43 GAME
"...Jack meminta Iblis untuk memanjat pohon apel dan mengambilkannya untuknya. Sebagai gantinya, Jack menawarkan jiwanya untuk dimiliki sang Iblis nanti. Iblis pun mengambilkan buah apel tersebut dan melemparkannya pada Jack. Tapi setelahnya, Jack malah mengukir tanda salib di batang pohon tersebut hingga akhirnya Iblis pun terperangkap di atas pohon.
"Pada saat kematiannya, Jack tidak diterima di surga karena kelicikan dan berbagai tindak buruk yang dia lakukan selama hidup. Tapi Iblis juga menolak Jack untuk masuk neraka karena marah pernah ditipu olehnya. Akhirnya Jack tidak diterima dimana pun dan arwahnya bergentayangan di bumi dengan bekal bara api sebagai penerangnya.
"Jack menyimpan bara api tersebut di dalam sebuah labu dan sering menakuti orang-orang dengan sosok seorang pria yang sedang membawa lentera. Hal inilah yang kemudian membuatnya dikenal sebagai Jack O'Lantern.
"Masyarakat Irlandia membuat bentuk labu dengan ukiran mata dan tawa menyeringai sebagai bentuk refleksi wajah Jack O'Lantern. Mereka menaruh api di dalamnya dengan tujuan agar Jack tidak mengganggu mereka."
Mata Zeze sepenuhnya terfokus pada Zero yang sejak tadi berdongeng di sebelah kirinya. Sebelumnya laki-laki itu bilang akan menceritakannya kisah dari buku anak-anak sembari menunggu kaki mereka menemukan tempat yang menarik.
Dengan hanya berbekal penerangan bola yang sedari tadi melayang-layang di depan mereka, mereka berjalan menyusuri lorong demi lorong. Diameternya sedikit lebih kecil karena Zeze menarik sebagian energi panasnya kembali ke dalam tubuhnya.
Tak banyak graffiti yang mereka jumpai kali ini. Tempat ini juga jauh lebih bersih. Tapi justru itulah yang mengkhawatirkan. Semua ini menandakan bahwa mereka telah masuk terlalu jauh.
"Pada akhirnya, kejahatan maupun kebaikan tidak ada yang mau menerimanya." Suara Zeze menggema. "Dia tidak berbuat baik terhadap orang-orang baik, dan dia berbuat jahat terhadap orang jahat."
Mata Zero berbinar antusias ketika menoleh, "oh, kau tahu ceritanya?"
"Tentu saja, aku pernah membacanya ketika kecil dulu." Walaupun sebenarnya Kion yang membacakannya. "Itu satu dari beberapa versi. Masih banyak versi yang lainnya tapi aku lebih suka yang ini."
Zeze menoleh, "jadi siapa pemeran utamanya? Jack atau Iblis itu? Bukankah pemeran utama dalam suatu cerita itu selalu memiliki sifat baik dan benar?"
"Apakah itu sindiran?" Zero terkekeh lalu tersenyum memancing.
Zeze tak menjawab dan hanya tersenyum dengan pandangan menerawang ke depan.
"Yah... kau tidak bisa mengharapkan semua tokoh utama dari cerita yang kau baca itu selalu baik dan benar. Karena memang kenyataannya tidak sesederhana itu."
Zero tidak mendengar gumaman Zeze barusan.
"Selanjutnya adalah kisah tuan putri jutaan orang, Cinderella." Zero berbicara layaknya sedang menyambut seseorang. Ia terus bercerita sampai bagian klimaksnya.
"...Saat Sang Pangeran mencari-cari gadis yang ukuran kakinya pas dengan sepatu kaca yang ditinggalkan Cinderella, Sang Ibu Tiri kemudian memotong ibu jari kaki anaknya agar muat di sepatu. Kemudian Ibu Tiri juga memotong tumit anaknya yang satunya lagi agar pas di sepatu itu. Namun Sang Pangeran mengetahuinya karena darah yang merembes di kaki kedua anak gadis itu. Pada saat hari pernikahan Cinderella, ketiganya pergi untuk meminta maaf karena menyadari sebentar lagi Cinderella akan menjadi seorang ratu. Namun tiba-tiba seekor merpati mematuk kedua mata ibu dan saudari tiri Cinderella hingga buta."
Tak lama kemudian, dia lanjut berdongeng lagi. Tapi semua isi dongengnya adalah bad ending.
Mendengar hal-hal ini, Zeze jadi teringat suatu peristiwa di masa kecilnya. Kalau tidak salah, saat itu ia diajak Tera pergi ke sebuah bengkel untuk menemui teman lamanya. Ia lupa nama orang itu tapi ingat wajahnya.
Di tempat itulah pertama kali ia diperkenalkan dengan kartun, karena memang saat tinggal bersama orang tuanya, ia tidak menghabiskan masa kecilnya dengan benar. Semenjak bergabung dengan Énkavma, semenjak itulah ia merasakan hidup yang sesungguhnya.
