38 BORED
Di saat yang sama, Glen muncul dan menatap bergantian kedua orang itu. Pakaiannya telah berganti dengan kaus hitam polos berlengan panjang dipadu celana training berwarna putih.
Ketika melihat Glen, pria tersebut langsung menuntutnya. "Kenapa tidak bilang Roze akan ke sini?"
Glen mengangkat bahu, "aku bahkan tidak tahu."
"Ayaaahh." Zeze menyerbu masuk ke dalam pelukan pria itu, yang tak lain adalah ayah kandung Glen, Damian Barier.
"Sudah besar ya, dan tambah luar biasa cantik," ujarnya. Dengan hangat, mengelus-elus punggung Zeze yang tertutupi rambut.
Zeze terkekeh senang. Dulu ia hanya sebatas pinggangnya, dan sekarang tingginya telah mencapai dadanya. Waktu membantunya tumbuh begitu cepat.
Mereka menguraikan pelukan untuk melihat wajah masing-masing. "Bagaimana kabar Ayah?" Tanya Zeze.
"Mm... akhir-akhir ini TBC Ayah memburuk."
"Itulah akibatnya karena terus-terusan merokok di masa muda. Jadi tuanya seperti ini." Zeze mencibir.
"Jadi Roze mengatakan kalau ayah ini sudah tua?"
"Apakah aku harus berbohong?" Zeze malah balik bertanya.
Damian terkekeh kecil lalu mengusulkan, "bagaimana kalau kita makan terlebih dulu? Roze belum makan kan?" ia mengintip Glen.
Zeze menggeleng, "belum." Walau sebenarnya ia sudah memakan empat makanan berbeda di kantin tadi.
"Ya sudah ayo, kebetulan para pelayan telah selesai menyiapkan makan siang."
Mereka bertiga berakhir di sebuah ruang makan bergaya Perancis dengan meja panjang yang terbuat dari kayu oak. Di hadapan mereka tersuguh berbagai macam makanan dari hidangan pembuka sampai penutup yang menggiurkan. Beberapa pelayan yang tetap tinggal, berdiri di dekat dinding, siap sedia kalau-kalau tuan mereka membutuhkan sesuatu.
"Selama ini Roze ke mana saja? Kenapa tidak pernah ke sini lagi?" Tanya Damian sambil memotong ikan tunanya.
Zeze melirik Glen yang duduk di hadapannya. Glen menyadari tatapan itu, tapi ia tidak membalasnya. "Aku pergi dari rumah," jawabnya jujur.
Damian menautkan alisnya, "kenapa?" Karena melihat Zeze yang menatap sendu makanannya, ia dapat menebak apa alasannya. "Karena Dian lagi?"
Ketika Zeze mengangguk, Damian tertawa pelan. "Memang, hubungan anak perempuan dengan ibunya itu lebih rumit ya."
"Dialah yang memperumit," kilah Zeze, membela diri. "Dia selalu memaksakan apa pun untuk kulakukan. Aku sudah cukup menjadi bonekanya. Aku tidak pernah merasa benar-benar hidup saat berada di sana."
Damian memilih meletakkan alat makannya untuk menyimak keluhan gadis muda itu. "Kau benar-benar mengingatkanku kepada Dian," komentarnya setelah ocehan Zeze karam.
"Kalian ini benar-benar mirip. Bukan hanya wajah, tapi sifat kalian juga. Dulu Dian juga suka mengeluh seperti ini. Kalian berdua sama, mencintai kebebasan lebih dari siapa pun, tidak suka diatur-atur." Damian tersenyum penuh arti dengan kedua alis mencuat tinggi.
Zeze memasang tampang jahilnya, "Ayah sepertinya mengenal sekali orang yang Ayah cinta."
Damian terkekeh lalu kembali memegang alat makannya. "Sayangnya orang yang Ayah cinta sudah menjadi milik laki-laki lain," ujarnya, menatap makanannya sembari tersenyum pahit.
"Dan sekarang, putrinya malah jatuh cinta dengan putra dari pria yang dulu dia tolak." Damian menyeringai nakal.
"Kurasa karma itu memang ada. Putra dari pria yang dulu ditolaknya kini berganti menolak putrinya. Itu bisa menjadi judul cerita yang bagus," canda Zeze. Damian tertawa dibuatnya.
"Bagaimana bisa Glen menolak Roze yang cantik, pintar dan berbakat seperti ini? Sepertinya anak itu memiliki selera yang buruk dalam hal wanita." Damian berdecak tak habis pikir. Sementara orang yang dibicarakan tetap tenggelam pada makanannya tanpa berniat untuk ikut campur.
"Jadi, selama ini Roze tinggal dimana?"
"Sekarang aku tinggal di istana timur Aplistia, tapi selama ini aku tinggal di rumah keluargaku yang baru. Aku sangat bersyukur sekali karena bisa dipertemukan dengan mereka," ungkapnya sepenuh hati.
"Memang benar, tapi jangan mentang-mentang sudah memiliki hal baru, kau membuang yang lama. Jadikan hal yang telah lalu sebagai pelajaran untuk menghadapi masa depan."
Zeze mengangguk paham akan nasehat Damian.
"Ngomong-ngomong, Ayah mau tanya." Belum juga selesai, tapi Damian telah dihadiahi tatapan menusuk penuh peringatan dari Glen.
"Apakah Roze tahu ada masalah apa antara Glen dan Robian? Kenapa mereka terlihat tidak akrab sama sekali? Padahal dulu mereka sering bermain bersama."
"Ah, itu." Zeze memotong ikan tunanya, kemudian melirik Glen yang kini berganti menusuknya.
"Glen melakukan sesuatu yang membuat Obi marah," ujarnya, tak menghiraukan peringatan Glen.
Damian mengangguk-angguk paham.
"Sebenarnya dia melakukannya kepadaku, tapi Obi tidak terima dan akhirnya dia tidak dapat memaafkan Glen. Obi bilang dia sudah berusaha keras menjagaku tapi Glen malah seenaknya menyakitiku."
"Ah, enaknya masa muda." Damian menghela napas. Matanya terbungkus dengan wajah membingkai senyum damai. Gelagat pria itu seperti sedang mengingat masa lalu.
"Mungkin Ayah bertanya-tanya kenapa Glen tidak mau Obi sampai tahu kalau dia itu kakaknya. Itu kare—"
"Rozeale," potong Glen dengan suara beratnya. "Cukup."
Zeze mengangkat sebelah alisnya dan memilih tetap melanjutkan, "itu karena Glen takut Obi makin membencinya setelah tahu kalau selama ini Glen adalah saudaranya. Dia enak-enakkan di sini bersama Ayah sementara Obi bahkan baru tidak lama ini mengetahui ayahnya."
Zeze kembali menatap Glen dengan tampang meledek, "naif sekali ya dia."
"Benar, kekanakan sekali." Damian tersenyum. "Aku kira dia sudah dewasa, tapi ternyata dia masih mengalami masa-masa labil remaja seusianya."
Tiba-tiba Hera datang dengan masih mengenakan seragam Exousia ditambah dengan sweater berwarna krem. Ia mematung di tempat ketika melihat Zeze di sana. Matanya menilik Glen dan Damian bergantian, meminta penjelasan. Glen mengabaikannya, namun Damian malah menyuruhnya duduk.
