbalik dengan pikirannya yang aneh dan berantakan.
"Butuh akhir dari permainannya?" Tiba-tiba Zero bertanya setelah menelan habis roti coklatnya.
Zeze tidak menjawab dan hanya memandang santai sepasang manik mata yang sama persis seperti miliknya itu.
"Tapi sepertinya kau harus kecewa."
Alis Zeze mencuat ketika mendengarnya.
"Permainannya masih terus berlanjut."
Zero mengambil lagi sepotong roti berbentuk segitiga di hadapannya. Ia mengunyahnya sebentar tanpa memalingkan matanya dari Zeze.
"Tangan kirimu," ucap Zeze tiba-tiba, membuat Zero berhenti mengunyah. "Kenapa tangan kirimu?"
Zero terkekeh pelan lalu lanjut mengunyah. Ia sudah menduga Zeze pasti bisa menangkap keanehan meski sekecil apa pun itu. Daya analisanya tinggi.
Zeze pasti menyadari mengapa dari tadi Zero menaruh tangan kirinya di atas paha, terhalang oleh meja. Bahkan sejak keluar dari toko mainan itu, Zero langsung menenggelamkannya ke dalam saku.
Dengan perlahan, Zero mendaratkan tangan kirinya ke atas meja. Mata Zeze sedikit melebar. Tangan yang semula putih dan mulus itu telah berubah menghitam sampai ke kuku-kukunya. Bahkan Zeze yakin tangan itu akan luruh jika ia menepuknya.
"Luar biasa, 500.000 volt ternyata tidak main-main." Zero mengedikan bahu, terlihat tak terlalu peduli.
Kening Zeze berkerut ketika kembali menatapnya. "Kenapa hanya tangan?"
"Itulah yang ingin aku tanyakan, kenapa hanya tangan?"
"Jangan bertanya. Kau lebih tahu daripada aku," desis Zeze, tidak sabar.
Zero kembali mengambil rotinya dan menoleh ke samping, menikmati kesibukan pejalan kaki.
"Es. Es adalah isolator." Zero menjawab, suaranya terdengar samar di telinga Zeze. "sudah kubilang aku hanya menghadapi apa yang tidak bisa kau hadapi. Sayang sekali dia harus menghadapi musuh yang salah."
Zeze menaikkan sebelah alisnya, "dia?"
"Karena aku tidak mengenalnya, makanya aku panggil 'dia'." Pupil Zero melebar ketika ia kembali menatapnya, "atau mungkin, kau yang mengenalnya?"
Alis Zeze bertaut bingung, "aku... tidak mengerti."
"Aku juga." Zero tersenyum miring.
"Jelaskan." Zeze meminta, atau lebih tepatnya memohon.
Zero yang sejak tadi bersandar, mulai memajukan duduknya, menatap lekat saudari kembarnya itu tepat di manik mata.
"Aku tidak bisa membunuhnya, lebih tepatnya gagal." Suaranya terdengar kesal untuk suatu alasan.
"Dia laki-laki, berambut kemerahan. Sejak bertemu denganku dia memakai masker hitam. Tapi aku berhasil merobeknya. Aku sempat melihat wajahnya sekilas sebelum dia melakukan hal ini padaku. Tapi percuma, aku tidak mengenalinya. Wajahnya terlihat asing, dan aku yakin sekali aku belum pernah bertemu dengannya sebelumnya. Dan untuk ular... Ze, tidak ada ular. Dia murni melawanku dengan listrik."
"Listrik..." gumam Zeze.
Zero mengangguk, "ada petunjuk?"
Zeze menopang dagunya dengan punggung tangannya dan menjawab yakin, "tidak."
"Jadi aku benar? Ular itu kata lain dari pengkhianat dan ada orang lainnya yang memerankan tokoh ular ini?"
"Entahlah," Zeze menghela napas.
"Jika benar ada, apakah itu artinya orang yang berkhianat dan yang ingin membalas dendam saling bekerja sama? Itukah hubungan yang dimaksud?" Zero masih lanjut membuat kepalanya pusing.
Percuma saja. Delapan tahun ia bergabung dengan Énkavma, tidak ada yang aneh. Mereka semua berkeluarga. Jika ada pertengkaran, itu hanyalah adu mulut kecil yang malah lucu jika diperhatikan.
Tapi tunggu, apakah ada yang terjadi sebelum ia bergabung dengan Énkavma?
Kesimpulan cerita pertama, Pied Piper of Hamelin adalah tentang seseorang yang dikhianati dan pembalasan dendam. Sedangkan cerita kedua adalah tentang seseorang tak bersalah yang tersakiti dan pahlawan yang menyelamatkannya.