Saat pergi ke tempat itu, Zeze masih berumur sekitar 9 tahun. Dan anak seusianya tentu saja sedang dalam tahap imajinasi yang tinggi, menganggap apa pun yang fiksi menjadi nyata. Sampai-sampai, orang di sekitarnya pun juga ikut menjadi korban khayalannya. Tera dan teman lamanya itu ia bombardir tentang dongeng dan cerita animasi disney yang baru saja ia tonton. Tapi ajaibnya, mereka berdua dengan sabar mendengarkan dan meladeninya. Padahal hal itu tidak lebih dari omong kosong anak-anak. Dan sekarang, ia rasa dirinya dapat memahami tingkah kekanakan Zero.
"Mau membantuku, Nona Partner?" Suara Zero membawanya kembali ke kenyataan.
Sempat bingung, tapi setelahnya Zeze dibuat mengerti ketika ia mendengar bunyi banyak langkah kaki di depannya.
Sebenarnya Zero tidak perlu bertanya, karena Zeze tidak punya alasan untuk menolak.
Mereka pun melesat ke depan. Ketika orang-orang itu telah tertangkap oleh matanya, tiba-tiba Zeze melihat Zero mengubah haluan, berbelok ke lorong lain di sebelah kirinya.
Lewat ekor matanya, Zeze melihat rombongan lain yang datang dari belokan lorong itu. Baiklah, yang di sana biar Zero yang urus. Ia hanya perlu fokus pada bagiannya.
Tanpa menunggu lama, Zeze menghilangkan bola apinya sehingga energinya kembali kepadanya. Pada saat seperti ini, ia harus menghemat tenaga. Siapa tahu sesuatu yang lebih besar menunggu mereka di depan sana.
Saat pria berkepala plontos penuh tato yang memimpin paling depan bersiap menembak, Zeze menelengkan kepala, sehingga peluru itu hanya berujung mengibaskan rambut yang menutupi telinga kirinya.
Melompat, Zeze mendaratkan sebelah kakinya di atas kepala plontos pria itu. Tapi ternyata, Zeze tidak memiliki keinginan untuk mengurusnya. Ia benar-benar mengabaikannya dan memilih turun.
Sembari turun, ia mengambil pistol lain di samping pinggang pria itu lalu melesat lagi ke depan, menghindari puluhan peluru yang tertuju langsung ke arahnya di lorong yang sempit ini.
Zeze memang sangat ahli dalam hal refleks, didukung karena latihan yang terfokus pada kakinya semenjak kecil. Namun Rajanya tidak menempatkannya pada posisi assassin karena kekuatan tangannya yang jauh lebih lemah dibanding anggota yang lainnya.
Saat mereka berhenti untuk mengambil pasokan peluru, Zeze menembaki mereka satu persatu dengan pistol yang diambilnya tadi. Semuanya mati bersimbah darah, hanya tersisa pria botak itu seorang.
Ketika Zeze berbalik menghadapnya, dia beringsut mundur dengan mata terbelalak penuh teror. Berbeda dengan Zeze yang hanya menatapnya datar dan penuh ketenangan.
"Jangan mundur. Ini sebagai balas budiku karena tadi Tuan telah meminjamkanku ini." Zeze memutar-mutar tempat pelatuk pistol itu dengan telunjuknya.
"Tuan... ingin ikut bersamaku ke penjara, bukan?" Ucapannya lebih terdengar sebagai tawaran dibanding pertanyaan.
"Ini lebih baik daripada harus langsung ke neraka." Kali ini terdengar seperti sebuah usulan.
Pria itu tidak menaruh perhatian pada ucapannya. Dia malah makin mundur di tiap detiknya, sebelum kemudian berbalik dan berlari menjauh.
Mata Zeze terpejam ketika ia menghela napas, "sayang sekali."
Bunyi benturan menyusul setelah ia selesai mengatakannya. Terkejut, Zeze membuka mata dan melihat kepala pria itu telah menancap ke dinding batu di sebelah kirinya, sementara tubuhnya lunglai, terbujur di tanah. Di saat yang sama, terdengar bunyi langkah kaki dari arah belokan lorong di sebelah kanannya.
Suaranya lama-kelamaan makin nyata. Menyipitkan mata, Zeze melihat Zero yang berjalan santai keluar dari lorong itu. Tangan kirinya terulur ke depan seperti habis melempar sesuatu.
Alis Zeze bertaut ketika ia mencoba berkonsentrasi untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Butuh waktu lama baginya untuk menyadari bahwa kepala itu terpaku di tembok oleh es berbentuk panah.
Mengagetkan saja! Kenapa orang itu tidak pernah bisa menjelaskan apa pun jika ingin melakukan sesuatu? Menahan rasa jengkelnya, Zeze berbalik dan berjalan lebih dulu.
"Ke mana saja kau selama ini?" Tanya Zero yang mengekor di belakangnya.
"Kenapa kau bertanya?"
"Menurutmu kenapa seseorang bisa bertanya?"
Bungkam, Zeze lebih memilih melanjutkan jalannya. Namun pada akhirnya ia menjawab juga beberapa saat kemudian. "Seseorang bertanya karena tidak tahu. Tapi kau sudah tahu, jadi untuk apa aku menjawab?"
