39 MOOD
"Aku tahu, yang menikmati ini bukan hanya aku..." Zeze menggantungkan ucapannya dan mendongak, menatap ke arah langit.
Senyumnya makin lebar dan manis saat ia melakukannya. Mata birunya pun makin bersinar. Seakan, objek yang tengah ia pandangi itu adalah hal paling indah yang pernah ada di muka bumi ini.
Heran melihatnya, Glen pun mengikuti arah pandangnya. Namun bukannya langit gelap penuh bintang yang ia lihat, melainkan ujung tajam longsword yang siap mendarat tepat di atas kepalanya.
"...tapi kau juga," sambung Zeze.
Cepat-cepat, Glen menjauhkan katana-nya dari leher Zeze dan melompat ke belakang. Longsword itu pun menancap sempurna di tempat dimana tadi ia berdiri.
Ini salahnya. Ia begitu sibuk dengan tipuannya sampai-sampai tidak menyadari bahwa gadis itu melempar longsword-nya ke atas.
Dengan lihai, Glen memutar-mutar kedua katana-nya. Mungkin umumnya orang-orang tidak akan sanggup mengikuti pergerakan tangannya yang sangat cepat, tapi Zeze bisa.
"Benar..." Glen mengakui sembari berjalan mendekat, masih dengan memutar-mutar katana di samping tubuhnya.
"Harus aku akui, ini menyenangkan," ujarnya, menyunggingkan senyum miring favorit Zeze yang membuatnya sampai tak berkutik.
"Fokus, Roze." Glen langsung menghilang dari pandangannya.
Zeze celingukan mencarinya. Tapi sesaat setelah kesadarannya kembali, samar-samar ia melihat longsword di hadapannya sedikit tertekan ke tanah, menambahnya makin tenggelam. Dan ia juga melihat dataran di hadapannya menjadi gelap oleh suatu bayangan yang menghalanginya dari cahaya bulan.
Mendongak, ia melihat Glen bersiap membelah tubuhnya dari atas. Ternyata Glen barusan menginjak longsword-nya sebagai tumpuan untuk melompat. Harus Zeze akui, taktik yang bagus.
Dengan cepat, Zeze mencabut longsword-nya dan berniat membalas serangannya. Namun percuma, Glen telah membaca gerakannya. Glen mengurungkan niat untuk menyerang dan malah mendarat di belakangnya.
Menjatuhkan katana di tangan kirinya, Glen menciptakan penjara di sekitar pinggang Zeze. Sedangkan tangan kanannya mengurung lehernya dengan katana.
Zeze mengerjap. Dalam hati, ia bertanya-tanya apakah barusan Glen menggunakan dýnami-nya. Namun hatinya telah lebih dulu menjawab. Tidak, bukan karena itu. Ia lengah karena orang ini. Apa pun yang ada di dalam diri orang ini—eksistensinya—selalu membuatnya lengah.
Dan bahkan hanya dengan satu senyuman singkat yang dia berikan dapat membuatnya—seorang Artemis, seeker terbaik milik Énkavma—tak berdaya.
Glen memang berbahaya, terlebih lagi bagi hatinya. Beginilah dampak yang diberikan orang ini kepada dirinya. Ia mungkin bersedia menerima apa saja yang akan diberikan orang itu, meski kematian sekalipun.
Ini membuatnya kesal. Kenapa dari sekian banyaknya laki-laki, harus dia?
Zeze sadar ia masih muda. Jalannya masih panjang. Karena itulah ia khawatir. Ia paham kelemahannya adalah tidak bisa berpaling dari masa lalu. Bayangkan saja, sudah lewat bertahun-tahun tapi ia tetap tidak bisa berubah. Orang-orang dari masa lalunya terus saja menghantuinya. Bagaimana nasibnya jika sudah dewasa nanti?
Ia merasa baik-baik saja saat berhadapan dengan laki-laki lain, bahkan ia sama sekali tidak merasakan apa-apa mau setampan apa pun wajah mereka.
Ada beberapa kakaknya yang terang-terangan menunjukkan rasa sukanya kepadanya, tapi tak ada satu pun yang ia gubris. Mereka berakhir tak lebih dari hubungan kakak-adik.
Apakah akhirnya Glen ini memang tidak tergantikan? Akankah suatu saat nanti ia merasakan hal yang sama dengan laki-laki lain?
Dengan pasrah, Zeze menjatuhkan pedangnya. Mungkin ini sudah saatnya ia menyerah. Seperti yang diharapkan dari orang yang benar-benar menguasai seni berpedang.
Ternyata memang benar, orang awam tidak akan bisa mengalahkan yang telah ahli di bidangnya. Serangan asal-asalan tanpa teknik sepertinya tidak akan mempan di hadapan Glen.
Zeze harus memakai caranya sendiri, menggunakan hal yang dikuasainya untuk bisa mengalahkan Glen. Karena seperti yang orang-orang bilang, kita tidak akan terkalahkan jika kita menjadi diri kita sendiri.
"Puas?" Glen mengulang pertanyaannya. Napas hangatnya menggelitik telinga Zeze yang memerah karena dingin. "Atau masih merasa bosan?"
Bahunya terangkat ketika menjawab enteng, "sebenarnya masih."
"Kalau begitu bosan saja selamanya."
Mereka sampai tak menyadari bahwa saat ini mereka tengah berpelukan—atau lebih tepatnya, Glen yang memeluk Zeze dari belakang.
Glen melepaskan kurungannya ketika mendengar Zeze tertawa kegelian. Setelah terbebas, Zeze berbalik menghadapnya.
