37 COLA
Saat Glen mengira bahwa hari-harinya akan terus berjalan damai, ternyata ia keliru.
Seperti sekarang ini, di tengah orang-orang yang menertawainya, ia hanya bisa mengeluh dalam hati karena bajunya jadi basah kuyup seperti ini. Masalahnya, ia tidak mempunyai baju ganti lagi.
"Lihat pecundang ini, tidak bisa apa-apa tanpa Lady Heracle."
"Apakah dia tidak punya malu? Dulu Tuan Putri Rozeale, sekarang Lady Ralpheus."
Pandangan Glen jatuh ke lantai. Mungkin sekarang orang-orang di kantin sedang menjulurkan leher mereka untuk melihat keributan di luar. Sepertinya pilihan buruk baginya untuk pergi ke kantin lantai 3 sendirian tanpa Hera.
Tapi mau bagaimana lagi, ia tidak pulang ke rumahnya maupun rumah Hera kemarin karena ada misi mendadak dari kakaknya. Jadilah perutnya keroncongan begini.
"Sepertinya kita terlalu lunak kepadanya. Mentang-mentang dibela Yang Mulia, dia jadi besar kepala seperti ini."
"Kita beri pelajaran saja dia."
Glen mendesah lalu mengangkat kepalanya, menyelami langit-langit. Ia tidak begitu mempermasalahkannya, tapi sekarang ini perutnya sudah berbunyi. Mereka bebas memukulinya nanti asalkan perutnya telah terisi.
Tapi orang-orang ini tidak mungkin mendengar permohonannya. Jangankan dari hati, bahkan jika ia mengatakannya langsung, ia seratus persen yakin mereka tidak akan mendengarkan.
Dan dimulailah sarapan pagi yang telah lama dilewatinya itu. Satu tendangan mendarat di perutnya, hantaman mendarat di wajahnya. Pukulan demi pukulan mendarat di berbagai bagian tubuhnya sampai ia malas sendiri untuk merasakan bagian tubuh mana yang mereka pukul.
Tak berlangsung lama, tubuhnya pun menyentuh lantai. Mulutnya memuntahkan darah sampai mengenai bajunya. Ia sudah malas sekali bergerak, karena itulah ia hanya diam sambil bersandar di tembok luar kantin.
Tiba-tiba sesuatu terjun mengenai pahanya. Cukup lama ia memperhatikan benda itu dan baru tersadar bahwa itu adalah kacamatanya.
Satu gagangnya patah dan kacanya pun pecah. Glen terkekeh. Pada akhirnya, semahal dan sebagus apa pun kacamata itu, benda itu tetap akan bernasib sama dengan mendiang kacamatanya yang lain.
Ia memegang salah satu gagangnya yang masih utuh. Terdapat ukiran Typhon 326 di sana. Namun yang membuat mata lebamnya melebar adalah tulisan lain di bagian luar gagang tersebut.
I Love You
Matanya meredup. Ia mengusap ukiran itu dengan ibu jarinya. Mulutnya terbuka, seperti hendak mengucapkan sesuatu. Namun sebelum dapat terucap, kerahnya telah ditarik seseorang sampai membawanya berdiri.
"Ini masih belum selesai. Benar kan semuanya!?"
Terdengar suara sorakan sebagai jawaban. Glen hanya bisa terpejam. Ia pasrahkan segalanya. Toh ia pantas mendapatkannya. Karena ini adalah... hukumannya.
"Hentikan!"
Teriakan itu membuka matanya. Namun entah mengapa ia ingin menutupnya kembali setelah melihat siapa pemilik suara itu. Apakah ia kecewa setelah melihat Hera di sana? Tentu ia kecewa.
Namun yang menjadi pertanyaannya adalah, mengapa ia kecewa? Ia pun bingung sendiri. Sebenarnya apa yang ia harapkan? Siapa yang ia harapkan?
"Lady Heracle, kau tidak seharusnya dekat-dekat dengan pecundang ini."
Alis Hera berkedut mendengarnya. "Kubilang hentikan sekarang juga." Suaranya berubah mengancam.
"Lady Ralpheus, jika kau terus seperti ini, seisi akademi akan memusuhimu," kata yang lain.
"Aku tidak peduli! Cepat lepaskan!"
Sudah pasti mereka tidak akan mau mendengarkannya. Wajar saja, karena terdapat putra salah satu Earl dan Viscount bersama mereka. Hal itu membuat mereka jauh lebih percaya diri.
Seorang perempuan membagi-bagikan cola dingin yang tadi dibelinya di dalam. Semua orang di sana dengan senang hati menerimanya. Namun bukan untuk mereka minum, melainkan untuk menyiram lelaki berambut hitam yang telah tak berdaya itu. Bahkan ada yang menyempatkan diri ke luar kantin hanya agar bisa kebagian menyiramnya.
Orang yang menjerat kerah Glen menyingkir, meninggalkan Glen yang berdiri dengan berpegangan pada bingkai pintu kantin.
Mereka membuka tutup cola di tangan mereka. Mata Hera melebar ketika menyadari apa yang akan dilakukan orang-orang itu. Ia berlari untuk menghentikan mereka.
Terlambat. Cairan cola itu telah membasahi tubuhnya.
Ralat, maksudnya tubuh mereka.
Mata setiap orang di sana melebar ketika melihat siapa orang tambahan yang terpajang di ambang pintu. Tentunya mereka mengenalnya. Siapa yang tidak mengenal seorang Putri Ankhatia yang menjadi tunangan dari putra satu-satunya raja terakhir mereka.
Bajunya basah, rambut platinumnya yang tergerai juga terlihat lepek. Zeze menjilat bibir atasnya, merasakan cola itu menyatu dengan liurnya dan mengecapnya sebentar sebelum kemudian ia telan.
Sikap santainya barusan justru membuat orang-orang di hadapannya menegang sampai-sampai tubuh mereka menjadi sekeras batu. Dan Zeze menyukai itu.
"Enak." Mereka tersentak mendengarnya. "Manis. Kalian tahu saja aku suka cola." Zeze menyeringai licik.