"Roze." Zeze tidak menoleh maupun berhenti pada panggilannya. Ia akan mencoba mengabaikannya kali ini. Ia tidak ingin terus-menerus kalah darinya.
"Aku serius." Tapi nadanya tidak terdengar dibuat-buat.
Dengan satu helaan napas, akhirnya Zeze menyerah dan menoleh ke belakang. Ia melihat Zero mengacungkan selembar kertas putih kusut yang telah teremas-remas.
"Aku menemukannya di tangan salah satu dari mereka."
Menghentikan langkahnya, Zeze mendekat dan mengambil kertas itu dari Zero yang menyandarkan punggungnya ke tembok.
Sebelum membukanya, Zeze kembali menyalakan apinya. Dan keningnya mengernyit ketika yang dilihatnya hanyalah angka 0 dan 1 yang secara acak menghiasi kertas tersebut.
Zeze mengecek Zero di hadapannya. Laki-laki itu diam bagaikan patung. Matanya tak lepas mengamati wajah Zeze yang sedang kebingungan. Ekspresinya tetap datar dan tenang seperti biasanya, namun Zeze dapat menangkap sorot menilai di matanya.
Tak ingin larut terlalu dalam, Zeze kembali memfokuskan matanya pada angka-angka itu.
01010000 01001001 01000101 01000100 01010000 01001001 01010000 01000101 01010010 01001111 01000110 01001000 01000001 01001101 01000101 01001100 01001001 01001110
"Code binary." Alisnya bertaut ketika mengatakannya.
"Terjemahan? Tapi tidak ada sinyal di sini. Dan aku juga tidak punya aplikasinya," kata Zero.
"Tidak perlu." Zeze terlihat sedang berpikir keras. Kerutan di antara alisnya semakin lama semakin dalam.
"Jika diterjemahkan ke Ascii, berarti: 80 73 69 68 80 73 80 69 82 79 70 72 65 77 69 76 73 78." Untungnya Kaló pernah mengajarinya tentang hal-hal semacam ini. "itu berarti ditulis dalam huruf besar semua, 'PIEDPIPEROFHAMELIN'."
"Apa?" Tanya Zero.
"Kau sudah tahu, jangan mengetesku," tukas Zeze, kesal.
Zero terkekeh pelan, "ketahuan ya?"
"Harusnya aku yang bertanya di sini, apa itu Pied Piper Of Hamelin?" (Pied Piper Of Hamelin = Peniup seruling dari Hamelin)
"Dongeng dari Jerman. Dari abad ke... entahlah ke berapa," jawab Zero, menatap langit-langit.
Zeze mengernyit. "Apakah hari ini hari dongeng sedunia? Kenapa sejak tadi yang aku dengar terus-terusan dongeng." Dengan satu embusan napas, ia kembali berjalan. "Menjelaskannya nanti saja, ayo kita jalan lagi. Sekarang sudah tepat pukul 3 pagi."
"Oke."
"Menurutmu, apakah kita sedang diawasi?" Zeze bertanya setelah langkah Zero sejajar dengannya. "Isi obrolan kita kan sejak tadi dongeng. Bisa jadi surat ini memang untuk kita."
Cukup beralasan. Namun Zero berpikir hal lain. Ia malah berpikir bahwa ini adalah sebuah kode rahasia yang hanya mereka saja yang mengerti.
Tapi pertanyaan Zeze tadi memang harus dipertimbangkan, karena itulah ia bertanya, "CCTV?"
"Tidak ada." Zeze telah memastikannya tadi. Auranya tidak menangkap CCTV.
"Jika tidak ada, bagaimana caranya mereka mengawasi kita?"
"Entahlah, tapi apa maksud suratnya?"
Belum sempat Zero menjawab, mata mereka telah dimanjakan oleh pemandangan ruangan luas yang terlihat seperti milik dari seorang programmer profesional. Terdapat kurang lebih 20 komputer canggih yang beberapanya melayang di udara, menggantung di besi-besi.
Saat sedang sibuk mengedarkan pandangannya dengan perasaan takjub, mendadak Zeze mendengar bunyi seperti notifikasi handphone disusul oleh suara melengking mirip anak kecil yang biasanya dimiliki NPC.
["Selamat datang!"]
Zeze menoleh cepat ke arah punggung Zero. 'Apa yang dia lakukan!?' Keluhnya.
["Permainan akan dimulai! Namun sebelum itu, silakan masukan kata sandi."]
Layar komputer paling tengah sekarang menampilkan keyboard untuk mengetik.
Zero menoleh ke belakang, meminta saran Zeze. Ekspresinya masih saja datar seakan hal ini bukanlah masalah besar. Walau sempat sebal, Zeze membalasnya dengan mengacungkan kertas tadi.
Zero mengangguk dan mulai mengetik, menuliskan kata PIEDPIPEROFHAMELIN. Setelah ia menekan tulisan Go, layar itu berubah menjadi paragraf panjang yang sama sekali tidak ingin Zeze baca.