Karena melihat hidung dan telinga Zeze yang memerah, Glen berkata, "malam ini makin dingin, lebih baik kita masuk."
Glen memimpin Zeze menuju ke dalam mansion. Saat sampai di dalam, hawa hangat dari penghangat ruangan mengizinkan mereka untuk membuka jaket masing-masing.
"Aku haus sekali." Mata Zeze terpejam ketika ia mendesah dan menghempaskan diri ke sofa.
Zeze membuka matanya kembali ketika mendengar bunyi sesuatu yang membentur kaca meja. Dan ia melihat secangkir coklat panas beruap di hadapannya.
"Ini boleh diminum?" Tanyanya kepada Glen yang kini telah beralih duduk di seberangnya.
"Sebenarnya tidak, karena di situ ada racunnya."
Mendengarnya, Zeze terkekeh kecil. Tapi toh, ia minum juga coklat yang luar biasa lezat itu. Bersama dengan Glen selalu membangkitkan mood-nya, walau sedingin apa pun lelaki itu.
"Glen, sejak tadi aku merasakan seseorang mengawasi pertarungan kita," ujar Zeze setelah menenggak habis minumannya.
Glen tidak menggubris dan tetap setia menikmati kopi susunya.
"Tapi aku tidak tahu siapa. Aku tidak sempat mencari tahu karena terlalu fokus padamu," lanjutnya.
"Bukan masalah penting, jadi kau bisa mengabaikannya." Akhirnya Glen membalas di balik gelasnya.
Zeze berdiri dan melihat jam hologram di dinding menunjukkan pukul 1 pagi. Mungkin ini sudah saatnya ia tidur. Lagipula, pagi-pagi sekali ia sudah harus pergi.
Ia mengambil cangkirnya serta cangkir Glen untuk dibawa ke dapur. Namun baru mengambil beberapa langkah, ia berhenti dan berbalik.
"Oh, ya, Glen." Panggilannya membuat Glen yang tadi sempat terpejam, membuka kembali matanya. Ia menoleh dan melihat gadis itu menyeringai penuh arti kepadanya.
"Kita lanjutkan pertarungan kita nanti di Piala Musim Semi Exousia."
========
"Korek?" Obi menyodorkan korek kepada Kai yang duduk di satu tempat dengannya, yaitu kap mobil berwarna merah.
Setelah menjepit rokok di antara kedua bibirnya, Kai menerima korek itu. Ia membakar rokoknya, menghisap, dan menghembuskan asapnya ke udara. Asap itu menari-nari di hadapannya, terbang ke atas dan terurai sebelum mencapai ranting pohon yang menaunginya.
Selain pohon besar yang dahannya sudah tertumpuk salju ini, di hadapan mereka berdiri sebuah bangunan minimarket yang tiba-tiba pintunya terbuka, memuntahkan visual seorang laki-laki berambut hitam. Ia mengenakan mantel berbulu coklat, berbeda dengan dua orang di atas kap mobil yang mengenakan hoodie kembar berwarna hitam.
Ia berjalan menghampiri Kai dan Obi dengan kedua tangan menggenggam botol air mineral. Ketika sampai di hadapan mereka, ia langsung menyerahkan satu kepada Kai.
Melihat ini, Obi memprotes, "hei. Kaló! Mana punyaku?"
Kaló dengan santai menjawab, "kau kan tadi tidak minta." Ia melihat ke arah gerbang, "Zeze belum datang?"
Beberapa detik setelah mengatakannya, muncullah orang yang tadi ia tanyakan. Siapa pun dapat melihat Zeze sedang bahagia. Wajahnya berseri-seri dan membingkai senyum.
Ketika Zeze semakin dekat, Obi yang keheranan langsung menyelidikinya, "Ke mana saja kau? Menghilang tiba-tiba di sekolah dan mengirim pesan ada urusan."
Dengan senyum masih terukir di bibirnya, Zeze mengangkat bahu, "ke surga," jawabnya. "Semua sudah di sini kan? Ayo berangkat."
Mendengarnya, Obi dan Kaló menautkan alis mereka. "Juni?" Tanya Kaló.
Zeze mengibaskan tangannya. "Aku tidak mengatakan hal ini kepadanya. Jangan ajak dia jika ada Kai. Nanti dia hanya akan menjadi penghalang. Memangnya kau pikir dia bisa fokus jika ada Kai di dekatnya?"
Obi terbatuk-batuk sementara Kaló melirik Kai sembari menahan senyum. Tapi Kai tetap saja asyik menghisap rokoknya seperti tak mendengar apa pun.
"Bagaimana dengan Kak Rhea?" Tanya Obi.
"Kurasa tidak perlu. Kita kan hanya ingin mencari informasi dan membakar satu sampah. Tidak ada target yang akan kita lawan, yang berarti tidak akan ada yang terluka."
Kai meninggalkan mobil merahnya di parkiran minimarket tersebut. Mereka pergi ke bandara dengan bus. Sebelum lepas landas, Zeze menerima pesan dan panggilan berulang kali dari Juni. Tapi tak ada satu pun yang ia gubris.
Di waktu yang sama, Juni langsung dibuat naik darah saat tiba di Istana Timur Aplistia. Rencananya ia akan menghabiskan liburan musim dingin bersama ke sebuah vila milik Duke Gahernam. Tapi ia langsung melupakan segala semangatnya ketika mendengar dari Volta bahwa Zeze belum kembali dari kemarin, sementara Obi baru pergi dini hari tadi.
Jangankan pamit, mereka berempat sama sekali tidak mengatakan apa pun tentang ini. Saat ditelepon, ponsel mereka benar-benar dimatikan. Juni berasumsi ini pasti ide Zeze.
