40 HELP
Untungnya Zeze mendapatkan Porsche oranye dari abad ke-21 yang sudah lama ia idam-idamkan. Awalnya ia kesulitan karena ada juga yang mengincar mobil ini bahkan sampai bermiliar-miliar, sementara Obi mengirimkannya uang yang sangat terbatas. Mungkin Obi belajar dari pengalaman yang lalu karena Zeze selalu pulang dengan mobil atau barang-barang antik lainnya tanpa memedulikan pesanannya.
Untung saja tadi Norofi meneleponnya, jika tidak, ia mungkin tidak akan ingat tentang hal ini. Sebagai ucapan terima kasih, rencananya ia akan membelikannya hadiah ketika pulang.
Dengan tangan yang mencengkeram erat kemudi, Zeze tertawa puas di dalam mobilnya. Pada akhirnya ia menghabiskan seluruh uangnya untuk mobil ini tanpa membawa pesanan Obi.
Dulu ia dan Norofi sering diajak ke sini oleh Afrodi dan Tera. Afrodi bekerja sebagai karyawan kantor—yang sama sekali tidak cocok untuknya. Padahal dia mempunyai kesempatan untuk membuat mimpinya sendiri dan berhenti menjadi kacung orang lain.
Sedangkan Tera adalah seorang programmer termuda di salah satu perusahaan game terbesar di Eropa. Uang yang mereka gunakan juga adalah gaji mereka sendiri. Énkavma tidak sekalipun mengambil uang-uang kotor para sampah itu.
Biasanya Afrodi selalu kalah pada penawaran pertama, karena itulah Tera yang mengambil alih. Zeze tersenyum ketika mengingatnya. Kala itu ia hanya dapat menatap kagum Afrodi dan Tera yang balapan dengan mobil baru mereka.
Andai ia sudah besar kala itu. Ia ingin sekali mengulang waktu dan merasakan rasanya balapan dengan mereka.
Mobilnya menepi di pinggir jalan depan minimarket untuk membeli coklat panas. Setelah mendapatkan apa yang diinginkan, Zeze memutuskan untuk berputar-putar terlebih dahulu menikmati suasana sepi pusat kota. Jam di punggung tangannya telah menunjukkan pukul 10.08 malam. Wajar saja tidak banyak orang.
Kakinya memasuki wilayah perumahan. Ia terus menyusuri jalan sambil menikmati udara dingin dan coklat panasnya.
Sebuah taman bermain menariknya untuk duduk sejenak di salah satu dari dua ayunan yang sesekali bergoyang tertiup angin. Hanya ada sebuah lampu taman temaram yang membersihkan penglihatannya.
Zeze mendesah, menimbulkan uap keluar dari mulutnya. Terlintas di pikirannya untuk mengajak Obi ke pelelangan seperti yang lalu-lalu, namun ia urungkan niatnya.
Alasan lainnya ia ke sini adalah karena butuh waktu sendiri. Ia ingin bernostalgia sekaligus menenangkan hatinya perihal kejadian yang lalu, saat ia mengetahui bahwa Sageta adalah saudarinya. Ia gagal menjaga bayinya, yang ternyata adalah keponakannya sendiri.
Coklat panasnya telah habis. Ia bangkit untuk membuang gelas kosongnya ke tempat sampah terdekat. Karena gelap, kakinya tersandung sesuatu. Ketika ia melihat ke bawah, ia kira adalah batu. Tetapi bukan, ini lebih buruk dari itu.
Ini adalah kaki manusia.
Zeze berjongkok untuk menemukan tubuhnya. Ia menyalakan flash light ponsel untuk melihat rupa orang itu. Ketika ia mengecek nadi di lehernya, denyutnya telah lenyap.
Tanpa rasa takut, ia membuka kelopak mata dan mulut sang mayat untuk mengidentifikasi. Tanpa diragukan lagi, dilihat dari ciri-cirinya, ini adalah mayat pecandu narkoba.
Samar-samar, ia mendengar banyak bunyi sepatu boots yang menginjak salju berulang-ulang. Tanpa pikir panjang, ia bersembunyi di balik pohon dekat kepala sang mayat.
Saat mengintip, terdapat dua orang pria berjas hitam. Salah satu dari mereka yang memakai kacamata hitam, berjongkok di samping kepala sang mayat.
"Dasar bodoh," rutuknya. "Jika ingin mati jangan di sini." Ia berdiri lalu menendang kaki mayat itu.
"Apa yang harus kita lakukan?" Tanya yang lainnya.
"Kita bakar. Jangan sampai polisi tahu dia ini bagian dari kita."
Mata Zeze memicing.
"Apa kita harus memberitahu Bos Besar?"
"Bodoh! Masih mending jika dia mengirim kita ke penjara lagi. Bagaimana kalau kita mati!?"
Kedua orang itu langsung menyalakan api dari pemantik dan melemparkannya begitu saja ke arah sang mayat kemudian meninggalkannya.
Sekelebat, Zeze mendengar bunyi sesuatu yang tergesek-gesek. Ketika berbalik, ia tak menemukan apa pun. "Mungkin kucing," pikirnya.
Terlintas niatan ingin mengikuti mereka, tapi Zeze mengurungkannya ketika teringat akan timnya. Terlebih lagi ini malam hari dan tengah turun salju. Ia memutuskan kembali ke hotel.
Tapi sebelum itu, Zeze berniat membawakan oleh-oleh kopi untuk mengurangi amarah Obi ketika melihatnya pulang tanpa membawakan apa yang dia pesan.
Akhirnya Zeze bisa memanjakan punggungnya di sebuah single chair kedai kopi setelah hampir satu jam lamanya mencari-cari tempat ini.
Ia menunggu barista membuatkan kopi pesanannya sembari menonton acara komedi di TV yang menggantung di dinding. Pelanggan di kedai ini lumayan banyak walau sudah larut malam. Banyak juga yang terlihat masih mengantre. Pasti kopinya enak. Zeze optimis Obi tidak akan marah padanya kali ini.
"Boleh aku duduk di sini? Meja yang lain telah penuh."
Zeze berpaling dari layar TV dan melihat ke depan, ke arah seorang wanita berumur sekitar 30 tahunan berambut hitam ikal yang berdiri dengan secangkir kopi di tangannya.
"Tentu," jawabnya lalu kembali memusatkan perhatiannya ke layar TV. Ia bisa mendengar bunyi cangkir yang bertemu meja dan bunyi kursi yang ditarik.
Layar tipis yang sejak tadi menampilkan adegan-adegan yang membangkitkan gelak tawa seisi kedai, tiba-tiba tergantikan oleh breaking news. Seorang reporter membacakan berita mengenai ditemukannya tulang belulang yang sudah agak menghitam karena terbakar di sebuah taman bermain. Tidak ada yang Zeze permasalahkan sampai kalimat terakhir reporter itu terucap.
"...diduga pelakunya kali ini adalah Énkavma. FBI telah berusaha untuk..."
Zeze mendengar wanita di hadapannya mendesah dan mengutuk, "mereka lagi."
Sebelah alis Zeze terangkat ketika menghadapnya.
"Inikah yang mereka sebut sebagai keadilan? Kemarin anak-anak mereka culik, sekarang ada lagi. Tidak ada kapok-kapoknya. Aku sampai waswas ketika ingin meninggalkan rumah. Ternyata rumor kalau mereka ingin membantu rakyat kecil itu benar bohongnya."
