42 TRICK OR TREAT?

Zero melanjutkan jalan dengan santainya seperti tak pernah terjadi apa-apa. Bahkan kakinya kini tengah menginjak tubuh beku itu sebagai tangga untuk mencapai puncak timbunan sampah barang elektronik.

Berbeda dengan Zeze yang sejak tadi malah kembali bergerak gelisah. "Turunkan aku." Akhirnya setelah beberapa kali meneguk saliva, suaranya keluar juga.

Tapi detik itu juga ia langsung merasa menyesal dan mengutuk dirinya sendiri karena permintaannya barusan justru membuat Zero melihat ke arahnya. Walau tak ada ekspresi di wajah Zero, Zeze tak bisa menelan perasaan gelisahnya.

Tanpa disangka, Zero benar-benar berhenti dan menurunkannya dengan perlahan. Setelah Zeze berdiri, Zero tak langsung melepasnya begitu saja. Dia menunggu sampai Zeze benar-benar seimbang, setelah itu barulah dia melepaskan pundaknya.

Perbedaan tinggi mereka begitu terlihat. Saat kecil dulu mereka tumbuh dan tinggi bersama, namun sekarang puncak kepala Zeze hanya mencapai lehernya.

Laki-laki itu masih mengenakan gaya pakaian simpel seperti saat kecil dulu. Atasannya kaus abu-abu berlengan panjang dipadu dengan bawahan celana kasual berwarna hitam. Dia masih saja terlihat seperti seorang homeless.

Dua pasang mata berwarna biru itu saling mengunci dalam diam. Pada akhirnya, Zero-lah yang pertama memecah keheningan, "jadi... ingin kujawab yang mana?"

Zeze tidak dapat mengerti maksud pertanyaan itu.

"Oke, kujawab satu per satu saja." Zero menghembuskan napas. "Ayah menyuruhku ke sini karena kudengar, Jack O'Lantern membuat masalah terang-terangan di kota ini," jelasnya. "Ah, Jack O'Lantern itu sindikat mafia yang ada di kota ini, ngomong-ngomong. Seperti dongeng dari Irlandia ya? Jack O'Lantern... kau tahu ceritanya, Ze?"

Zeze membuka bibirnya, tapi tak kunjung bersuara. Ternyata mereka itu benar mafia seperti yang diduganya. Pantas saja Zero sekarang berada di sini. Namun anehnya tidak ada yang menemaninya. Apakah dia sepercaya diri itu bisa mengatasi mereka semua sendirian?

Zero terkekeh melihat ekspresinya, "apa pun yang ada di pikiranmu itu semuanya tidak benar. Sebenarnya aku bersama Lucas dan Charlotte. Tapi ketika aku melihatmu, aku menyuruh mereka pergi."

Karena telah mengetahui apa yang terjadi, sikap Zeze mulai terlihat lebih santai. Ayahnya pasti akan mengirim seseorang jika situasi sudah mulai memburuk. Itu wajar saja, karena yang terkena imbasnya bukan hanya satu pihak saja, tapi juga merambat ke pihak lain. Besar kemungkinan rantai yang saling mengikat di antara mereka akan terbongkar. Pada akhirnya, ayahnya itu hanya ingin menyelamatkan dirinya sendiri.

Dan sekarang dia mengirim Zero. Dilihat dari kemampuannya tadi, itu adalah keputusan yang tepat. Terlebih lagi, Zero bukanlah tipe orang yang akan mengikuti perintah. Jika dia bersedia ikut campur dalam masalah yang sama sekali tidak ada hubungan dengan dirinya sendiri, maka itu pastilah karena keinginan Sang Ayah.

Namun ada satu lubang di kata-katanya yang tidak Zeze mengerti. Jika dia menyuruh Lucas dan Charlotte pergi ketika melihatnya, bukankah itu berarti...

"Karena kau yang akan membantuku."

Seperti yang Zeze duga.

Sama seperti Zero, Zeze juga tidak suka jika bergerak di bawah perintah orang lain. Ia hanya akan melakukannya jika orang itu adalah seseorang yang diakui dan dipercayainya.

Dan sekarang Zero menginginkannya untuk bergerak di bawah perintah seseorang yang... yang dibencinya. Zeze telah bersumpah pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan pernah mengikuti keinginan mereka lagi. Ia tidak akan menjadi boneka mereka lagi. Ia akan menjalani hidup sesuai kata hatinya.

