44 CHAPTER TWO

"Ini adalah dongeng dari Italia. Cerita dimulai dari seorang wanita yang tertidur di taman dan seekor ular yang menyelinap masuk ke dalam rahimnya. Wanita itu kemudian mengandung dan melahirkan anak perempuan yang diberi nama Biancabella. Saat lahir, terdapat seekor ular yang melingkar di lehernya, yang segera melesat pergi sesaat setelah persalinan. Ular itu menampakkan diri pada Biancabella ketika ia sedang berjalan-jalan di taman. Ular itu mengaku sebagai saudara Biancabella lalu memberinya kecantikan yang luar biasa.

"Seorang Raja kemudian tertarik dengan kecantikannya dan memperistrinya. Saat di istana, ibu suri tidak menyukai Biancabella dan menyuruh para bawahannya untuk membawanya ke hutan dan membunuhnya. Namun mereka gagal membunuh Biancabella dan hanya berhasil memotong bagian tubuhnya.

"Di hutan, Biancabella hendak bunuh diri, namun dihentikan oleh Sang Ular. Sang Ular kemudian mengembalikan kondisi Biancabella seperti semula. Ketika Raja mengetahui perbuatan jahat Ibu Suri, Raja membakarnya hidup-hidup di atas perapian."

"Begitu?" Tersisa nada-nada jijik dalam suaranya. "Sekarang apa lagi kali ini? Ular?" Zeze berdecak sebal.

Ia sama sekali tidak masalah walau itu harimau, buaya, ataupun beruang sekalipun. Tapi tidak dengan salah satu dari keempat binatang yang tidak disukainya itu!

"Ngomong-ngomong gaya bahasamu bagus juga." Zeze memuji sembari menoleh ke arah Zero yang berjalan di samping kirinya.

"Hmm? Itu kalimat dari layar komputer tadi. Aku sama sekali tidak mengeditnya."

"Oh," Zeze berpaling.

Bodohnya Zeze karena lupa dia ini kan pintar. Tak sulit baginya untuk membaca sekilas dan masih tetap mengingat detail. Bahkan ibu mereka, Putri Vourtsa selalu memujinya dan sering membanding-bandingkannya dengan Zeze yang memiliki kesulitan dalam memproses dan mengingat huruf. Ketika mengingat kejadian itu, hatinya mau tak mau merasa sedih. Hanya ibunya Obi yang mengerti bagaimana kesulitannya saat itu.

"Peniup seruling, tikus, Biancabella, ular." Gumaman Zero menyadarkannya kembali.

Zeze juga sama bingungnya. Ia tambah dibuat uring-uringan oleh air yang menggenang di bawah kakinya. Beruntung ia mengenakan sepatu boots. Tapi masalahnya, bagaimana jika terdapat benda kuning yang mengambang di sana? Zeze bergidik ngeri.

Ini sungguh ironis. Kota yang asri yang orang-orang nobatkan sebagai 'Kota Cinta' ternyata memiliki sisi gelapnya tersendiri. Zeze tidak sanggup membayangkan betapa banyaknya komplotan penjahat atau psikopat yang bernaung di bawah sini. Perbedaan kehidupan di atas sana dan di bawah sini benar-benar bagaikan langit dan bumi.

Mengabaikan itu semua, ia mencoba menyusun permasalahan utama di dalam kepalanya. Tapi sayangnya tidak berhasil. Cukup banyak bagian yang rumpang untuk puzzle satu ini. Dan juga... tidak masuk di akal. Tidak ada yang bisa dicerna secara logika jika menyangkut dongeng-dongeng semacam ini. Dan hal ini mau tak mau membuatnya tambah frustrasi.

Ia terbiasa memecahkan kasus yang bisa dipikirkan dengan akal sehat, karena mereka semua memiliki bukti yang konkret. Jika pun harus mengandalkan instingnya, itu semua pasti masih bisa dipikir secara logika. Orang yang jago menafsirkan hal-hal abstrak seperti ini adalah Kai atau Obi.