Zeze melupakan orang yang sejak tadi menjulang di sebelah kirinya. Sehingga ketika ia menoleh, tentu saja ia kaget bukan main. Wajah Glen sangat dekat dengan wajahnya.
Zeze melihat cairan itu mulai berkumpul di ujung helai rambutnya yang pekat, menetes jatuh ke pipinya, mengalir sampai ke rahang dan diteruskan sampai ke leher.
Zeze ingin sekali mengusap wajah itu tanpa peduli ia sendiri juga basah kuyup. Tapi tidak bisa, bahkan sejak tadi ia menahan napasnya. Ia tidak bisa bergerak satu inci pun. Matanya hanya tenggelam pada sepasang manik hitam itu, mata yang selalu menyedot semua fokusnya sampai-sampai menenggelamkan seluruh keberadaan orang-orang di sekitarnya.
Butuh waktu sampai Zeze disadarkan oleh kemarahan yang menggumpal di dalam hatinya. Ia ingin sekali membunuh siapa saja yang membuatnya seperti ini. Ia ingin mereka semua membayarnya.
Tapi Zeze harus meredam emosinya itu karena sebagian otaknya sedang terfokus pada bibir Glen yang sekarang terlihat bergerak-gerak tanpa suara.
"Apa?" Bisik Zeze, meminta pengulangan.
Glen mengulang lagi, tapi karena pada dasarnya Zeze memang tidak bisa membaca gerak bibir, ia menyerah untuk berkonsentrasi pada bibir itu.
Dan kini gilirannya berganti menghadap idiot-idiot itu. Mata birunya begitu dingin dan mengintimidasi, sampai-sampai membuat mereka mengejang di tempat. Bahkan jika kaki mereka bisa jujur, saat itu juga timbul perasaan ingin bertekuk lutut di hadapannya.
"Ini sudah memasuki abad ke-22 tapi otak kalian ternyata masih seperti manusia purba."
Tak ada yang berani mengangkat kepala. Tatapan mereka sepenuhnya terjatuh ke ujung sepatu Zeze.
"Pergi."
Cukup dengan satu kata itu, mereka semua bisa menghembuskan napas dengan lega. Tentu saja mereka tidak akan melewatkan kesempatan untuk bisa menjauh dari tatapan penuh intimidasi itu. Dengan kaki gemetar, mereka langsung beranjak pergi.
Tapi ada satu orang yang tetap tinggal. Zeze menatapnya, begitu juga dengannya.
"Lady Ralpheus, benar?"
Hera mengangguk dengan perlahan. Ia masih tidak dapat berpaling dari mata birunya. Mata itu seperti pasir hisap yang tak memiliki jalan keluar.
Zeze melirik Glen, dan Hera paham artinya. Putri itu memintanya untuk membawa Glen.
Tapi sebelum Zeze berbalik, Hera mendengar pasti dia mengatakan, "beri dia obat."
Di tempat serba putih inilah sekarang mereka berdua berlabuh. Walaupun Glen telah berusaha keras menolak Hera agak tidak membawanya ke UKS, gadis itu tetap bersikeras setelah tadi sempat menyentuh dahinya.
Jika dilihat kronologisnya, siapa pun pasti akan sakit setelah mengalami semua itu. Pertama, ia belum sempat tidur sejak kemarin. Kedua, ia belum sempat mengisi perutnya dengan apa pun. Ketiga, ia dipukuli sampai babak belur. Dan yang terakhir, ia sudah harus bermandikan cola di musim dingin ini.
Hera berdiri memperhatikan Glen yang tengah duduk bersandarkan kaki tempat tidur. Pada akhirnya, laki-laki itu tetap keras kepala tidak ingin merebahkan diri.
Pikirannya melayang pada saat Tuan Putri itu bersedia menolong Glen. Tapi entah mengapa ada yang menjanggal di hatinya. Ia terlihat tidak puas. Ia merasa seperti pengecut. Selama ini ia hanya diam menunggu dan melihat dengan mata kepalanya sendiri Glen menderita di tangan para brengsek itu tanpa bisa berbuat apa-apa.
Harusnya ia yang ada di sana. Harusnya ia yang merasakan dinginnya cola itu. Harusnya ia yang merasakan apa yang Glen rasakan. Harusnya ia lebih berani dari awal.
"Hera." Suara Glen membuatnya tersadar dari perang di dalam pikirannya. "Aku akan pulang." Glen berdiri.
"Pulang ke rumahku?"
"Ke rumahku," ralat Glen.
Mata Hera mengerjap, "tapi... Glen?"
Dengan kelima jarinya, Glen menyisir rambut hitamnya yang berantakan ke belakang. Pemandangan itu sukses membuat Hera meneguk salivanya.
Tidak ada yang dapat membantah bahwa Glen ini memang menarik. Siapa pun yang bertatap muka langsung dengan laki-laki ini pasti tidak akan bisa menutup mulut dan mata mereka, persis seperti yang tengah dialami Hera saat ini.
Apalagi saat rambut hitamnya disingkap ke belakang seperti ini, memamerkan dahinya yang indah. Ditambah dengan air yang menetes dari rambutnya yang basah, mengalir turun mengenai rasio wajahnya yang sempurna.
"Tidak." Jawaban Glen menyadarkan Hera dari fantasi liarnya. "Sekarang masih jam sekolah, jadi tidak mungkin dia ada di rumah. Aku hanya akan mengambil beberapa baju dan makanan."
Glen berjalan melewatinya. Saat kakinya hinggap di ambang pintu, Hera memanggil, "Glen."
Dengan tangan singgah di bingkai pintu, Glen menoleh.
"Apakah... kalian dekat?" Tanya Hera.
Otak Hera menjawab tidak, karena tidak mungkin Glen berteman dengan keturunan kerajaan. Dia membenci mereka.
Tapi di saat yang sama, hati Hera merasakan ada sesuatu di antara mereka berdua. ia ingin memastikan itu sendiri, walaupun jawabannya sudah pasti tid—
"Iya."
Dan ternyata kata hatinyalah yang benar.
"Walaupun aku harap tidak," gumam Glen, menjatuhkan pandangan ke lantai.