"Apa katanya?" Tuntut Zeze. Ia sama sekali tidak menyukai tulisan panjang seperti ini.
"Biasa saja, cuma isi dongengnya." Zero menjawab enteng.
Dongeng-dongeng-dongeng. "Ya, tapi apa?" Zeze menuntut lagi. Ia sama sekali tidak tahu isi dongeng itu. Seingatnya, Kion tidak pernah menceritakannya dongeng semacam ini.
Zero menghembuskan napas sebelum memulai. "Semua berawal ketika Kota Hamelin terkena bencana hama tikus. Suatu hari datang seorang pria berpakaian warna-warni yang mengaku bisa mengusir tikus-tikus itu asalkan Walikota berjanji akan membayarnya dengan imbalan yang tinggi. Setelah perjanjian disepakati, orang asing itu memainkan seruling ajaibnya.
"Suara serulingnya memikat para tikus di setiap rumah untuk mengikutinya ke sungai dan tenggelam di sana. Setelah usahanya berhasil, ternyata Walikota tidak memberi imbalan sesuai seperti yang dijanjikan.
"Si peniup seruling marah lalu akhirnya kembali meniup serulingnya lagi, tapi kali ini membawa seluruh anak di Kota Hamelin. Mereka diajak ke sebuah gua dan tidak pernah terlihat lagi."
"Omong kosong apa lagi ini?" Gerutu Zeze.
"Memangnya ada dongeng yang masuk akal?"
Zeze meniup poninya dengan bibir bawahnya kemudian berbalik pergi. Sayangnya belum sempat melangkah jauh, komputer itu bersuara lagi.
["Baik, permainan dimulai!"]
"Roze, kembali ke sini." Suara Zero terdengar mendesak. Baru kali ini Zeze mendengar nada seperti itu darinya.
Walau ragu, Zeze menghentikan langkahnya dan berbalik, tapi masih tak kunjung mendekatinya. Tiba-tiba terdengar bunyi cicitan yang tak salah lagi berasal dari tikus. Bunyi itu makin lama makin keras, bukan hanya karena semakin dekat, tapi juga semakin banyak!
'Sialan.'
Ratusan, tidak, bahkan ribuan tikus keluar dari lubang-lubang yang sama sekali tidak mereka sadari, bergerak seperti semut yang siap menyerbu gula. Mereka terlihat saling tindih-menindih agar bisa keluar dari lubang-lubang itu. Seakan ada sesuatu yang menyebabkan mereka tidak mau berada di dalam sana.
Zeze merasakan tangannya ditarik ketika ia tengah bersiap mengeluarkan dýnami-nya. Saat membuka mata, ia telah berada di dalam pelukan Zero. Laki-laki itu memaksanya membenamkan wajahnya di dada bidangnya yang kokoh.
"Jangan menggunakannya. Di sini ada komputer," katanya. Suaranya yang tenang menular pada Zeze.
Benar, kenapa Zeze tidak menyadarinya sebelumnya? Jika ia membakar tikus-tikus itu, komputer bisa saja meledak. Apakah mungkin karena ia terlalu takut terhadap tikus makanya jadi tidak dapat berpikir jernih seperti ini?
Lalu sekarang Zero mau apa? Apakah cukup salju-salju di bawah kakinya itu untuk membekukan mereka semua?
Pertanyaan tak terucapnya barusan terjawab oleh suara gemuruh yang datang dari lorong yang semula mereka lalui. Mengintip, Zeze melihat lautan salju menyerbu masuk, menerjang semua tikus bagai gelombang tsunami, kemudian membentuk pusaran dan menghisap mereka semua ke satu titik.
Lama-kelamaan, pusaran itu kian meninggi, sehingga membuatnya terlihat seperti tornado. Zeze melihat dari balik punggung Zero dengan pandangan takjub. Tak lama kemudian, Zeze melihat tornado itu roboh begitu saja, menjatuhkan ribuan tikus yang kini telah terbujur kaku.
Sebagian bahkan ada yang pecah tercerai berai seperti pajangan. Ada beberapa pecahannya yang tersebar sampai ke kaki Zeze. Dengan sigap, Zero segera menendangnya sebelum Zeze sadar ada tikus di dekat kakinya.
Terdengar bunyi notifikasi itu lagi.
["Selamat! Tikus-tikus telah berhasil tenggelam!"]
Zero menatap dingin komputer itu, seakan berniat membekukannya. Ketika merasakan Zeze mencoba menguraikan pelukan mereka, air mukanya langsung kembali tenang seperti semula.
"Pilih Go. Si Sialan itu... akan kubuat dia membayarnya." Zeze menggeram, setengah bergetar.
Ia paling anti dengan empat binatang yaitu babi, sapi, ular dan tikus. Babi dan sapi karena dia alergi dengan mereka, sementara ular dan tikus karena mereka membuatnya jijik.