'Peniup Seruling kecewa dengan Walikota dan akhirnya memilih balas dendam dengan menculik anak-anak. Lalu... tapi tunggu dulu...'

"Membalas dendam?" Zeze langsung terperangah. 'Benar juga, idiot-idiot ini kan menculik anak-anak.'

Zero menoleh ke arahnya. Wajahnya yang biasanya datar, sekarang terlihat seperti habis ditampar sesuatu.

"Tapi mungkinkah... dia melakukan penculikan bukan hanya untuk jual-beli organ, tetapi karena ingin membalas dendam?" Zero mulai berspekulasi. Keadaannya sama persis seperti di cerita!

"Dia merasa telah berjasa untuk seseorang tapi orang itu malah mengkhianatinya?" Zeze menambahkan.

"Lalu apa hubungannya dengan makna cerita Biancabella?" Tanya Zero.

"Kau tidak perlu bertanya, karena sama sekali tidak ada pilihan lain." Zero tersenyum dengan kedua alis terangkat.

Mereka saling memeras otak sambil sesekali melihat jalan. Beruntung salju milik Zero meliput apa pun sejauh 15 meter di depan, jadi mereka berdua tidak perlu terlalu mengkhawatirkan sekitar.

"Coba kau pikir. Apakah menurutmu aneh jika dia menggunakan nama Énkavma?" Zero bertanya tiba-tiba.

"Hmm? Bukankah dia melakukan itu biar tidak gampang ketahuan?"

"Hanya itu?" Zero mengangkat sebelah alisnya dengan tampang skeptis.

"Lalu apa lagi?" Zeze malah kebingungan.

"Apa kau mengenal seseorang yang memiliki dendam dengan kalian?" Padahal jelas sekali Zero bertanya kepadanya, tapi Zeze memilih pura-pura tidak dengar.

Karena merasa diabaikan, Zero pun melanjutkan, "aku punya teori bagus di kepalaku."

"Apa?" Zeze melirik curiga ke arahnya.

"Karena merasa dikhianati oleh kalian, Si Peniup Seruling membalas dendam dibantu oleh Sang Ular. Kurasa itu hubungan yang dimaksud."

"Lucu." Zeze memutar bola matanya. Mana ada yang seperti itu? Pikiran orang ini memang seperti anak kecil. Contohnya seperti di atas tadi, dia dengan seenaknya merombak alur cerita Artemis dan Apollo.

"Salah satu alasan mereka melimpahkan semuanya kepada Énkavma adalah karena ingin membalaskan dendam tokoh Biancabella. Siapa ya kira-kira?"

"Berhenti, jangan dilanjutkan," gumam Zeze. Ia ingin sekali menolak itu semua.

"Yang kumaksud dengan 'ular' itu mempunyai makna, Ze." Zero menjelaskan dengan tenang, sama sekali tidak memedulikan tolakan dari kembarannya itu.

"Penjilat? Pengkhianat? Apakah ada penjilat atau pengkhianat di antara kalian?" Zero menerka-nerka. "Kurasa itu terhitung karma. Kalian mengkhianati seseorang, dan sebagai gantinya ada seorang pengkhianat di antara kalian."

'Sialan,' rutuk Zeze dalam hatinya.

Zeze benar-benar menolak ide untuk menerka siapa dia. Jika ujung-ujungnya mengarah kepada Énkavma, ia sama sekali tidak ingin tahu-menahu. Seseorang mengkhianati Énkavma... ia sama sekali tidak ingin tahu.

Tapi jika dipikir-pikir lagi, masuk akal juga. Jelas-jelas wanita di kedai kopi tadi mencoba memprovokasinya untuk mendatangi para idiot ini. Bukankah itu membuktikan kalau wanita itu tahu bahwa ia adalah bagian dari Énkavma?

Apakah Kai dan Obi akan memikirkan hal yang sama seperti yang Zero pikirkan jika mereka berdua ada di sini?

"Apakah kau melihatku berada di taman bermain?" Tanya Zeze.

"Taman bermain? Tidak, aku melihatmu pertama kali saat kau tiba di tempat pembuangan sampah itu."