Sementara itu, keempat orang yang dimaksud telah berjalan santai menyusuri Kota Saufrity, kota terpencil di bagian timur Aplistia yang mendapat julukan Kota Cinta seperti Paris di Perancis.
Zeze berjalan sambil bersiul-siul dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku jaket long coat hitam yang panjangnya sampai lutut. Di sebelah kanannya secara berurutan berjejer Obi, Kai dan Kaló. Norofi tidak ikut karena ia masih dalam masa pemulihan.
Mengedarkan pandangan, Zeze hanya melihat hamparan salju luas tanpa noda yang dihiasi oleh beberapa pepohonan yang telah gugur daunnya.
Tak ada gedung-gedung bertingkat yang membuatnya tambah asri. Banyak sekali jalanan luas tanpa kendaraan, karena orang-orang di kota ini memang lebih suka berjalan kaki. Meskipun begitu, tingkat kriminal di kota ini terbilang tinggi dari kota-kota yang lain. Mungkin karena kota ini berada di bagian paling pojok dekat samudra yang jauh dari ibu kota negara, jadi kurang diperhatikan.
Pemimpin mereka, Kai tidak menyarankan mereka untuk melakukan pergerakan apa pun selama beberapa minggu ini. Karena itulah mereka merasa bosan setengah mati.
Selama empat bulan terakhir berada di Aplistia, tim mereka sudah berhasil membereskan banyak sampah. Orang-orang tak berguna yang hanya merugikan rakyat seperti ini memang harus dibasmi. Hidup juga percuma. Lumayan untuk mengurangi populasi orang idiot di muka bumi ini.
Sesampainya di trotoar, Zeze meraup rambutnya menjadi satu untuk dimasukkan ke celah topi berwarna hitamnya dan lanjut berjalan dengan kepala tertunduk. Topi itu menghalangi bagian atas wajahnya dari mata orang-orang.
Bukan tanpa alasan Zeze melakukan ini. Obi sering menyalahkannya karena terlalu menarik perhatian ketika mereka sedang berjalan berdua.
Mereka memesan sebuah kamar di Hotel Thalia untuk satu minggu ke depan. Sebenarnya sulit untuk memesan satu kamar untuk empat orang sekaligus terlebih lagi ada Zeze yang merupakan seorang perempuan. Tapi karena ada Kaló yang merupakan penipu kelas kakap, semuanya berjalan mudah.
Sebenarnya mereka memesan kamar itu bukan untuk mereka tempati, tapi ada suatu hal yang ingin mereka cari tahu di sini.
Hotel Thalia adalah tempat dimana Detektif kebanggaan intelijen Aplistia, Detektif Andromeda bunuh diri.
Mereka sebenarnya heran kenapa Kai begitu gencarnya menyelidiki seseorang yang telah lama mati. Tapi karena Kai bilang kalau mungkin saja dia dibunuh karena ada pihak yang ingin menghilangkan bukti-bukti sebuah kejahatan, akhirnya mereka menurut saja.
Selain itu, alasan mereka ke kota ini juga karena ingin melanjutkan misi mereka yang gagal beberapa minggu lalu, yaitu menghabisi Jendral Xeveruz. Jendral itu pergi ke kota ini untuk menghadiri pertemuan dengan beberapa CEO perusahaan besar.
Sesampainya di kamar 032, mereka langsung mengerumuni Kaló yang sedang duduk di sebuah kursi dengan laptop menyala di hadapannya. Kai berada di tengah-tengah antara Zeze dan Obi.
Kalo mencari informasi apa pun yang berhubungan dengan hotel ini. Ia adalah seeker dan satu-satunya anggota yang mengerti IT di dalam Énkavma.
Di dunia internet, ia biasa dikenal dengan sebutan 'Hermes'. Hermes dalam mitologi Yunani adalah dewa penipuan, pencurian, dan pembawa pesan. Kejahatan di jejaring sosial bisa berkurang juga berkat Kaló.
Berselancar di deep web dan dark web sudah menjadi makanan sehari-harinya. Kadang-kadang, dari sanalah ia melaporkan bahan target selanjutnya kepada Raja mereka. Banyak sekali unsur ilegal yang ditemukan di sana misalnya penculikan, transaksi narkoba, penyelundupan senjata, dan segala informasi tentang sindikat mafia yang menguasai dunia bawah.
Ayahnya, Marquess Anaptires tidak pernah menaruh perhatian lebih kepadanya. Kaló selalu merasa terasing dari saudara-saudarinya yang lain. Terlebih lagi ketika ayahnya tahu bahwa Kaló memfokuskan dirinya untuk hal-hal semacam ini.
Semua ini tentunya adalah aib bagi setiap keluarga Marquess yang merupakan komandan penjaga perbatasan negara. Seharusnya keturunannya pun mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan bela diri dan kemiliteran.
"Oh!" Kaló tiba-tiba memundurkan punggungnya.
"Ada apa?" Tanya Obi yang berdiri di belakangnya. Kai dan Zeze juga makin menjulurkan kepalanya untuk melihat apa yang sanggup membuatnya kaget begitu.
"Kamar ini, kamar yang pernah ditempati Detektif itu."
Mendengar ini, Zeze dan Kai bertukar pandang. Zeze berdeham sebelum bertanya, "kau dapat informasi apa lagi?"
"Tidak banyak. Hanya nomor kamarnya, siapa yang menemukannya pertama kali, barang-barang yang dia tinggalkan dan hal lainnya yang tidak terlalu penting. Sepertinya benar-benar ditutup-tutupi karena tidak banyak informasi yang keluar."