Haruskah ia membungkuk hormat sekarang? Ia bingung dan akhirnya memilih asal duduk saja di sebelah kanan Glen.
"Ah, Hera. Apakah Hera telah bertemu Roze? Dia ini temannya Glen."
"Aku sudah pernah bertemu dengannya, sekarang aku sekolah di Exousia." Zeze yang menjawab.
Mata Damian melebar antusias, "benarkah? Wah, Roze jadi bisa ke sini kapan saja kalau begitu."
"Iya."
"Tidak."
Zeze dan Glen menjawab berbarengan sehingga membuat mata mereka kembali bertemu. Zeze mengernyit, "apa maksudmu tidak?"
"Kau tidak boleh di sini. Kalau bisa, sekarang juga kau pulang. Sudah kenyang kan?"
Zeze mengangkat sebelah alisnya sehingga membuat Glen mengeluh dalam hati. Karena Glen tahu, ekspresi itu menandakan akan ada pikiran gila yang lainnya. Entah apa yang akan gadis itu lakukan sekarang.
"Ayah," panggil Zeze, tanpa memutus kontak matanya dari Glen.
Hera tercengang karena Zeze memanggil Damian dengan sebutan ayah.
"Ya?"
"Aku akan menginap di sini."
'Benar kan?' Glen mengeluh dengan helaan napas berat.
Sambutan Damian sungguh di luar dugaan. Pria itu begitu antusias seperti baru saja menang taruhan, "tentu-tentu. Roze bebas ingin menginap berapa hari pun di sini."
Mendengar jawabannya, Zeze memutus kontak matanya dari Glen dengan perasaan menang. "Hanya sehari saja kok, Yah. Aku tidak boleh pergi lama-lama."
"Ah, ya sudah kalau begitu. Ngomong-ngomong, Roze ingin tidur di kamar mana? Lantai atas atau bawah?" Tawar Damian.
"Kalau bisa di kamar Gle—"
"Tidak," tukas Glen.
"Ayah rasa Glen benar. Roze sekarang sudah dewasa jadi tidak bisa seperti waktu kecil lagi," ujar Damian lembut.
"Ah, ya sudah kalau begitu. Aku ingin kamar di sebelah kamarnya," katanya, walau agak kecewa.
"Oke." Damian mengacungkan jempolnya lalu beralih ke Hera, "nah, Hera, tolong antar Roze nanti ke kamarnya ya? Pinjami dia baju ganti juga."
Tentunya Hera langsung mengangguk walaupun tengah kebingungan begini, "baik, Sir."
Namun nyatanya saat selesai makan, yang dilakukan Zeze adalah berputar-putar mengelilingi bagian luar mansion. Tanpa disangka ia menemukan banyak hal yang membangkitkan nostalgianya sewaktu kecil. Contohnya seperti ukiran di pohon yang dulu sering ia buat saat berkunjung ke sini. Atau batu-batuan yang dulu ia sengaja kubur sebagai permainan mencari harta karun.
Zeze merasa seperti ada seseorang yang memperhatikannya dari atas kepalanya. Ia berbalik dan mendongak. Dan benar saja, ada Glen sedang berdiri di balkon lantai dua dengan kedua tangan terlipat di atas tembok pembatas.
Mereka saling pandang untuk waktu yang lama. Tak ada seorang pun yang berniat membuka mulut. Kejadian ini mungkin keterbalikan dari masa lalunya. Dulu Glen yang berada di posisinya, melihatnya dari bawah, menunggunya turun untuk bermain bersama.
"Dingin, masuk," ujar Glen.
Mungkin ini adalah hal aneh baginya karena baru menyadarinya sekarang. Entah mengapa hubungannya menjadi rumit begini. Ia tahu laki-laki itu membencinya, begitu pun sebaliknya. Ia membenci orang ini lebih dari apa pun di dunia ini. Tapi di saat yang sama, ia mencintainya.
Kalau orang-orang bilang setia adalah hal yang bagus, namun tidak baginya. Karena kesetiaan adalah hal yang paling menyiksanya di dunia ini, bagaikan sebuah kutukan abadi.
Karena perasaan yang bernama setia itu, ia jadi sulit keluar dari masa lalu. Ia masih sering melihat ke belakang, melihat hal-hal yang telah ditinggalkannya, dan yang telah meninggalkannya.
Jika bisa, ia ingin sekali melupakannya. Melupakan hal-hal yang membuat kepala dan hatinya sakit, berjalan begitu saja tanpa menoleh lagi ke belakang.
Mungkin akan menjadi lebih mudah untuk hidup di dunia ini jika orang-orang yang pergi itu juga ikut pergi dari pikirannya.
Andaikan orang pergi dan datang begitu saja, tanpa ada bekas yang mereka tinggalkan.
Karena itulah ia sudah malas terlalu terikat dengan orang lain. Jika mereka memang berencana untuk pergi, jangan repot-repot masuk ke kehidupannya dan meninggalkan bekas begitu saja.
Sama seperti orang di atasnya ini. Orang egois yang ingin sekali ia pukul saat ini. Orang itu seenaknya saja masuk ke dalam kehidupannya dan membuatnya menderita seperti ini. Tidakkah dia tahu dampak apa yang telah dia berikan kepada hati dan pikirannya?
Baginya, seekor burung yang selalu terkurung dalam sangkar emas, orang itu adalah sayapnya.
Mungkin ini kedengaran konyol, tapi ia bertanya-tanya apakah ia bisa jatuh cinta lagi seperti waktu kecil dulu. Gadis kecil berumur 7 tahun yang jatuh cinta pada saudara sahabatnya sendiri. Dan itu adalah pertama kalinya ia merasakan perasaan asing yang orang-orang sebut dengan 'cinta'. Waktu itu ia berpikir bahwa perasaan ini tidaklah buruk. Malahan menyenangkan karena selalu membuatnya bahagia.
Hingga akhirnya, sebuah perasaan yang membuatnya bahagia itu berubah menjadi bumerang baginya.
Ia kira jatuh cinta berarti bahagia, ternyata tidak sesederhana itu. Maklum, dulu ia masih naif, baru mengenal dunia luar setelah sekian lama terkurung di dunia kecil yang orang-orang sebut sebagai 'sangkar emas'.
Kenapa orang itu tidak bisa dilupakan begitu saja olehnya? Kenapa orang itu terlalu membekas di hatinya?
Bahkan setelah tahun-tahun yang ia lewati, dimana satu per satu orang yang memiliki hatinya pergi, terkubur di tanah yang dingin, mereka tetap saja tak lekang oleh waktu dan terus menghantui kepalanya.
Zeze mengaktifkan dýnami-nya, membawa serta sebagian energi panas sel-selnya untuk dibawa ke luar tubuhnya. Dan seketika, lapisan salju di bawah sepatu boots-nya mencair. Butiran-butiran salju yang turun mengenai tubuhnya pun tak bertahan lama dan menjelma menjadi lelehan.
Tangannya terangkat ke arah Glen dengan telapak tangan menengadah ke atas. Glen memperhatikan tangan itu yang lama-kelamaan mengeluarkan secercah cahaya merah yang ia yakini adalah api. Api itu membentuk butiran-butiran kecil menyerupai salju dan terbang ke arahnya.