"Penculikan anak-anak?" Zeze terlihat heran.
Wanita itu mengangguk, "beberapa bulan belakangan ini, Kota Saufrity dihebohkan oleh hilangnya anak-anak. Satu yang kabur berhasil ditemukan dan mengatakan bahwa ini adalah ulah Énkavma."
Ini mungkin adalah omong kosong paling menjijikkan yang pernah didengarnya. Alisnya bertaut marah. Énkavma sudah berkali-kali dituduh hal macam-macam, dan berkali-kali itu pula ia harus menekan amarahnya untuk tidak merobek mulut mereka semua.
Melihat perubahan ekspresi di wajah Zeze, wanita itu berkata, "benar, keterlaluan sekali ya?"
Zeze bungkam. Ia begitu emosi hingga pikirannya pun tak jernih lagi. Dengan gerakan kasar, ia berdiri dan mengambil long coat-nya yang tersampir di kursi. Tanpa mengambil pesanannya, ia pergi, meninggalkan wanita itu begitu saja.
Sialan. Rumahnya yang Rajanya dan Afrodi bangun susah payah. Beraninya mereka...
Baiklah, jika memang itu mau mereka, ia akan menunjukkan cara mainnya.
========
Di saat yang sama, di markas kemiliteran angkatan darat, Glen, Hera, seorang lelaki berambut kemerahan, serta seorang gadis berambut pirang pendek bergelombang, keluar dari dalam gedung menuju taman dan menduduki sebuah kursi panjang.
Lelaki berambut kemerahan itu menguap, "lelah sekali. Aku lebih suka langsung jalan daripada ikut rapat-rapat semacam ini."
"Jangan begitu, Gerald," tukas Hera. "Jika tidak ada pengarahan terlebih dahulu, bagaimana kalau misi kita gagal? Kau ini kan yang paling tua di antara kita. Seharusnya kau memberikan contoh. Jenetta, coba kasih tahu!"
Hera berkata kepada gadis berambut pirang itu, Jenetta yang hanya menanggapinya dengan senyuman.
"Énkavma lagi ya?" Gerald bergumam sembari melihat bintang-bintang. "Dua tahun lalu kakakku, Ueva, gugur di tangan Raja mereka. Saat itu dia digadang-gadang sebagai Ipotis wanita yang sanggup disandingkan dengan Komandan Antoni."
Gerald mendesah, mengeluarkan uap panjang yang langsung terurai di udara. "Padahal besoknya dia menerima kenaikan pangkat sebagai Cheimazo, tetapi ajal sudah menjemputnya duluan."
"Saat itu, misi apa yang dia jalani?" Tanya Jenetta.
"Oh ya, waktu itu kau sedang berada di New York ya?" Gumam Gerald. Ia mengeluarkan kelereng dari dalam sakunya dan memutar-mutarnya di tangan. "Waktu itu dia menjaga kediaman Arwin Laktisma."
Gerald memajukan kepalanya untuk melihat Glen di pojok sana. Dia terlihat melamun, menatap kosong ke arah kolam air yang telah membeku.
"Glen."
Glen meliriknya sekilas kemudian menghadap lagi ke depan. "Apa?"
"Kudengar, saat Jenetta dan aku dikirim ke perbatasan di daerah pelosok, kau diberi dua orang pemula untuk menggantikan kami sementara waktu..."
Hera melirik Gerald dengan waswas. Topik satu ini sangatlah sensitif bagi Glen. Waktu itu, Glen diberi tanggung jawab untuk mengawasi Luke dan Ulbert, karena mereka berdua masih dalam 3 bulan tahap pelatihan.
Meski Glen terlihat tidak peduli, sebenarnya dia selalu menyalahkan dirinya sendiri karena membawa mereka ikut ke pertemuan para bangsawan itu. Ya, walaupun Hera mendengar sendiri kalau itu adalah kemauan mereka berdua. Mereka tidak ingin terus-menerus diperlakukan seperti anak kecil yang tidak bisa apa-apa dan ingin cepat kuat.
"...siapa yang membunuh mereka?"
Hera meneguk ludah ketika berganti melirik Glen.
"Artemis." Suaranya terdengar cukup wajar.
"Oh, pantas saja. Mereka berdua malang sekali bertemu Artemis saat itu."
Tiba-tiba, Glen berdiri dan mendengus panjang. Ia melihat sekeliling lalu berkata, "ayo."
Mereka pergi ke sebuah rumah sakit di Kota Saufrity. Ketika sampai, Hera dan Jenetta ijin pergi ke toilet sebentar sementara Glen dan Gerald menemui resepsionis.
Setelahnya, mereka diantar ke sebuah ruang rawat inap. Pasien di kamar itu adalah seorang anak laki-laki berumur sekitar 10 tahun. Memiliki rambut berwarna pirang dan gigi gingsul di bagian taringnya.
Dia bersandar dengan dua lapis bantal di punggungnya. Selang infus terlihat menyalip masuk melewati plester di punggung tangan kirinya. Kebetulan sekali mereka datang ketika anak itu terbangun. Kalau tidak, mereka pasti akan menunggu, yang tentunya akan memakan waktu lagi.
Glen dan Gerald menduduki kursi lipat di sisi kanannya, sementara Hera dan Jenetta di sisi kirinya.
"Halo," Gerald menyapa sembari melambai dan tersenyum manis.
"Halo," balas anak kecil itu, terlihat takut. Mungkin karena melihat raut tegas serta seragam penuh lencana yang dipakai pemuda itu.
"Kami cuma mau tanya," Gerald sedikit memajukan kursinya. "Aku dengar, kau habis diculik orang-orang jahat ya?"
Anak kecil itu makin ciut. Ia mengerjapkan matanya yang agak mencair.
"Tidak apa," Jenetta menepuk-nepuk puncak kepalanya. "Kamu kan sudah aman. Tidak ada yang akan mengganggumu lagi."
"Benar!" Sambar Hera. "Kamu tenang saja. Kami yang akan menangkap dan menghukum mereka semua. Jadi, kamu mau tidak mengatakan apa saja yang terjadi di sana?"
Jenetta mengangguk, "kamu mau kan membantu kakak-kakak ini menumpas kejahatan seperti yang ada di film-film?" Ia memberikan senyuman semanis madu.
Anak kecil itu langsung mengangguk girang.
Gerald memutar bola matanya. "Dasar. Giliran sama perempuan, dia bersemangat." Ia menyikut Glen yang sama sekali tidak merespons.
Ekspresi Glen yang semula datar, sedikit berubah ketika mendengar anak kecil itu menceritakannya begitu detail. Mulai dari topeng yang mereka kenakan dan nama-nama samaran mereka yang diambil dari dewa-dewi Yunani.
Glen yang semula meragukan perbuatan tersebut dilakukan Énkavma, mau tidak mau berpikir dua kali.
Glen tidak melupakan apa yang saat itu dikatakan Zeze. ("Alasan? Aku hanya ingin memperbaiki dunia yang berantakan ini.") Apa yang mereka dapat perbaiki dari menculik anak kecil?