"Apakah itu berarti dugaan Kai benar dia dibunuh?" Tanya Obi.
"Entahlah."
"Sedang apa dia di hotel ini?" Untuk pertama kalinya, Kai buka suara.
Zeze meliriknya heran, "bukankah sudah jelas? Dia sedang melakukan tugasnya."
"Ya, aku tahu. Maksudku, apa kasus yang sedang dia tangani sampai dia berada di sini?"
Zeze dan Obi bertukar pandang. Jelas sekali kedua manusia ini tidak tahu-menahu. Meskipun itu wajar saja karena mereka berdua jarang berada di negara ini jadi tidak terlalu paham tentang apa yang sedang terjadi di sini.
"Jika kau bertanya begitu, tentunya banyak, Bos. Kau tahu kan kota ini adalah salah satu kota dengan katakombe terbanyak di dunia setelah Kota Paris. Dan kau tentunya paham kan katakombe biasa digunakan para kriminal sebagai sarang mereka."
"Cari yang paling menggemparkan saja. Dia ini intelijen terbaik Aplistia, sudah pasti kasus yang dia tangani bukan yang biasa-biasa."
Kaló menuruti perkataan Kai. Setelah beberapa menit ia berselancar di situs-situs informasi—yang pastinya tidak gratis karena membutuhkan bitcoin untuk mendapatkannya—akhirnya terkumpullah berbagai macam kasus besar yang pernah menggemparkan publik.
Kaló bersiap mengambil napas untuk membacakannya satu per satu, tapi dering ponsel yang berbunyi tiba-tiba mengharuskannya menutup mulutnya lagi.
Tanpa menoleh, Kaló bertanya, "ponsel siapa itu?"
"Aku. Maaf, aku keluar dulu." Zeze berjalan menuju pintu.
"Jadi?" Kai kembali menyinggungnya saat pintu tertutup.
Kaló mengambil napas lagi. Ia membacakannya satu per satu, sementara kedua orang di belakangnya dengan khidmat mendengarkan.
"...penembakan misterius wartawan, penyelundupan narkoba jenis baru, dan terakhir kecelakaan Ratu Mionares. Sudah itu saja. Hanya ada 13."
Menoleh, Kaló melihat perubahan pada ekspresi Kai. "Bos?"
"Kau menyebutkan semua itu berurutan berdasarkan waktu?" Kai malah bertanya.
"Ya, kasus besar yang terakhir terjadi di kota ini adalah tentang meninggalnya Ratu terakhir kerajaan ini. Yang seterusnya hanyalah pencurian dan hal-hal biasa lainnya."
"Kita sudah menemukannya," Kai bergumam sembari melihat sekeliling.
Ketika kembali menghadap layar laptop, ia melanjutkan, "sepertinya meninggalnya Ratu juga merupakan plot yang disusun para petinggi kerajaan. Detektif itu dibunuh karena mencoba mengungkapnya. Ini pasti kasus yang mereka tidak ingin siapa pun tahu."
"Apakah kita akan menggeledah tempat ini?" Kaló bertanya sembari mengetik cepat sekali.
Obi bingung. "Ló... itu sudah lewat 4 tahun lalu. Tadi kau bilang sendiri kan tidak banyak informasi yang ditemukan? Itu berarti selain membunuh wanita itu, mereka juga mengambil bukti-buktinya. Dan aku yakin pasti sudah mereka hancurkan."
"Jadi bagaimana?" Kaló menghentikan jemarinya. "Bos?"
Kai terlihat merenung, menatap kosong ke layar laptop yang sekarang sedang menampilkan foto mobil berwarna hitam yang bagian depan dan sisi kirinya hancur.
Hanya ada keheningan di antara mereka. Kaló dan Obi pun tidak berniat menyela perang di dalam pikiran pimpinan mereka. Tiba-tiba, keheningan itu terpecahkan oleh lagu Bohemian Rhapsody dari band rock fenomenal abad ke-20, Queen.
Kai agak tersentak dan mulai tersadar kalau itu adalah bunyi ponselnya. Ia mengambilnya dari saku jeans-nya dan mengangkat telepon dari kontak bernama Loze.
"Kai, aku... pergi dulu tidak apa kan?"
"Kemana?"
"Ada pelelangan dekat sini." Suaranya terdengar memohon.
Kai hanya menghela napas dan berkata, "lakukan sesukamu."
"Ada apa?" Tanya Obi.
"Roze ingin ke pelelangan."
Obi berdecak. "Pasti membeli barang-barang antik lagi." Ia mengeluarkan ponselnya dan mengetik sesuatu lalu mengirimnya ke Zeze.
"Jadi apa yang harus kita lakukan, Bos?" Kaló mengulang pertanyaan tanpa sedikit pun melepaskan matanya dari layar laptop yang menampilkan situs web Hotel Thalia. Sepertinya dia meretas situs itu karena di layarnya terpampang informasi pendapatan dan hal-hal yang bersifat privasi lainnya.
"Kita sudah dapat dua poin. Detektif Andromeda dibunuh serta kematian terencana Ratu Mionares. Kalian paham mengenai poin terakhir kan?"
Kedua orang ini mengangguk dengan muka masam. Tentu mereka paham.
Kaló mendesah, "Raja melarang kita untuk ikut campur masalah keluarga kerajaan. Tidak ada yang bisa kita lakukan. Berarti, tinggal masalah Detektif itu dan juga Jendral gila itu?"
"Kita selesaikan dulu Jendral itu. Kau sudah dapat informasi dia menginap di hotel mana?" Tanya Kai.