"Berarti tadi itu bukan kucing. Tapi wanita itu! Dia mengikutiku dari sana!"

"Apa?" Kebingungan, Zero menoleh ke arahnya.

Zeze tidak merespons. Ia menggerutu dalam hati. 'Sial, ini membingungkan. Apa lagi ini?'

Jika mereka memang benar sengaja menargetkan Énkavma, Zeze berpikiran bahwa ini hanyalah semacam balas dendam biasa dari orang-orang yang keluarga atau teman dekatnya pernah menjadi target mereka.

Tapi jika ternyata ada seseorang yang mengkhianati Énkavma...

"Dari informasi yang Charlotte dapatkan, Jack O'lantern adalah perkumpulan mafia dari Mexico yang dulunya mengimpor senjata terlarang. Pemimpin mereka yang lama telah meninggal 6 bulan yang lalu karena baku tembak dengan FBI. Mereka pindah ke Aplistia dan mengambil alih perdagangan gelap di kota ini, salah satu kota di dunia yang memiliki banyak sekali ruang bawah tanah."

Zero berhenti sejenak, terlihat berpikir kemudian melanjutkan, "tapi kalau dipikir-pikir, jika sekarang mereka beralih menjual organ-organ secara ilegal tanpa mengundang kecurigaan, bukankah itu berarti ada pihak dalam rumah sakit yang bekerja sama dengan mereka? Mungkinkah dokternya?"

Zeze telah bersiap mengambil napas untuk merespons, namun langkah Zero terhenti secara tiba-tiba sehingga membuatnya juga ikut berhenti.

"Ada satu orang di sana. Dari arah kanan ada sekitar 15 orang. Kau ambil yang 15." Sikap Zero defensif ketika ia memberinya perintah. Suaranya pun tegang tidak main-main seperti tadi.

"Dan kau akan menghadapi yang satu?" Zeze menaikkan sebelah alisnya.

"Aku hanya menghadapi apa yang tidak bisa kau hadapi."

Setelah mengatakannya, Zero melesat meninggalkan Zeze yang mematung. Ia tidak mengerti apa maksud laki-laki itu. Namun tak lama kemudian, ia kembali teringat akan tugasnya. Seperti yang Zero suruh, ia pun langsung melesat ke depan lalu berbelok ke kanan.

Setibanya di sana, Zeze telah dinanti oleh ke-15 orang itu. Ia menghentikan langkahnya ketika mengetahui ia telah dibidik. Orang-orang ini juga terlihat lebih profesional karena tidak asal menyerang seperti yang sebelumnya. Kali ini ia membutuhkan senjata.

Zeze mengeluarkan dua rapier dari kantung abu-abu yang selama ini bersemayam di dalam saku long coat-nya.

Ketika mereka mulai menembak, tangan Zeze dengan lihainya memainkan kedua pedang itu, memantulkan peluru-pelurunya hingga ada yang berbalik mengenai beberapa dari mereka.

Tarian kematian itu terus berlanjut hingga secara tiba-tiba, ia merasakan tanah yang diinjaknya lama-lama makin tinggi. Namun bukan hanya dirinya yang merasakannya, beberapa dari musuhnya yang masih tersisa juga.

Saat melihat ke bawah, ternyata terdapat salju yang luar biasa banyaknya mulai mendorong mereka semua sampai ke atas. Mungkin Zero sedang bertarung gila-gilaan di sana dan tidak ingin diganggu.

Zeze tengah bersiap melubangi atap, tapi mengurungkannya setelah melihat salju di dekat kakinya mulai berputar-putar, membentuk pusaran yang runcing dan mengebor atap di atas mereka.

Sudut bibirnya tertarik ke atas, membentuk lengkungan senyum. Di saat seperti ini, Zero tetap memedulikan dirinya. Mau tak mau, Zeze merasa tersentuh. Pada akhirnya ia hanyalah seorang manusia biasa yang juga memiliki hati, walau seiri apa pun dirinya kepada saudaranya itu di masa lalu.