"Tapi harus kuakui dia... sulit menjauh dari dia." Glen terkekeh dan berjalan menjauh, meninggalkan Hera yang mematung di tempat.
========
Glen mendesak kacamata patah itu masuk ke dalam kantong jaket kulitnya. Karena kediamannya dekat dengan Akademi Exousia, ia hanya perlu berjalan kaki, yang tentunya dilakukan dengan sembunyi-sembunyi.
Ia membelah gang-gang sempit antara dua bangunan tanpa disadari oleh orang-orang. Hera bilang akan menyusul nanti, jadi ia pulang ke rumah sendirian.
Saat Glen melewati gang sempit kedua, ia dapat mendengar sepasang langkah kaki dari arah belakangnya. Ia tidak menoleh dan meneruskan langkahnya sampai ke ujung gang. Dan ketika jalan raya telah terpampang jelas di depan matanya, barulah pemilik langkah kaki itu bisa berjalan di sisi kirinya.
"Bagaimana? Sudah minum obat?" Tanyanya.
Glen tidak menggubris. Ia memilih melanjutkan jalan sampai memasuki gang ketiga. Mereka menembus ke sebuah jalanan sepi yang cukup lebar. Dan di sanalah hal paling merepotkan muncul.
Sekelompok laki-laki berjaket kulit yang duduk di atas jok motor yang terparkir berjejer di pinggir jalan, mulai mengeluarkan siulan-siulan jahil. Siapa lagi kalau bukan ditujukan untuk gadis cantik berambut platinum di sampingnya ini.
"Hei Cantik, siapa namamu?"
Zeze menoleh dan menatap laki-laki itu dengan sebelah alis terangkat, namun ia tidak berniat berhenti.
Salah satunya sampai harus menyusul mengikuti mereka dan berjalan di samping Zeze, "jangan dingin begitu, bagaimana kalau kita bermain bersama di sini?"
Zeze tertawa, "main? Main yang bagaimana?" Tanyanya penuh arti.
"Kita bisa bermain banyak hal," jawabnya, menyeringai jahil.
Zeze meliriknya, "aku ragu permainanmu bisa membuatku senang."
"Memangnya apa yang bisa membuatmu senang?" Tanyanya sambil berusaha merangkul Zeze.
Namun belum sempat lengannya menyentuh punggung Zeze, ia sudah membungkuk kesakitan karena Zeze menginjak kakinya.
"Mainan yang seperti itu." Zeze tertawa renyah.
Dia menegakkan punggungnya dan menatap marah kedua orang yang telah berjalan cukup jauh di depannya itu. Dia menggilas gigi-giginya lalu berjalan menyusul mereka. Dia harus melampiaskan amarahnya sekarang juga pada gadis sialan itu.
Dia menjerat paksa lengan kiri Zeze sampai membuatnya berbalik ke belakang, "kau rupanya nakal juga ya, Cantik," desisnya.
Zeze menatap datar lengannya yang tengah dipegang oleh tangan menjijikkan laki-laki itu. Di sudut matanya, ia melihat teman-teman bajingannya yang lain mulai berjalan mendekat.
Zeze tertawa sinis, "seru juga. Aku penasaran bagaimana cara mainnya sekelompok banci."
"Ternyata mulutmu lebih pedas dari yang aku duga ya? Aku penasaran bagaimana rasanya? Apakah benar-benar terasa pedas ataukah manis..." dia mendekatkan bibirnya ke arah bibir Zeze.
Tapi sebelum bibirnya bertemu dengan bibir merah muda itu, pundaknya sudah lebih dulu ditahan oleh seseorang.
"Tuan, aku sedang buru-buru, bisakah kau lepaskan temanku sekarang?"
Mata Zeze terbelalak kaget. Ia kira Glen akan terus jalan tanpa memedulikannya. Ia memang berniat main-main sebentar dengan mereka karena telah beberapa hari ini belum melatih otot-ototnya.
Dan Zeze sama sekali tidak pernah menyangka Glen akan ikut campur. Terlebih lagi, ia dapat melihat jelas mata hijaunya yang berkilat-kilat tajam penuh amarah.
Ekspresi Zeze kembali normal, "dia benar. Oh ya, napasmu bau juga ya?" Ia terkekeh.
Cengkeraman di tangannya makin mengeras, tapi Zeze masih menatap lelaki itu dengan mata penuh binar kesenangan seolah tidak merasakan sakit sama sekali.
Lelaki itu mengedikkan bahu, mencoba mengenyahkan tangan Glen dari pundaknya, "besar juga nyalimu."
"Tentu saja nyalinya besar. Memangnya kau yang hanya berani pada perempuan?" Sambar Zeze, suaranya terdengar mengejek.
Glen mencoba menguraikan cengkeraman lelaki itu dari lengan Zeze karena tidak ada tanda-tanda gadis itu akan melakukannya sendiri. Dan hal ini membuatnya kesal. Ia sudah gatal ingin mengganti baju basahnya yang telah hampir mengering di badannya ini.
Tindakannya harus digagalkan oleh orang lain yang merenggut kerahnya. "Berani juga bocah satu ini."
"El, hajar dia," perintahnya sembari menarik Zeze menjauh dengan paksa. Tentunya Zeze dengan senang hati mengikutinya, karena hanya dengan begini, ia dapat melihat hal yang telah ia tunggu-tunggu sejak lama.
Mereka berjumlah 10 orang dan kini telah mengelilingi Glen yang hanya berdiri diam sembari memandangi Zeze. Dari kejauhan, Glen hanya bisa mendesah pasrah ketika melihat Zeze mengulum senyum.
Tiga di antara mereka memikul balok kayu yang masih memiliki bekas paku-paku tajam. Namun sepertinya semua itu belum cukup menyeret Glen keluar dari ketenangannya.
Sekarang Glen malah menenggelamkan kedua tangannya ke dalam kantong jaketnya. Mata hijau zamrudnya sekonyong-konyong menyatu pada dinginnya salju. Bahkan kesepuluh orang itu tak bisa membantah bahwa suhu di sekitar mereka berubah lebih dingin dari sebelumnya.