Mendengar itu, Zero menaikkan kedua alisnya. Reaksi Zeze kali ini di luar bayangannya. Akhirnya ia menuruti kemauannya dan memilih Go. Tak sampai sedetik, layar itu langsung merespons
Sambil memasang kembali topinya, Zeze mendengus panjang. Rasanya ia ingin sekali menendang bokong siapa pun orang ini.
"Pada saat kematiannya, Jack tidak diterima di surga karena kelicikan dan berbagai tindak buruk yang dia lakukan selama hidup. Tapi Iblis juga menolak Jack untuk masuk neraka karena marah pernah ditipu olehnya. Akhirnya Jack tidak diterima dimana pun dan arwahnya bergentayangan di bumi dengan bekal bara api sebagai penerangnya.
"Jack menyimpan bara api tersebut di dalam sebuah labu dan sering menakuti orang-orang dengan sosok seorang pria yang sedang membawa lentera. Hal inilah yang kemudian membuatnya dikenal sebagai Jack O'Lantern.
"Masyarakat Irlandia membuat bentuk labu dengan ukiran mata dan tawa menyeringai sebagai bentuk refleksi wajah Jack O'Lantern. Mereka menaruh api di dalamnya dengan tujuan agar Jack tidak mengganggu mereka."
Mata Zeze sepenuhnya terfokus pada Zero yang sejak tadi berdongeng di sebelah kirinya. Sebelumnya laki-laki itu bilang akan menceritakannya kisah dari buku anak-anak sembari menunggu kaki mereka menemukan tempat yang menarik.
Dengan hanya berbekal penerangan bola yang sedari tadi melayang-layang di depan mereka, mereka berjalan menyusuri lorong demi lorong. Diameternya sedikit lebih kecil karena Zeze menarik sebagian energi panasnya kembali ke dalam tubuhnya.
Tak banyak graffiti yang mereka jumpai kali ini. Tempat ini juga jauh lebih bersih. Tapi justru itulah yang mengkhawatirkan. Semua ini menandakan bahwa mereka telah masuk terlalu jauh.
"Pada akhirnya, kejahatan maupun kebaikan tidak ada yang mau menerimanya." Suara Zeze menggema. "Dia tidak berbuat baik terhadap orang-orang baik, dan dia berbuat jahat terhadap orang jahat."
Mata Zero berbinar antusias ketika menoleh, "oh, kau tahu ceritanya?"
"Tentu saja, aku pernah membacanya ketika kecil dulu." Walaupun sebenarnya Kion yang membacakannya. "Itu satu dari beberapa versi. Masih banyak versi yang lainnya tapi aku lebih suka yang ini."
Zeze menoleh, "jadi siapa pemeran utamanya? Jack atau Iblis itu? Bukankah pemeran utama dalam suatu cerita itu selalu memiliki sifat baik dan benar?"
"Apakah itu sindiran?" Zero terkekeh lalu tersenyum memancing.
Zeze tak menjawab dan hanya tersenyum dengan pandangan menerawang ke depan.
"Yah... kau tidak bisa mengharapkan semua tokoh utama dari cerita yang kau baca itu selalu baik dan benar. Karena memang kenyataannya tidak sesederhana itu."
Zero tidak mendengar gumaman Zeze barusan.
"Selanjutnya adalah kisah tuan putri jutaan orang, Cinderella." Zero berbicara layaknya sedang menyambut seseorang. Ia terus bercerita sampai bagian klimaksnya.
"...Saat Sang Pangeran mencari-cari gadis yang ukuran kakinya pas dengan sepatu kaca yang ditinggalkan Cinderella, Sang Ibu Tiri kemudian memotong ibu jari kaki anaknya agar muat di sepatu. Kemudian Ibu Tiri juga memotong tumit anaknya yang satunya lagi agar pas di sepatu itu. Namun Sang Pangeran mengetahuinya karena darah yang merembes di kaki kedua anak gadis itu. Pada saat hari pernikahan Cinderella, ketiganya pergi untuk meminta maaf karena menyadari sebentar lagi Cinderella akan menjadi seorang ratu. Namun tiba-tiba seekor merpati mematuk kedua mata ibu dan saudari tiri Cinderella hingga buta."
Tak lama kemudian, dia lanjut berdongeng lagi. Tapi semua isi dongengnya adalah bad ending.
Mendengar hal-hal ini, Zeze jadi teringat suatu peristiwa di masa kecilnya. Kalau tidak salah, saat itu ia diajak Tera pergi ke sebuah bengkel untuk menemui teman lamanya. Ia lupa nama orang itu tapi ingat wajahnya.
Di tempat itulah pertama kali ia diperkenalkan dengan kartun, karena memang saat tinggal bersama orang tuanya, ia tidak menghabiskan masa kecilnya dengan benar. Semenjak bergabung dengan Énkavma, semenjak itulah ia merasakan hidup yang sesungguhnya.