Glen juga bukannya tidak mau tahu perihal rumor-rumor yang melingkari mereka semua. Tapi, 'hal buruk' apa yang dilakukan anak kecil ini sehingga Énkavma mengincarnya?
Dengan tatapan lekat, Glen mengamati wajah ceria anak kecil itu ketika dia menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan Hera dan Jenetta.
"Apakah ada temanmu yang lain yang juga ikut kabur bersamamu?" Glen bertanya tiba-tiba.
Anak kecil itu takut-takut melihat ke arahnya. "Tidak ada."
"Dimana orang tuamu?"
"Di rumah."
"Oh ya?" Glen mengangkat sepasang alisnya. Hera dan Jenetta bingung dengan sikap lelaki itu.
"Aneh ya. Anak mereka baru saja diculik tapi tidak ada satu pun yang menemaninya di sini."
Setelah mengatakannya, Glen berdiri dan berjalan begitu saja menuju pintu. "Ayo, semuanya."
Ketika mereka berdiri di luar pintu, Hera langsung menegurnya, "apa yang tadi kau lakukan, Glen?"
"Apa yang kau bicarakan? Aku hanya bertanya." Glen menyandarkan punggungnya ke dinding seberang pintu lalu melipat tangannya di depan dada.
"Dia bohong," kata Gerald, ikut bersandar di sebelah kiri Glen.
Hera dan Jenetta berpaling melihatnya. "Maksudnya?" Tanya Hera.
"Tadi, saat kalian sedang ke toilet, kita menanyakan beberapa hal tentang bocah itu ke resepsionis. Tidak ada yang mengaku sebagai walinya. Padahal organisasi perlindungan anak sudah bergerak untuk mencari tahu. Sepertinya dia berasal dari sebuah panti asuhan atau semacamnya. Terlebih lagi, dia juga tidak mengetahui namanya sendiri. Mungkinkah... cuci otak?"
"Jika begitu, seharusnya mereka juga menghapus segala hal tentang mereka di ingatan anak itu," ujar Jenetta, kurang setuju. "Dan aku yakin mereka tidak sebodoh itu untuk melakukan kecerobohan seperti ini. Lagi pula, semua itu tidaklah penting. Kita harus mencari tempat persembunyian mereka di kota ini."
Sependapat, Hera mengangguk kemudian merenung, "aku heran. Kukira mereka tidak akan menargetkan negara ini lagi setelah dua tahun lamanya. Ternyata..."
"Itu wajar saja. Aplistia adalah negara paling berpengaruh di dunia pada abad ini," timpal Gerald. "Artemis dan Aphrodite pasti salah satunya yang berada di sini. Yang jadi permasalahan adalah rekan-rekan mereka yang lain. Masih banyak yang belum kita ketahui mengenai mereka. Jika memang terlalu sulit, Mr. Yerhavka menyuruh kita untuk memanggil bantuan. Sebenarnya sebelum ke sini, aku sudah meminta bantuan temanku, Carlos. Tapi sepertinya dia telah menjadi ksatria pribadi salah satu keturunan kerajaan."
Glen mendesah lalu memperbaiki posturnya. "Kita punya waktu seminggu." Ia melihat jam, "sudah pukul 1 pagi. Lebih baik sekarang kita istirahat karena siang nanti kita sudah harus bergerak lagi. Jen, kau tinggal di sini untuk mengawasi anak itu."
Mereka menaiki mobil sport berwarna hitam dengan Gerald yang mengemudi. Glen duduk di sebelahnya sementara Hera sedang memainkan ponselnya di kursi belakang.
Glen terus memandang ke luar jendela dengan bosan. Jalanan terlihat sangat sepi dan mereka tidak heran akan hal ini. Bukan karena sudah malam, tapi karena memang jarang sekali yang memiliki kendaraan di kota ini.
Secara tiba-tiba, sesuatu melesat cepat sehingga membuat mata Glen mengerjap. Ketika berpaling ke depan, ia melihat sebuah mobil sport berwarna pink.
"Ada apaan ini?" Gumam Gerald.
"Ikuti."
Merasa mendengar suara seseorang, Gerald bertanya, "apa? Kau yang bilang itu barusan?"
Glen mengangguk tanpa melepaskan matanya dari jalanan yang diapit dua hutan lebat ini.
"Kenapa?" Gerald bertanya walau tetap menambah kecepatan mobilnya.
"Dia melaju dengan kecepatan di atas batas maksimal. Ini sudah menjadi tugas kita." Terdengar suara Hera dari belakang.
"Untuk apa? Biarkan itu menjadi tugas polisi."
"Apa kau melihat ada polisi berpatroli di sini? Sudah cepat lakukan apa yang Glen bilang. Kita ini sebagai penegak hukum harus melakukan tanggung jawab kita. Memangnya kau mau memakan gaji buta?"
"Apanya yang gaji buta? Kita kan ke sini untuk menjalankan misi. Aku menjalankan tanggung jawab dan pekerjaanku!"
Saat sedang menggerutu begini, mobil berwarna pink itu tertangkap oleh mata hitamnya. Ia langsung menyalipnya dan berhenti di hadapannya dengan posisi miring ke kanan.
Ketika Glen membuka pintu, cahaya dari lampu mobil pink itu padam. Menyadari hal ini, ia memberi isyarat dengan tatapan mata kepada Gerald untuk membawa senter.
Hera sudah ingin membuka pintu juga, tapi Glen langsung melototinya. Walau sempat cemberut, tapi pada akhirnya Hera menurut.
Glen dan Gerald turun dan menghampiri mobil itu. Ketika Gerald mengetuk kacanya, pengendara mobil itu langsung menurunkannya.
Gerald sempat mengangkat alis ketika melihat penampilannya. Dia wanita, kira-kira seumuran dengannya, sekitar 25 tahun. Gaya busananya serba hitam seperti anak punk. Bibirnya berwarna hitam dengan anting di tengah-tengahnya serta rambut yang berwarna ungu menyala.
"Selamat pagi Nona, bisa turun sebentar?" Ia mencoba bersikap sopan. Jujur, ia belum pernah melakukan hal-hal seperti ini ketika bertugas.
Perempuan itu tidak menjawab dan langsung membuka pintu. Ia bersedekap dengan sikap tidak sabaran.
"Boleh saya tahu kenapa Nona mengendarai mobil begitu cepat? Bagaimana jika Nona menabrak seseorang nantinya?"
"Aku sedang terburu-buru."
"Oh begitu? Coba Nona pegang hidung—"
"Aku juga tidak sedang mabuk." Ia langsung memegang hidungnya sendiri dan tidak ada tanda-tanda masalah koordinasi.
"Boleh kami tahu siapa nama Nona dan ke mana tujuannya?" Kini giliran Glen yang bertanya.
"Aku Enamel," dia menghela napas lalu menilai mereka berdua dari atas sampai bawah.
"Kalian bukan polisi. Kalian Ipotis?" Dia terlihat agak kaget. Wajar saja karena yang secara langsung menegurnya adalah ksatria hebat semacam ini yang biasanya dikirim untuk mengatasi masalah besar.
"Ya. Lalu, ke mana tujuan Nona?"
Ekspresi Enamel berubah serius. Dia juga terlihat lebih tenang tidak terburu-buru seperti tadi. "Kalau kalian pasti bisa." Ucapannya membuat Glen dan Gerald saling bertukar pandang.