Atap telah hancur, bersamaan dengan mereka semua yang dibawa naik ke permukaan. Langit terlihat berwarna oranye, pertanda fajar baru saja terbit.

Zeze dan orang-orang itu menjauh dari salju di bawah kaki mereka yang mulai terperosok, kembali lagi ke bawah untuk membantu sang tuan.

Zeze tidak melihat rumah angker tadi. Mereka berada di sebuah dataran kosong yang merupakan tempat parkiran sebuah toko mainan yang terdapat tanda tutup di pintunya.

Zeze menghitung orang-orang di hadapannya. Tersisa 10 orang. 3 perempuan, 7 laki-laki. Dan Zeze tahu kemampuan mereka tidaklah main-main. Dari pengalamannya menghadapi pertarungan, ia bisa menilai mana yang mempunyai potensi mana yang tidak.

Dan mereka semua mempunyai potensi. Tapi sayangnya Zeze harus menghancurkan semua potensi itu.

Mereka kembali mengajak Zeze menari. Salah satunya ada yang memiliki Simathyst berupa benang dan menjerat kakinya. Zeze memusatkan panas tubuhnya ke bawah, membakar benang-benang tajam itu sebelum mereka menyebabkan kakinya terpisah dari tubuhnya.

Tarian itu terus berlanjut sampai tak terasa telah 10 menit waktu berjalan. Di sepanjang waktu, Zeze hanya berhasil menghabisi 2 di antara mereka. Ada juga yang memiliki Simathyst angin berbentuk tameng yang membuatnya sulit mendekat karena terus-terusan didorong.

Walaupun kebanyakan dari mereka belum memiliki Simathyst, tapi dýnami dan fisik mereka cukup bagus untuk dapat mengimbangi langkahnya. Dan Zeze sadar tidak boleh terus-terusan mengeluarkan panas tubuhnya. Bisa-bisa ia membeku dari dalam.

Salah seorang dari mereka maju, berniat menyerangnya dengan longsword. Ketika hendak menghindar, tubuhnya terasa kaku. Ia menunduk dan melihat kakinya telah dijerat kembali dengan benang!

Zeze sadar jika ia memaksa, kakinya pasti akan putus. Dan membakarnya juga tidak akan sempat.

Bunyi dentingan pedang pun terdengar. Tapi tunggu, ia kan tidak menahannya. Jadi siapa yang melakukannya? Perlahan, Zeze mengangkat kepalanya dan membeku.

'Glen... sedang apa dia di sini?'

Namun Zeze segera mengenyahkan pertanyaan itu ketika menyadari Glen mengenakan jubah hitamnya. Tentu saja lelaki itu menjalankan tugasnya sebagai seorang Ipotis, ksatria khusus angkatan darat Aplistia yang berada di bawah perintah langsung Raja.

Orang itu terhempas ketika Glen menendang dadanya. Tak ingin basa-basi, Glen langsung menargetkan perempuan pengendali benang itu.

Glen mengangkat kedua katana-nya. Tapi pria tersebut dengan sigapnya bangkit dan menghadang. Untuk kedua kalinya, pedang mereka saling hantam.

'Sial! Cepat sekali dia bangkit,' Glen mengutuk. Dia pasti ditugaskan untuk melindungi si wanita.

Glen memilih mundur dan mendarat tepat di depan Zeze. "Kau masih hidup?" Tanyanya, tanpa menoleh.

Napas Zeze tersengal-sengal ketika ia membalas, "menurutmu?"

"Masih. Kalau begitu bantu aku." Glen kembali melesat menuju delapan orang yang tersisa.

Kini Zeze memiliki pasangan dansa. Mereka berdua sangat cocok dan saling melengkapi. Mereka asyik berdansa sampai tak menyadari bahwa sejak tadi ada seseorang dari kejauhan yang tengah memperhatikan mereka.

Sebenarnya Glen tahu orang itu ada di sana, karena tadi ia datang ke sini bersamanya. Tapi pertarungan yang memacu adrenalin ini membuatnya lupa akan sekitar. Yang ada di pikirannya kali ini hanyalah kedelapan orang ini dan juga pasangan dansanya, Zeze.

