41 ZERO
Gerald tertatih-tatih menghampiri Glen, Hera, dan Enamel yang terlihat berdiri di dekat mobil.
Ada dua orang tambahan di samping mereka bertiga, terduduk di aspal dan bersandar lemas di bagian samping kanan mobil Enamel.
Wajah orang yang satunya dipenuhi mur dan paku, menancap bagai jarum-jarum akupunktur. Ini pasti ulah wanita itu. Tidak mungkin Glen.
"Gerald?" Hera memiringkan kepalanya, bingung dengan temannya ini.
"Dimana yang satunya lagi?" Glen bertanya datar.
"Mati." Gerald menjawab sembari meringis.
Glen menautkan alisnya. "Kau ini! Sudah kubilang jangan selalu membunuh targetmu. Mereka manusia, punya kesempatan untuk berubah. Jika begini kau tidak ada bedanya dengan mereka!"
Gerald tidak menggubris karena ia sedang menahan sakit. Bahkan mungkin tadi ia tidak mendengar suaranya. Aneh, ini pasti bukan luka biasa.
"G- Glen, Gerald terlihat aneh." Hera menggigit bibir ketika menghampiri Gerald.
"Biar aku yang mengurus mereka," kata Enamel.
Glen menoleh, "mau kau apakan mereka?"
"Penjara bukan?" Ia menghampiri mereka dan berjongkok, menusukkan paku ke tengkuk orang yang satunya. Orang itu tidak terlihat kesakitan sama sekali. Setelah melakukannya, Enamel berdiri lalu membuka pintu. "Masuk."
Dengan satu perintah itu, mereka langsung bangkit dan masuk tanpa bantahan, sesuai keinginannya. Glen mengangkat sebelah alisnya melihat hal itu.
"Glen!" Suara Hera membawanya kembali terfokus ke depan. Ia melihat Gerald berjongkok sembari memegangi tempat di mana hati berada.
Kedua tangan Hera menggenggam tangan kirinya yang gemetar. Sepasang mata cokelat Hera terlihat menerawang ke arah langit dengan tatapan kosong.
"Glen ada organnya yang rusak!" Kata Hera, panik.
Glen segera memapahnya ke dalam mobil dan mengantarnya ke rumah sakit sebelumnya.
Menurut diagnosa dokter, terdapat kerusakan di bagian hatinya sehingga harus dilakukan transplantasi.
Hera memang sudah panik bahkan sebelum mendengar hal ini terucap dari dokter yang duduk di hadapannya itu, seakan-akan ia sudah mengetahuinya dari awal.
Hera paham organ tunggal seperti hati itu jarang tersedia, terlebih lagi di daerah terpencil seperti Saufrity. Memang mereka bisa melakukannya dengan organ buatan, dan Gerald pun dapat kembali beraktivitas sebagaimana orang-orang normal lainnya. Tapi masalahnya, menjadi seorang Ipotis itu bukanlah menjadi 'normal' tapi harus di atas rata-rata. Kalau begini, Gerald tidak akan bisa melakukan tugasnya sebagai Ipotis lagi. Seperti yang orang-orang ketahui, organ asli lebih baik dari organ buatan.
Tapi dokter itu langsung tersenyum dan dengan tenangnya menjelaskan, "tenang saja, Lady Ralpheus. Beberapa bulan belakangan ini kita menerima banyak sekali organ. Apa lagi sampai membuat kita kelabakan karena kekurangan tempat untuk menyimpannya."
Mendengar ini, Hera menghela napas lega. Tetapi anehnya tidak dengan Glen yang duduk di sebelah kirinya. Laki-laki itu terlihat menautkan alisnya, seperti sedang berpikir keras.
Setelah keluar, Glen ijin ke toilet sebentar, meninggalkan Hera yang menunggu di kursi samping pintu operasi.
Saat dalam perjalanan kembali, ia tak sengaja mendengar ocehan suster-suster bermasker. "Hari ini lagi? Ya tuhan... kita bahkan harus mengekspor sebagian ke ibu kota."
"Kalau begini caranya, Aplistia bisa menjadi rujukan rumah sakit di dunia."
"Kenapa bisa banyak begini ya? Apa sebanyak itu orang yang ingin mendonorkan organnya ketika mereka meninggal?"
Glen tidak mendengarkan lebih banyak dan cepat-cepat kembali. Ketika melihat Glen datang dengan air muka yang berbeda, Hera langsung berdiri. Biasanya ekspresi Glen selalu datar, tapi apa yang menyebabkannya seperti ini?
"Glen?"
"Hera, ada yang harus kita lakukan."
========
Tak puas setelah melayangkan tendangan tepat ke tengah-tengah ulu hati orang di hadapannya, Zeze kembali menendang sisi kepalanya. Orang itu akhirnya tersungkur di tanah setelah melakukan perlawanan yang sia-sia.
Namun sepertinya, rasa sakitnya tidak akan berujung sampai di sana. Karena selanjutnya, gadis itu menginjak kuat-kuat dadanya yang naik-turun.
Napasnya tersendat karena darah yang mengering telah menyumbat lubang hidungnya, menyatu dengan darah dari mulutnya.
Ia bersusah payah membuka mata, mencoba menemukan iris biru penuh intimidasi itu. Bahkan sejak tadi gadis itu sama sekali tidak menggunakan kedua tangannya yang masih tenang bersarang di dalam saku long coat hitam miliknya.
"Masih mau diam?"
Orang itu tertawa lalu meludahkan darah ke samping.
"Kau tahu, aku belum pernah merobek mulut seseorang sebelumnya. Tapi kurasa akan kucoba sekarang." Zeze mengucapkannya dengan nada yang amat dingin, bahkan terasa seperti menusuk-nusuk tiap persendian laki-laki di bawah kaki kirinya ini.
"Bunuh aku." Mata lelaki itu memerah, tanpa sedikit pun keraguan.
"Oh, tidak bisa. Kau harus merasakan sakit yang lebih dari ini, setelah itu aku akan mengirimmu ke neraka."