Glen sudah tidak peduli lagi. Toh, tidak ada yang lewat ini. Ia juga telah memperlihatkan warna mata aslinya, jadi tidak perlu menahan diri lagi.
Mereka tidak tahu saja, yang di hadapan mereka ini adalah putra kedua dari Marquess terkuat di Aplistia.
Lima orang secara bersamaan menyerbu Glen. Namun dengan gesit, Glen mengelak sehingga hantaman mereka justru menerjang orang-orang di belakangnya. Glen terus seperti itu tanpa sedikit pun menggunakan tangannya.
Saat seseorang dengan balok berniat memukul Glen dari arah belakang, tiba-tiba objek tujuannya berganti menjadi kepala rekannya dan membuat dia terjungkal dengan kepala berdarah-darah.
Orang itu mematung ketika memandangi rekannya yang telah tergeletak tak berdaya. Hal yang sama juga dialami yang lainnya. Pukulan dan kayu mereka sama sekali tidak ada yang dapat menjamah Glen. Karena sesaat sebelum menyentuhnya, Glen menghindar dengan luwesnya.
Tak berlangsung lama, mereka semua telah terhampar di atas dinginnya lapisan salju. Bukan karena ulah Glen, tetapi ulah rekan mereka sendiri.
Zeze bersiul dari jauh. Dibanding hanya menonton, rasanya ia ingin merasakan sendiri bagaimana bertarung dengannya. Pastinya dalam 5 tahun ini, laki-laki itu telah tumbuh menjadi sangat matang.
"Kau tidak berniat melepaskan?" Tanya Zeze kepada orang yang masih mencengkeram erat lengannya ini.
Laki-laki itu menggertakkan gigi dan berpindah ke belakang Zeze seraya memelintir lengannya. Zeze dapat merasakan sesuatu yang keras dan dingin menyentuh lehernya. Tak perlu melihat untuk mengetahui bahwa ini adalah bilah pisau.
"Mendekat, kubunuh dia," ancamnya dengan napas terengah-engah.
Dari kejauhan, Zeze menatap Glen yang masih berdiri diam dengan kedua tangan tenggelam di dalam kantong jaketnya. Tak ada perubahan ekspresi di wajah Glen, karena ia tahu hal semacam itu tidak akan mudah membunuh Zeze.
Namun sepertinya gadis itu memiliki pikiran lain yang menurutnya sangat merepotkan. Lihatlah, sekarang Zeze malah tersenyum miring kepadanya.
Glen yakin apa yang ada di pikiran gadis itu sekarang bukanlah hal baik. Zeze pasti sedang menunggunya bergerak untuk menyelamatkannya bagai pangeran dalam negeri dongeng. Inilah alasan kenapa orang tua harus membatasi anaknya menonton kartun.
Perlahan, Glen memperpendek jarak tanpa memalingkan matanya dari wajah Zeze. Gadis itu menyeringai semakin lebar setiap langkah yang membawa Glen mendekat.
Entah datang dari mana, kubah berwarna hijau tiba-tiba telah menyelimuti mereka bertiga. Orang itu sama sekali tidak menyadarinya, terlihat sekali bahwa dia tidak mempelajari dýnami.
Namun Zeze dapat melihat dengan jelas cahaya transparan berwarna hijau yang kini melingkup mereka bertiga dalam radius sekitar 8 meter. Dan tanpa menunggu lama, pisau tersebut terjatuh dari lehernya.
Glen menyuruh Zeze menjauh dengan gerakan dagunya, tapi Zeze masih bergeming. Karena itulah, Glen mendekat dan menarik paksa tangannya. Glen menempatkan Zeze di belakang tubuhnya lalu kembali terfokus pada lelaki itu.
Dia terlihat tengah menatap kosong ke arah pisau di dekat kakinya. Tak lama kemudian, dia berjongkok, mengambil pisau itu dan membawanya berdiri. Ujung telunjuknya menyusuri sisi tajamnya sampai-sampai membuatnya setengah terbelah. Jika diteruskan, bisa-bisa jari itu benar-benar terbelah dua.
"Wow," gumam Zeze. "Itu tidak seru sama sekali. Kau harus melakukannya sendiri."
Glen berdecak sebal mendengar protesnya.
"Oh, sidik jari ya?" Zeze baru ingat bahwa polisi dapat melacak hanya dengan menggunakan sidik jari yang tertinggal di gagang pisau itu. Itulah mengapa sejak tadi Glen tidak bertarung menggunakan tangannya.
Tanpa meneruskan aksi kejamnya lebih lanjut, Glen berbalik seraya menjerat tangan Zeze bersamanya. Karena jika tidak begini, gadis itu pasti tidak akan bergerak.
"Memangnya kau mau membawaku ke mana?" Tanya Zeze yang kini telah menganyam langkah di sebelah kirinya.
Glen melepaskan tangan Zeze yang membuat gadis itu terlihat kecewa. "Kau ingin ke rumah kan?" Tapi jawaban Glen berhasil membuat senyum Zeze mengembang.
"Kau bisa tidur di rumah kali ini. Obi tidak pulang, dia akan Guild War di Fairnity Online bersama Saga dan Airo," tutur Zeze. Tapi tentu saja ia tahu Glen tidak akan bereaksi.
Setelah beberapa menit berjalan beriringan, akhirnya mereka sampai di depan gerbang besar berwarna topaz. Glen menempelkan sidik jarinya di dinding samping dan pintu gerbang pun terbelah.
Zeze tersenyum setelah matanya dimanjakan oleh pemandangan familier pekarangan mansion berwarna hijau di hadapannya ini. Ia pernah beberapa kali ke sini dan ternyata pemandangan ini masih tetap sama seperti terakhir kalinya ia berkunjung.
Saat Glen membuka pintu utama, terpampanglah visual klasik ruang tamu bergaya perancis. Zeze merasa seperti pulang kembali ke rumah, yang padahal bukan rumahnya sendiri.
Di ujung sana, berhadapan dengan pintu masuk, terdapat pintu kembar dari kaca berbingkai kayu yang dibiarkan terbuka, menyuguhkan suasana yang sama seperti ruang tamu ini tapi lebih minimalis.