'Ternyata benar, putri ini memiliki hubungan dengan Glen,' batin Hera. Tapi bagaimana bisa? Bukankah Glen membenci para keturunan kerajaan itu?

Semenjak Hera menyaksikan pertarungan mereka di kediaman Marquess Barier, ia bisa melihat bagaimana kebolehan putri itu dalam mengimbangi gerakan Glen.

Namun mengapa... mengapa gerakan tarian putri itu terlihat familier di matanya?

Mata coklat Hera menyipit, guratan halus tercipta di keningnya, mencoba menerka-nerka tentang apa yang familier dari putri itu. Ia begitu sibuk berpikir sampai tak menyadari sebuah peluru melesat ke arahnya.

Tang!

Beruntungnya, sebelum sempat peluru itu melubangi kepalanya dari samping, rapier Zeze telah lebih dulu membenturnya.

Hera mengerjap. Perasaan, tadi ia hanya merasakan angin lewat begitu saja.

"Jangan di sini, pergi," desis Zeze tanpa menoleh, suaranya yang unik terdengar tegas memerintah.

Detik itu juga Hera tersadar dan melangkah mundur, sementara Zeze kembali berdansa bersama Glen. Hera menyaksikan tarian di hadapannya itu dari jarak yang agak lebih jauh.

Ada satu hal yang tadi terlambat disadari olehnya. Glen... tersenyum. Setiap gerakannya, ayunan pedangnya, menciptakan semangat yang nyata, bukan dendam seperti yang biasanya ia tunjukkan. Laki-laki itu terlihat sangat menikmati tariannya dengan pasangan dansanya kali ini.

Glen dan Zeze kini benar-benar terkepung. Punggung mereka saling bertemu. Napas mereka yang terengah-engah saling bersahutan. Sepertinya hanya dengan kekuatan fisik saja belum cukup untuk membungkam pergerakan orang-orang ini.

"Kau masih punya tenaga?" Zeze bertanya di sela-sela napasnya. "Jika masih... buat mereka menjadi orang idiot sekarang. Lalu aku akan membakar mereka."

"Jangan bodoh. Jika aku melakukannya, aku harus dalam konsentrasi penuh. Apa kau pikir sekarang aku dapat berkonsentrasi? Terlebih lagi, maksimal aku hanya bisa menggunakannya pada 2 orang dalam satu waktu. Terlalu lama agar bisa kena semua."

Walau Zero bersyukur karena sekarang turun salju, lain halnya dengan Zeze. Hal ini malah mempersulitnya dalam mengeluarkan kekuatannya. Jika dalam musim-musim biasa saja Zeze akan kedinginan hebat setelah mengeluarkan dýnami-nya, apalagi saat musim dingin begini.

"Mulai lagi?" Zeze menyeringai lebar.

"Ayo," balas Glen, tanpa sadar juga ikut menyeringai. Sungguh, ia sangat menikmati dansanya dengan Zeze.

Tak ada satu pun dari keduanya yang pernah menyangka akan saling bekerja sama menuju satu tujuan seperti sekarang ini.

Bukankah takdir mempertemukan mereka untuk saling bertarung satu sama lain? Bukankah mereka seharusnya saling berkompetisi?

Dengan binar takjub terukir di sepasang manik matanya, Hera masih menikmati pertarungan tersebut dari kejauhan. Ia sudah terbiasa dengan kemampuan Glen, namun putri itu seketika menyita seluruh perhatiannya.

"Levelnya... berbeda."

Hera mengira ia akan dengan mudah begitu saja dapat disejajarkan sebagai pasangan dansa Glen.

Hera telah melewati berbagai latihan dan ujian yang memakan banyak tenaga dan pikiran hingga akhirnya ia dinobatkan sebagai Gafeus wanita termuda di angkatannya. Tapi itu semua bahkan belum bisa membuatnya mencapai level putri itu. Mendekatinya saja belum.

Untuk pertama kalinya dalam hidup, Hera... merasa kalah.
RECENTLY UPDATES