"Aku sebenarnya sedang dikejar seseorang. Tolong bantu aku." Raut wajahnya yang memelas terlihat sangat meyakinkan.
Beberapa saat setelah ia mengatakannya, sinar lampu mobil langsung membuat silau mata mereka.
Sebuah mobil sport berwarna biru berhenti di sebelah kanan mobil Enamel. Orang-orang di dalamnya keluar; tiga orang pria berbadan kekar di balik jaket kulit hitam yang mereka kenakan.
"Aku tidak meminta kalian untuk menyelamatkanku, aku hanya meminta kalian membantuku. Kalau aku sendiri saja tidak akan mungkin." Enamel langsung memasang sikap waspada setelah mengatakannya.
========
Punggung Gerald membentur pohon ketika orang di hadapannya meninjunya tepat di ulu hati.
Setengah membungkuk, samar-samar ia melihat seorang pria berbadan kekar penuh tato berjalan mendekatinya. Orang itu telah membuka bajunya, padahal suhu sedang dingin.
Tidak-tidak, itu semua tidaklah penting. Yang menjadi masalah adalah tato bergambar kepala minotaur di kedua lengan atas pria itu sekarang mengeluarkan cahaya. Pembuluh darahnya juga terlihat menyembul di balik kulitnya, seakan-akan mereka dapat keluar kapan saja.
Sembari berusaha menegakkan punggung, Gerald menatap tak berdaya pedangnya yang terlempar jauh ke semak-semak. Glen dan Enamel sedang melawan dua yang lainnya. Ia tidak terlalu mengkhawatirkan Glen, tapi perempuan itu.
Setelah mengembuskan napas panjang, Gerald melesat maju dan menendang perut berotot pria itu kemudian melompat mundur lagi.
Ketika menghadap ke depan untuk mengecek bagaimana keadaan pria itu, matanya langsung dibuat terbuka lebar-lebar. Kali ini tato bergambar ogre di perutnya yang mengeluarkan cahaya, sementara tato di lengan pria itu padam.
Pria itu maju sembari berteriak ke arahnya. Panik, Gerald langsung melompat ke atas pohon sehingga pria itu hanya berakhir meninju batangnya. Ia bahkan dapat melihat retakan di batang pohon itu.
Tapi ada satu hal lagi yang dilihatnya. Sesaat sebelum pria itu menarik tangannya kembali, tato kepala minotaurnya mengeluarkan cahaya, sementara tato ogre barusan padam.
Gerald mengangguk-angguk dalam diam. Pria itu tidak bisa menggunakan keduanya dalam satu waktu.
Saat sedang merenung seperti ini, tiba-tiba pria itu melompat dan menariknya turun. Yang selanjutnya Gerald rasakan adalah tekanan yang luar biasa menyakitkan di perutnya.
Ketika membuka mata, ia melihat kaki kiri pria itu berada di atas perutnya. 'Sekarang apa lagi ini? Kaki juga? Apa tatonya? Kodok?'
Seharusnya dia tidak boleh bercanda saat ini, tapi begitulah Gerald, berbanding terbalik dengan Glen. Mungkin karena itulah mereka disebut partner yang saling melengkapi.
Saat sedang diinjak-injak begini, ia jadi teringat seseorang yang sering kali dilihatnya mengalami hal semacam ini.
Saat pertama kali bertemu orang itu, ia masih berumur 19 tahun, usia dimana saat ia dilantik menjadi Ipotis berpangkat Gafeus, pangkat tingkat empat dan yang paling bawah dari ketiga pangkat di atasnya.
Saat itu, Gerald dibuat terkagum-kagum akan seorang anak laki-laki yang juga satu angkatan dengannya, padahal saat itu dia baru berumur 10 tahun. Anak itu adalah penyandang gelar Gafeus termuda di angkatannya.
Dia sangat pendiam dan kaku. Ketika Gerald mengetahui latar belakangnya, ia memandangnya dengan sebelah mata.
Tentu saja siapa pun yang mendengar tentang ibunya pasti akan memandangnya dengan kebencian yang tiada tara. Tapi ketika mendengar tentang ayahnya, cara pandang mereka langsung berubah 180°. Anak itu terlahir dari kedua orang tua dengan latar belakang yang sangat jauh berbeda.
Tapi anak itu tetap maju seakan tidak memiliki telinga untuk mendengar segala bisikan buruk tentang dirinya. Dia membungkam mulut mereka semua dengan prestasi. Dan tanpa terasa, anak itu yang akan menjadi pemimpinnya suatu saat nanti.
Untuk dua puluh tahun berturut-turut, pemimpin tertinggi Ipotis pusat berasal dari keluarga Marquess Barier. Keluarganya, Marquess Irdante hanya pernah menjabat selama dua periode, dan itu pun sudah lewat berpuluh-puluh tahun yang lalu.
Dan Gerald sudah melewati susah senangnya sebuah perjuangan bersamanya. Ia melihatnya tumbuh seperti melihat adiknya sendiri. Ia yakin dan percaya anak itu pasti bisa menjadi pemimpin para ksatria selanjutnya.
Tekanan yang makin kuat di perutnya membawanya kembali ke kenyataan. Gerald melihat satu tato lagi yang bercahaya. Kali ini berada di punggung tangan, berbentuk sebuah kaki singa. Tak lama kemudian, kuku-kuku pria itu sekonyong-konyong bertambah panjang.
Menyadari apa yang akan dia lakukan, dengan perlahan, sembari menahan nyeri di perutnya, Gerald mengeluarkan sesuatu dari saku jubahnya.
"Tunggu-tunggu," Gerald mengangkat kedua tangannya ke atas. "Paman, Anda tidak benar-benar berniat membunuhku kan?"
Pria itu mendenguskan tawa, "jika setelah melihat ini kau masih bertanya, sepertinya IQ-mu di bawah rata-rata."
Gerald mencoba menyeringai walau terlihat cemas. "Ayolah Paman... kalian bertiga tidak malu mengeroyok seorang wanita? Dimana sikap jantan kalian! Coba lihat tuh! Otot-otot Paman besar begini tapi masa' lawannya seorang wanita lemah? Seharusnya Paman punya malu!"
Alis pria itu berkedut, "kau yang tidak tahu apa-apa diam saja. Membela dia atau kami tidak akan ada untungnya bagi kalian. Kuberitahu kalian pasti akan menyesa—"
Pria itu membungkuk ketika sesuatu menghantam kepala belakangnya.
Ketika berbalik, ia tidak melihat apa-apa kecuali pepohonan. Tapi setelahnya, kini giliran puncak kepalanya yang kena. Sambil meringis, ia melihat ke atas. Dan ia langsung membuka matanya lebar-lebar ketika melihat puluhan kelereng menari-nari dengan sangat cepat di udara.
"Ups, seharusnya Paman menutup mata."
Pria itu berteriak keras sekali ketika kelereng itu menghantam bola matanya, memecahkannya sehingga menyebabkan darah mengalir deras. Ia terhuyung ke belakang dan membebaskan perut Gerald.
Gerald bangun dengan susah payah. Ia terbatuk-batuk dan memuntahkan darah. Oh tidak, ia tidak boleh kehilangan kontak mata. Nanti kelereng-kelereng itu tidak akan bisa bergerak lagi mengikuti keinginannya.