Api salju itu mengelilinginya bagai kunang-kunang. Bahkan Glen merasa tidak perlu untuk menggunakan jaket, atau bahkan baju sekalipun. Karena hangat yang diberikan salju ini tidak seperti penghangat ruangan biasa. Hangatnya menjalar ke setiap bagian tubuhnya, bahkan ke hatinya yang telah lama membeku sekalipun.
Tapi bentuk salju itu tak bertahan lama. Kini mereka saling menyatu dan memunculkan lidah api menyerupai kelopak, yang lama-kelamaan makin banyak hingga membentuk sebuah bunga mawar.
"Roze..."
Zeze tersenyum kering dengan tatapan meneduh. Dari sekian banyak orang yang ia sayangi, hanya orang ini yang belum pernah ia beri bunga kesukaannya itu. Dan kini, ia memberikannya, mawar yang ia buat dengan tangannya sendiri. Mawar spesial hanya untuknya.
Zeze berjalan masuk, meninggalkan Glen sendirian dengan mawarnya. Tatapan Glen terus mengarah kepada mawar di depan wajahnya. Sayangnya mawar itu tak bisa ia sentuh.
Sama seperti pemiliknya.
Jika ia menyentuhnya, ia akan terluka. Namun jika tidak ia sentuh, mawar itu akan tetap menjadi hal terindah yang pernah ia lihat dalam hidupnya.
Kadang, suatu hal memang harus dibiarkan sebagaimana mestinya. Benar, ia hanya akan mengabadikan mawar ini dengan matanya. Ia hanya akan menikmati cahayanya.
"Serius sekali."
Suara itu membawanya keluar dari lamunannya. Glen menoleh cepat ke kanan dan melihat Zeze tengah berdiri sambil menyandarkan punggungnya ke tembok pembatas. Tapi sayangnya mereka terpaut jarak, karena Zeze berdiri di balkon kamarnya sendiri.
Glen tidak memikirkan ini sebelumnya, ia lupa bahwa kamar Zeze di sebelah kamarnya.
"Tenang saja, itu tidak akan menghilang," ujar Zeze, berbalik untuk menikmati langit biru yang terlihat agak suram.
"Tidak akan hilang sampai aku mati," lanjutnya. "Kau bisa meletakannya di dalam lemari kaca, atau dimana pun terserah tanpa harus khawatir dia akan padam."
Zeze menoleh ke arahnya, "tapi jika aku mati, dia akan menghilang." Ia tersenyum miring, "jadi, Glen..."
Mata Glen memicing.
"...bunuh aku jika kau sudah bosan melihatnya."
========
Siang pun berganti malam dengan cepat. Zeze tidak merasakannya karena selama siang hari ia asyik bersemayam di alam mimpi. Itulah mengapa ia sering begadang saat malam datang. Ia lebih suka beraktivitas di malam hari, waktu sempurna saat ide-ide kreatif manusia muncul.
Sekarang saatnya makan malam. Saat ini hinggap satu orang lagi yang bergabung dengan mereka. Tapi dia terlihat takut-takut saat ditatap Zeze, dan hal itu membuat Zeze terkikik tanpa suara ketika melihat raut wajahnya.
"Agatha, apa yang kau lakukan? Kenapa tidak menyapa Kak Roze?" Tegur Damian.
"Hai, Agatha." Zeze menyeringai ke arahnya. Mungkin ia memang tidak menyukai anak kecil, tapi berbeda dengan adik dari lelaki yang disukainya ini. Bagaimana mungkin ia juga tidak menyukainya?
Meski tahun demi tahun telah berlalu, Agatha masih saja memasang wajah takut jika bertemu Zeze.
Alih-alih marah, Zeze justru senang, karena akhirnya ada anak kecil yang pintar menilai. Mungkin Agatha telah merasakan hawa tidak enak jika berada di dekatnya. Itu wajar saja, karena Zeze selalu berjalan dengan hawa kematian di sampingnya.
Adik dan kakak ternyata sama-sama unik. Mereka berdua selalu menarik perhatiannya bahkan saat pertama kali bertemu.
"Maaf, Roze." Damian mendesah, "Agatha sepertinya sedang bersedih karena ditinggal sahabatnya, Lilith Swarovske."
Zeze mengangguk lalu bertanya, "sekarang berapa umur Agatha?"
Agatha menunduk takut, menghindari tatapan penuh binar dari orang yang duduk di hadapannya ini. Tangan kecilnya tanpa sadar menggenggam tangan Glen yang berada di atas meja.
"S—sepuluh," jawabnya terbata-bata.
"Apa? Aku tidak dengar."
"Sep—sepuluh," cicitnya, tak ada bedanya dari jawaban sebelumnya.
"Aku masih kurang dengar, coba lebih keras."
"Benar, kau harus lebih keras. Karena dia ini mempunyai masalah pendengaran," celetuk Glen. "Buktinya dia tidak mau mendengar apa perkataan orang lain."
Zeze mengabaikannya dan memilih menggoda gadis kecil ini lagi, "oh, sepuluh tahun?" Ia mengangguk-angguk.
Dulu saat kecil, anak ini sering ia gendong, tak terasa waktu telah mengubahnya menjadi gadis mungil berambut hitam lurus dengan mata hijau yang cantik.
"Agatha, kemarin aku tidak sengaja melihat biola yang cantik. Lain kali aku akan membelikannya untukmu."
"Tidak perlu, dia sudah punya banyak biola," sergah Glen tanpa menatap Zeze, sibuk memotong-motong daging panggangnya.
Zeze mengangkat sebelah alisnya lalu mencemooh, "dia banyak bicara ya sekarang?"
"Apakah tidak boleh seseorang yang mempunyai mulut untuk berbicara?" Balas Glen enteng.
"Boleh-boleh saja. Tapi kurasa itu tidak berlaku untukmu. Kau lebih menyebalkan ketika berbicara."
Dalam diam, Damian menyaksikan adu mulut kecil kedua remaja ini. Kalau seperti ini, ia jadi teringat saat mereka berdua masih kecil. Dulu Zeze sering kali bertengkar dengan Glen karena hal-hal sepele saat bermain.
Damian terkekeh tanpa suara mendengarkan ocehan demi ocehan di meja makan yang terasa kembali hidup ini.
Sementara Hera menatap heran mereka berdua. Hera takjub bagaimana Glen membalas dengan santainya omongan putri yang duduk di samping kanannya ini. Walaupun Hera tahu Glen itu tidak banyak bicara, tapi entah mengapa putri ini sukses memancingnya untuk membuka mulut. Hera akhirnya dapat mendengar cara bicara Glen yang lepas seperti dulu lagi.
Acara makan malam yang penuh obrolan itu akhirnya usai. Zeze langsung kembali ke kamarnya. Kamar itu tentu saja luar biasa luas dengan kasur berwarna hijau toska dan sofa abu-abu di sampingnya. Tentu saja Zeze lebih memilih tidur di sofa itu sambil bermain ponsel karena ia sudah tidak bisa tidur lagi.
Tapi karena bosan menyerangnya, ia beranjak menikmati angin dingin dan langit malam di balkon. Siapa sangka ketika ia menoleh ke kiri, terdapat Glen yang juga tengah memandangi langit di balkon kamarnya.