"Aku tahu..." Zero menghembuskan napas, "kau ke sini juga karena ada urusan dengan mereka."

Memang benar, tapi itu beberapa menit yang lalu. Setelah Zero memberitahu siapa orang-orang ini, tersirat keraguan di matanya. Zeze tidak bodoh, tentunya ia tahu bahwa menyerang sendirian ke sarang macan sama saja dengan mengantar nyawa secara cuma-cuma. Terlebih lagi jika beberapa pengguna dýnami dari pihak mereka sudah ada yang memiliki Simathyst.

Ia harus meminta bantuan setidaknya assassin seperti Obi atau Juni. Atau paling tidak defender yang akan melindunginya seperti Norofi. Sebelumnya ia sudah mengirim pesan kepada Kai. Tapi jangankan dibalas, dibaca saja tidak.

Awalnya ia ingin mengikis mereka satu per satu. Tapi jika begini caranya, ia cuma akan mencari informasi tentang mereka, sebagaimana seorang seeker bekerja.

"Kau akan membantuku, Roze." Zero mengatakan seenaknya. Sorot matanya yang mengeras mengisyaratkan tidak menerima penolakan.

Dia memang otoriter seperti biasanya, dan Zeze tidak menyukai itu.

"...oke." Pada akhirnya Zeze memang tidak sanggup menolaknya. Ia menjawab lirih sekali, sampai bibirnya hanya terlihat seperti bergerak asal. Saat ini ia telah melanggar sumpahnya sendiri.

Zero tersenyum puas. Ia tahu apa pun akan Zeze lakukan untuk Énkavma bahkan jika itu berarti menjadi anjing sekalipun.

Mereka berdua melangkah beriringan hingga sebuah rumah besar yang dindingnya telah mengelupas dan menguning terlihat di depan mata. Gerbang hitamnya yang telah berkarat sedikit terbuka, seakan mengundang jiwa-jiwa untuk merasakan suasana mencekam penuh teror di dalamnya.

Dalam perjalanan menuju gerbang, Zero berbicara lirih, "aku baik-baik saja dan belum makan."

Zeze meliriknya lewat ekor mata tanpa berniat menanggapi. Ia tahu maksud dari kalimat absurd itu, yang tak lain adalah jawaban dari pertanyaan yang Zero buat sendiri. Sebenarnya, kalau boleh jujur, Zeze masa bodo tentang keadaannya.

Mereka berhenti di hadapan gerbang rapuh itu. Sebelumnya Zeze telah memastikan bahwa tidak ada CCTV di sekitar rumah angker ini.

Bersamaan dengan tangannya yang mulai meraih gerbang usang itu, suara Zero tiba-tiba terdengar, "trick or treat?"

Suaranya tidak begitu keras maupun pelan, namun sukses membuat Zeze menghentikan tangannya.

Sebenarnya apa mau orang itu? Jika ingin menghabisi mereka, maka lakukan dengan cepat, jangan malah mengundang sang macan datang seperti ini.

"Bukankah kita harus mengatakan itu ketika berkunjung ke rumah seseorang?"

Zeze tak perlu berbalik untuk meliput ekspresinya yang tentunya datar bagaikan aspal. Wajahnya sama sekali tidak cocok dengan kata-katanya yang seperti anak kecil itu.

Zeze mendesah, "itu untuk hari Halloween, dan sekarang bukan hari Halloween." Sebenarnya ia juga bingung mengapa ia membuang waktu untuk meladeninya. Namun begitulah Zero, tidak pernah bisa diabaikan.

Sayangnya Zero sama sekali tidak menaruh perhatian pada penjelasannya. Saat Zeze mendorong gerbang itu sampai benar-benar terbuka, dia malah melanjutkan, "orang-orang mengatakan hal itu agar diberi permen. Jika tidak, mereka akan menjahili pemilik rumah dengan menakut-nakutinya..."

Zero menyusul dan berjalan di sisi kirinya, "jadi, Ze. Mengapa kita tidak mengatakan hal yang sama?"

Alis Zeze bertaut, antara bingung dan jengah ketika ia menoleh.

"Lagi pula, sepertinya di sini banyak permen yang manis," lanjut Zero. Meski suaranya bernada, ekspresinya masih saja tidak berubah.