Meludahkan darah ke samping, Gerald memamerkan seringai kejinya. "Paman, sayang sekali. Bagian kepala Paman tidak ada tatonya..."
Untung saja tadi Norofi meneleponnya, jika tidak, ia mungkin tidak akan ingat tentang hal ini. Sebagai ucapan terima kasih, rencananya ia akan membelikannya hadiah ketika pulang.
Dengan tangan yang mencengkeram erat kemudi, Zeze tertawa puas di dalam mobilnya. Pada akhirnya ia menghabiskan seluruh uangnya untuk mobil ini tanpa membawa pesanan Obi.
Dulu ia dan Norofi sering diajak ke sini oleh Afrodi dan Tera. Afrodi bekerja sebagai karyawan kantor—yang sama sekali tidak cocok untuknya. Padahal dia mempunyai kesempatan untuk membuat mimpinya sendiri dan berhenti menjadi kacung orang lain.
Sedangkan Tera adalah seorang programmer termuda di salah satu perusahaan game terbesar di Eropa. Uang yang mereka gunakan juga adalah gaji mereka sendiri. Énkavma tidak sekalipun mengambil uang-uang kotor para sampah itu.
Biasanya Afrodi selalu kalah pada penawaran pertama, karena itulah Tera yang mengambil alih. Zeze tersenyum ketika mengingatnya. Kala itu ia hanya dapat menatap kagum Afrodi dan Tera yang balapan dengan mobil baru mereka.
Andai ia sudah besar kala itu. Ia ingin sekali mengulang waktu dan merasakan rasanya balapan dengan mereka.
Mobilnya menepi di pinggir jalan depan minimarket untuk membeli coklat panas. Setelah mendapatkan apa yang diinginkan, Zeze memutuskan untuk berputar-putar terlebih dahulu menikmati suasana sepi pusat kota. Jam di punggung tangannya telah menunjukkan pukul 10.08 malam. Wajar saja tidak banyak orang.
Kakinya memasuki wilayah perumahan. Ia terus menyusuri jalan sambil menikmati udara dingin dan coklat panasnya.
Sebuah taman bermain menariknya untuk duduk sejenak di salah satu dari dua ayunan yang sesekali bergoyang tertiup angin. Hanya ada sebuah lampu taman temaram yang membersihkan penglihatannya.
Zeze mendesah, menimbulkan uap keluar dari mulutnya. Terlintas di pikirannya untuk mengajak Obi ke pelelangan seperti yang lalu-lalu, namun ia urungkan niatnya.
Alasan lainnya ia ke sini adalah karena butuh waktu sendiri. Ia ingin bernostalgia sekaligus menenangkan hatinya perihal kejadian yang lalu, saat ia mengetahui bahwa Sageta adalah saudarinya. Ia gagal menjaga bayinya, yang ternyata adalah keponakannya sendiri.
Coklat panasnya telah habis. Ia bangkit untuk membuang gelas kosongnya ke tempat sampah terdekat. Karena gelap, kakinya tersandung sesuatu. Ketika ia melihat ke bawah, ia kira adalah batu. Tetapi bukan, ini lebih buruk dari itu.
Ini adalah kaki manusia.
Zeze berjongkok untuk menemukan tubuhnya. Ia menyalakan flash light ponsel untuk melihat rupa orang itu. Ketika ia mengecek nadi di lehernya, denyutnya telah lenyap.
Tanpa rasa takut, ia membuka kelopak mata dan mulut sang mayat untuk mengidentifikasi. Tanpa diragukan lagi, dilihat dari ciri-cirinya, ini adalah mayat pecandu narkoba.
Samar-samar, ia mendengar banyak bunyi sepatu boots yang menginjak salju berulang-ulang. Tanpa pikir panjang, ia bersembunyi di balik pohon dekat kepala sang mayat.
Saat mengintip, terdapat dua orang pria berjas hitam. Salah satu dari mereka yang memakai kacamata hitam, berjongkok di samping kepala sang mayat.
"Dasar bodoh," rutuknya. "Jika ingin mati jangan di sini." Ia berdiri lalu menendang kaki mayat itu.
"Apa yang harus kita lakukan?" Tanya yang lainnya.
"Kita bakar. Jangan sampai polisi tahu dia ini bagian dari kita."
Mata Zeze memicing.
"Apa kita harus memberitahu Bos Besar?"
"Bodoh! Masih mending jika dia mengirim kita ke penjara lagi. Bagaimana kalau kita mati!?"
Kedua orang itu langsung menyalakan api dari pemantik dan melemparkannya begitu saja ke arah sang mayat kemudian meninggalkannya.
Sekelebat, Zeze mendengar bunyi sesuatu yang tergesek-gesek. Ketika berbalik, ia tak menemukan apa pun. "Mungkin kucing," pikirnya.
Terlintas niatan ingin mengikuti mereka, tapi Zeze mengurungkannya ketika teringat akan timnya. Terlebih lagi ini malam hari dan tengah turun salju. Ia memutuskan kembali ke hotel.
Tapi sebelum itu, Zeze berniat membawakan oleh-oleh kopi untuk mengurangi amarah Obi ketika melihatnya pulang tanpa membawakan apa yang dia pesan.
Akhirnya Zeze bisa memanjakan punggungnya di sebuah single chair kedai kopi setelah hampir satu jam lamanya mencari-cari tempat ini.
Ia menunggu barista membuatkan kopi pesanannya sembari menonton acara komedi di TV yang menggantung di dinding. Pelanggan di kedai ini lumayan banyak walau sudah larut malam. Banyak juga yang terlihat masih mengantre. Pasti kopinya enak. Zeze optimis Obi tidak akan marah padanya kali ini.
"Boleh aku duduk di sini? Meja yang lain telah penuh."
Zeze berpaling dari layar TV dan melihat ke depan, ke arah seorang wanita berumur sekitar 30 tahunan berambut hitam ikal yang berdiri dengan secangkir kopi di tangannya.
"Tentu," jawabnya lalu kembali memusatkan perhatiannya ke layar TV. Ia bisa mendengar bunyi cangkir yang bertemu meja dan bunyi kursi yang ditarik.
Layar tipis yang sejak tadi menampilkan adegan-adegan yang membangkitkan gelak tawa seisi kedai, tiba-tiba tergantikan oleh breaking news. Seorang reporter membacakan berita mengenai ditemukannya tulang belulang yang sudah agak menghitam karena terbakar di sebuah taman bermain. Tidak ada yang Zeze permasalahkan sampai kalimat terakhir reporter itu terucap.
"...diduga pelakunya kali ini adalah Énkavma. FBI telah berusaha untuk..."
Zeze mendengar wanita di hadapannya mendesah dan mengutuk, "mereka lagi."
Sebelah alis Zeze terangkat ketika menghadapnya.
"Inikah yang mereka sebut sebagai keadilan? Kemarin anak-anak mereka culik, sekarang ada lagi. Tidak ada kapok-kapoknya. Aku sampai waswas ketika ingin meninggalkan rumah. Ternyata rumor kalau mereka ingin membantu rakyat kecil itu benar bohongnya."
"Penculikan anak-anak?" Zeze terlihat heran.