'Apakah itu hubungannya yang dia maksud? Pengkhianatan... balas dendam... menyelamatkan...'
"Aku mempunyai teman dengan Simathyst yang unik, kau mau tanganmu disembuhkan?" Tawar Zeze.
"Kau sungguh ingin membantu atau hanya ingin mencari alasan agar pikiranmu bisa lepas dari semua itu?"
Zeze berdecak sebal. Seharusnya ia tidak menawarkan ini padanya.
"Terserah. Jika kau ingin hidup dengan memakan makanan yang kau ambil dari tangan yang sama yang kau gunakan untuk membersihkan bokongmu, silakan saja," cetus Zeze, langsung dan tepat tanpa sensor.
Reaksi yang Zero berikan sungguh di luar dugaan. Dia tertawa terbahak-bahak sembari memukul-mukul meja. Zeze mengerutkan kening. Sebenarnya apa yang lucu?
Zeze tidak tahu saja sudah sejak lama Zero menantikan hal ini. Zero merasa sangat cocok saat mengobrol dengannya. Ia merasa seperti ada yang bisa mengimbanginya—seseorang yang serupa dengannya.
Setelah bertahun-tahun lamanya, Zero hampir lupa ia mempunyai saudari kembar. Meski hal itu wajar saja karena semenjak kecil pun ia sudah dipisahkan dari Zeze. Mereka berdua sering dibeda-bedakan terlebih lagi oleh ibunya.
Selama ini orang-orang di sekitarnya sulit untuk dapat memahaminya, membuatnya merasa terasing dengan cara kerja pikirannya yang terbilang tidak biasa dan berbeda dari kebanyakan orang. Terkadang menjadi berbeda itu tak sepenuhnya bagus.
Untung takdir menciptakannya teman sedarah. Ia jadi tidak merasa sendirian lagi. Sebenarnya ia sangat penasaran dengan saudari kembarnya itu. Lima jam singkat bersamanya telah berhasil menjawab semua pertanyaannya, dan tak ada satu pun yang mengecewakan.
Zero ingin berteman dengannya.
"Well... terima kasih." Ia tersenyum miring.
"Untuk mentraktirmu makan?"
"Bukan, untuk yang tadi. Terima kasih telah membantuku... dan juga mentraktirku makan tentu saja. Aku lupa dompetku ada di Charlotte." Zero terkekeh kecil.
Tangan Zeze yang semula menopang dagu, beralih mengambil roti coklat di seberang. Ia mengunyah dalam diam, memandangi mata biru Zero yang entah mengapa seolah memberitahunya 'sesuatu'.
Dan ia mengerti artinya.
"Zero, aku... aku rasa aku hanya akan mempercepat ini."
Mata Zero meredup, layaknya paham apa yang akan diucapkan Zeze selanjutnya.
"Aku ingin memutus ikatanku dengan kalian semua... lebih tepatnya sudah. Aku tidak pernah menganggapmu sebagai saudaraku. Alasanku menerima tawaranmu hanya satu, dan kau tahu itu."
Terjadi hening, lebih tepatnya hanya di antara mereka berdua, karena di sekitar mereka begitu berisik oleh orang-orang yang berdatangan untuk sarapan pagi sebagai bekal untuk memulai aktivitas.
Zero membuka mulutnya, kemudian menutupnya lagi. Terus begitu berulang kali. Sebelum kata-kata itu keluar bagai bisikan.
"Ternyata hanya aku yang merasakannya."
Entah mengapa suaranya terdengar seperti umpatan kekecewaan di telinga Zeze.
Zero mundur, menyandarkan punggungnya, tanpa sekalipun melepas tatapannya dari sepasang manik biru di hadapannya itu.
Sepertinya ia tidak menyadari kalau kalimat Zeze masih belum selesai. Dan hal ini membuat Zeze terkikik dalam hati. Ternyata orang seperti Zero bisa sedih juga.
Menahan senyumnya, Zeze melanjutkan, "kapan pun kau membutuhkan bantuan, panggil aku. Aku memang bilang tidak menganggapmu sebagai saudara, tapi lain halnya jika sebagai teman.
"Kita... telah bersama untuk waktu yang lama. Bahkan sebelum terlahir di dunia ini, kau selalu ada di sampingku. Kita berdua berbagi tempat di dalam perut yang gelap itu. Aku menyayangimu sebagai orang yang berbagi darah denganku. Jika... aku bisa mengulang waktu, aku ingin sekali mengajakmu ikut bersamaku, pergi dari mereka semua dan hidup bahagia.
"Jadi... maafkan aku Zero. Jika aku menganggapmu sebagai saudaraku, aku hanya akan berakhir membencimu. Dan aku tidak mau itu. Karena itulah, aku hanya akan menganggap bahwa aku sedang duduk di sini, sarapan bersama teman lamaku."