"Duduk dimana saja," ujar Glen dan langsung berjalan pergi ke ruangan di balik pintu kaca tersebut untuk menaiki tangga.
Zeze membuka jaket denimnya dan hanya menyisakan T-shirt hitam berlengan pendek dengan tulisan Supreme di tengah-tengahnya.
"Wah, coba lihat siapa ini?"
Zeze menoleh ke sumber suara. Suara itu, suara khas yang pernah didengarnya ketika kecil.
Matanya pun bertemu dengan sepasang iris hijau milik seorang pria paruh baya berambut hitam legam. Uban terlihat telah memenuhi beberapa bagian di kepalanya. Namun meski begitu, ketampanannya tak lekang oleh waktu. Pria itu mengenakan kemeja bermotif catur dengan celana panjang berwarna coklat tua.
Ketika melihatnya, senyum Zeze langsung menyambutnya.
Seperti sekarang ini, di tengah orang-orang yang menertawainya, ia hanya bisa mengeluh dalam hati karena bajunya jadi basah kuyup seperti ini. Masalahnya, ia tidak mempunyai baju ganti lagi.
"Lihat pecundang ini, tidak bisa apa-apa tanpa Lady Heracle."
"Apakah dia tidak punya malu? Dulu Tuan Putri Rozeale, sekarang Lady Ralpheus."
Pandangan Glen jatuh ke lantai. Mungkin sekarang orang-orang di kantin sedang menjulurkan leher mereka untuk melihat keributan di luar. Sepertinya pilihan buruk baginya untuk pergi ke kantin lantai 3 sendirian tanpa Hera.
Tapi mau bagaimana lagi, ia tidak pulang ke rumahnya maupun rumah Hera kemarin karena ada misi mendadak dari kakaknya. Jadilah perutnya keroncongan begini.
"Sepertinya kita terlalu lunak kepadanya. Mentang-mentang dibela Yang Mulia, dia jadi besar kepala seperti ini."
"Kita beri pelajaran saja dia."
Glen mendesah lalu mengangkat kepalanya, menyelami langit-langit. Ia tidak begitu mempermasalahkannya, tapi sekarang ini perutnya sudah berbunyi. Mereka bebas memukulinya nanti asalkan perutnya telah terisi.
Tapi orang-orang ini tidak mungkin mendengar permohonannya. Jangankan dari hati, bahkan jika ia mengatakannya langsung, ia seratus persen yakin mereka tidak akan mendengarkan.
Dan dimulailah sarapan pagi yang telah lama dilewatinya itu. Satu tendangan mendarat di perutnya, hantaman mendarat di wajahnya. Pukulan demi pukulan mendarat di berbagai bagian tubuhnya sampai ia malas sendiri untuk merasakan bagian tubuh mana yang mereka pukul.
Tak berlangsung lama, tubuhnya pun menyentuh lantai. Mulutnya memuntahkan darah sampai mengenai bajunya. Ia sudah malas sekali bergerak, karena itulah ia hanya diam sambil bersandar di tembok luar kantin.
Tiba-tiba sesuatu terjun mengenai pahanya. Cukup lama ia memperhatikan benda itu dan baru tersadar bahwa itu adalah kacamatanya.
Satu gagangnya patah dan kacanya pun pecah. Glen terkekeh. Pada akhirnya, semahal dan sebagus apa pun kacamata itu, benda itu tetap akan bernasib sama dengan mendiang kacamatanya yang lain.
Ia memegang salah satu gagangnya yang masih utuh. Terdapat ukiran Typhon 326 di sana. Namun yang membuat mata lebamnya melebar adalah tulisan lain di bagian luar gagang tersebut.
I Love You
Matanya meredup. Ia mengusap ukiran itu dengan ibu jarinya. Mulutnya terbuka, seperti hendak mengucapkan sesuatu. Namun sebelum dapat terucap, kerahnya telah ditarik seseorang sampai membawanya berdiri.
"Ini masih belum selesai. Benar kan semuanya!?"
Terdengar suara sorakan sebagai jawaban. Glen hanya bisa terpejam. Ia pasrahkan segalanya. Toh ia pantas mendapatkannya. Karena ini adalah... hukumannya.
"Hentikan!"
Teriakan itu membuka matanya. Namun entah mengapa ia ingin menutupnya kembali setelah melihat siapa pemilik suara itu. Apakah ia kecewa setelah melihat Hera di sana? Tentu ia kecewa.
Namun yang menjadi pertanyaannya adalah, mengapa ia kecewa? Ia pun bingung sendiri. Sebenarnya apa yang ia harapkan? Siapa yang ia harapkan?
"Lady Heracle, kau tidak seharusnya dekat-dekat dengan pecundang ini."
Alis Hera berkedut mendengarnya. "Kubilang hentikan sekarang juga." Suaranya berubah mengancam.
"Lady Ralpheus, jika kau terus seperti ini, seisi akademi akan memusuhimu," kata yang lain.
"Aku tidak peduli! Cepat lepaskan!"
Sudah pasti mereka tidak akan mau mendengarkannya. Wajar saja, karena terdapat putra salah satu Earl dan Viscount bersama mereka. Hal itu membuat mereka jauh lebih percaya diri.
Seorang perempuan membagi-bagikan cola dingin yang tadi dibelinya di dalam. Semua orang di sana dengan senang hati menerimanya. Namun bukan untuk mereka minum, melainkan untuk menyiram lelaki berambut hitam yang telah tak berdaya itu. Bahkan ada yang menyempatkan diri ke luar kantin hanya agar bisa kebagian menyiramnya.
Orang yang menjerat kerah Glen menyingkir, meninggalkan Glen yang berdiri dengan berpegangan pada bingkai pintu kantin.
Mereka membuka tutup cola di tangan mereka. Mata Hera melebar ketika menyadari apa yang akan dilakukan orang-orang itu. Ia berlari untuk menghentikan mereka.
Terlambat. Cairan cola itu telah membasahi tubuhnya.
Ralat, maksudnya tubuh mereka.