Wanita itu mengangguk, "beberapa bulan belakangan ini, Kota Saufrity dihebohkan oleh hilangnya anak-anak. Satu yang kabur berhasil ditemukan dan mengatakan bahwa ini adalah ulah Énkavma."
Ini mungkin adalah omong kosong paling menjijikkan yang pernah didengarnya. Alisnya bertaut marah. Énkavma sudah berkali-kali dituduh hal macam-macam, dan berkali-kali itu pula ia harus menekan amarahnya untuk tidak merobek mulut mereka semua.
Melihat perubahan ekspresi di wajah Zeze, wanita itu berkata, "benar, keterlaluan sekali ya?"
Zeze bungkam. Ia begitu emosi hingga pikirannya pun tak jernih lagi. Dengan gerakan kasar, ia berdiri dan mengambil long coat-nya yang tersampir di kursi. Tanpa mengambil pesanannya, ia pergi, meninggalkan wanita itu begitu saja.
Sialan. Rumahnya yang Rajanya dan Afrodi bangun susah payah. Beraninya mereka...
Baiklah, jika memang itu mau mereka, ia akan menunjukkan cara mainnya.
========
Di saat yang sama, di markas kemiliteran angkatan darat, Glen, Hera, seorang lelaki berambut kemerahan, serta seorang gadis berambut pirang pendek bergelombang, keluar dari dalam gedung menuju taman dan menduduki sebuah kursi panjang.
Lelaki berambut kemerahan itu menguap, "lelah sekali. Aku lebih suka langsung jalan daripada ikut rapat-rapat semacam ini."
"Jangan begitu, Gerald," tukas Hera. "Jika tidak ada pengarahan terlebih dahulu, bagaimana kalau misi kita gagal? Kau ini kan yang paling tua di antara kita. Seharusnya kau memberikan contoh. Jenetta, coba kasih tahu!"
Hera berkata kepada gadis berambut pirang itu, Jenetta yang hanya menanggapinya dengan senyuman.
"Énkavma lagi ya?" Gerald bergumam sembari melihat bintang-bintang. "Dua tahun lalu kakakku, Ueva, gugur di tangan Raja mereka. Saat itu dia digadang-gadang sebagai Ipotis wanita yang sanggup disandingkan dengan Komandan Antoni."
Gerald mendesah, mengeluarkan uap panjang yang langsung terurai di udara. "Padahal besoknya dia menerima kenaikan pangkat sebagai Cheimazo, tetapi ajal sudah menjemputnya duluan."
"Saat itu, misi apa yang dia jalani?" Tanya Jenetta.
"Oh ya, waktu itu kau sedang berada di New York ya?" Gumam Gerald. Ia mengeluarkan kelereng dari dalam sakunya dan memutar-mutarnya di tangan. "Waktu itu dia menjaga kediaman Arwin Laktisma."
Gerald memajukan kepalanya untuk melihat Glen di pojok sana. Dia terlihat melamun, menatap kosong ke arah kolam air yang telah membeku.
"Glen."
Glen meliriknya sekilas kemudian menghadap lagi ke depan. "Apa?"
"Kudengar, saat Jenetta dan aku dikirim ke perbatasan di daerah pelosok, kau diberi dua orang pemula untuk menggantikan kami sementara waktu..."
Hera melirik Gerald dengan waswas. Topik satu ini sangatlah sensitif bagi Glen. Waktu itu, Glen diberi tanggung jawab untuk mengawasi Luke dan Ulbert, karena mereka berdua masih dalam 3 bulan tahap pelatihan.
Meski Glen terlihat tidak peduli, sebenarnya dia selalu menyalahkan dirinya sendiri karena membawa mereka ikut ke pertemuan para bangsawan itu. Ya, walaupun Hera mendengar sendiri kalau itu adalah kemauan mereka berdua. Mereka tidak ingin terus-menerus diperlakukan seperti anak kecil yang tidak bisa apa-apa dan ingin cepat kuat.
"...siapa yang membunuh mereka?"
Hera meneguk ludah ketika berganti melirik Glen.
"Artemis." Suaranya terdengar cukup wajar.
"Oh, pantas saja. Mereka berdua malang sekali bertemu Artemis saat itu."
Tiba-tiba, Glen berdiri dan mendengus panjang. Ia melihat sekeliling lalu berkata, "ayo."
Mereka pergi ke sebuah rumah sakit di Kota Saufrity. Ketika sampai, Hera dan Jenetta ijin pergi ke toilet sebentar sementara Glen dan Gerald menemui resepsionis.
Setelahnya, mereka diantar ke sebuah ruang rawat inap. Pasien di kamar itu adalah seorang anak laki-laki berumur sekitar 10 tahun. Memiliki rambut berwarna pirang dan gigi gingsul di bagian taringnya.
Dia bersandar dengan dua lapis bantal di punggungnya. Selang infus terlihat menyalip masuk melewati plester di punggung tangan kirinya. Kebetulan sekali mereka datang ketika anak itu terbangun. Kalau tidak, mereka pasti akan menunggu, yang tentunya akan memakan waktu lagi.
Glen dan Gerald menduduki kursi lipat di sisi kanannya, sementara Hera dan Jenetta di sisi kirinya.
"Halo," Gerald menyapa sembari melambai dan tersenyum manis.
"Halo," balas anak kecil itu, terlihat takut. Mungkin karena melihat raut tegas serta seragam penuh lencana yang dipakai pemuda itu.
"Kami cuma mau tanya," Gerald sedikit memajukan kursinya. "Aku dengar, kau habis diculik orang-orang jahat ya?"
Anak kecil itu makin ciut. Ia mengerjapkan matanya yang agak mencair.
"Tidak apa," Jenetta menepuk-nepuk puncak kepalanya. "Kamu kan sudah aman. Tidak ada yang akan mengganggumu lagi."
"Benar!" Sambar Hera. "Kamu tenang saja. Kami yang akan menangkap dan menghukum mereka semua. Jadi, kamu mau tidak mengatakan apa saja yang terjadi di sana?"
Jenetta mengangguk, "kamu mau kan membantu kakak-kakak ini menumpas kejahatan seperti yang ada di film-film?" Ia memberikan senyuman semanis madu.
Anak kecil itu langsung mengangguk girang.
Gerald memutar bola matanya. "Dasar. Giliran sama perempuan, dia bersemangat." Ia menyikut Glen yang sama sekali tidak merespons.
Ekspresi Glen yang semula datar, sedikit berubah ketika mendengar anak kecil itu menceritakannya begitu detail. Mulai dari topeng yang mereka kenakan dan nama-nama samaran mereka yang diambil dari dewa-dewi Yunani.
Glen yang semula meragukan perbuatan tersebut dilakukan Énkavma, mau tidak mau berpikir dua kali.
Glen tidak melupakan apa yang saat itu dikatakan Zeze. ("Alasan? Aku hanya ingin memperbaiki dunia yang berantakan ini.") Apa yang mereka dapat perbaiki dari menculik anak kecil?
Glen juga bukannya tidak mau tahu perihal rumor-rumor yang melingkari mereka semua. Tapi, 'hal buruk' apa yang dilakukan anak kecil ini sehingga Énkavma mengincarnya?
Dengan tatapan lekat, Glen mengamati wajah ceria anak kecil itu ketika dia menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan Hera dan Jenetta.