"Kau tidak memberitahuku bagaimana caranya..." ucap Glen tanpa menoleh. Zeze sempat bingung, tapi setelah Glen sedikit mundur, ia paham yang dimaksud Glen adalah mawar api yang melayang-layang di hadapannya itu, "...memindahkan ini."
"Pegang saja," jawabnya enteng. "Itu sudah tidak panas lagi."
Glen menoleh ke arahnya dengan sebelah alis terangkat.
"Memangnya kau kira aku sehebat itu? Jika aku terus-terusan mengeluarkan energi panas, bisa-bisa aku mati kedinginan. Mempertahankannya untuk tetap ada saja sudah sulit."
Glen kembali menghadap depan. "Kurasa lebih baik di sini, di tempatnya semula." Glen mendesah sehingga menimbulkan uap panjang keluar dari mulutnya.
"Glen, aku bosan." Tiba-tiba Zeze berbicara.
Ketika menoleh, Glen melihat gadis itu mengikat rambutnya menjadi satu, seperti sedang bersiap-siap.
"Dan aku tahu kau juga. Mau melanjutkan urusan kita yang tertunda waktu itu?"
Glen mengangkat kedua alisnya, seperti meragukan tawarannya.
Mengerti apa yang sedang dia pikirkan, Zeze langsung cepat-cepat melanjutkan. "Ck, yang waktu itu di sekolah saat pelajaran berpedang! Jangan pikir macam-macam! Aku belum siap mati sekarang."
"Bagaimana jika aku tidak mau?"
"Kau tidak malu punya hutang dengan seseorang selama bisa melunasinya?"
"Aku tidak merasa punya hutang denganmu." Glen membalas santai sambil membuang muka.
"Tapi aku yang merasa," ujar Zeze. Ia mengeluarkan sesuatu dari saku celana training putihnya.
Glen menoleh lagi dan melihatnya mengeluarkan sebuah kantung abu-abu berbentuk persegi panjang. Tak ada yang spesial dari kantung polos itu, kecuali saat Zeze memasukkan tangannya ke dalam, dan ketika ia mengeluarkan tangannya lagi, tiba-tiba telah terdapat dua longsword di genggamannya. Apakah pedang muat ditaruh dalam kantung kecil itu?
"Ini bukan kekuatanku," jelas Zeze, menjawab raut bingungnya. "Temanku mempunyai kemampuan untuk mentransfer dýnami seseorang ke orang lain. Jadinya sekarang aku memiliki kekuatannya, walaupun tidak sekuat aslinya."
Glen mencoba mengujinya, "bukankah tidak baik membongkar rahasia rekanmu di hadapan musuhmu?"
"Memangnya setelah tahu, kau mau apa?" Bibir Zeze memajang seringai sinis ketika menantangnya.
Mereka berdua berperang lewat mata mereka yang saling terjalin. Karena tidak kuat menahan tawanya, akhirnya Zeze membuang muka untuk menyudahi. Glen tentunya tahu Zeze tidak akan bisa serius terlalu lama. Gadis itu memiliki masalah tentang kebiasaan tertawa pada saat serius. Dia tidak terbiasa dalam suasana yang kaku dan dingin.
"Tapi kau bukanlah musuhku, dan begitu juga denganku. Aku bukanlah musuhmu," kata Zeze ketika kembali menatapnya. "Jadi kau ingin ikut bergabung atau tidak?" Desaknya.
Glen menghembuskan napas. Rasanya tidak masalah jika untuk sekali saja. "Oke," jawabnya lalu masuk ke dalam kamar.
Ketika keluar, ia menggaet dua katana kembar di masing-masing tangannya sehingga membuat Zeze mencibir, "padahal aku sudah menyiapkannya. Kau tidak bisa menggunakan longsword?"
"Bisa saja, tapi bukankah kita tidak boleh memakai pemberian musuh?"
Zeze terkekeh mendengarnya. Ia menaiki tembok pembatas dan menjatuhkan satu longsword-nya begitu saja. "Oke, coba hibur aku, Glen Barier."
Dengan sangat cepat, Zeze melesat menyeberang ke arah balkon Glen, bahkan saat Glen masih belum bersiap menghunuskan kedua katana-nya. Tapi itu semua tidak masalah bagi Glen. Ia menghindari serangan Zeze yang melompat untuk membelah tubuhnya dari atas.
Di saat yang sama, Glen mencabut kedua katana-nya dari sarungnya. Dan ketika Zeze bersiap untuk memulai serangannya lagi, kini kedua katana Glen telah saling menyilang dan siap membentur longsword-nya.
"Tidak sabaran seperti biasanya ya?" Glen tersenyum miring.
Zeze menekan longsword-nya sampai membuat Glen agak terdorong. Namun tujuannya bukanlah untuk menyerang Glen, ia tahu itu akan sia-sia. Ia melakukannya agar wajahnya bisa lebih dekat dengan wajah Glen.
"Kau saja yang terlalu lama," bisiknya, bibirnya melengkung. "Hati-hati, kau bisa saja tertinggal."
Zeze menarik mundur longsword-nya seraya menendang Glen dengan gerakan memutar. Tendangannya menghantam lengan kanan Glen yang menghadang di depan dada.
Glen terpojok. Punggungnya membentur tembok pembatas. Namun sepertinya Zeze tidak akan berhenti sampai di situ.
Zeze memulai lagi serangannya, tapi Glen telah lebih siap kali ini. Glen bersalto ke belakang dan mendarat tepat di atas tembok pembatas sehingga longsword Zeze hanya berujung menebas udara.
Melihat Zeze akan mendaratkan serangannya lagi, Glen langsung menjatuhkan dirinya ke belakang. Sehingga untuk kedua kalinya, longsword itu hanya berakhir membelah kekosongan.
Dengan kedua kakinya, Glen mendarat tegak di atas lapisan salju. Tapi belum juga sempat berkedip, ia harus kembali menyilangkan kedua katana-nya karena Zeze telah mengikutinya terjun ke bawah.
Pedang mereka berbenturan lagi. Karena longsword lebih berat, penggunanya harus menggunakan kekuatan ekstra di lengannya, berbeda dengan katana.
Walau penggunanya kuat sekalipun, mata pisaunya mudah rapuh dan terancam tidak akan tajam lagi. Karena itulah Glen lebih mengutamakan teknik dan menghindari benturan pedang.
Glen mengelabui Zeze dengan berputar ke belakang lalu menendang tumpukan salju ke arahnya. Dan Zeze sadar bahwa ketika salju itu jatuh kembali, Glen pasti akan mulai menyerang. Karena sejak tadi laki-laki itu hanya terus dalam mode bertahan.
Dugaannya benar. Bahkan sebelum ia sempat berkedip karena salju yang berlabuh di bulu mata lentiknya, sebuah katana telah lebih dulu membelah ombak salju yang menutupi pandangannya itu.
Ujungnya yang tajam kini hanya berakhir beberapa senti saja dari lehernya.
"Puas?"
Zeze tersenyum miring. Tentu ia puas. Ini adalah dua menit yang singkat sekaligus menyenangkan dalam hidupnya.
"Glen..."