Laki-laki itu terkekeh, "coba saja. Kau boleh menyiksaku sepuasmu. Aku tetap tidak akan memberitahumu."
Alis Zeze terangkat, "begitu?"
Perlahan, kaki Zeze bergerak naik hingga berhenti di atas lehernya. Ujung sepatu Zeze mengangkat dagunya, "aku tidak peduli."
Zeze mengeluarkan tangan kanannya dari saku. Dýnami-nya mulai membawa sebagian panas tubuhnya ke ujung telunjuk, membentuk api yang menari-nari meminta mangsa.
"Kau tahu apa cara mati yang paling menyiksa di dunia ini?"
Mata orang itu melebar ketika menyadari bahaya yang akan mengancamnya kali ini.
"Benar, dibakar hidup-hidup." Zeze tersenyum licik.
"Dengan begini aku tidak perlu membuang waktu untuk menyiksamu." Zeze memandangi telunjuknya lalu mengarahkannya ke bawah. Api itu jatuh bagai air yang menetes dan mendarat tepat di wajah laki-laki itu.
Suara lolongan menyakitkan mulai memecah kesunyian malam di gang sempit yang terapit dua bangunan ini. Zeze menyingkir, membiarkannya berguling-guling di tanah, menikmati siksaan yang dimintanya hingga tubuh itu jatuh bagaikan pasir hitam, menodai putihnya lapisan salju.
Matanya mendingin ketika ia menatap abu hitam di bawah kakinya ini. Beginilah cara kerja Énkavma, sama sekali tidak menyisakan tulang. Apa-apaan pembawa berita itu? Tulang belulang yang sudah menghitam? Jangan konyol!
Jika Énkavma telah berniat membakar sampah, bahkan mungkin tong sampahnya sekalian mereka bakar.
Jadi selama ini mereka... mereka yang membuat seisi Aplistia, atau mungkin dunia memandang busuk Énkavma.
Zeze tertawa kering. Tapi tak berlangsung lama karena ia teringat sesuatu yang tadi ditinggalkannya di tepi dinding. Zeze mengambil satu-satunya benda yang ia pisahkan dari laki-laki idiot itu, yaitu sepatu boots hitam.
Bukan untuk ia pakai, melainkan ada hal lain yang menarik perhatiannya, yaitu kelopak bunga snowdrop yang menempel pada bagian bawah sepatu itu.
Bunga snowdrop adalah bunga yang dapat bertahan di musim dingin. Hanya ada beberapa wilayah di Aplistia yang ditumbuhi bunga mungil ini, dan salah satunya di kota ini.
Zeze tahu dimana tempatnya karena ia pernah sekali ke sana bersama Zafth. Sebenarnya ia bisa saja langsung membunuh orang itu tanpa harus membuang-buang tenaga, namun mendengar dari mulutnya sendiri ia rasa lebih baik.
Setelah mengirim pesan kepada Kai, Zeze langsung memacu Porsche-nya ke sudut kota. Benar, permainan baru saja dimulai. Ia adalah Artemis-nya Énkavma. Akan ia buru semua anjing yang berani mengotori nama kebesaran Énkavma.
Zeze berhenti di sebuah daerah pembuangan sampah yang luar biasa luas. Sejauh mata memandang hanya ada tumpukan sampah.
'Cocok sekali sebagai rumah mereka,' pikir Zeze.
Tak jauh dari tempat pembuangan sampah ini, terdapat taman yang ditumbuhi bunga snowdrop. Zeze menarik kesimpulan bahwa sarang mereka berada di sini sebab tidak ada warga yang berani menginjakkan kaki di sini. Itu semua karena rumor adanya rumah berhantu di ujung pembuangan sampah ini. Tentu saja Zeze tahu itu hanyalah alibi.
Sebelum Zeze benar-benar sampai di ujung, ia harus bersusah payah mengatasi bau busuk yang menyerang hidungnya. Terlebih lagi jalanan yang tidak rata dan salju yang menumpuk di gunungan sampah bisa kapan saja runtuh mengenainya.
Saat sedang kesusahan begini, tiba-tiba ponselnya bergetar. Walau berdecak sebal, ia tetap menyusupkan tangan kanannya ke saku dan mengambil ponselnya. Di layarnya terpampang sebuah panggilan dari nomor yang sama sekali tidak ia kenal. Hanya terdapat angka 0 yang berhasil membuat dahinya mengernyit.
Seingatnya, ia tidak pernah menyimpan nomor seseorang dengan angka. Biasanya jika ia tidak menyukai seseorang, nomornya akan ia block atau ia beri nama binatang di akhirannya. Contohnya: Arigel Babi.
Dan juga, nomor telepon mana yang hanya terdapat satu digit angka di dalamnya? Terlebih lagi hanya 0!
Meskipun sedang dilanda dilema seperti ini, ia tetap melanjutkan langkahnya. Panggilan itu ia biarkan mati sendiri. Namun Ketika mati, langkahnya dibuat berhenti mendadak oleh pesan dari nomor itu.
[Pada suatu hari, di tanah tanpa cahaya matahari, lahirlah Artemis dan Apollo dari rahim seorang titan yang dikutuk Dewi Hera. Titan itu bernama Leto.]
Zeze mengerutkan alis. Kemudian pesan kedua menyusul.
[Artemis lahir terlebih dahulu kemudian disusul Apollo. Artemis diberkahi menjadi dewi bulan, sementara Apollo dewa matahari. Namun tanpa disangka Leto ingin mengubah cerita. Ia memutar balik waktu sekaligus mengubah takdirnya.]
Pesan ketiga masuk tak lama setelahnya.
[Artemis yang merupakan dewi bulan yang dingin di malam hari, menjadi dewi yang berteman baik dengan panasnya matahari. Sementara Apollo, sang dewa matahari malah berteman dengan kedinginan. Takdir Leto pun ikut berubah. Dari yang sebelumnya dikutuk oleh Dewi Hera karena mengetahui dia menjadi selingkuhan Zeus, menjadi Leto yang berdiri di singgasana teratas, menggantikan Dewi Hera menjadi ratu. Sementara Dewi Hera? Well, dia hanyalah pecundang yang terlupakan Zeus sekarang.]