Suasana tenang namun menyeramkan langsung menyambut mereka. Rumah besar itu terlihat lebih kumuh jika didekati seperti ini. Dindingnya dipenuhi dengan graffiti acak-acakan dan pintu kembar berwarna hitamnya tertutup rapat dengan gagang yang menggantung seperti mau putus. Di terasnya terdapat sebuah Jack O'Lantern, labu menyala yang tersenyum jahat, seperti dekorasi Halloween pada umumnya.

Walau arsitekturnya bagus dan elegan, tetapi cat yang mengelupas serta sarang laba-laba yang menempel menambah kesannya seperti rumah hantu atau kastil drakula seperti di film-film. Hanya perlu ditambah efek petir, tempat ini cocok untuk dijadikan lokasi syuting.

Setelah puas menyelami pemandangan di sekitarnya, Zeze menjawab tak acuh, "sayangnya aku lebih suka menakut-nakuti orang daripada mendapat permen."

Senyum membingkai wajah Zero. Tapi sayangnya Zeze tidak melihatnya. Tak sampai tiga detik senyum itu terbit, sesuatu mengalihkan perhatiannya. Senyum di wajahnya terkikis ketika ia menoleh ke kiri.

Menyadari perubahan pada tingkahnya, Zeze pun bertanya, "ada apa?"

Langkah Zero terhenti yang membuat Zeze juga ikut berhenti. "Benar, kita beruntung kali ini karena sedang turun salju." Zero menjawab misterius tanpa melihatnya. "Ini kah alasan mengapa kali ini aku yang dikirim Ayah?"

Tidak paham, Zeze mengangkat sebelah alisnya dengan tatapan penuh tanya. Kemudian ia mencoba memfokuskan matanya ke titik yang sejak tadi di pandangi Zero. Terlihat seperti sesuatu menggeliat di bawah lapisan salju.

'Atau mungkin, lapisan salju itu sendiri?'

Benar, yang bergerak itu adalah salju itu sendiri. Kumpulan salju itu bergerak seperti binatang melata dan tiba-tiba saja terperosok ke bawah.

Butuh waktu lama bagi Zeze untuk menyadari bahwa salju tersebut terperosok karena terdapat lubang yang menelannya.

"Jalan rahasia," Zero bergumam.

Salju yang tersisa berhenti bergerak. Ternyata sejak tadi Zero memata-matai dataran di bawah kaki mereka dengan salju.

Ketika Zero berjalan mendekati lubang itu, Zeze mengekorinya dengan ragu. Sebenarnya Zeze kurang menyukai ide ini. Entah mengapa semuanya terasa ganjil, untuk apa jalan rahasia tanpa tutup dibiarkan begitu saja. 'Ini malah terlihat seperti...'

"Pancingan." Tanpa sadar Zeze mengucapkannya.

Setelah sampai di bibir lubang, Zero menjulurkan kepalanya. Gelap dan hanya muat dimasuki satu orang saja. Lubang itu mendadak menjadi terang karena secercah cahaya berwarna oranye.

Zero mengangkat kepalanya dan melihat Zeze tengah mengangkat telunjuk dengan api yang menari-nari di ujungnya. Senyum yang tak dapat dijelaskan mengembang di wajah Zero. Dan lagi, Zeze tidak melihatnya.

Mereka lantas berjongkok untuk dapat melihat dengan jelas. Dan terlihatlah sebuah tangga menurun yang telah berkarat. Cahaya api itu tidak sanggup menjangkau sampai ke dasar, sehingga mereka hanya bisa melihat bayang-bayang hitam.

"Ladies first?"

Zeze mengangkat matanya dari bawah lubang dan melihat Zero tengah mengangkat alis, menunggu responsnya.

Sebenarnya tanpa Zero menawarkannya pun, Zeze sudah cukup sadar siapa yang seharusnya turun duluan. Tentu saja dirinya. Karena hanya dirinyalah yang bisa memberikan akses untuk mata mereka agar dapat melihat. Ia ragu cahaya ponsel dapat melakukannya sebaik dirinya.

Tanpa menjawab, Zeze membuka topinya, menggantungnya di samping pinggang seraya bersiap menaruh kakinya di tangga itu dan turun dengan perlahan.

Zero menunggu Zeze turun sampai ke tengah-tengah, kemudian barulah dia menyusulnya. Saat kepalanya benar-benar hilang di balik lubang, tumpukan salju segera mengerubungi mulut lubang, menghalau akses bagi cahaya rembulan.