Saat pergi ke tempat itu, Zeze masih berumur sekitar 9 tahun. Dan anak seusianya tentu saja sedang dalam tahap imajinasi yang tinggi, menganggap apa pun yang fiksi menjadi nyata. Sampai-sampai, orang di sekitarnya pun juga ikut menjadi korban khayalannya. Tera dan teman lamanya itu ia bombardir tentang dongeng dan cerita animasi disney yang baru saja ia tonton. Tapi ajaibnya, mereka berdua dengan sabar mendengarkan dan meladeninya. Padahal hal itu tidak lebih dari omong kosong anak-anak. Dan sekarang, ia rasa dirinya dapat memahami tingkah kekanakan Zero.
"Mau membantuku, Nona Partner?" Suara Zero membawanya kembali ke kenyataan.
Sempat bingung, tapi setelahnya Zeze dibuat mengerti ketika ia mendengar bunyi banyak langkah kaki di depannya.
Sebenarnya Zero tidak perlu bertanya, karena Zeze tidak punya alasan untuk menolak.
Mereka pun melesat ke depan. Ketika orang-orang itu telah tertangkap oleh matanya, tiba-tiba Zeze melihat Zero mengubah haluan, berbelok ke lorong lain di sebelah kirinya.
Lewat ekor matanya, Zeze melihat rombongan lain yang datang dari belokan lorong itu. Baiklah, yang di sana biar Zero yang urus. Ia hanya perlu fokus pada bagiannya.
Tanpa menunggu lama, Zeze menghilangkan bola apinya sehingga energinya kembali kepadanya. Pada saat seperti ini, ia harus menghemat tenaga. Siapa tahu sesuatu yang lebih besar menunggu mereka di depan sana.
Saat pria berkepala plontos penuh tato yang memimpin paling depan bersiap menembak, Zeze menelengkan kepala, sehingga peluru itu hanya berujung mengibaskan rambut yang menutupi telinga kirinya.
Melompat, Zeze mendaratkan sebelah kakinya di atas kepala plontos pria itu. Tapi ternyata, Zeze tidak memiliki keinginan untuk mengurusnya. Ia benar-benar mengabaikannya dan memilih turun.
Sembari turun, ia mengambil pistol lain di samping pinggang pria itu lalu melesat lagi ke depan, menghindari puluhan peluru yang tertuju langsung ke arahnya di lorong yang sempit ini.
Zeze memang sangat ahli dalam hal refleks, didukung karena latihan yang terfokus pada kakinya semenjak kecil. Namun Rajanya tidak menempatkannya pada posisi assassin karena kekuatan tangannya yang jauh lebih lemah dibanding anggota yang lainnya.
Saat mereka berhenti untuk mengambil pasokan peluru, Zeze menembaki mereka satu persatu dengan pistol yang diambilnya tadi. Semuanya mati bersimbah darah, hanya tersisa pria botak itu seorang.
Ketika Zeze berbalik menghadapnya, dia beringsut mundur dengan mata terbelalak penuh teror. Berbeda dengan Zeze yang hanya menatapnya datar dan penuh ketenangan.
"Jangan mundur. Ini sebagai balas budiku karena tadi Tuan telah meminjamkanku ini." Zeze memutar-mutar tempat pelatuk pistol itu dengan telunjuknya.
"Tuan... ingin ikut bersamaku ke penjara, bukan?" Ucapannya lebih terdengar sebagai tawaran dibanding pertanyaan.
"Ini lebih baik daripada harus langsung ke neraka." Kali ini terdengar seperti sebuah usulan.
Pria itu tidak menaruh perhatian pada ucapannya. Dia malah makin mundur di tiap detiknya, sebelum kemudian berbalik dan berlari menjauh.
Mata Zeze terpejam ketika ia menghela napas, "sayang sekali."
Bunyi benturan menyusul setelah ia selesai mengatakannya. Terkejut, Zeze membuka mata dan melihat kepala pria itu telah menancap ke dinding batu di sebelah kirinya, sementara tubuhnya lunglai, terbujur di tanah. Di saat yang sama, terdengar bunyi langkah kaki dari arah belokan lorong di sebelah kanannya.
Suaranya lama-kelamaan makin nyata. Menyipitkan mata, Zeze melihat Zero yang berjalan santai keluar dari lorong itu. Tangan kirinya terulur ke depan seperti habis melempar sesuatu.
Alis Zeze bertaut ketika ia mencoba berkonsentrasi untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Butuh waktu lama baginya untuk menyadari bahwa kepala itu terpaku di tembok oleh es berbentuk panah.
Mengagetkan saja! Kenapa orang itu tidak pernah bisa menjelaskan apa pun jika ingin melakukan sesuatu? Menahan rasa jengkelnya, Zeze berbalik dan berjalan lebih dulu.
"Ke mana saja kau selama ini?" Tanya Zero yang mengekor di belakangnya.
"Kenapa kau bertanya?"
"Menurutmu kenapa seseorang bisa bertanya?"
Bungkam, Zeze lebih memilih melanjutkan jalannya. Namun pada akhirnya ia menjawab juga beberapa saat kemudian. "Seseorang bertanya karena tidak tahu. Tapi kau sudah tahu, jadi untuk apa aku menjawab?"
"Roze." Zeze tidak menoleh maupun berhenti pada panggilannya. Ia akan mencoba mengabaikannya kali ini. Ia tidak ingin terus-menerus kalah darinya.