Zeze menaikkan sebelah alisnya. Sebenarnya tidak berguna juga ia membacanya, karena semuanya omong kosong. Tidak ada ceritanya Leto memutar balik waktu. Tapi entah mengapa rasanya ia tidak dapat mengabaikannya.
Terdengar getaran notifikasi pesan masuk yang keempat.
[Bau sekali, ya?]
Tanpa pikir panjang, Zeze melepaskan auranya hingga merambat dan menelan apa pun yang dilewatinya. Bahkan ia sampai dapat merasakan barisan semut yang berjalan di atas tumpukan sampah.
Ponselnya bergetar lagi. Dari tadi mata Zeze sama sekali tidak beranjak dari layar ponselnya. Ia tahu percuma juga mengedarkan pandangan karena sekelilingnya gelap gulita.
[Tidak kena, haha.]
Mata Zeze memicing. Apakah orang itu berada di luar jangkauannya?
[Angkat panggilannya, nanti aku beritahu.]
Alis Zeze terangkat, dan sedetik kemudian muncul nomor tidak dikenal itu lagi. Ibu jarinya mengambang di atas layar. Sebenarnya tidak ada alasan baginya untuk meladeni brengsek ini, tapi mengingat dia bisa saja mengacaukan rencana pembantaiannya, tak ada pilihan lain selain menghabisinya terlebih dahulu.
Ibu jarinya menyentuh layar dan menggeser ikon hijau ke kanan. Dengan ragu, ia tempatkan ponsel itu di telinga kanannya. Hanya terdengar bunyi jangkrik di ujung sana, persis seperti suasana di tempatnya berdiri saat ini.
"Takut, heh?" Akhirnya Zeze memancing karena sejak tadi orang itu tak kunjung bersuara.
Terjadi hening sebentar sebelum orang di ujung sana membalas dengan tawa. Itu suara tawa laki-laki. Kerutan di dahi Zeze kembali terukir. Ia tidak dapat mengenali suara itu.
Tiba-tiba, Zeze merasakan tangan dingin seseorang menyusup dan memeluknya dari belakang. Zeze tersentak dan ponselnya lolos dari tangannya. Namun salah satu tangan itu melepas pinggangnya dan berhasil menangkap ponselnya sebelum tenggelam di dalam lautan sampah.
"Halo, Roze."
Dengan perlahan, Zeze menoleh ke kiri, tepat di mana bibir itu tadi berbisik.
Dan mata Zeze langsung melebar, seakan-akan ia kehilangan kemampuan untuk melihat. Saat itu juga, ia merasa seperti berada di hadapan cermin ajaib.
Laki-laki itu menyeringai, terhibur ketika mendapati ekspresi kagetnya. "Ayo pulang," katanya, masih tersisa nada-nada jahil di suaranya yang berbisik lirih.
Kenapa orang yang sama sekali ingin ia hindari malah berada di sini? Dan apa itu, pulang? Satu kata mengerikan itu berhasil menyadarkannya dari guncangan. Namun ia tidak bisa bergerak, mengedipkan mata saja ia tidak berani.
Tanpa ia sadari, tubuhnya bergetar hebat ketika membayangkan dirinya akan kembali ke dalam penjara itu.
Senyum di wajah laki-laki itu malah makin lebar ketika melihatnya kalut seperti ini. Tidak, Zeze harus sadar dan cepat-cepat pergi dari sini. Pergi dari dia.
Sayangnya masih tidak bisa. Zeze masih terpaku melihat wajah itu, iris biru itu, bentuk hidung dan bibir yang serupa dengannya itu. Yang membedakan hanyalah bentuk rahang sempurnanya yang terlihat lebih tegas, bentuk matanya yang lebih tajam, serta rambut platinumnya yang pendek khas potongan anak laki-laki.
"Bernapas." Dia memerintah, masih dengan senyum liciknya.
Zeze sampai tidak sadar bahwa sejak tadi ia menahan napasnya. Pantas saja pandangannya mulai berkabut.
Akhirnya walaupun sulit, Zeze berhasil melepas kontaknya dari wajah itu. Zeze melihat ke bawah, pasrah dengan apa yang akan dia lakukan kepadanya nanti.
Zeze merasakan dagu lelaki itu singgah di atas bahunya. Dia menempelkan pipi kanannya ke pipi kiri Zeze yang berhasil membuat gadis itu tambah membeku di tempat.
"Bercanda." Zeze mendengarnya terkekeh. "Aku tidak akan membawamu pulang." Dia kembali terkekeh, "jadi jangan tegang begitu."
Entah Zeze bingung harus bersikap seperti apa. Namun kata-kata itu sedikit berhasil melelehkannya dari kebekuannya. Zeze yakin sekali jika orang ini tidak memeluknya, ia pasti sudah akan jatuh.
Orang itu tertawa. Tidak terlalu keras, tetapi karena dia tertawa di dekat telinganya, itu sedikit membuatnya terkesiap.
"Takut, heh?" Orang itu membalik perkataannya tadi. Harusnya Zeze melejit marah sekarang, tapi ia tidak punya tenaga untuk itu. Masih bisa sadar saja ia sudah bersyukur.
"Tenang... santai... Ayah tidak menyuruhku ke sini untuk membawamu pulang." Nadanya berubah menenangkan ketika melihat kondisinya.
Namun jika sebaliknya, apa yang bisa Zeze lakukan? Tentu saja auranya tidak dapat mendeteksi orang ini, karena hal itu sama sekali tidak mempan terhadapnya. Harusnya Zeze menyadari dari awal kalau orang itu adalah dia.
Karena saudara kembar tidak akan bisa saling mempengaruhi aura satu sama lain.
"Perlu kugendong?" Tawarnya, menegakkan punggung.
Dia terkekeh lagi dan menjawab pertanyaannya sendiri, "sepertinya perlu."
Setelah memasukkan ponsel tadi ke saku long coat Zeze, dia membungkuk, meletakan tangan kirinya di bawah lutut Zeze dan tangan kanannya di bawah punggungnya, kemudian mengangkatnya dengan perlahan.