Kaló menyunggingkan senyum. Tapi senyum itu tidak menyentuh matanya yang menggelap. "Kebetulan sekali..."
Senyumnya makin lebar dan manis saat ia melakukannya. Mata birunya pun makin bersinar. Seakan, objek yang tengah ia pandangi itu adalah hal paling indah yang pernah ada di muka bumi ini.
Heran melihatnya, Glen pun mengikuti arah pandangnya. Namun bukannya langit gelap penuh bintang yang ia lihat, melainkan ujung tajam longsword yang siap mendarat tepat di atas kepalanya.
"...tapi kau juga," sambung Zeze.
Cepat-cepat, Glen menjauhkan katana-nya dari leher Zeze dan melompat ke belakang. Longsword itu pun menancap sempurna di tempat dimana tadi ia berdiri.
Ini salahnya. Ia begitu sibuk dengan tipuannya sampai-sampai tidak menyadari bahwa gadis itu melempar longsword-nya ke atas.
Dengan lihai, Glen memutar-mutar kedua katana-nya. Mungkin umumnya orang-orang tidak akan sanggup mengikuti pergerakan tangannya yang sangat cepat, tapi Zeze bisa.
"Benar..." Glen mengakui sembari berjalan mendekat, masih dengan memutar-mutar katana di samping tubuhnya.
"Harus aku akui, ini menyenangkan," ujarnya, menyunggingkan senyum miring favorit Zeze yang membuatnya sampai tak berkutik.
"Fokus, Roze." Glen langsung menghilang dari pandangannya.
Zeze celingukan mencarinya. Tapi sesaat setelah kesadarannya kembali, samar-samar ia melihat longsword di hadapannya sedikit tertekan ke tanah, menambahnya makin tenggelam. Dan ia juga melihat dataran di hadapannya menjadi gelap oleh suatu bayangan yang menghalanginya dari cahaya bulan.
Mendongak, ia melihat Glen bersiap membelah tubuhnya dari atas. Ternyata Glen barusan menginjak longsword-nya sebagai tumpuan untuk melompat. Harus Zeze akui, taktik yang bagus.
Dengan cepat, Zeze mencabut longsword-nya dan berniat membalas serangannya. Namun percuma, Glen telah membaca gerakannya. Glen mengurungkan niat untuk menyerang dan malah mendarat di belakangnya.
Menjatuhkan katana di tangan kirinya, Glen menciptakan penjara di sekitar pinggang Zeze. Sedangkan tangan kanannya mengurung lehernya dengan katana.
Zeze mengerjap. Dalam hati, ia bertanya-tanya apakah barusan Glen menggunakan dýnami-nya. Namun hatinya telah lebih dulu menjawab. Tidak, bukan karena itu. Ia lengah karena orang ini. Apa pun yang ada di dalam diri orang ini—eksistensinya—selalu membuatnya lengah.
Dan bahkan hanya dengan satu senyuman singkat yang dia berikan dapat membuatnya—seorang Artemis, seeker terbaik milik Énkavma—tak berdaya.
Glen memang berbahaya, terlebih lagi bagi hatinya. Beginilah dampak yang diberikan orang ini kepada dirinya. Ia mungkin bersedia menerima apa saja yang akan diberikan orang itu, meski kematian sekalipun.
Ini membuatnya kesal. Kenapa dari sekian banyaknya laki-laki, harus dia?
Zeze sadar ia masih muda. Jalannya masih panjang. Karena itulah ia khawatir. Ia paham kelemahannya adalah tidak bisa berpaling dari masa lalu. Bayangkan saja, sudah lewat bertahun-tahun tapi ia tetap tidak bisa berubah. Orang-orang dari masa lalunya terus saja menghantuinya. Bagaimana nasibnya jika sudah dewasa nanti?
Ia merasa baik-baik saja saat berhadapan dengan laki-laki lain, bahkan ia sama sekali tidak merasakan apa-apa mau setampan apa pun wajah mereka.
Ada beberapa kakaknya yang terang-terangan menunjukkan rasa sukanya kepadanya, tapi tak ada satu pun yang ia gubris. Mereka berakhir tak lebih dari hubungan kakak-adik.
Apakah akhirnya Glen ini memang tidak tergantikan? Akankah suatu saat nanti ia merasakan hal yang sama dengan laki-laki lain?
Dengan pasrah, Zeze menjatuhkan pedangnya. Mungkin ini sudah saatnya ia menyerah. Seperti yang diharapkan dari orang yang benar-benar menguasai seni berpedang.
Ternyata memang benar, orang awam tidak akan bisa mengalahkan yang telah ahli di bidangnya. Serangan asal-asalan tanpa teknik sepertinya tidak akan mempan di hadapan Glen.
Zeze harus memakai caranya sendiri, menggunakan hal yang dikuasainya untuk bisa mengalahkan Glen. Karena seperti yang orang-orang bilang, kita tidak akan terkalahkan jika kita menjadi diri kita sendiri.
"Puas?" Glen mengulang pertanyaannya. Napas hangatnya menggelitik telinga Zeze yang memerah karena dingin. "Atau masih merasa bosan?"
Bahunya terangkat ketika menjawab enteng, "sebenarnya masih."
"Kalau begitu bosan saja selamanya."
Mereka sampai tak menyadari bahwa saat ini mereka tengah berpelukan—atau lebih tepatnya, Glen yang memeluk Zeze dari belakang.
Glen melepaskan kurungannya ketika mendengar Zeze tertawa kegelian. Setelah terbebas, Zeze berbalik menghadapnya.
Karena melihat hidung dan telinga Zeze yang memerah, Glen berkata, "malam ini makin dingin, lebih baik kita masuk."