"Apakah ada temanmu yang lain yang juga ikut kabur bersamamu?" Glen bertanya tiba-tiba.
Anak kecil itu takut-takut melihat ke arahnya. "Tidak ada."
"Dimana orang tuamu?"
"Di rumah."
"Oh ya?" Glen mengangkat sepasang alisnya. Hera dan Jenetta bingung dengan sikap lelaki itu.
"Aneh ya. Anak mereka baru saja diculik tapi tidak ada satu pun yang menemaninya di sini."
Setelah mengatakannya, Glen berdiri dan berjalan begitu saja menuju pintu. "Ayo, semuanya."
Ketika mereka berdiri di luar pintu, Hera langsung menegurnya, "apa yang tadi kau lakukan, Glen?"
"Apa yang kau bicarakan? Aku hanya bertanya." Glen menyandarkan punggungnya ke dinding seberang pintu lalu melipat tangannya di depan dada.
"Dia bohong," kata Gerald, ikut bersandar di sebelah kiri Glen.
Hera dan Jenetta berpaling melihatnya. "Maksudnya?" Tanya Hera.
"Tadi, saat kalian sedang ke toilet, kita menanyakan beberapa hal tentang bocah itu ke resepsionis. Tidak ada yang mengaku sebagai walinya. Padahal organisasi perlindungan anak sudah bergerak untuk mencari tahu. Sepertinya dia berasal dari sebuah panti asuhan atau semacamnya. Terlebih lagi, dia juga tidak mengetahui namanya sendiri. Mungkinkah... cuci otak?"
"Jika begitu, seharusnya mereka juga menghapus segala hal tentang mereka di ingatan anak itu," ujar Jenetta, kurang setuju. "Dan aku yakin mereka tidak sebodoh itu untuk melakukan kecerobohan seperti ini. Lagi pula, semua itu tidaklah penting. Kita harus mencari tempat persembunyian mereka di kota ini."
Sependapat, Hera mengangguk kemudian merenung, "aku heran. Kukira mereka tidak akan menargetkan negara ini lagi setelah dua tahun lamanya. Ternyata..."
"Itu wajar saja. Aplistia adalah negara paling berpengaruh di dunia pada abad ini," timpal Gerald. "Artemis dan Aphrodite pasti salah satunya yang berada di sini. Yang jadi permasalahan adalah rekan-rekan mereka yang lain. Masih banyak yang belum kita ketahui mengenai mereka. Jika memang terlalu sulit, Mr. Yerhavka menyuruh kita untuk memanggil bantuan. Sebenarnya sebelum ke sini, aku sudah meminta bantuan temanku, Carlos. Tapi sepertinya dia telah menjadi ksatria pribadi salah satu keturunan kerajaan."
Glen mendesah lalu memperbaiki posturnya. "Kita punya waktu seminggu." Ia melihat jam, "sudah pukul 1 pagi. Lebih baik sekarang kita istirahat karena siang nanti kita sudah harus bergerak lagi. Jen, kau tinggal di sini untuk mengawasi anak itu."
Mereka menaiki mobil sport berwarna hitam dengan Gerald yang mengemudi. Glen duduk di sebelahnya sementara Hera sedang memainkan ponselnya di kursi belakang.
Glen terus memandang ke luar jendela dengan bosan. Jalanan terlihat sangat sepi dan mereka tidak heran akan hal ini. Bukan karena sudah malam, tapi karena memang jarang sekali yang memiliki kendaraan di kota ini.
Secara tiba-tiba, sesuatu melesat cepat sehingga membuat mata Glen mengerjap. Ketika berpaling ke depan, ia melihat sebuah mobil sport berwarna pink.
"Ada apaan ini?" Gumam Gerald.
"Ikuti."
Merasa mendengar suara seseorang, Gerald bertanya, "apa? Kau yang bilang itu barusan?"
Glen mengangguk tanpa melepaskan matanya dari jalanan yang diapit dua hutan lebat ini.
"Kenapa?" Gerald bertanya walau tetap menambah kecepatan mobilnya.
"Dia melaju dengan kecepatan di atas batas maksimal. Ini sudah menjadi tugas kita." Terdengar suara Hera dari belakang.
"Untuk apa? Biarkan itu menjadi tugas polisi."
"Apa kau melihat ada polisi berpatroli di sini? Sudah cepat lakukan apa yang Glen bilang. Kita ini sebagai penegak hukum harus melakukan tanggung jawab kita. Memangnya kau mau memakan gaji buta?"
"Apanya yang gaji buta? Kita kan ke sini untuk menjalankan misi. Aku menjalankan tanggung jawab dan pekerjaanku!"
Saat sedang menggerutu begini, mobil berwarna pink itu tertangkap oleh mata hitamnya. Ia langsung menyalipnya dan berhenti di hadapannya dengan posisi miring ke kanan.
Ketika Glen membuka pintu, cahaya dari lampu mobil pink itu padam. Menyadari hal ini, ia memberi isyarat dengan tatapan mata kepada Gerald untuk membawa senter.
Hera sudah ingin membuka pintu juga, tapi Glen langsung melototinya. Walau sempat cemberut, tapi pada akhirnya Hera menurut.
Glen dan Gerald turun dan menghampiri mobil itu. Ketika Gerald mengetuk kacanya, pengendara mobil itu langsung menurunkannya.
Gerald sempat mengangkat alis ketika melihat penampilannya. Dia wanita, kira-kira seumuran dengannya, sekitar 25 tahun. Gaya busananya serba hitam seperti anak punk. Bibirnya berwarna hitam dengan anting di tengah-tengahnya serta rambut yang berwarna ungu menyala.
"Selamat pagi Nona, bisa turun sebentar?" Ia mencoba bersikap sopan. Jujur, ia belum pernah melakukan hal-hal seperti ini ketika bertugas.
Perempuan itu tidak menjawab dan langsung membuka pintu. Ia bersedekap dengan sikap tidak sabaran.
"Boleh saya tahu kenapa Nona mengendarai mobil begitu cepat? Bagaimana jika Nona menabrak seseorang nantinya?"
"Aku sedang terburu-buru."
"Oh begitu? Coba Nona pegang hidung—"
"Aku juga tidak sedang mabuk." Ia langsung memegang hidungnya sendiri dan tidak ada tanda-tanda masalah koordinasi.
"Boleh kami tahu siapa nama Nona dan ke mana tujuannya?" Kini giliran Glen yang bertanya.
"Aku Enamel," dia menghela napas lalu menilai mereka berdua dari atas sampai bawah.
"Kalian bukan polisi. Kalian Ipotis?" Dia terlihat agak kaget. Wajar saja karena yang secara langsung menegurnya adalah ksatria hebat semacam ini yang biasanya dikirim untuk mengatasi masalah besar.
"Ya. Lalu, ke mana tujuan Nona?"
Ekspresi Enamel berubah serius. Dia juga terlihat lebih tenang tidak terburu-buru seperti tadi. "Kalau kalian pasti bisa." Ucapannya membuat Glen dan Gerald saling bertukar pandang.
"Aku sebenarnya sedang dikejar seseorang. Tolong bantu aku." Raut wajahnya yang memelas terlihat sangat meyakinkan.