"Kembali juga percuma, karena untuk sampai ke tengah sini memerlukan waktu lumayan lama. Jadi kita lanjut saja, oke?" Suaranya terdengar santai sekaligus tenang ketika dia mengatakannya.
Zeze hanya bisa memandangi rahang bawah saudara kembarnya yang sempurna itu. Jika bukan karena terakhir kali ia bercermin saat hendak pergi ke pesta di kediaman Asteri, ia mungkin tidak akan dapat mengenali orang ini. Karena Zeze memang jarang sekali bercermin sehingga sering lupa-ingat pada pantulan wajahnya sendiri.
Zeze juga sudah tidak dapat mengenali suaranya. Itu wajar saja karena terakhir kali Zeze melihatnya adalah 8 tahun yang lalu. Saat itu suara dia tidak jauh berbeda dari suara miliknya.
"Tidak ada yang ingin ditanyakan? Contohnya seperti: kau sedang apa di sini? Apakah kau baik-baik saja selama ini? Atau... kau sudah makan atau belum?" Dia mengoceh tanpa ekspresi yang berarti.
"Kenapa diam saja? Ah, atau mungkin, kau lupa namaku? Oke, kalau begitu, aku akan memperkenalkan diriku lagi. Aku Zero, salam kenal."
Tak ada jawaban. "Oke, lupakan. Tanyanya nanti saja." Zero tiba-tiba bergumam serius dan berhenti melangkah. "Kita dalam masalah saat ini."
Zeze menoleh ke kanan, mengikuti arah pandang Zero yang menatap lurus ke depan. Terdapat tiga orang pria keluar dari bayang-bayang sampah yang menggunung, menuju ke arah mereka.
"Wah-wah, siapa ini? Nyalinya besar juga masuk ke dalam sarang macan," kata salah satunya.
Zero terkekeh santai, "macan? Kukira ini tempat penitipan kucing."
"Dia cari mati," kata yang lain, tertawa meremehkan.
Apa yang perlu mereka takuti? Lawannya hanyalah seorang remaja berumur sekitar 16-17 tahunan. Hanya bocah ingusan yang kini tengah menggendong seorang gadis muda yang luar biasa cantik. Tapi tunggu, wajah mereka mirip. Kembar?
"Kita sisakan yang perempuan," ujar yang lain, tersenyum penuh arti. Pikiran mesum langsung menggerayangi ketiganya.
"Kau dengar itu, Ze? Mereka ingin menghabisiku dan menyisakanmu seorang. Wanita memang benar-benar racun dunia." Zero berkata sok dramatis.
Zeze tidak menaruh perhatian lebih pada kata-katanya karena akal sehatnya masih belum sepenuhnya pulih.
Salah satu di antara mereka mengeluarkan pistol dan dengan membabi buta mengincar kaki Zero. Mereka pikir hal itu akan berhasil, tapi ternyata salju dekat sepatu Zero bergerak saling menumpuk hingga membentuk sebuah tangan padat dan menangkap peluru mereka.
"Maaf paman-paman sekalian. Tanganku sedang sibuk membawa kakak kembarku ini. Jadi, tidak masalah kan kalau aku menggunakan ini?"
Salju dekat kakinya itu runtuh dan mengubur peluru-peluru tadi, membentuk pusaran yang berputar-putar secara horizontal. Setelahnya, pusaran itu melejit sampai 2 meter tingginya dan membentuk sebuah lengan raksasa.
Tak sampai di situ, salju di belakang dan di samping kanan-kiri Zero pun melakukan hal serupa. Hingga terlahirlah 4 pilar tangan yang menjulang tinggi mengelilinginya.
"Beruntung sekali bukan, Roze? Jika bukan karena musim dingin, aku mungkin harus menurunkanmu di sini." Zero menunduk, menatap Zeze tepat di manik mata. Wajahnya datar dan tenang tidak jahil seperti tadi.
"Jadi, bagaimana? Aku kubur saja mereka, atau..." mata Zero kembali mengarah ke depan ketika ia menyeringai penuh arti, "tidak, lupakan saja."
Tangan salju di belakangnya bergerak maju, melewati atas kepalanya dan menerjang ketiga pria tersebut.
Kaki mereka sudah sangat siap untuk menghindar, namun tangan raksasa itu malah terbelah menjadi tiga dan mengepal menjadi tinju lalu menubruk keras perut mereka.
Yang memegang pistol berhasil menghindar ke kiri, namun pilar di sebelah kanan Zero langsung maju dan menggenggam perutnya, membawanya melayang ke atas. Pria itu terlihat seperti mainan rusak dalam genggaman anak kecil, meronta-ronta, mencoba mencakar tapi kukunya justru membeku dan patah.
Tak sampai di situ, Zero membalik tubuh pria itu dan menggoyang-goyangkannya ke atas dan ke bawah seraya memerintahkan tangan-tangan raksasanya yang lain untuk maju.
Tak terhitung sudah berapa kali pria itu berteriak-teriak minta ampun tatkala melihat tangan-tangan itu kian mendekat ke arahnya. Namun sayang, kata 'ampunan' sama sekali tidak ada pada kamus Zero.
Tanpa ampun, mereka menyerbu memasuki mulut, telinga, dan kedua lubang hidungnya. Suara tersedak yang mengerikan mewarnai malam dingin itu. Salju itu membekukan setiap organ tubuhnya dari dalam. Hingga akhirnya, pria itu tidak bersuara maupun bergerak lagi.
Tangan besar di perutnya runtuh, membiarkan tubuh kakunya jatuh membentur televisi rusak dan berakhir memecahkan kacanya.
Sejak tadi Zeze memperhatikan semuanya dengan mulut setengah membuka. Bukan main, saudara kembarnya ini memang luar biasa.
Jujur ini pertama kalinya ia melihat dýnami Zero, dan ia tidak pernah menyangka bahwa dýnami Zero memiliki kecocokan untuk bisa terhubung dengan salju, sesuatu yang dingin, yang benar-benar berbanding terbalik dengannya.