Glen memimpin Zeze menuju ke dalam mansion. Saat sampai di dalam, hawa hangat dari penghangat ruangan mengizinkan mereka untuk membuka jaket masing-masing.
"Aku haus sekali." Mata Zeze terpejam ketika ia mendesah dan menghempaskan diri ke sofa.
Zeze membuka matanya kembali ketika mendengar bunyi sesuatu yang membentur kaca meja. Dan ia melihat secangkir coklat panas beruap di hadapannya.
"Ini boleh diminum?" Tanyanya kepada Glen yang kini telah beralih duduk di seberangnya.
"Sebenarnya tidak, karena di situ ada racunnya."
Mendengarnya, Zeze terkekeh kecil. Tapi toh, ia minum juga coklat yang luar biasa lezat itu. Bersama dengan Glen selalu membangkitkan mood-nya, walau sedingin apa pun lelaki itu.
"Glen, sejak tadi aku merasakan seseorang mengawasi pertarungan kita," ujar Zeze setelah menenggak habis minumannya.
Glen tidak menggubris dan tetap setia menikmati kopi susunya.
"Tapi aku tidak tahu siapa. Aku tidak sempat mencari tahu karena terlalu fokus padamu," lanjutnya.
"Bukan masalah penting, jadi kau bisa mengabaikannya." Akhirnya Glen membalas di balik gelasnya.
Zeze berdiri dan melihat jam hologram di dinding menunjukkan pukul 1 pagi. Mungkin ini sudah saatnya ia tidur. Lagipula, pagi-pagi sekali ia sudah harus pergi.
Ia mengambil cangkirnya serta cangkir Glen untuk dibawa ke dapur. Namun baru mengambil beberapa langkah, ia berhenti dan berbalik.
"Oh, ya, Glen." Panggilannya membuat Glen yang tadi sempat terpejam, membuka kembali matanya. Ia menoleh dan melihat gadis itu menyeringai penuh arti kepadanya.
"Kita lanjutkan pertarungan kita nanti di Piala Musim Semi Exousia."
========
"Korek?" Obi menyodorkan korek kepada Kai yang duduk di satu tempat dengannya, yaitu kap mobil berwarna merah.
Setelah menjepit rokok di antara kedua bibirnya, Kai menerima korek itu. Ia membakar rokoknya, menghisap, dan menghembuskan asapnya ke udara. Asap itu menari-nari di hadapannya, terbang ke atas dan terurai sebelum mencapai ranting pohon yang menaunginya.
Selain pohon besar yang dahannya sudah tertumpuk salju ini, di hadapan mereka berdiri sebuah bangunan minimarket yang tiba-tiba pintunya terbuka, memuntahkan visual seorang laki-laki berambut hitam. Ia mengenakan mantel berbulu coklat, berbeda dengan dua orang di atas kap mobil yang mengenakan hoodie kembar berwarna hitam.
Ia berjalan menghampiri Kai dan Obi dengan kedua tangan menggenggam botol air mineral. Ketika sampai di hadapan mereka, ia langsung menyerahkan satu kepada Kai.
Melihat ini, Obi memprotes, "hei. Kaló! Mana punyaku?"
Kaló dengan santai menjawab, "kau kan tadi tidak minta." Ia melihat ke arah gerbang, "Zeze belum datang?"
Beberapa detik setelah mengatakannya, muncullah orang yang tadi ia tanyakan. Siapa pun dapat melihat Zeze sedang bahagia. Wajahnya berseri-seri dan membingkai senyum.
Ketika Zeze semakin dekat, Obi yang keheranan langsung menyelidikinya, "Ke mana saja kau? Menghilang tiba-tiba di sekolah dan mengirim pesan ada urusan."
Dengan senyum masih terukir di bibirnya, Zeze mengangkat bahu, "ke surga," jawabnya. "Semua sudah di sini kan? Ayo berangkat."
Mendengarnya, Obi dan Kaló menautkan alis mereka. "Juni?" Tanya Kaló.
Zeze mengibaskan tangannya. "Aku tidak mengatakan hal ini kepadanya. Jangan ajak dia jika ada Kai. Nanti dia hanya akan menjadi penghalang. Memangnya kau pikir dia bisa fokus jika ada Kai di dekatnya?"
Obi terbatuk-batuk sementara Kaló melirik Kai sembari menahan senyum. Tapi Kai tetap saja asyik menghisap rokoknya seperti tak mendengar apa pun.
"Bagaimana dengan Kak Rhea?" Tanya Obi.
"Kurasa tidak perlu. Kita kan hanya ingin mencari informasi dan membakar satu sampah. Tidak ada target yang akan kita lawan, yang berarti tidak akan ada yang terluka."
Kai meninggalkan mobil merahnya di parkiran minimarket tersebut. Mereka pergi ke bandara dengan bus. Sebelum lepas landas, Zeze menerima pesan dan panggilan berulang kali dari Juni. Tapi tak ada satu pun yang ia gubris.
Di waktu yang sama, Juni langsung dibuat naik darah saat tiba di Istana Timur Aplistia. Rencananya ia akan menghabiskan liburan musim dingin bersama ke sebuah vila milik Duke Gahernam. Tapi ia langsung melupakan segala semangatnya ketika mendengar dari Volta bahwa Zeze belum kembali dari kemarin, sementara Obi baru pergi dini hari tadi.
Jangankan pamit, mereka berempat sama sekali tidak mengatakan apa pun tentang ini. Saat ditelepon, ponsel mereka benar-benar dimatikan. Juni berasumsi ini pasti ide Zeze.