Mata setiap orang di sana melebar ketika melihat siapa orang tambahan yang terpajang di ambang pintu. Tentunya mereka mengenalnya. Siapa yang tidak mengenal seorang Putri Ankhatia yang menjadi tunangan dari putra satu-satunya raja terakhir mereka.
Bajunya basah, rambut platinumnya yang tergerai juga terlihat lepek. Zeze menjilat bibir atasnya, merasakan cola itu menyatu dengan liurnya dan mengecapnya sebentar sebelum kemudian ia telan.
Sikap santainya barusan justru membuat orang-orang di hadapannya menegang sampai-sampai tubuh mereka menjadi sekeras batu. Dan Zeze menyukai itu.
"Enak." Mereka tersentak mendengarnya. "Manis. Kalian tahu saja aku suka cola." Zeze menyeringai licik.
Zeze melupakan orang yang sejak tadi menjulang di sebelah kirinya. Sehingga ketika ia menoleh, tentu saja ia kaget bukan main. Wajah Glen sangat dekat dengan wajahnya.
Zeze melihat cairan itu mulai berkumpul di ujung helai rambutnya yang pekat, menetes jatuh ke pipinya, mengalir sampai ke rahang dan diteruskan sampai ke leher.
Zeze ingin sekali mengusap wajah itu tanpa peduli ia sendiri juga basah kuyup. Tapi tidak bisa, bahkan sejak tadi ia menahan napasnya. Ia tidak bisa bergerak satu inci pun. Matanya hanya tenggelam pada sepasang manik hitam itu, mata yang selalu menyedot semua fokusnya sampai-sampai menenggelamkan seluruh keberadaan orang-orang di sekitarnya.
Butuh waktu sampai Zeze disadarkan oleh kemarahan yang menggumpal di dalam hatinya. Ia ingin sekali membunuh siapa saja yang membuatnya seperti ini. Ia ingin mereka semua membayarnya.
Tapi Zeze harus meredam emosinya itu karena sebagian otaknya sedang terfokus pada bibir Glen yang sekarang terlihat bergerak-gerak tanpa suara.
"Apa?" Bisik Zeze, meminta pengulangan.
Glen mengulang lagi, tapi karena pada dasarnya Zeze memang tidak bisa membaca gerak bibir, ia menyerah untuk berkonsentrasi pada bibir itu.
Dan kini gilirannya berganti menghadap idiot-idiot itu. Mata birunya begitu dingin dan mengintimidasi, sampai-sampai membuat mereka mengejang di tempat. Bahkan jika kaki mereka bisa jujur, saat itu juga timbul perasaan ingin bertekuk lutut di hadapannya.
"Ini sudah memasuki abad ke-22 tapi otak kalian ternyata masih seperti manusia purba."
Tak ada yang berani mengangkat kepala. Tatapan mereka sepenuhnya terjatuh ke ujung sepatu Zeze.
"Pergi."
Cukup dengan satu kata itu, mereka semua bisa menghembuskan napas dengan lega. Tentu saja mereka tidak akan melewatkan kesempatan untuk bisa menjauh dari tatapan penuh intimidasi itu. Dengan kaki gemetar, mereka langsung beranjak pergi.
Tapi ada satu orang yang tetap tinggal. Zeze menatapnya, begitu juga dengannya.
"Lady Ralpheus, benar?"
Hera mengangguk dengan perlahan. Ia masih tidak dapat berpaling dari mata birunya. Mata itu seperti pasir hisap yang tak memiliki jalan keluar.
Zeze melirik Glen, dan Hera paham artinya. Putri itu memintanya untuk membawa Glen.
Tapi sebelum Zeze berbalik, Hera mendengar pasti dia mengatakan, "beri dia obat."
Di tempat serba putih inilah sekarang mereka berdua berlabuh. Walaupun Glen telah berusaha keras menolak Hera agak tidak membawanya ke UKS, gadis itu tetap bersikeras setelah tadi sempat menyentuh dahinya.
Jika dilihat kronologisnya, siapa pun pasti akan sakit setelah mengalami semua itu. Pertama, ia belum sempat tidur sejak kemarin. Kedua, ia belum sempat mengisi perutnya dengan apa pun. Ketiga, ia dipukuli sampai babak belur. Dan yang terakhir, ia sudah harus bermandikan cola di musim dingin ini.
Hera berdiri memperhatikan Glen yang tengah duduk bersandarkan kaki tempat tidur. Pada akhirnya, laki-laki itu tetap keras kepala tidak ingin merebahkan diri.
Pikirannya melayang pada saat Tuan Putri itu bersedia menolong Glen. Tapi entah mengapa ada yang menjanggal di hatinya. Ia terlihat tidak puas. Ia merasa seperti pengecut. Selama ini ia hanya diam menunggu dan melihat dengan mata kepalanya sendiri Glen menderita di tangan para brengsek itu tanpa bisa berbuat apa-apa.
Harusnya ia yang ada di sana. Harusnya ia yang merasakan dinginnya cola itu. Harusnya ia yang merasakan apa yang Glen rasakan. Harusnya ia lebih berani dari awal.
"Hera." Suara Glen membuatnya tersadar dari perang di dalam pikirannya. "Aku akan pulang." Glen berdiri.
"Pulang ke rumahku?"
"Ke rumahku," ralat Glen.
Mata Hera mengerjap, "tapi... Glen?"
Dengan kelima jarinya, Glen menyisir rambut hitamnya yang berantakan ke belakang. Pemandangan itu sukses membuat Hera meneguk salivanya.
Tidak ada yang dapat membantah bahwa Glen ini memang menarik. Siapa pun yang bertatap muka langsung dengan laki-laki ini pasti tidak akan bisa menutup mulut dan mata mereka, persis seperti yang tengah dialami Hera saat ini.
Apalagi saat rambut hitamnya disingkap ke belakang seperti ini, memamerkan dahinya yang indah. Ditambah dengan air yang menetes dari rambutnya yang basah, mengalir turun mengenai rasio wajahnya yang sempurna.
"Tidak." Jawaban Glen menyadarkan Hera dari fantasi liarnya. "Sekarang masih jam sekolah, jadi tidak mungkin dia ada di rumah. Aku hanya akan mengambil beberapa baju dan makanan."