Ada dua orang tambahan di samping mereka bertiga, terduduk di aspal dan bersandar lemas di bagian samping kanan mobil Enamel.
Wajah orang yang satunya dipenuhi mur dan paku, menancap bagai jarum-jarum akupunktur. Ini pasti ulah wanita itu. Tidak mungkin Glen.
"Gerald?" Hera memiringkan kepalanya, bingung dengan temannya ini.
"Dimana yang satunya lagi?" Glen bertanya datar.
"Mati." Gerald menjawab sembari meringis.
Glen menautkan alisnya. "Kau ini! Sudah kubilang jangan selalu membunuh targetmu. Mereka manusia, punya kesempatan untuk berubah. Jika begini kau tidak ada bedanya dengan mereka!"
Gerald tidak menggubris karena ia sedang menahan sakit. Bahkan mungkin tadi ia tidak mendengar suaranya. Aneh, ini pasti bukan luka biasa.
"G- Glen, Gerald terlihat aneh." Hera menggigit bibir ketika menghampiri Gerald.
"Biar aku yang mengurus mereka," kata Enamel.
Glen menoleh, "mau kau apakan mereka?"
"Penjara bukan?" Ia menghampiri mereka dan berjongkok, menusukkan paku ke tengkuk orang yang satunya. Orang itu tidak terlihat kesakitan sama sekali. Setelah melakukannya, Enamel berdiri lalu membuka pintu. "Masuk."
Dengan satu perintah itu, mereka langsung bangkit dan masuk tanpa bantahan, sesuai keinginannya. Glen mengangkat sebelah alisnya melihat hal itu.
"Glen!" Suara Hera membawanya kembali terfokus ke depan. Ia melihat Gerald berjongkok sembari memegangi tempat di mana hati berada.
Kedua tangan Hera menggenggam tangan kirinya yang gemetar. Sepasang mata cokelat Hera terlihat menerawang ke arah langit dengan tatapan kosong.
"Glen ada organnya yang rusak!" Kata Hera, panik.
Glen segera memapahnya ke dalam mobil dan mengantarnya ke rumah sakit sebelumnya.
Menurut diagnosa dokter, terdapat kerusakan di bagian hatinya sehingga harus dilakukan transplantasi.
Hera memang sudah panik bahkan sebelum mendengar hal ini terucap dari dokter yang duduk di hadapannya itu, seakan-akan ia sudah mengetahuinya dari awal.
Hera paham organ tunggal seperti hati itu jarang tersedia, terlebih lagi di daerah terpencil seperti Saufrity. Memang mereka bisa melakukannya dengan organ buatan, dan Gerald pun dapat kembali beraktivitas sebagaimana orang-orang normal lainnya. Tapi masalahnya, menjadi seorang Ipotis itu bukanlah menjadi 'normal' tapi harus di atas rata-rata. Kalau begini, Gerald tidak akan bisa melakukan tugasnya sebagai Ipotis lagi. Seperti yang orang-orang ketahui, organ asli lebih baik dari organ buatan.
Tapi dokter itu langsung tersenyum dan dengan tenangnya menjelaskan, "tenang saja, Lady Ralpheus. Beberapa bulan belakangan ini kita menerima banyak sekali organ. Apa lagi sampai membuat kita kelabakan karena kekurangan tempat untuk menyimpannya."
Mendengar ini, Hera menghela napas lega. Tetapi anehnya tidak dengan Glen yang duduk di sebelah kirinya. Laki-laki itu terlihat menautkan alisnya, seperti sedang berpikir keras.
Setelah keluar, Glen ijin ke toilet sebentar, meninggalkan Hera yang menunggu di kursi samping pintu operasi.
Saat dalam perjalanan kembali, ia tak sengaja mendengar ocehan suster-suster bermasker. "Hari ini lagi? Ya tuhan... kita bahkan harus mengekspor sebagian ke ibu kota."
"Kalau begini caranya, Aplistia bisa menjadi rujukan rumah sakit di dunia."
"Kenapa bisa banyak begini ya? Apa sebanyak itu orang yang ingin mendonorkan organnya ketika mereka meninggal?"
Glen tidak mendengarkan lebih banyak dan cepat-cepat kembali. Ketika melihat Glen datang dengan air muka yang berbeda, Hera langsung berdiri. Biasanya ekspresi Glen selalu datar, tapi apa yang menyebabkannya seperti ini?
"Glen?"
"Hera, ada yang harus kita lakukan."
========
Tak puas setelah melayangkan tendangan tepat ke tengah-tengah ulu hati orang di hadapannya, Zeze kembali menendang sisi kepalanya. Orang itu akhirnya tersungkur di tanah setelah melakukan perlawanan yang sia-sia.
Namun sepertinya, rasa sakitnya tidak akan berujung sampai di sana. Karena selanjutnya, gadis itu menginjak kuat-kuat dadanya yang naik-turun.
Napasnya tersendat karena darah yang mengering telah menyumbat lubang hidungnya, menyatu dengan darah dari mulutnya.
Ia bersusah payah membuka mata, mencoba menemukan iris biru penuh intimidasi itu. Bahkan sejak tadi gadis itu sama sekali tidak menggunakan kedua tangannya yang masih tenang bersarang di dalam saku long coat hitam miliknya.
"Masih mau diam?"
Orang itu tertawa lalu meludahkan darah ke samping.
"Kau tahu, aku belum pernah merobek mulut seseorang sebelumnya. Tapi kurasa akan kucoba sekarang." Zeze mengucapkannya dengan nada yang amat dingin, bahkan terasa seperti menusuk-nusuk tiap persendian laki-laki di bawah kaki kirinya ini.
"Bunuh aku." Mata lelaki itu memerah, tanpa sedikit pun keraguan.
"Oh, tidak bisa. Kau harus merasakan sakit yang lebih dari ini, setelah itu aku akan mengirimmu ke neraka."
Laki-laki itu terkekeh, "coba saja. Kau boleh menyiksaku sepuasmu. Aku tetap tidak akan memberitahumu."