Sementara itu, keempat orang yang dimaksud telah berjalan santai menyusuri Kota Saufrity, kota terpencil di bagian timur Aplistia yang mendapat julukan Kota Cinta seperti Paris di Perancis.
Zeze berjalan sambil bersiul-siul dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku jaket long coat hitam yang panjangnya sampai lutut. Di sebelah kanannya secara berurutan berjejer Obi, Kai dan Kaló. Norofi tidak ikut karena ia masih dalam masa pemulihan.
Mengedarkan pandangan, Zeze hanya melihat hamparan salju luas tanpa noda yang dihiasi oleh beberapa pepohonan yang telah gugur daunnya.
Tak ada gedung-gedung bertingkat yang membuatnya tambah asri. Banyak sekali jalanan luas tanpa kendaraan, karena orang-orang di kota ini memang lebih suka berjalan kaki. Meskipun begitu, tingkat kriminal di kota ini terbilang tinggi dari kota-kota yang lain. Mungkin karena kota ini berada di bagian paling pojok dekat samudra yang jauh dari ibu kota negara, jadi kurang diperhatikan.
Pemimpin mereka, Kai tidak menyarankan mereka untuk melakukan pergerakan apa pun selama beberapa minggu ini. Karena itulah mereka merasa bosan setengah mati.
Selama empat bulan terakhir berada di Aplistia, tim mereka sudah berhasil membereskan banyak sampah. Orang-orang tak berguna yang hanya merugikan rakyat seperti ini memang harus dibasmi. Hidup juga percuma. Lumayan untuk mengurangi populasi orang idiot di muka bumi ini.
Sesampainya di trotoar, Zeze meraup rambutnya menjadi satu untuk dimasukkan ke celah topi berwarna hitamnya dan lanjut berjalan dengan kepala tertunduk. Topi itu menghalangi bagian atas wajahnya dari mata orang-orang.
Bukan tanpa alasan Zeze melakukan ini. Obi sering menyalahkannya karena terlalu menarik perhatian ketika mereka sedang berjalan berdua.
Mereka memesan sebuah kamar di Hotel Thalia untuk satu minggu ke depan. Sebenarnya sulit untuk memesan satu kamar untuk empat orang sekaligus terlebih lagi ada Zeze yang merupakan seorang perempuan. Tapi karena ada Kaló yang merupakan penipu kelas kakap, semuanya berjalan mudah.
Sebenarnya mereka memesan kamar itu bukan untuk mereka tempati, tapi ada suatu hal yang ingin mereka cari tahu di sini.
Hotel Thalia adalah tempat dimana Detektif kebanggaan intelijen Aplistia, Detektif Andromeda bunuh diri.
Mereka sebenarnya heran kenapa Kai begitu gencarnya menyelidiki seseorang yang telah lama mati. Tapi karena Kai bilang kalau mungkin saja dia dibunuh karena ada pihak yang ingin menghilangkan bukti-bukti sebuah kejahatan, akhirnya mereka menurut saja.
Selain itu, alasan mereka ke kota ini juga karena ingin melanjutkan misi mereka yang gagal beberapa minggu lalu, yaitu menghabisi Jendral Xeveruz. Jendral itu pergi ke kota ini untuk menghadiri pertemuan dengan beberapa CEO perusahaan besar.
Sesampainya di kamar 032, mereka langsung mengerumuni Kaló yang sedang duduk di sebuah kursi dengan laptop menyala di hadapannya. Kai berada di tengah-tengah antara Zeze dan Obi.
Kalo mencari informasi apa pun yang berhubungan dengan hotel ini. Ia adalah seeker dan satu-satunya anggota yang mengerti IT di dalam Énkavma.
Di dunia internet, ia biasa dikenal dengan sebutan 'Hermes'. Hermes dalam mitologi Yunani adalah dewa penipuan, pencurian, dan pembawa pesan. Kejahatan di jejaring sosial bisa berkurang juga berkat Kaló.
Berselancar di deep web dan dark web sudah menjadi makanan sehari-harinya. Kadang-kadang, dari sanalah ia melaporkan bahan target selanjutnya kepada Raja mereka. Banyak sekali unsur ilegal yang ditemukan di sana misalnya penculikan, transaksi narkoba, penyelundupan senjata, dan segala informasi tentang sindikat mafia yang menguasai dunia bawah.
Ayahnya, Marquess Anaptires tidak pernah menaruh perhatian lebih kepadanya. Kaló selalu merasa terasing dari saudara-saudarinya yang lain. Terlebih lagi ketika ayahnya tahu bahwa Kaló memfokuskan dirinya untuk hal-hal semacam ini.
Semua ini tentunya adalah aib bagi setiap keluarga Marquess yang merupakan komandan penjaga perbatasan negara. Seharusnya keturunannya pun mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan bela diri dan kemiliteran.
"Oh!" Kaló tiba-tiba memundurkan punggungnya.
"Ada apa?" Tanya Obi yang berdiri di belakangnya. Kai dan Zeze juga makin menjulurkan kepalanya untuk melihat apa yang sanggup membuatnya kaget begitu.
"Kamar ini, kamar yang pernah ditempati Detektif itu."
Mendengar ini, Zeze dan Kai bertukar pandang. Zeze berdeham sebelum bertanya, "kau dapat informasi apa lagi?"
"Tidak banyak. Hanya nomor kamarnya, siapa yang menemukannya pertama kali, barang-barang yang dia tinggalkan dan hal lainnya yang tidak terlalu penting. Sepertinya benar-benar ditutup-tutupi karena tidak banyak informasi yang keluar."
"Apakah itu berarti dugaan Kai benar dia dibunuh?" Tanya Obi.