Glen berjalan melewatinya. Saat kakinya hinggap di ambang pintu, Hera memanggil, "Glen."
Dengan tangan singgah di bingkai pintu, Glen menoleh.
"Apakah... kalian dekat?" Tanya Hera.
Otak Hera menjawab tidak, karena tidak mungkin Glen berteman dengan keturunan kerajaan. Dia membenci mereka.
Tapi di saat yang sama, hati Hera merasakan ada sesuatu di antara mereka berdua. ia ingin memastikan itu sendiri, walaupun jawabannya sudah pasti tid—
"Iya."
Dan ternyata kata hatinyalah yang benar.
"Walaupun aku harap tidak," gumam Glen, menjatuhkan pandangan ke lantai.
"Tapi harus kuakui dia... sulit menjauh dari dia." Glen terkekeh dan berjalan menjauh, meninggalkan Hera yang mematung di tempat.
========
Glen mendesak kacamata patah itu masuk ke dalam kantong jaket kulitnya. Karena kediamannya dekat dengan Akademi Exousia, ia hanya perlu berjalan kaki, yang tentunya dilakukan dengan sembunyi-sembunyi.
Ia membelah gang-gang sempit antara dua bangunan tanpa disadari oleh orang-orang. Hera bilang akan menyusul nanti, jadi ia pulang ke rumah sendirian.
Saat Glen melewati gang sempit kedua, ia dapat mendengar sepasang langkah kaki dari arah belakangnya. Ia tidak menoleh dan meneruskan langkahnya sampai ke ujung gang. Dan ketika jalan raya telah terpampang jelas di depan matanya, barulah pemilik langkah kaki itu bisa berjalan di sisi kirinya.
"Bagaimana? Sudah minum obat?" Tanyanya.
Glen tidak menggubris. Ia memilih melanjutkan jalan sampai memasuki gang ketiga. Mereka menembus ke sebuah jalanan sepi yang cukup lebar. Dan di sanalah hal paling merepotkan muncul.
Sekelompok laki-laki berjaket kulit yang duduk di atas jok motor yang terparkir berjejer di pinggir jalan, mulai mengeluarkan siulan-siulan jahil. Siapa lagi kalau bukan ditujukan untuk gadis cantik berambut platinum di sampingnya ini.
"Hei Cantik, siapa namamu?"
Zeze menoleh dan menatap laki-laki itu dengan sebelah alis terangkat, namun ia tidak berniat berhenti.
Salah satunya sampai harus menyusul mengikuti mereka dan berjalan di samping Zeze, "jangan dingin begitu, bagaimana kalau kita bermain bersama di sini?"
Zeze tertawa, "main? Main yang bagaimana?" Tanyanya penuh arti.
"Kita bisa bermain banyak hal," jawabnya, menyeringai jahil.
Zeze meliriknya, "aku ragu permainanmu bisa membuatku senang."
"Memangnya apa yang bisa membuatmu senang?" Tanyanya sambil berusaha merangkul Zeze.
Namun belum sempat lengannya menyentuh punggung Zeze, ia sudah membungkuk kesakitan karena Zeze menginjak kakinya.
"Mainan yang seperti itu." Zeze tertawa renyah.
Dia menegakkan punggungnya dan menatap marah kedua orang yang telah berjalan cukup jauh di depannya itu. Dia menggilas gigi-giginya lalu berjalan menyusul mereka. Dia harus melampiaskan amarahnya sekarang juga pada gadis sialan itu.
Dia menjerat paksa lengan kiri Zeze sampai membuatnya berbalik ke belakang, "kau rupanya nakal juga ya, Cantik," desisnya.
Zeze menatap datar lengannya yang tengah dipegang oleh tangan menjijikkan laki-laki itu. Di sudut matanya, ia melihat teman-teman bajingannya yang lain mulai berjalan mendekat.
Zeze tertawa sinis, "seru juga. Aku penasaran bagaimana cara mainnya sekelompok banci."
"Ternyata mulutmu lebih pedas dari yang aku duga ya? Aku penasaran bagaimana rasanya? Apakah benar-benar terasa pedas ataukah manis..." dia mendekatkan bibirnya ke arah bibir Zeze.
Tapi sebelum bibirnya bertemu dengan bibir merah muda itu, pundaknya sudah lebih dulu ditahan oleh seseorang.
"Tuan, aku sedang buru-buru, bisakah kau lepaskan temanku sekarang?"
Mata Zeze terbelalak kaget. Ia kira Glen akan terus jalan tanpa memedulikannya. Ia memang berniat main-main sebentar dengan mereka karena telah beberapa hari ini belum melatih otot-ototnya.
Dan Zeze sama sekali tidak pernah menyangka Glen akan ikut campur. Terlebih lagi, ia dapat melihat jelas mata hijaunya yang berkilat-kilat tajam penuh amarah.
Ekspresi Zeze kembali normal, "dia benar. Oh ya, napasmu bau juga ya?" Ia terkekeh.
Cengkeraman di tangannya makin mengeras, tapi Zeze masih menatap lelaki itu dengan mata penuh binar kesenangan seolah tidak merasakan sakit sama sekali.
Lelaki itu mengedikkan bahu, mencoba mengenyahkan tangan Glen dari pundaknya, "besar juga nyalimu."
"Tentu saja nyalinya besar. Memangnya kau yang hanya berani pada perempuan?" Sambar Zeze, suaranya terdengar mengejek.
Glen mencoba menguraikan cengkeraman lelaki itu dari lengan Zeze karena tidak ada tanda-tanda gadis itu akan melakukannya sendiri. Dan hal ini membuatnya kesal. Ia sudah gatal ingin mengganti baju basahnya yang telah hampir mengering di badannya ini.
Tindakannya harus digagalkan oleh orang lain yang merenggut kerahnya. "Berani juga bocah satu ini."
"El, hajar dia," perintahnya sembari menarik Zeze menjauh dengan paksa. Tentunya Zeze dengan senang hati mengikutinya, karena hanya dengan begini, ia dapat melihat hal yang telah ia tunggu-tunggu sejak lama.