Alis Zeze terangkat, "begitu?"
Perlahan, kaki Zeze bergerak naik hingga berhenti di atas lehernya. Ujung sepatu Zeze mengangkat dagunya, "aku tidak peduli."
Zeze mengeluarkan tangan kanannya dari saku. Dýnami-nya mulai membawa sebagian panas tubuhnya ke ujung telunjuk, membentuk api yang menari-nari meminta mangsa.
"Kau tahu apa cara mati yang paling menyiksa di dunia ini?"
Mata orang itu melebar ketika menyadari bahaya yang akan mengancamnya kali ini.
"Benar, dibakar hidup-hidup." Zeze tersenyum licik.
"Dengan begini aku tidak perlu membuang waktu untuk menyiksamu." Zeze memandangi telunjuknya lalu mengarahkannya ke bawah. Api itu jatuh bagai air yang menetes dan mendarat tepat di wajah laki-laki itu.
Suara lolongan menyakitkan mulai memecah kesunyian malam di gang sempit yang terapit dua bangunan ini. Zeze menyingkir, membiarkannya berguling-guling di tanah, menikmati siksaan yang dimintanya hingga tubuh itu jatuh bagaikan pasir hitam, menodai putihnya lapisan salju.
Matanya mendingin ketika ia menatap abu hitam di bawah kakinya ini. Beginilah cara kerja Énkavma, sama sekali tidak menyisakan tulang. Apa-apaan pembawa berita itu? Tulang belulang yang sudah menghitam? Jangan konyol!
Jika Énkavma telah berniat membakar sampah, bahkan mungkin tong sampahnya sekalian mereka bakar.
Jadi selama ini mereka... mereka yang membuat seisi Aplistia, atau mungkin dunia memandang busuk Énkavma.
Zeze tertawa kering. Tapi tak berlangsung lama karena ia teringat sesuatu yang tadi ditinggalkannya di tepi dinding. Zeze mengambil satu-satunya benda yang ia pisahkan dari laki-laki idiot itu, yaitu sepatu boots hitam.
Bukan untuk ia pakai, melainkan ada hal lain yang menarik perhatiannya, yaitu kelopak bunga snowdrop yang menempel pada bagian bawah sepatu itu.
Bunga snowdrop adalah bunga yang dapat bertahan di musim dingin. Hanya ada beberapa wilayah di Aplistia yang ditumbuhi bunga mungil ini, dan salah satunya di kota ini.
Zeze tahu dimana tempatnya karena ia pernah sekali ke sana bersama Zafth. Sebenarnya ia bisa saja langsung membunuh orang itu tanpa harus membuang-buang tenaga, namun mendengar dari mulutnya sendiri ia rasa lebih baik.
Setelah mengirim pesan kepada Kai, Zeze langsung memacu Porsche-nya ke sudut kota. Benar, permainan baru saja dimulai. Ia adalah Artemis-nya Énkavma. Akan ia buru semua anjing yang berani mengotori nama kebesaran Énkavma.
Zeze berhenti di sebuah daerah pembuangan sampah yang luar biasa luas. Sejauh mata memandang hanya ada tumpukan sampah.
'Cocok sekali sebagai rumah mereka,' pikir Zeze.
Tak jauh dari tempat pembuangan sampah ini, terdapat taman yang ditumbuhi bunga snowdrop. Zeze menarik kesimpulan bahwa sarang mereka berada di sini sebab tidak ada warga yang berani menginjakkan kaki di sini. Itu semua karena rumor adanya rumah berhantu di ujung pembuangan sampah ini. Tentu saja Zeze tahu itu hanyalah alibi.
Sebelum Zeze benar-benar sampai di ujung, ia harus bersusah payah mengatasi bau busuk yang menyerang hidungnya. Terlebih lagi jalanan yang tidak rata dan salju yang menumpuk di gunungan sampah bisa kapan saja runtuh mengenainya.
Saat sedang kesusahan begini, tiba-tiba ponselnya bergetar. Walau berdecak sebal, ia tetap menyusupkan tangan kanannya ke saku dan mengambil ponselnya. Di layarnya terpampang sebuah panggilan dari nomor yang sama sekali tidak ia kenal. Hanya terdapat angka 0 yang berhasil membuat dahinya mengernyit.
Seingatnya, ia tidak pernah menyimpan nomor seseorang dengan angka. Biasanya jika ia tidak menyukai seseorang, nomornya akan ia block atau ia beri nama binatang di akhirannya. Contohnya: Arigel Babi.
Dan juga, nomor telepon mana yang hanya terdapat satu digit angka di dalamnya? Terlebih lagi hanya 0!
Meskipun sedang dilanda dilema seperti ini, ia tetap melanjutkan langkahnya. Panggilan itu ia biarkan mati sendiri. Namun Ketika mati, langkahnya dibuat berhenti mendadak oleh pesan dari nomor itu.
[Pada suatu hari, di tanah tanpa cahaya matahari, lahirlah Artemis dan Apollo dari rahim seorang titan yang dikutuk Dewi Hera. Titan itu bernama Leto.]
Zeze mengerutkan alis. Kemudian pesan kedua menyusul.
[Artemis lahir terlebih dahulu kemudian disusul Apollo. Artemis diberkahi menjadi dewi bulan, sementara Apollo dewa matahari. Namun tanpa disangka Leto ingin mengubah cerita. Ia memutar balik waktu sekaligus mengubah takdirnya.]
Pesan ketiga masuk tak lama setelahnya.
[Artemis yang merupakan dewi bulan yang dingin di malam hari, menjadi dewi yang berteman baik dengan panasnya matahari. Sementara Apollo, sang dewa matahari malah berteman dengan kedinginan. Takdir Leto pun ikut berubah. Dari yang sebelumnya dikutuk oleh Dewi Hera karena mengetahui dia menjadi selingkuhan Zeus, menjadi Leto yang berdiri di singgasana teratas, menggantikan Dewi Hera menjadi ratu. Sementara Dewi Hera? Well, dia hanyalah pecundang yang terlupakan Zeus sekarang.]