Glen tidak merespons. Wajahnya masih tetap datar, memandangi Zeze yang kini tengah tersenyum penuh makna ke arahnya.
Ketika melihat Glen, pria tersebut langsung menuntutnya. "Kenapa tidak bilang Roze akan ke sini?"
Glen mengangkat bahu, "aku bahkan tidak tahu."
"Ayaaahh." Zeze menyerbu masuk ke dalam pelukan pria itu, yang tak lain adalah ayah kandung Glen, Damian Barier.
"Sudah besar ya, dan tambah luar biasa cantik," ujarnya. Dengan hangat, mengelus-elus punggung Zeze yang tertutupi rambut.
Zeze terkekeh senang. Dulu ia hanya sebatas pinggangnya, dan sekarang tingginya telah mencapai dadanya. Waktu membantunya tumbuh begitu cepat.
Mereka menguraikan pelukan untuk melihat wajah masing-masing. "Bagaimana kabar Ayah?" Tanya Zeze.
"Mm... akhir-akhir ini TBC Ayah memburuk."
"Itulah akibatnya karena terus-terusan merokok di masa muda. Jadi tuanya seperti ini." Zeze mencibir.
"Jadi Roze mengatakan kalau ayah ini sudah tua?"
"Apakah aku harus berbohong?" Zeze malah balik bertanya.
Damian terkekeh kecil lalu mengusulkan, "bagaimana kalau kita makan terlebih dulu? Roze belum makan kan?" ia mengintip Glen.
Zeze menggeleng, "belum." Walau sebenarnya ia sudah memakan empat makanan berbeda di kantin tadi.
"Ya sudah ayo, kebetulan para pelayan telah selesai menyiapkan makan siang."
Mereka bertiga berakhir di sebuah ruang makan bergaya Perancis dengan meja panjang yang terbuat dari kayu oak. Di hadapan mereka tersuguh berbagai macam makanan dari hidangan pembuka sampai penutup yang menggiurkan. Beberapa pelayan yang tetap tinggal, berdiri di dekat dinding, siap sedia kalau-kalau tuan mereka membutuhkan sesuatu.
"Selama ini Roze ke mana saja? Kenapa tidak pernah ke sini lagi?" Tanya Damian sambil memotong ikan tunanya.
Zeze melirik Glen yang duduk di hadapannya. Glen menyadari tatapan itu, tapi ia tidak membalasnya. "Aku pergi dari rumah," jawabnya jujur.
Damian menautkan alisnya, "kenapa?" Karena melihat Zeze yang menatap sendu makanannya, ia dapat menebak apa alasannya. "Karena Dian lagi?"
Ketika Zeze mengangguk, Damian tertawa pelan. "Memang, hubungan anak perempuan dengan ibunya itu lebih rumit ya."
"Dialah yang memperumit," kilah Zeze, membela diri. "Dia selalu memaksakan apa pun untuk kulakukan. Aku sudah cukup menjadi bonekanya. Aku tidak pernah merasa benar-benar hidup saat berada di sana."
Damian memilih meletakkan alat makannya untuk menyimak keluhan gadis muda itu. "Kau benar-benar mengingatkanku kepada Dian," komentarnya setelah ocehan Zeze karam.
"Kalian ini benar-benar mirip. Bukan hanya wajah, tapi sifat kalian juga. Dulu Dian juga suka mengeluh seperti ini. Kalian berdua sama, mencintai kebebasan lebih dari siapa pun, tidak suka diatur-atur." Damian tersenyum penuh arti dengan kedua alis mencuat tinggi.
Zeze memasang tampang jahilnya, "Ayah sepertinya mengenal sekali orang yang Ayah cinta."
Damian terkekeh lalu kembali memegang alat makannya. "Sayangnya orang yang Ayah cinta sudah menjadi milik laki-laki lain," ujarnya, menatap makanannya sembari tersenyum pahit.
"Dan sekarang, putrinya malah jatuh cinta dengan putra dari pria yang dulu dia tolak." Damian menyeringai nakal.
"Kurasa karma itu memang ada. Putra dari pria yang dulu ditolaknya kini berganti menolak putrinya. Itu bisa menjadi judul cerita yang bagus," canda Zeze. Damian tertawa dibuatnya.
"Bagaimana bisa Glen menolak Roze yang cantik, pintar dan berbakat seperti ini? Sepertinya anak itu memiliki selera yang buruk dalam hal wanita." Damian berdecak tak habis pikir. Sementara orang yang dibicarakan tetap tenggelam pada makanannya tanpa berniat untuk ikut campur.
"Jadi, selama ini Roze tinggal dimana?"
"Sekarang aku tinggal di istana timur Aplistia, tapi selama ini aku tinggal di rumah keluargaku yang baru. Aku sangat bersyukur sekali karena bisa dipertemukan dengan mereka," ungkapnya sepenuh hati.
"Memang benar, tapi jangan mentang-mentang sudah memiliki hal baru, kau membuang yang lama. Jadikan hal yang telah lalu sebagai pelajaran untuk menghadapi masa depan."
Zeze mengangguk paham akan nasehat Damian.
"Ngomong-ngomong, Ayah mau tanya." Belum juga selesai, tapi Damian telah dihadiahi tatapan menusuk penuh peringatan dari Glen.
"Apakah Roze tahu ada masalah apa antara Glen dan Robian? Kenapa mereka terlihat tidak akrab sama sekali? Padahal dulu mereka sering bermain bersama."
"Ah, itu." Zeze memotong ikan tunanya, kemudian melirik Glen yang kini berganti menusuknya.
"Glen melakukan sesuatu yang membuat Obi marah," ujarnya, tak menghiraukan peringatan Glen.
Damian mengangguk-angguk paham.
"Sebenarnya dia melakukannya kepadaku, tapi Obi tidak terima dan akhirnya dia tidak dapat memaafkan Glen. Obi bilang dia sudah berusaha keras menjagaku tapi Glen malah seenaknya menyakitiku."
"Ah, enaknya masa muda." Damian menghela napas. Matanya terbungkus dengan wajah membingkai senyum damai. Gelagat pria itu seperti sedang mengingat masa lalu.
"Mungkin Ayah bertanya-tanya kenapa Glen tidak mau Obi sampai tahu kalau dia itu kakaknya. Itu kare—"
"Rozeale," potong Glen dengan suara beratnya. "Cukup."
Zeze mengangkat sebelah alisnya dan memilih tetap melanjutkan, "itu karena Glen takut Obi makin membencinya setelah tahu kalau selama ini Glen adalah saudaranya. Dia enak-enakkan di sini bersama Ayah sementara Obi bahkan baru tidak lama ini mengetahui ayahnya."
Zeze kembali menatap Glen dengan tampang meledek, "naif sekali ya dia."
"Benar, kekanakan sekali." Damian tersenyum. "Aku kira dia sudah dewasa, tapi ternyata dia masih mengalami masa-masa labil remaja seusianya."
Tiba-tiba Hera datang dengan masih mengenakan seragam Exousia ditambah dengan sweater berwarna krem. Ia mematung di tempat ketika melihat Zeze di sana. Matanya menilik Glen dan Damian bergantian, meminta penjelasan. Glen mengabaikannya, namun Damian malah menyuruhnya duduk.