Zeze melihat ke bawah kakinya yang menggantung di ujung tangga. Hanya ada tanah. Tapi tak lama kemudian, tanah tersebut telah dipenuhi salju yang makin meninggi hingga menyentuh ujung sepatunya.

Mendongak, Zeze mendapati salju mengalir turun dari atas kepalanya dan melapisi pijakannya. Ia tidak dapat melihat jelas karena gelap, tapi ia yakin sekali bahwa itu adalah salju dari atas tadi. Tentu saja. Memang dari mana lagi?

Tanpa ragu, Zeze mendaratkan kakinya di sana. Zero tidak perlu menunggu sampai ujung tangga karena ia langsung melompat turun begitu saja.

Untuk beberapa saat, Zero hanya memandangi saljunya yang sedang diinjak saudari kembarnya itu. Ternyata benar, aura mereka tidak saling berpengaruh. Meski Zeze menginjaknya, ia tidak merasakan apa pun.

Zeze melihat sekeliling. Ini benar-benar seperti katakombe* yang ada di bawah Kota Paris. Dinding batunya penuh oleh graffiti.

Di ujung sana, terdapat 3 lorong berbeda yang menanti mereka. Otaknya sudah mulai berspekulasi, memikirkan lorong mana yang akan ia pilih. Tapi pikirannya harus terpotong oleh suara langkah kaki Zero yang tanpa ragu mengambil jalan ke lorong tengah.

Zeze tidak mencoba menghentikannya dan memilih mengekorinya dalam diam. Ia sempat merasakan sepatunya menginjak sesuatu yang keras saat mulai melangkah.

Sebenarnya jika dilihat secara keseluruhan, tempat ini cukup bersih. Tapi karena dindingnya tidak rata dan dihiasi graffiti yang saling tumpang tindih, menambahkannya kesan kumuh dan mencekam.

Saat sampai di ujung, Zeze melihat ke samping kanan dan kirinya. Ternyata kedua lorong yang lain juga mengarah ke tempat yang sama.

"Ketiga lorong mengarah ke tempat yang sama, tapi mengapa mereka tidak menghancurkan dindingnya dan menjadikannya satu saja?"

Meski tahu Zero tidak sedang bertanya, tapi tanpa sadar Zeze menjawab, "ini seperti kata kunci yang hanya bisa mereka mengerti. Jika kita mengambil lorong yang kanan ataupun kiri, sudah pasti akan ada suatu jebakan yang menanti. Tapi untungnya kau mengambil jalan tengah karena melihat peluru terjatuh di depan lorong ini tadi ya, kan?"

Zero terkekeh pelan di sebelah kirinya lalu berkata, "kau melihatnya." Suaranya mengandung kepuasan.

Tentu saja Zeze melihatnya. Mungkin jika tidak menginjak peluru itu tadi, ia tidak akan pernah tahu.

Sebenarnya sederhana saja mengapa mereka berdua dapat mengambil kesimpulan yang sama untuk melewati lorong yang tengah. Karena peluru tadi menandakan bahwa seseorang tak sengaja menjatuhkannya ketika berniat melewati lorong tengah tersebut.

Mereka melanjutkan jalan sebentar, melewati lorong yang satu ke yang lain. Sepertinya ruangan yang telah mereka masuki ini cukup luas hingga api kecil Zeze tidak cukup hebat untuk memenuhi setiap sudutnya. Mereka hanya dapat melihat tanah coklat di bawah kaki mereka.

"Kurasa tadi bukanlah pancingan," ujar Zero tiba-tiba, membuat Zeze kembali meliriknya.

"Lubang itu terbuka karena orang ini tengah buru-buru sehingga lupa menutupnya. Buktinya saja, dia sampai tidak sadar telah menjatuhkan peluru." Zero menoleh dan melanjutkan, "dia terburu-buru karena melihat kita."

Zeze bingung ingin menanggapi seperti apa. Jujur, ia sendiri pun masih ragu dengan spekulasi Zero.

Mendadak Zero bergeming dan mata birunya mengeras tanpa sebab. Walau ekspresinya tetap datar seperti biasanya, tetapi Zeze dapat menangkap sedikit keterkejutan di gerak-geriknya.

"Ze, matikan apinya."

Tanpa membantah, Zeze melakukan apa yang diperintahkannya. Diam-diam, ia menyalurkan auranya ke bawah kaki, merambatkannya ke tanah dan merasakan getaran tiga belas orang yang tengah mengelilingi mereka.