"Aku serius." Tapi nadanya tidak terdengar dibuat-buat.
Dengan satu helaan napas, akhirnya Zeze menyerah dan menoleh ke belakang. Ia melihat Zero mengacungkan selembar kertas putih kusut yang telah teremas-remas.
"Aku menemukannya di tangan salah satu dari mereka."
Menghentikan langkahnya, Zeze mendekat dan mengambil kertas itu dari Zero yang menyandarkan punggungnya ke tembok.
Sebelum membukanya, Zeze kembali menyalakan apinya. Dan keningnya mengernyit ketika yang dilihatnya hanyalah angka 0 dan 1 yang secara acak menghiasi kertas tersebut.
Zeze mengecek Zero di hadapannya. Laki-laki itu diam bagaikan patung. Matanya tak lepas mengamati wajah Zeze yang sedang kebingungan. Ekspresinya tetap datar dan tenang seperti biasanya, namun Zeze dapat menangkap sorot menilai di matanya.
Tak ingin larut terlalu dalam, Zeze kembali memfokuskan matanya pada angka-angka itu.
01010000 01001001 01000101 01000100 01010000 01001001 01010000 01000101 01010010 01001111 01000110 01001000 01000001 01001101 01000101 01001100 01001001 01001110
"Code binary." Alisnya bertaut ketika mengatakannya.
"Terjemahan? Tapi tidak ada sinyal di sini. Dan aku juga tidak punya aplikasinya," kata Zero.
"Tidak perlu." Zeze terlihat sedang berpikir keras. Kerutan di antara alisnya semakin lama semakin dalam.
"Jika diterjemahkan ke Ascii, berarti: 80 73 69 68 80 73 80 69 82 79 70 72 65 77 69 76 73 78." Untungnya Kaló pernah mengajarinya tentang hal-hal semacam ini. "itu berarti ditulis dalam huruf besar semua, 'PIEDPIPEROFHAMELIN'."
"Apa?" Tanya Zero.
"Kau sudah tahu, jangan mengetesku," tukas Zeze, kesal.
Zero terkekeh pelan, "ketahuan ya?"
"Harusnya aku yang bertanya di sini, apa itu Pied Piper Of Hamelin?" (Pied Piper Of Hamelin = Peniup seruling dari Hamelin)
"Dongeng dari Jerman. Dari abad ke... entahlah ke berapa," jawab Zero, menatap langit-langit.
Zeze mengernyit. "Apakah hari ini hari dongeng sedunia? Kenapa sejak tadi yang aku dengar terus-terusan dongeng." Dengan satu embusan napas, ia kembali berjalan. "Menjelaskannya nanti saja, ayo kita jalan lagi. Sekarang sudah tepat pukul 3 pagi."
"Oke."
"Menurutmu, apakah kita sedang diawasi?" Zeze bertanya setelah langkah Zero sejajar dengannya. "Isi obrolan kita kan sejak tadi dongeng. Bisa jadi surat ini memang untuk kita."
Cukup beralasan. Namun Zero berpikir hal lain. Ia malah berpikir bahwa ini adalah sebuah kode rahasia yang hanya mereka saja yang mengerti.
Tapi pertanyaan Zeze tadi memang harus dipertimbangkan, karena itulah ia bertanya, "CCTV?"
"Tidak ada." Zeze telah memastikannya tadi. Auranya tidak menangkap CCTV.
"Jika tidak ada, bagaimana caranya mereka mengawasi kita?"
"Entahlah, tapi apa maksud suratnya?"
Belum sempat Zero menjawab, mata mereka telah dimanjakan oleh pemandangan ruangan luas yang terlihat seperti milik dari seorang programmer profesional. Terdapat kurang lebih 20 komputer canggih yang beberapanya melayang di udara, menggantung di besi-besi.
Saat sedang sibuk mengedarkan pandangannya dengan perasaan takjub, mendadak Zeze mendengar bunyi seperti notifikasi handphone disusul oleh suara melengking mirip anak kecil yang biasanya dimiliki NPC.
["Selamat datang!"]
Zeze menoleh cepat ke arah punggung Zero. 'Apa yang dia lakukan!?' Keluhnya.
["Permainan akan dimulai! Namun sebelum itu, silakan masukan kata sandi."]
Layar komputer paling tengah sekarang menampilkan keyboard untuk mengetik.
Zero menoleh ke belakang, meminta saran Zeze. Ekspresinya masih saja datar seakan hal ini bukanlah masalah besar. Walau sempat sebal, Zeze membalasnya dengan mengacungkan kertas tadi.
Zero mengangguk dan mulai mengetik, menuliskan kata PIEDPIPEROFHAMELIN. Setelah ia menekan tulisan Go, layar itu berubah menjadi paragraf panjang yang sama sekali tidak ingin Zeze baca.
"Apa katanya?" Tuntut Zeze. Ia sama sekali tidak menyukai tulisan panjang seperti ini.
"Biasa saja, cuma isi dongengnya." Zero menjawab enteng.