Haruskah ia membungkuk hormat sekarang? Ia bingung dan akhirnya memilih asal duduk saja di sebelah kanan Glen.
"Ah, Hera. Apakah Hera telah bertemu Roze? Dia ini temannya Glen."
"Aku sudah pernah bertemu dengannya, sekarang aku sekolah di Exousia." Zeze yang menjawab.
Mata Damian melebar antusias, "benarkah? Wah, Roze jadi bisa ke sini kapan saja kalau begitu."
"Iya."
"Tidak."
Zeze dan Glen menjawab berbarengan sehingga membuat mata mereka kembali bertemu. Zeze mengernyit, "apa maksudmu tidak?"
"Kau tidak boleh di sini. Kalau bisa, sekarang juga kau pulang. Sudah kenyang kan?"
Zeze mengangkat sebelah alisnya sehingga membuat Glen mengeluh dalam hati. Karena Glen tahu, ekspresi itu menandakan akan ada pikiran gila yang lainnya. Entah apa yang akan gadis itu lakukan sekarang.
"Ayah," panggil Zeze, tanpa memutus kontak matanya dari Glen.
Hera tercengang karena Zeze memanggil Damian dengan sebutan ayah.
"Ya?"
"Aku akan menginap di sini."
'Benar kan?' Glen mengeluh dengan helaan napas berat.
Sambutan Damian sungguh di luar dugaan. Pria itu begitu antusias seperti baru saja menang taruhan, "tentu-tentu. Roze bebas ingin menginap berapa hari pun di sini."
Mendengar jawabannya, Zeze memutus kontak matanya dari Glen dengan perasaan menang. "Hanya sehari saja kok, Yah. Aku tidak boleh pergi lama-lama."
"Ah, ya sudah kalau begitu. Ngomong-ngomong, Roze ingin tidur di kamar mana? Lantai atas atau bawah?" Tawar Damian.
"Kalau bisa di kamar Gle—"
"Tidak," tukas Glen.
"Ayah rasa Glen benar. Roze sekarang sudah dewasa jadi tidak bisa seperti waktu kecil lagi," ujar Damian lembut.
"Ah, ya sudah kalau begitu. Aku ingin kamar di sebelah kamarnya," katanya, walau agak kecewa.
"Oke." Damian mengacungkan jempolnya lalu beralih ke Hera, "nah, Hera, tolong antar Roze nanti ke kamarnya ya? Pinjami dia baju ganti juga."
Tentunya Hera langsung mengangguk walaupun tengah kebingungan begini, "baik, Sir."
Namun nyatanya saat selesai makan, yang dilakukan Zeze adalah berputar-putar mengelilingi bagian luar mansion. Tanpa disangka ia menemukan banyak hal yang membangkitkan nostalgianya sewaktu kecil. Contohnya seperti ukiran di pohon yang dulu sering ia buat saat berkunjung ke sini. Atau batu-batuan yang dulu ia sengaja kubur sebagai permainan mencari harta karun.
Zeze merasa seperti ada seseorang yang memperhatikannya dari atas kepalanya. Ia berbalik dan mendongak. Dan benar saja, ada Glen sedang berdiri di balkon lantai dua dengan kedua tangan terlipat di atas tembok pembatas.
Mereka saling pandang untuk waktu yang lama. Tak ada seorang pun yang berniat membuka mulut. Kejadian ini mungkin keterbalikan dari masa lalunya. Dulu Glen yang berada di posisinya, melihatnya dari bawah, menunggunya turun untuk bermain bersama.
"Dingin, masuk," ujar Glen.
Mungkin ini adalah hal aneh baginya karena baru menyadarinya sekarang. Entah mengapa hubungannya menjadi rumit begini. Ia tahu laki-laki itu membencinya, begitu pun sebaliknya. Ia membenci orang ini lebih dari apa pun di dunia ini. Tapi di saat yang sama, ia mencintainya.
Kalau orang-orang bilang setia adalah hal yang bagus, namun tidak baginya. Karena kesetiaan adalah hal yang paling menyiksanya di dunia ini, bagaikan sebuah kutukan abadi.
Karena perasaan yang bernama setia itu, ia jadi sulit keluar dari masa lalu. Ia masih sering melihat ke belakang, melihat hal-hal yang telah ditinggalkannya, dan yang telah meninggalkannya.
Jika bisa, ia ingin sekali melupakannya. Melupakan hal-hal yang membuat kepala dan hatinya sakit, berjalan begitu saja tanpa menoleh lagi ke belakang.
Mungkin akan menjadi lebih mudah untuk hidup di dunia ini jika orang-orang yang pergi itu juga ikut pergi dari pikirannya.
Andaikan orang pergi dan datang begitu saja, tanpa ada bekas yang mereka tinggalkan.
Karena itulah ia sudah malas terlalu terikat dengan orang lain. Jika mereka memang berencana untuk pergi, jangan repot-repot masuk ke kehidupannya dan meninggalkan bekas begitu saja.
Sama seperti orang di atasnya ini. Orang egois yang ingin sekali ia pukul saat ini. Orang itu seenaknya saja masuk ke dalam kehidupannya dan membuatnya menderita seperti ini. Tidakkah dia tahu dampak apa yang telah dia berikan kepada hati dan pikirannya?
Baginya, seekor burung yang selalu terkurung dalam sangkar emas, orang itu adalah sayapnya.
Mungkin ini kedengaran konyol, tapi ia bertanya-tanya apakah ia bisa jatuh cinta lagi seperti waktu kecil dulu. Gadis kecil berumur 7 tahun yang jatuh cinta pada saudara sahabatnya sendiri. Dan itu adalah pertama kalinya ia merasakan perasaan asing yang orang-orang sebut dengan 'cinta'. Waktu itu ia berpikir bahwa perasaan ini tidaklah buruk. Malahan menyenangkan karena selalu membuatnya bahagia.
Hingga akhirnya, sebuah perasaan yang membuatnya bahagia itu berubah menjadi bumerang baginya.
Ia kira jatuh cinta berarti bahagia, ternyata tidak sesederhana itu. Maklum, dulu ia masih naif, baru mengenal dunia luar setelah sekian lama terkurung di dunia kecil yang orang-orang sebut sebagai 'sangkar emas'.
Kenapa orang itu tidak bisa dilupakan begitu saja olehnya? Kenapa orang itu terlalu membekas di hatinya?
Bahkan setelah tahun-tahun yang ia lewati, dimana satu per satu orang yang memiliki hatinya pergi, terkubur di tanah yang dingin, mereka tetap saja tak lekang oleh waktu dan terus menghantui kepalanya.
Zeze mengaktifkan dýnami-nya, membawa serta sebagian energi panas sel-selnya untuk dibawa ke luar tubuhnya. Dan seketika, lapisan salju di bawah sepatu boots-nya mencair. Butiran-butiran salju yang turun mengenai tubuhnya pun tak bertahan lama dan menjelma menjadi lelehan.
Tangannya terangkat ke arah Glen dengan telapak tangan menengadah ke atas. Glen memperhatikan tangan itu yang lama-kelamaan mengeluarkan secercah cahaya merah yang ia yakini adalah api. Api itu membentuk butiran-butiran kecil menyerupai salju dan terbang ke arahnya.