"Entahlah."
"Sedang apa dia di hotel ini?" Untuk pertama kalinya, Kai buka suara.
Zeze meliriknya heran, "bukankah sudah jelas? Dia sedang melakukan tugasnya."
"Ya, aku tahu. Maksudku, apa kasus yang sedang dia tangani sampai dia berada di sini?"
Zeze dan Obi bertukar pandang. Jelas sekali kedua manusia ini tidak tahu-menahu. Meskipun itu wajar saja karena mereka berdua jarang berada di negara ini jadi tidak terlalu paham tentang apa yang sedang terjadi di sini.
"Jika kau bertanya begitu, tentunya banyak, Bos. Kau tahu kan kota ini adalah salah satu kota dengan katakombe terbanyak di dunia setelah Kota Paris. Dan kau tentunya paham kan katakombe biasa digunakan para kriminal sebagai sarang mereka."
"Cari yang paling menggemparkan saja. Dia ini intelijen terbaik Aplistia, sudah pasti kasus yang dia tangani bukan yang biasa-biasa."
Kaló menuruti perkataan Kai. Setelah beberapa menit ia berselancar di situs-situs informasi—yang pastinya tidak gratis karena membutuhkan bitcoin untuk mendapatkannya—akhirnya terkumpullah berbagai macam kasus besar yang pernah menggemparkan publik.
Kaló bersiap mengambil napas untuk membacakannya satu per satu, tapi dering ponsel yang berbunyi tiba-tiba mengharuskannya menutup mulutnya lagi.
Tanpa menoleh, Kaló bertanya, "ponsel siapa itu?"
"Aku. Maaf, aku keluar dulu." Zeze berjalan menuju pintu.
"Jadi?" Kai kembali menyinggungnya saat pintu tertutup.
Kaló mengambil napas lagi. Ia membacakannya satu per satu, sementara kedua orang di belakangnya dengan khidmat mendengarkan.
"...penembakan misterius wartawan, penyelundupan narkoba jenis baru, dan terakhir kecelakaan Ratu Mionares. Sudah itu saja. Hanya ada 13."
Menoleh, Kaló melihat perubahan pada ekspresi Kai. "Bos?"
"Kau menyebutkan semua itu berurutan berdasarkan waktu?" Kai malah bertanya.
"Ya, kasus besar yang terakhir terjadi di kota ini adalah tentang meninggalnya Ratu terakhir kerajaan ini. Yang seterusnya hanyalah pencurian dan hal-hal biasa lainnya."
"Kita sudah menemukannya," Kai bergumam sembari melihat sekeliling.
Ketika kembali menghadap layar laptop, ia melanjutkan, "sepertinya meninggalnya Ratu juga merupakan plot yang disusun para petinggi kerajaan. Detektif itu dibunuh karena mencoba mengungkapnya. Ini pasti kasus yang mereka tidak ingin siapa pun tahu."
"Apakah kita akan menggeledah tempat ini?" Kaló bertanya sembari mengetik cepat sekali.
Obi bingung. "Ló... itu sudah lewat 4 tahun lalu. Tadi kau bilang sendiri kan tidak banyak informasi yang ditemukan? Itu berarti selain membunuh wanita itu, mereka juga mengambil bukti-buktinya. Dan aku yakin pasti sudah mereka hancurkan."
"Jadi bagaimana?" Kaló menghentikan jemarinya. "Bos?"
Kai terlihat merenung, menatap kosong ke layar laptop yang sekarang sedang menampilkan foto mobil berwarna hitam yang bagian depan dan sisi kirinya hancur.
Hanya ada keheningan di antara mereka. Kaló dan Obi pun tidak berniat menyela perang di dalam pikiran pimpinan mereka. Tiba-tiba, keheningan itu terpecahkan oleh lagu Bohemian Rhapsody dari band rock fenomenal abad ke-20, Queen.
Kai agak tersentak dan mulai tersadar kalau itu adalah bunyi ponselnya. Ia mengambilnya dari saku jeans-nya dan mengangkat telepon dari kontak bernama Loze.
"Kai, aku... pergi dulu tidak apa kan?"
"Kemana?"
"Ada pelelangan dekat sini." Suaranya terdengar memohon.
Kai hanya menghela napas dan berkata, "lakukan sesukamu."
"Ada apa?" Tanya Obi.
"Roze ingin ke pelelangan."
Obi berdecak. "Pasti membeli barang-barang antik lagi." Ia mengeluarkan ponselnya dan mengetik sesuatu lalu mengirimnya ke Zeze.
"Jadi apa yang harus kita lakukan, Bos?" Kaló mengulang pertanyaan tanpa sedikit pun melepaskan matanya dari layar laptop yang menampilkan situs web Hotel Thalia. Sepertinya dia meretas situs itu karena di layarnya terpampang informasi pendapatan dan hal-hal yang bersifat privasi lainnya.
"Kita sudah dapat dua poin. Detektif Andromeda dibunuh serta kematian terencana Ratu Mionares. Kalian paham mengenai poin terakhir kan?"
Kedua orang ini mengangguk dengan muka masam. Tentu mereka paham.
Kaló mendesah, "Raja melarang kita untuk ikut campur masalah keluarga kerajaan. Tidak ada yang bisa kita lakukan. Berarti, tinggal masalah Detektif itu dan juga Jendral gila itu?"
"Kita selesaikan dulu Jendral itu. Kau sudah dapat informasi dia menginap di hotel mana?" Tanya Kai.
Kaló menyunggingkan senyum. Tapi senyum itu tidak menyentuh matanya yang menggelap. "Kebetulan sekali..."