"Tiga belas, ya?" Zeze mendengar Zero berbicara, suaranya menyiratkan kelicikan. "Ayo kita mulai acara menakut-nakutinya."

Di detik selanjutnya, bunyi suara tembakan telah memekakkan telinganya. Namun Zeze masih tetap bergeming, karena ia tahu tidak ada satu pun peluru yang berhasil mengenainya. Ia pun tak lagi merasakan Zero yang tadi berada di samping kirinya.

Lama-kelamaan, suara tembakan itu memudar. Tak ada suara lain yang menggantikannya. Benar-benar sunyi sehingga membuat Zeze penasaran. Percuma saja jika menyebarkan aura seperti tadi, karena ia pasti tidak akan bisa menemukan Zero. Yang penting ia harus menemukan Zero.

Karena itulah, ia mengangkat tangannya yang terkepal membentuk tinju ke depan wajah. Lalu dari sana, keluarlah kobaran api. Lama-kelamaan, api yang berbentuk asal tersebut mulai tertib dan berubah menjadi bola.

Ketika Zeze membuka telapak tangannya, bola api itu memisahkan diri dan terbang ke atas, melayang-layang di udara, memberikan penerangan ke sudut-sudut yang dilewatinya.

Ekspresi Zeze tidak berubah ketika yang didapatinya adalah mayat yang tubuhnya telah kaku. Bahkan ada beberapa dari mereka yang membeku masih dalam keadaan memegang senapan yang mengarah ke depan.

Zeze tidak memedulikan mereka, tujuannya hanyalah Zero yang sampai sekarang belum ia temukan. 'Dia tidak mungkin mati kan?' pikirnya.

"Bisakah kau mengarahkannya ke sini?"

Suara itu membuatnya terlonjak. Zeze mengeluarkan koleksi nama-nama binatang dan sumpah serapahnya dalam hati. Jika Zero sudah tahu ia mencarinya, mengapa tidak bilang dari tadi? Ini malah hanya membuang-buang energinya.

Toh, pada akhirnya Zeze menuruti permintaannya. Bola bercahaya itu terbang ke depan untuk memperjelas penglihatan lelaki menyebalkan itu.

Detik itu juga, Zeze mematung. Bukan karena melihat kepala manusia yang berada di dalam cengkeraman Zero, tetapi karena pemandangan yang luar biasa menjijikkan di hadapannya ini.

Di dalam tabung kaca berisi air khusus, berjejer organ-organ manusia yang tersusun rapi berdasarkan jenisnya.

"Mafia jual-beli organ, huh?" Gumam Zero. "Pantas saja banyak penculikan."

Kening Zeze mengernyit ketika bertanya, "memangnya orang tua itu tidak bilang padamu?"

"Apakah kau pikir dia tipe orang yang seperti itu?" Zero malah balik bertanya tanpa melihatnya. Matanya sibuk mempelajari pemandangan di sekelilingnya.

"Di sini hanya tempat penyimpanan. Ayo, kita harus cepat membereskannya." Zero menjatuhkan begitu saja kepala yang tadi dipegangnya, membuatnya menggelinding dan berhenti ketika membentur ujung sepatu boots Zeze.

Perlahan, rambut hitam kepala itu mulai tersingkap, memberi akses bagi mata Zeze untuk melihat wajahnya. Dan ketika Zeze melihatnya, detik itu juga cahaya terkuras habis dari matanya. Bibirnya menerbitkan senyuman dengan perasaan keji sekaligus jijik.

Kepala ini adalah milik wanita di kedai kopi tadi.

Kakinya melangkah begitu saja melewati kepala itu, menyusul Zero yang telah lebih dulu berjalan ke dalam.

"Maling teriak maling." Zeze terkekeh sehingga membuat Zero menoleh ke belakang dengan raut bingung. Baru kali ini ia melihat perubahan di wajah gadis itu.

"Zero, saljumu itu memang dingin tapi..." wajahnya tersenyum ketika ia menatapnya, terlihat cantik dan menakutkan di saat yang sama. "...sisakan beberapa dari mereka untukku. Biar kubuat mereka menikmati dinginnya lantai penjara."

Zero salah. Ini benar pancingan. Tambah satu hal lagi yang Zeze mengerti, mereka—orang-orang ini—memang sengaja mengundangnya datang.
RECENTLY UPDATES