Dongeng-dongeng-dongeng. "Ya, tapi apa?" Zeze menuntut lagi. Ia sama sekali tidak tahu isi dongeng itu. Seingatnya, Kion tidak pernah menceritakannya dongeng semacam ini.
Zero menghembuskan napas sebelum memulai. "Semua berawal ketika Kota Hamelin terkena bencana hama tikus. Suatu hari datang seorang pria berpakaian warna-warni yang mengaku bisa mengusir tikus-tikus itu asalkan Walikota berjanji akan membayarnya dengan imbalan yang tinggi. Setelah perjanjian disepakati, orang asing itu memainkan seruling ajaibnya.
"Suara serulingnya memikat para tikus di setiap rumah untuk mengikutinya ke sungai dan tenggelam di sana. Setelah usahanya berhasil, ternyata Walikota tidak memberi imbalan sesuai seperti yang dijanjikan.
"Si peniup seruling marah lalu akhirnya kembali meniup serulingnya lagi, tapi kali ini membawa seluruh anak di Kota Hamelin. Mereka diajak ke sebuah gua dan tidak pernah terlihat lagi."
"Omong kosong apa lagi ini?" Gerutu Zeze.
"Memangnya ada dongeng yang masuk akal?"
Zeze meniup poninya dengan bibir bawahnya kemudian berbalik pergi. Sayangnya belum sempat melangkah jauh, komputer itu bersuara lagi.
["Baik, permainan dimulai!"]
"Roze, kembali ke sini." Suara Zero terdengar mendesak. Baru kali ini Zeze mendengar nada seperti itu darinya.
Walau ragu, Zeze menghentikan langkahnya dan berbalik, tapi masih tak kunjung mendekatinya. Tiba-tiba terdengar bunyi cicitan yang tak salah lagi berasal dari tikus. Bunyi itu makin lama makin keras, bukan hanya karena semakin dekat, tapi juga semakin banyak!
'Sialan.'
Ratusan, tidak, bahkan ribuan tikus keluar dari lubang-lubang yang sama sekali tidak mereka sadari, bergerak seperti semut yang siap menyerbu gula. Mereka terlihat saling tindih-menindih agar bisa keluar dari lubang-lubang itu. Seakan ada sesuatu yang menyebabkan mereka tidak mau berada di dalam sana.
Zeze merasakan tangannya ditarik ketika ia tengah bersiap mengeluarkan dýnami-nya. Saat membuka mata, ia telah berada di dalam pelukan Zero. Laki-laki itu memaksanya membenamkan wajahnya di dada bidangnya yang kokoh.
"Jangan menggunakannya. Di sini ada komputer," katanya. Suaranya yang tenang menular pada Zeze.
Benar, kenapa Zeze tidak menyadarinya sebelumnya? Jika ia membakar tikus-tikus itu, komputer bisa saja meledak. Apakah mungkin karena ia terlalu takut terhadap tikus makanya jadi tidak dapat berpikir jernih seperti ini?
Lalu sekarang Zero mau apa? Apakah cukup salju-salju di bawah kakinya itu untuk membekukan mereka semua?
Pertanyaan tak terucapnya barusan terjawab oleh suara gemuruh yang datang dari lorong yang semula mereka lalui. Mengintip, Zeze melihat lautan salju menyerbu masuk, menerjang semua tikus bagai gelombang tsunami, kemudian membentuk pusaran dan menghisap mereka semua ke satu titik.
Lama-kelamaan, pusaran itu kian meninggi, sehingga membuatnya terlihat seperti tornado. Zeze melihat dari balik punggung Zero dengan pandangan takjub. Tak lama kemudian, Zeze melihat tornado itu roboh begitu saja, menjatuhkan ribuan tikus yang kini telah terbujur kaku.
Sebagian bahkan ada yang pecah tercerai berai seperti pajangan. Ada beberapa pecahannya yang tersebar sampai ke kaki Zeze. Dengan sigap, Zero segera menendangnya sebelum Zeze sadar ada tikus di dekat kakinya.
Terdengar bunyi notifikasi itu lagi.
["Selamat! Tikus-tikus telah berhasil tenggelam!"]
Zero menatap dingin komputer itu, seakan berniat membekukannya. Ketika merasakan Zeze mencoba menguraikan pelukan mereka, air mukanya langsung kembali tenang seperti semula.
"Pilih Go. Si Sialan itu... akan kubuat dia membayarnya." Zeze menggeram, setengah bergetar.
Ia paling anti dengan empat binatang yaitu babi, sapi, ular dan tikus. Babi dan sapi karena dia alergi dengan mereka, sementara ular dan tikus karena mereka membuatnya jijik.
Mendengar itu, Zero menaikkan kedua alisnya. Reaksi Zeze kali ini di luar bayangannya. Akhirnya ia menuruti kemauannya dan memilih Go. Tak sampai sedetik, layar itu langsung merespons
Sambil memasang kembali topinya, Zeze mendengus panjang. Rasanya ia ingin sekali menendang bokong siapa pun orang ini.