Lagi-lagi terjadi hening. Kedua orang ini mencoba menebak pikiran masing-masing lewat mata identik mereka yang berujung dengan kekosongan.
Zero yang pertama menyerah. Kelopaknya membungkus bola matanya yang indah, terpejam dengan bibir melengkung memahat sebongkah senyum.
"Begitu?" Suaranya terkesan misterius.
"Ya, begitu." Zeze menjawab ragu. Kali ini ia dibuat bingung dengan reaksinya.
"Panjang juga ya?" Zero membuka matanya dan detik itu juga Zeze mundur ke belakang.
Mata biru Zero berkilat-kilat. Wajahnya berseri-seri seperti seorang anak yang baru saja mendapat permen gratis. Lagi-lagi sebuah reaksi yang tidak dapat Zeze mengerti.
"Kau tahu? Baru pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa seantusias ini saat bertemu seseorang." Zero berdiri dan mengambil satu lagi potongan roti.
"Terima kasih traktirannya. Lain kali aku yang akan membayar." Zero keluar dari bilik dan berjalan menjauh. Dia berhenti sebelum mencapai pintu dan menoleh ke belakang, ke arah Zeze yang masih terhenyak.
"Dan satu hal lagi, Rozeale. Senang berteman denganmu."
Kali ini dia benar-benar pergi. Pintu kaca otomatis itu tertutup dan menelan sosoknya.
Dari kaca besar di sampingnya, Zeze dapat melihat Zero menyeberangi zebra cross dan berhenti di hadapan dua orang. Yang satu seorang laki-laki berambut hitam pekat, dan satunya lagi perempuan berambut pirang stroberi. Mereka berdua mengobrol sebentar di trotoar depan toko bakeri.
Zeze melihat yang perempuan mengeluarkan sesuatu dari dalam long coat berwarna putihnya dan menyerahkannya kepada Zero. Dari bentuknya, Zeze yakin itu adalah sebuah dompet. Maka tidak salah lagi dia adalah Charlotte dan yang laki-laki pasti adalah Lucas.
Zero dan Lucas berjalan pergi sambil mengobrol, meninggalkan Charlotte sendirian. Mereka berdua sangat akrab, dilihat dari cara mereka tertawa saat salah satunya berbicara.
Bibir Zeze tertarik di kedua sudutnya, membentuk secercah senyum hangat. Matanya meneduh tatkala melihat kedua punggung itu makin lama makin menjauh hingga tak tergapai matanya lagi.
Ternyata Zeze salah. Bukan hanya dirinya yang bahagia, ternyata Zero juga telah menemukan kebahagiaannya sendiri. Tidak perlu keluar dari sangkar itu tapi Zero dapat tersenyum dengan lebarnya.
Dari sinilah Zeze belajar, bahagia itu ada macam-macam jenisnya. Belum tentu bahagia menurut versinya akan sama dengan versi orang lain.
"Aku tidak perlu mengulang waktu, benar kan?"
Mata Zeze terpejam damai dengan senyuman tulus yang masih membingkai wajahnya.
"Satu lagi penyesalan hilang." Zeze mendesah lega.
Ponselnya yang berada di atas meja bergetar, membuatnya membuka mata. Terlihat nomor 0 tak bernama di sana. Tanpa membuka layar kuncinya, Zeze membaca pesan yang masuk.
[Hadiah dariku. Selamat ulang tahun yang ke-17 untuk kita, well... walaupun masih 3 minggu lagi.]
Zeze melihat ke seberang jalan lagi. Di sana terlihat Charlotte tengah berdiri dengan satu tangan menggenggam box kue ulang tahun.
Karena Charlotte tak kunjung bergerak, Zeze memutuskan untuk memakai topinya dan membayar tagihan di kasir kemudian keluar. Saat pintu terbuka, kakinya yang berniat melangkah keluar tiba-tiba membentur sesuatu.
Ia menunduk untuk mengecek. Dan alisnya terangkat tinggi ketika mendapati box di tangan Charlotte telah berada di dekat kakinya.
Ketika ia mengangkat wajahnya, Charlotte masih berdiri diam di seberang sana, tentu saja dengan tangan yang telah hampa.
Sepintas, ia melihat Charlotte membungkuk dengan satu tangan di depan dada. Ia tidak bisa melihat yang selanjutnya terjadi karena para pejalan kaki telah menghalangi pandangannya. Dan ketika mereka menyingkir, Charlotte telah menghilang.
Gadis itu lenyap entah ke mana.
==========○
THE END OF VOLUME 1
To Be Continued...