Api salju itu mengelilinginya bagai kunang-kunang. Bahkan Glen merasa tidak perlu untuk menggunakan jaket, atau bahkan baju sekalipun. Karena hangat yang diberikan salju ini tidak seperti penghangat ruangan biasa. Hangatnya menjalar ke setiap bagian tubuhnya, bahkan ke hatinya yang telah lama membeku sekalipun.
Tapi bentuk salju itu tak bertahan lama. Kini mereka saling menyatu dan memunculkan lidah api menyerupai kelopak, yang lama-kelamaan makin banyak hingga membentuk sebuah bunga mawar.
"Roze..."
Zeze tersenyum kering dengan tatapan meneduh. Dari sekian banyak orang yang ia sayangi, hanya orang ini yang belum pernah ia beri bunga kesukaannya itu. Dan kini, ia memberikannya, mawar yang ia buat dengan tangannya sendiri. Mawar spesial hanya untuknya.
Zeze berjalan masuk, meninggalkan Glen sendirian dengan mawarnya. Tatapan Glen terus mengarah kepada mawar di depan wajahnya. Sayangnya mawar itu tak bisa ia sentuh.
Sama seperti pemiliknya.
Jika ia menyentuhnya, ia akan terluka. Namun jika tidak ia sentuh, mawar itu akan tetap menjadi hal terindah yang pernah ia lihat dalam hidupnya.
Kadang, suatu hal memang harus dibiarkan sebagaimana mestinya. Benar, ia hanya akan mengabadikan mawar ini dengan matanya. Ia hanya akan menikmati cahayanya.
"Serius sekali."
Suara itu membawanya keluar dari lamunannya. Glen menoleh cepat ke kanan dan melihat Zeze tengah berdiri sambil menyandarkan punggungnya ke tembok pembatas. Tapi sayangnya mereka terpaut jarak, karena Zeze berdiri di balkon kamarnya sendiri.
Glen tidak memikirkan ini sebelumnya, ia lupa bahwa kamar Zeze di sebelah kamarnya.
"Tenang saja, itu tidak akan menghilang," ujar Zeze, berbalik untuk menikmati langit biru yang terlihat agak suram.
"Tidak akan hilang sampai aku mati," lanjutnya. "Kau bisa meletakannya di dalam lemari kaca, atau dimana pun terserah tanpa harus khawatir dia akan padam."
Zeze menoleh ke arahnya, "tapi jika aku mati, dia akan menghilang." Ia tersenyum miring, "jadi, Glen..."
Mata Glen memicing.
"...bunuh aku jika kau sudah bosan melihatnya."
========
Siang pun berganti malam dengan cepat. Zeze tidak merasakannya karena selama siang hari ia asyik bersemayam di alam mimpi. Itulah mengapa ia sering begadang saat malam datang. Ia lebih suka beraktivitas di malam hari, waktu sempurna saat ide-ide kreatif manusia muncul.
Sekarang saatnya makan malam. Saat ini hinggap satu orang lagi yang bergabung dengan mereka. Tapi dia terlihat takut-takut saat ditatap Zeze, dan hal itu membuat Zeze terkikik tanpa suara ketika melihat raut wajahnya.
"Agatha, apa yang kau lakukan? Kenapa tidak menyapa Kak Roze?" Tegur Damian.
"Hai, Agatha." Zeze menyeringai ke arahnya. Mungkin ia memang tidak menyukai anak kecil, tapi berbeda dengan adik dari lelaki yang disukainya ini. Bagaimana mungkin ia juga tidak menyukainya?
Meski tahun demi tahun telah berlalu, Agatha masih saja memasang wajah takut jika bertemu Zeze.
Alih-alih marah, Zeze justru senang, karena akhirnya ada anak kecil yang pintar menilai. Mungkin Agatha telah merasakan hawa tidak enak jika berada di dekatnya. Itu wajar saja, karena Zeze selalu berjalan dengan hawa kematian di sampingnya.
Adik dan kakak ternyata sama-sama unik. Mereka berdua selalu menarik perhatiannya bahkan saat pertama kali bertemu.
"Maaf, Roze." Damian mendesah, "Agatha sepertinya sedang bersedih karena ditinggal sahabatnya, Lilith Swarovske."
Zeze mengangguk lalu bertanya, "sekarang berapa umur Agatha?"
Agatha menunduk takut, menghindari tatapan penuh binar dari orang yang duduk di hadapannya ini. Tangan kecilnya tanpa sadar menggenggam tangan Glen yang berada di atas meja.
"S—sepuluh," jawabnya terbata-bata.
"Apa? Aku tidak dengar."
"Sep—sepuluh," cicitnya, tak ada bedanya dari jawaban sebelumnya.
"Aku masih kurang dengar, coba lebih keras."
"Benar, kau harus lebih keras. Karena dia ini mempunyai masalah pendengaran," celetuk Glen. "Buktinya dia tidak mau mendengar apa perkataan orang lain."
Zeze mengabaikannya dan memilih menggoda gadis kecil ini lagi, "oh, sepuluh tahun?" Ia mengangguk-angguk.
Dulu saat kecil, anak ini sering ia gendong, tak terasa waktu telah mengubahnya menjadi gadis mungil berambut hitam lurus dengan mata hijau yang cantik.
"Agatha, kemarin aku tidak sengaja melihat biola yang cantik. Lain kali aku akan membelikannya untukmu."
"Tidak perlu, dia sudah punya banyak biola," sergah Glen tanpa menatap Zeze, sibuk memotong-motong daging panggangnya.
Zeze mengangkat sebelah alisnya lalu mencemooh, "dia banyak bicara ya sekarang?"
"Apakah tidak boleh seseorang yang mempunyai mulut untuk berbicara?" Balas Glen enteng.
"Boleh-boleh saja. Tapi kurasa itu tidak berlaku untukmu. Kau lebih menyebalkan ketika berbicara."
Dalam diam, Damian menyaksikan adu mulut kecil kedua remaja ini. Kalau seperti ini, ia jadi teringat saat mereka berdua masih kecil. Dulu Zeze sering kali bertengkar dengan Glen karena hal-hal sepele saat bermain.
Damian terkekeh tanpa suara mendengarkan ocehan demi ocehan di meja makan yang terasa kembali hidup ini.
Sementara Hera menatap heran mereka berdua. Hera takjub bagaimana Glen membalas dengan santainya omongan putri yang duduk di samping kanannya ini. Walaupun Hera tahu Glen itu tidak banyak bicara, tapi entah mengapa putri ini sukses memancingnya untuk membuka mulut. Hera akhirnya dapat mendengar cara bicara Glen yang lepas seperti dulu lagi.
Acara makan malam yang penuh obrolan itu akhirnya usai. Zeze langsung kembali ke kamarnya. Kamar itu tentu saja luar biasa luas dengan kasur berwarna hijau toska dan sofa abu-abu di sampingnya. Tentu saja Zeze lebih memilih tidur di sofa itu sambil bermain ponsel karena ia sudah tidak bisa tidur lagi.
Tapi karena bosan menyerangnya, ia beranjak menikmati angin dingin dan langit malam di balkon. Siapa sangka ketika ia menoleh ke kiri, terdapat Glen yang juga tengah memandangi langit di balkon kamarnya.