Zeze menaikkan sebelah alisnya. Sebenarnya tidak berguna juga ia membacanya, karena semuanya omong kosong. Tidak ada ceritanya Leto memutar balik waktu. Tapi entah mengapa rasanya ia tidak dapat mengabaikannya.
Terdengar getaran notifikasi pesan masuk yang keempat.
[Bau sekali, ya?]
Tanpa pikir panjang, Zeze melepaskan auranya hingga merambat dan menelan apa pun yang dilewatinya. Bahkan ia sampai dapat merasakan barisan semut yang berjalan di atas tumpukan sampah.
Ponselnya bergetar lagi. Dari tadi mata Zeze sama sekali tidak beranjak dari layar ponselnya. Ia tahu percuma juga mengedarkan pandangan karena sekelilingnya gelap gulita.
[Tidak kena, haha.]
Mata Zeze memicing. Apakah orang itu berada di luar jangkauannya?
[Angkat panggilannya, nanti aku beritahu.]
Alis Zeze terangkat, dan sedetik kemudian muncul nomor tidak dikenal itu lagi. Ibu jarinya mengambang di atas layar. Sebenarnya tidak ada alasan baginya untuk meladeni brengsek ini, tapi mengingat dia bisa saja mengacaukan rencana pembantaiannya, tak ada pilihan lain selain menghabisinya terlebih dahulu.
Ibu jarinya menyentuh layar dan menggeser ikon hijau ke kanan. Dengan ragu, ia tempatkan ponsel itu di telinga kanannya. Hanya terdengar bunyi jangkrik di ujung sana, persis seperti suasana di tempatnya berdiri saat ini.
"Takut, heh?" Akhirnya Zeze memancing karena sejak tadi orang itu tak kunjung bersuara.
Terjadi hening sebentar sebelum orang di ujung sana membalas dengan tawa. Itu suara tawa laki-laki. Kerutan di dahi Zeze kembali terukir. Ia tidak dapat mengenali suara itu.
Tiba-tiba, Zeze merasakan tangan dingin seseorang menyusup dan memeluknya dari belakang. Zeze tersentak dan ponselnya lolos dari tangannya. Namun salah satu tangan itu melepas pinggangnya dan berhasil menangkap ponselnya sebelum tenggelam di dalam lautan sampah.
"Halo, Roze."
Dengan perlahan, Zeze menoleh ke kiri, tepat di mana bibir itu tadi berbisik.
Dan mata Zeze langsung melebar, seakan-akan ia kehilangan kemampuan untuk melihat. Saat itu juga, ia merasa seperti berada di hadapan cermin ajaib.
Laki-laki itu menyeringai, terhibur ketika mendapati ekspresi kagetnya. "Ayo pulang," katanya, masih tersisa nada-nada jahil di suaranya yang berbisik lirih.
Kenapa orang yang sama sekali ingin ia hindari malah berada di sini? Dan apa itu, pulang? Satu kata mengerikan itu berhasil menyadarkannya dari guncangan. Namun ia tidak bisa bergerak, mengedipkan mata saja ia tidak berani.
Tanpa ia sadari, tubuhnya bergetar hebat ketika membayangkan dirinya akan kembali ke dalam penjara itu.
Senyum di wajah laki-laki itu malah makin lebar ketika melihatnya kalut seperti ini. Tidak, Zeze harus sadar dan cepat-cepat pergi dari sini. Pergi dari dia.
Sayangnya masih tidak bisa. Zeze masih terpaku melihat wajah itu, iris biru itu, bentuk hidung dan bibir yang serupa dengannya itu. Yang membedakan hanyalah bentuk rahang sempurnanya yang terlihat lebih tegas, bentuk matanya yang lebih tajam, serta rambut platinumnya yang pendek khas potongan anak laki-laki.
"Bernapas." Dia memerintah, masih dengan senyum liciknya.
Zeze sampai tidak sadar bahwa sejak tadi ia menahan napasnya. Pantas saja pandangannya mulai berkabut.
Akhirnya walaupun sulit, Zeze berhasil melepas kontaknya dari wajah itu. Zeze melihat ke bawah, pasrah dengan apa yang akan dia lakukan kepadanya nanti.
Zeze merasakan dagu lelaki itu singgah di atas bahunya. Dia menempelkan pipi kanannya ke pipi kiri Zeze yang berhasil membuat gadis itu tambah membeku di tempat.
"Bercanda." Zeze mendengarnya terkekeh. "Aku tidak akan membawamu pulang." Dia kembali terkekeh, "jadi jangan tegang begitu."
Entah Zeze bingung harus bersikap seperti apa. Namun kata-kata itu sedikit berhasil melelehkannya dari kebekuannya. Zeze yakin sekali jika orang ini tidak memeluknya, ia pasti sudah akan jatuh.
Orang itu tertawa. Tidak terlalu keras, tetapi karena dia tertawa di dekat telinganya, itu sedikit membuatnya terkesiap.
"Takut, heh?" Orang itu membalik perkataannya tadi. Harusnya Zeze melejit marah sekarang, tapi ia tidak punya tenaga untuk itu. Masih bisa sadar saja ia sudah bersyukur.
"Tenang... santai... Ayah tidak menyuruhku ke sini untuk membawamu pulang." Nadanya berubah menenangkan ketika melihat kondisinya.
Namun jika sebaliknya, apa yang bisa Zeze lakukan? Tentu saja auranya tidak dapat mendeteksi orang ini, karena hal itu sama sekali tidak mempan terhadapnya. Harusnya Zeze menyadari dari awal kalau orang itu adalah dia.
Karena saudara kembar tidak akan bisa saling mempengaruhi aura satu sama lain.
"Perlu kugendong?" Tawarnya, menegakkan punggung.
Dia terkekeh lagi dan menjawab pertanyaannya sendiri, "sepertinya perlu."
Setelah memasukkan ponsel tadi ke saku long coat Zeze, dia membungkuk, meletakan tangan kirinya di bawah lutut Zeze dan tangan kanannya di bawah punggungnya, kemudian mengangkatnya dengan perlahan.