Beberapa saat setelah ia mengatakannya, sinar lampu mobil langsung membuat silau mata mereka.
Sebuah mobil sport berwarna biru berhenti di sebelah kanan mobil Enamel. Orang-orang di dalamnya keluar; tiga orang pria berbadan kekar di balik jaket kulit hitam yang mereka kenakan.
"Aku tidak meminta kalian untuk menyelamatkanku, aku hanya meminta kalian membantuku. Kalau aku sendiri saja tidak akan mungkin." Enamel langsung memasang sikap waspada setelah mengatakannya.
========
Punggung Gerald membentur pohon ketika orang di hadapannya meninjunya tepat di ulu hati.
Setengah membungkuk, samar-samar ia melihat seorang pria berbadan kekar penuh tato berjalan mendekatinya. Orang itu telah membuka bajunya, padahal suhu sedang dingin.
Tidak-tidak, itu semua tidaklah penting. Yang menjadi masalah adalah tato bergambar kepala minotaur di kedua lengan atas pria itu sekarang mengeluarkan cahaya. Pembuluh darahnya juga terlihat menyembul di balik kulitnya, seakan-akan mereka dapat keluar kapan saja.
Sembari berusaha menegakkan punggung, Gerald menatap tak berdaya pedangnya yang terlempar jauh ke semak-semak. Glen dan Enamel sedang melawan dua yang lainnya. Ia tidak terlalu mengkhawatirkan Glen, tapi perempuan itu.
Setelah mengembuskan napas panjang, Gerald melesat maju dan menendang perut berotot pria itu kemudian melompat mundur lagi.
Ketika menghadap ke depan untuk mengecek bagaimana keadaan pria itu, matanya langsung dibuat terbuka lebar-lebar. Kali ini tato bergambar ogre di perutnya yang mengeluarkan cahaya, sementara tato di lengan pria itu padam.
Pria itu maju sembari berteriak ke arahnya. Panik, Gerald langsung melompat ke atas pohon sehingga pria itu hanya berakhir meninju batangnya. Ia bahkan dapat melihat retakan di batang pohon itu.
Tapi ada satu hal lagi yang dilihatnya. Sesaat sebelum pria itu menarik tangannya kembali, tato kepala minotaurnya mengeluarkan cahaya, sementara tato ogre barusan padam.
Gerald mengangguk-angguk dalam diam. Pria itu tidak bisa menggunakan keduanya dalam satu waktu.
Saat sedang merenung seperti ini, tiba-tiba pria itu melompat dan menariknya turun. Yang selanjutnya Gerald rasakan adalah tekanan yang luar biasa menyakitkan di perutnya.
Ketika membuka mata, ia melihat kaki kiri pria itu berada di atas perutnya. 'Sekarang apa lagi ini? Kaki juga? Apa tatonya? Kodok?'
Seharusnya dia tidak boleh bercanda saat ini, tapi begitulah Gerald, berbanding terbalik dengan Glen. Mungkin karena itulah mereka disebut partner yang saling melengkapi.
Saat sedang diinjak-injak begini, ia jadi teringat seseorang yang sering kali dilihatnya mengalami hal semacam ini.
Saat pertama kali bertemu orang itu, ia masih berumur 19 tahun, usia dimana saat ia dilantik menjadi Ipotis berpangkat Gafeus, pangkat tingkat empat dan yang paling bawah dari ketiga pangkat di atasnya.
Saat itu, Gerald dibuat terkagum-kagum akan seorang anak laki-laki yang juga satu angkatan dengannya, padahal saat itu dia baru berumur 10 tahun. Anak itu adalah penyandang gelar Gafeus termuda di angkatannya.
Dia sangat pendiam dan kaku. Ketika Gerald mengetahui latar belakangnya, ia memandangnya dengan sebelah mata.
Tentu saja siapa pun yang mendengar tentang ibunya pasti akan memandangnya dengan kebencian yang tiada tara. Tapi ketika mendengar tentang ayahnya, cara pandang mereka langsung berubah 180°. Anak itu terlahir dari kedua orang tua dengan latar belakang yang sangat jauh berbeda.
Tapi anak itu tetap maju seakan tidak memiliki telinga untuk mendengar segala bisikan buruk tentang dirinya. Dia membungkam mulut mereka semua dengan prestasi. Dan tanpa terasa, anak itu yang akan menjadi pemimpinnya suatu saat nanti.
Untuk dua puluh tahun berturut-turut, pemimpin tertinggi Ipotis pusat berasal dari keluarga Marquess Barier. Keluarganya, Marquess Irdante hanya pernah menjabat selama dua periode, dan itu pun sudah lewat berpuluh-puluh tahun yang lalu.
Dan Gerald sudah melewati susah senangnya sebuah perjuangan bersamanya. Ia melihatnya tumbuh seperti melihat adiknya sendiri. Ia yakin dan percaya anak itu pasti bisa menjadi pemimpin para ksatria selanjutnya.
Tekanan yang makin kuat di perutnya membawanya kembali ke kenyataan. Gerald melihat satu tato lagi yang bercahaya. Kali ini berada di punggung tangan, berbentuk sebuah kaki singa. Tak lama kemudian, kuku-kuku pria itu sekonyong-konyong bertambah panjang.
Menyadari apa yang akan dia lakukan, dengan perlahan, sembari menahan nyeri di perutnya, Gerald mengeluarkan sesuatu dari saku jubahnya.
"Tunggu-tunggu," Gerald mengangkat kedua tangannya ke atas. "Paman, Anda tidak benar-benar berniat membunuhku kan?"
Pria itu mendenguskan tawa, "jika setelah melihat ini kau masih bertanya, sepertinya IQ-mu di bawah rata-rata."
Gerald mencoba menyeringai walau terlihat cemas. "Ayolah Paman... kalian bertiga tidak malu mengeroyok seorang wanita? Dimana sikap jantan kalian! Coba lihat tuh! Otot-otot Paman besar begini tapi masa' lawannya seorang wanita lemah? Seharusnya Paman punya malu!"
Alis pria itu berkedut, "kau yang tidak tahu apa-apa diam saja. Membela dia atau kami tidak akan ada untungnya bagi kalian. Kuberitahu kalian pasti akan menyesa—"
Pria itu membungkuk ketika sesuatu menghantam kepala belakangnya.
Ketika berbalik, ia tidak melihat apa-apa kecuali pepohonan. Tapi setelahnya, kini giliran puncak kepalanya yang kena. Sambil meringis, ia melihat ke atas. Dan ia langsung membuka matanya lebar-lebar ketika melihat puluhan kelereng menari-nari dengan sangat cepat di udara.
"Ups, seharusnya Paman menutup mata."
Pria itu berteriak keras sekali ketika kelereng itu menghantam bola matanya, memecahkannya sehingga menyebabkan darah mengalir deras. Ia terhuyung ke belakang dan membebaskan perut Gerald.
Gerald bangun dengan susah payah. Ia terbatuk-batuk dan memuntahkan darah. Oh tidak, ia tidak boleh kehilangan kontak mata. Nanti kelereng-kelereng itu tidak akan bisa bergerak lagi mengikuti keinginannya.
Meludahkan darah ke samping, Gerald memamerkan seringai kejinya. "Paman, sayang sekali. Bagian kepala Paman tidak ada tatonya..."