"Kau tidak memberitahuku bagaimana caranya..." ucap Glen tanpa menoleh. Zeze sempat bingung, tapi setelah Glen sedikit mundur, ia paham yang dimaksud Glen adalah mawar api yang melayang-layang di hadapannya itu, "...memindahkan ini."
"Pegang saja," jawabnya enteng. "Itu sudah tidak panas lagi."
Glen menoleh ke arahnya dengan sebelah alis terangkat.
"Memangnya kau kira aku sehebat itu? Jika aku terus-terusan mengeluarkan energi panas, bisa-bisa aku mati kedinginan. Mempertahankannya untuk tetap ada saja sudah sulit."
Glen kembali menghadap depan. "Kurasa lebih baik di sini, di tempatnya semula." Glen mendesah sehingga menimbulkan uap panjang keluar dari mulutnya.
"Glen, aku bosan." Tiba-tiba Zeze berbicara.
Ketika menoleh, Glen melihat gadis itu mengikat rambutnya menjadi satu, seperti sedang bersiap-siap.
"Dan aku tahu kau juga. Mau melanjutkan urusan kita yang tertunda waktu itu?"
Glen mengangkat kedua alisnya, seperti meragukan tawarannya.
Mengerti apa yang sedang dia pikirkan, Zeze langsung cepat-cepat melanjutkan. "Ck, yang waktu itu di sekolah saat pelajaran berpedang! Jangan pikir macam-macam! Aku belum siap mati sekarang."
"Bagaimana jika aku tidak mau?"
"Kau tidak malu punya hutang dengan seseorang selama bisa melunasinya?"
"Aku tidak merasa punya hutang denganmu." Glen membalas santai sambil membuang muka.
"Tapi aku yang merasa," ujar Zeze. Ia mengeluarkan sesuatu dari saku celana training putihnya.
Glen menoleh lagi dan melihatnya mengeluarkan sebuah kantung abu-abu berbentuk persegi panjang. Tak ada yang spesial dari kantung polos itu, kecuali saat Zeze memasukkan tangannya ke dalam, dan ketika ia mengeluarkan tangannya lagi, tiba-tiba telah terdapat dua longsword di genggamannya. Apakah pedang muat ditaruh dalam kantung kecil itu?
"Ini bukan kekuatanku," jelas Zeze, menjawab raut bingungnya. "Temanku mempunyai kemampuan untuk mentransfer dýnami seseorang ke orang lain. Jadinya sekarang aku memiliki kekuatannya, walaupun tidak sekuat aslinya."
Glen mencoba mengujinya, "bukankah tidak baik membongkar rahasia rekanmu di hadapan musuhmu?"
"Memangnya setelah tahu, kau mau apa?" Bibir Zeze memajang seringai sinis ketika menantangnya.
Mereka berdua berperang lewat mata mereka yang saling terjalin. Karena tidak kuat menahan tawanya, akhirnya Zeze membuang muka untuk menyudahi. Glen tentunya tahu Zeze tidak akan bisa serius terlalu lama. Gadis itu memiliki masalah tentang kebiasaan tertawa pada saat serius. Dia tidak terbiasa dalam suasana yang kaku dan dingin.
"Tapi kau bukanlah musuhku, dan begitu juga denganku. Aku bukanlah musuhmu," kata Zeze ketika kembali menatapnya. "Jadi kau ingin ikut bergabung atau tidak?" Desaknya.
Glen menghembuskan napas. Rasanya tidak masalah jika untuk sekali saja. "Oke," jawabnya lalu masuk ke dalam kamar.
Ketika keluar, ia menggaet dua katana kembar di masing-masing tangannya sehingga membuat Zeze mencibir, "padahal aku sudah menyiapkannya. Kau tidak bisa menggunakan longsword?"
"Bisa saja, tapi bukankah kita tidak boleh memakai pemberian musuh?"
Zeze terkekeh mendengarnya. Ia menaiki tembok pembatas dan menjatuhkan satu longsword-nya begitu saja. "Oke, coba hibur aku, Glen Barier."
Dengan sangat cepat, Zeze melesat menyeberang ke arah balkon Glen, bahkan saat Glen masih belum bersiap menghunuskan kedua katana-nya. Tapi itu semua tidak masalah bagi Glen. Ia menghindari serangan Zeze yang melompat untuk membelah tubuhnya dari atas.
Di saat yang sama, Glen mencabut kedua katana-nya dari sarungnya. Dan ketika Zeze bersiap untuk memulai serangannya lagi, kini kedua katana Glen telah saling menyilang dan siap membentur longsword-nya.
"Tidak sabaran seperti biasanya ya?" Glen tersenyum miring.
Zeze menekan longsword-nya sampai membuat Glen agak terdorong. Namun tujuannya bukanlah untuk menyerang Glen, ia tahu itu akan sia-sia. Ia melakukannya agar wajahnya bisa lebih dekat dengan wajah Glen.
"Kau saja yang terlalu lama," bisiknya, bibirnya melengkung. "Hati-hati, kau bisa saja tertinggal."
Zeze menarik mundur longsword-nya seraya menendang Glen dengan gerakan memutar. Tendangannya menghantam lengan kanan Glen yang menghadang di depan dada.
Glen terpojok. Punggungnya membentur tembok pembatas. Namun sepertinya Zeze tidak akan berhenti sampai di situ.
Zeze memulai lagi serangannya, tapi Glen telah lebih siap kali ini. Glen bersalto ke belakang dan mendarat tepat di atas tembok pembatas sehingga longsword Zeze hanya berujung menebas udara.
Melihat Zeze akan mendaratkan serangannya lagi, Glen langsung menjatuhkan dirinya ke belakang. Sehingga untuk kedua kalinya, longsword itu hanya berakhir membelah kekosongan.
Dengan kedua kakinya, Glen mendarat tegak di atas lapisan salju. Tapi belum juga sempat berkedip, ia harus kembali menyilangkan kedua katana-nya karena Zeze telah mengikutinya terjun ke bawah.
Pedang mereka berbenturan lagi. Karena longsword lebih berat, penggunanya harus menggunakan kekuatan ekstra di lengannya, berbeda dengan katana.
Walau penggunanya kuat sekalipun, mata pisaunya mudah rapuh dan terancam tidak akan tajam lagi. Karena itulah Glen lebih mengutamakan teknik dan menghindari benturan pedang.
Glen mengelabui Zeze dengan berputar ke belakang lalu menendang tumpukan salju ke arahnya. Dan Zeze sadar bahwa ketika salju itu jatuh kembali, Glen pasti akan mulai menyerang. Karena sejak tadi laki-laki itu hanya terus dalam mode bertahan.
Dugaannya benar. Bahkan sebelum ia sempat berkedip karena salju yang berlabuh di bulu mata lentiknya, sebuah katana telah lebih dulu membelah ombak salju yang menutupi pandangannya itu.
Ujungnya yang tajam kini hanya berakhir beberapa senti saja dari lehernya.
"Puas?"
Zeze tersenyum miring. Tentu ia puas. Ini adalah dua menit yang singkat sekaligus menyenangkan dalam hidupnya.
"Glen..."
Glen tidak merespons. Wajahnya masih tetap datar, memandangi Zeze yang kini tengah tersenyum penuh makna ke arahnya.