"Kembali juga percuma, karena untuk sampai ke tengah sini memerlukan waktu lumayan lama. Jadi kita lanjut saja, oke?" Suaranya terdengar santai sekaligus tenang ketika dia mengatakannya.
Zeze hanya bisa memandangi rahang bawah saudara kembarnya yang sempurna itu. Jika bukan karena terakhir kali ia bercermin saat hendak pergi ke pesta di kediaman Asteri, ia mungkin tidak akan dapat mengenali orang ini. Karena Zeze memang jarang sekali bercermin sehingga sering lupa-ingat pada pantulan wajahnya sendiri.
Zeze juga sudah tidak dapat mengenali suaranya. Itu wajar saja karena terakhir kali Zeze melihatnya adalah 8 tahun yang lalu. Saat itu suara dia tidak jauh berbeda dari suara miliknya.
"Tidak ada yang ingin ditanyakan? Contohnya seperti: kau sedang apa di sini? Apakah kau baik-baik saja selama ini? Atau... kau sudah makan atau belum?" Dia mengoceh tanpa ekspresi yang berarti.
"Kenapa diam saja? Ah, atau mungkin, kau lupa namaku? Oke, kalau begitu, aku akan memperkenalkan diriku lagi. Aku Zero, salam kenal."
Tak ada jawaban. "Oke, lupakan. Tanyanya nanti saja." Zero tiba-tiba bergumam serius dan berhenti melangkah. "Kita dalam masalah saat ini."
Zeze menoleh ke kanan, mengikuti arah pandang Zero yang menatap lurus ke depan. Terdapat tiga orang pria keluar dari bayang-bayang sampah yang menggunung, menuju ke arah mereka.
"Wah-wah, siapa ini? Nyalinya besar juga masuk ke dalam sarang macan," kata salah satunya.
Zero terkekeh santai, "macan? Kukira ini tempat penitipan kucing."
"Dia cari mati," kata yang lain, tertawa meremehkan.
Apa yang perlu mereka takuti? Lawannya hanyalah seorang remaja berumur sekitar 16-17 tahunan. Hanya bocah ingusan yang kini tengah menggendong seorang gadis muda yang luar biasa cantik. Tapi tunggu, wajah mereka mirip. Kembar?
"Kita sisakan yang perempuan," ujar yang lain, tersenyum penuh arti. Pikiran mesum langsung menggerayangi ketiganya.
"Kau dengar itu, Ze? Mereka ingin menghabisiku dan menyisakanmu seorang. Wanita memang benar-benar racun dunia." Zero berkata sok dramatis.
Zeze tidak menaruh perhatian lebih pada kata-katanya karena akal sehatnya masih belum sepenuhnya pulih.
Salah satu di antara mereka mengeluarkan pistol dan dengan membabi buta mengincar kaki Zero. Mereka pikir hal itu akan berhasil, tapi ternyata salju dekat sepatu Zero bergerak saling menumpuk hingga membentuk sebuah tangan padat dan menangkap peluru mereka.
"Maaf paman-paman sekalian. Tanganku sedang sibuk membawa kakak kembarku ini. Jadi, tidak masalah kan kalau aku menggunakan ini?"
Salju dekat kakinya itu runtuh dan mengubur peluru-peluru tadi, membentuk pusaran yang berputar-putar secara horizontal. Setelahnya, pusaran itu melejit sampai 2 meter tingginya dan membentuk sebuah lengan raksasa.
Tak sampai di situ, salju di belakang dan di samping kanan-kiri Zero pun melakukan hal serupa. Hingga terlahirlah 4 pilar tangan yang menjulang tinggi mengelilinginya.
"Beruntung sekali bukan, Roze? Jika bukan karena musim dingin, aku mungkin harus menurunkanmu di sini." Zero menunduk, menatap Zeze tepat di manik mata. Wajahnya datar dan tenang tidak jahil seperti tadi.
"Jadi, bagaimana? Aku kubur saja mereka, atau..." mata Zero kembali mengarah ke depan ketika ia menyeringai penuh arti, "tidak, lupakan saja."
Tangan salju di belakangnya bergerak maju, melewati atas kepalanya dan menerjang ketiga pria tersebut.
Kaki mereka sudah sangat siap untuk menghindar, namun tangan raksasa itu malah terbelah menjadi tiga dan mengepal menjadi tinju lalu menubruk keras perut mereka.
Yang memegang pistol berhasil menghindar ke kiri, namun pilar di sebelah kanan Zero langsung maju dan menggenggam perutnya, membawanya melayang ke atas. Pria itu terlihat seperti mainan rusak dalam genggaman anak kecil, meronta-ronta, mencoba mencakar tapi kukunya justru membeku dan patah.
Tak sampai di situ, Zero membalik tubuh pria itu dan menggoyang-goyangkannya ke atas dan ke bawah seraya memerintahkan tangan-tangan raksasanya yang lain untuk maju.
Tak terhitung sudah berapa kali pria itu berteriak-teriak minta ampun tatkala melihat tangan-tangan itu kian mendekat ke arahnya. Namun sayang, kata 'ampunan' sama sekali tidak ada pada kamus Zero.
Tanpa ampun, mereka menyerbu memasuki mulut, telinga, dan kedua lubang hidungnya. Suara tersedak yang mengerikan mewarnai malam dingin itu. Salju itu membekukan setiap organ tubuhnya dari dalam. Hingga akhirnya, pria itu tidak bersuara maupun bergerak lagi.
Tangan besar di perutnya runtuh, membiarkan tubuh kakunya jatuh membentur televisi rusak dan berakhir memecahkan kacanya.
Sejak tadi Zeze memperhatikan semuanya dengan mulut setengah membuka. Bukan main, saudara kembarnya ini memang luar biasa.
Jujur ini pertama kalinya ia melihat dýnami Zero, dan ia tidak pernah menyangka bahwa dýnami Zero memiliki kecocokan untuk bisa terhubung dengan salju, sesuatu yang dingin, yang benar-benar berbanding terbalik dengannya.