Mereka berjumlah 10 orang dan kini telah mengelilingi Glen yang hanya berdiri diam sembari memandangi Zeze. Dari kejauhan, Glen hanya bisa mendesah pasrah ketika melihat Zeze mengulum senyum.
Tiga di antara mereka memikul balok kayu yang masih memiliki bekas paku-paku tajam. Namun sepertinya semua itu belum cukup menyeret Glen keluar dari ketenangannya.
Sekarang Glen malah menenggelamkan kedua tangannya ke dalam kantong jaketnya. Mata hijau zamrudnya sekonyong-konyong menyatu pada dinginnya salju. Bahkan kesepuluh orang itu tak bisa membantah bahwa suhu di sekitar mereka berubah lebih dingin dari sebelumnya.
Glen sudah tidak peduli lagi. Toh, tidak ada yang lewat ini. Ia juga telah memperlihatkan warna mata aslinya, jadi tidak perlu menahan diri lagi.
Mereka tidak tahu saja, yang di hadapan mereka ini adalah putra kedua dari Marquess terkuat di Aplistia.
Lima orang secara bersamaan menyerbu Glen. Namun dengan gesit, Glen mengelak sehingga hantaman mereka justru menerjang orang-orang di belakangnya. Glen terus seperti itu tanpa sedikit pun menggunakan tangannya.
Saat seseorang dengan balok berniat memukul Glen dari arah belakang, tiba-tiba objek tujuannya berganti menjadi kepala rekannya dan membuat dia terjungkal dengan kepala berdarah-darah.
Orang itu mematung ketika memandangi rekannya yang telah tergeletak tak berdaya. Hal yang sama juga dialami yang lainnya. Pukulan dan kayu mereka sama sekali tidak ada yang dapat menjamah Glen. Karena sesaat sebelum menyentuhnya, Glen menghindar dengan luwesnya.
Tak berlangsung lama, mereka semua telah terhampar di atas dinginnya lapisan salju. Bukan karena ulah Glen, tetapi ulah rekan mereka sendiri.
Zeze bersiul dari jauh. Dibanding hanya menonton, rasanya ia ingin merasakan sendiri bagaimana bertarung dengannya. Pastinya dalam 5 tahun ini, laki-laki itu telah tumbuh menjadi sangat matang.
"Kau tidak berniat melepaskan?" Tanya Zeze kepada orang yang masih mencengkeram erat lengannya ini.
Laki-laki itu menggertakkan gigi dan berpindah ke belakang Zeze seraya memelintir lengannya. Zeze dapat merasakan sesuatu yang keras dan dingin menyentuh lehernya. Tak perlu melihat untuk mengetahui bahwa ini adalah bilah pisau.
"Mendekat, kubunuh dia," ancamnya dengan napas terengah-engah.
Dari kejauhan, Zeze menatap Glen yang masih berdiri diam dengan kedua tangan tenggelam di dalam kantong jaketnya. Tak ada perubahan ekspresi di wajah Glen, karena ia tahu hal semacam itu tidak akan mudah membunuh Zeze.
Namun sepertinya gadis itu memiliki pikiran lain yang menurutnya sangat merepotkan. Lihatlah, sekarang Zeze malah tersenyum miring kepadanya.
Glen yakin apa yang ada di pikiran gadis itu sekarang bukanlah hal baik. Zeze pasti sedang menunggunya bergerak untuk menyelamatkannya bagai pangeran dalam negeri dongeng. Inilah alasan kenapa orang tua harus membatasi anaknya menonton kartun.
Perlahan, Glen memperpendek jarak tanpa memalingkan matanya dari wajah Zeze. Gadis itu menyeringai semakin lebar setiap langkah yang membawa Glen mendekat.
Entah datang dari mana, kubah berwarna hijau tiba-tiba telah menyelimuti mereka bertiga. Orang itu sama sekali tidak menyadarinya, terlihat sekali bahwa dia tidak mempelajari dýnami.
Namun Zeze dapat melihat dengan jelas cahaya transparan berwarna hijau yang kini melingkup mereka bertiga dalam radius sekitar 8 meter. Dan tanpa menunggu lama, pisau tersebut terjatuh dari lehernya.
Glen menyuruh Zeze menjauh dengan gerakan dagunya, tapi Zeze masih bergeming. Karena itulah, Glen mendekat dan menarik paksa tangannya. Glen menempatkan Zeze di belakang tubuhnya lalu kembali terfokus pada lelaki itu.
Dia terlihat tengah menatap kosong ke arah pisau di dekat kakinya. Tak lama kemudian, dia berjongkok, mengambil pisau itu dan membawanya berdiri. Ujung telunjuknya menyusuri sisi tajamnya sampai-sampai membuatnya setengah terbelah. Jika diteruskan, bisa-bisa jari itu benar-benar terbelah dua.
"Wow," gumam Zeze. "Itu tidak seru sama sekali. Kau harus melakukannya sendiri."
Glen berdecak sebal mendengar protesnya.
"Oh, sidik jari ya?" Zeze baru ingat bahwa polisi dapat melacak hanya dengan menggunakan sidik jari yang tertinggal di gagang pisau itu. Itulah mengapa sejak tadi Glen tidak bertarung menggunakan tangannya.
Tanpa meneruskan aksi kejamnya lebih lanjut, Glen berbalik seraya menjerat tangan Zeze bersamanya. Karena jika tidak begini, gadis itu pasti tidak akan bergerak.
"Memangnya kau mau membawaku ke mana?" Tanya Zeze yang kini telah menganyam langkah di sebelah kirinya.
Glen melepaskan tangan Zeze yang membuat gadis itu terlihat kecewa. "Kau ingin ke rumah kan?" Tapi jawaban Glen berhasil membuat senyum Zeze mengembang.
"Kau bisa tidur di rumah kali ini. Obi tidak pulang, dia akan Guild War di Fairnity Online bersama Saga dan Airo," tutur Zeze. Tapi tentu saja ia tahu Glen tidak akan bereaksi.
Setelah beberapa menit berjalan beriringan, akhirnya mereka sampai di depan gerbang besar berwarna topaz. Glen menempelkan sidik jarinya di dinding samping dan pintu gerbang pun terbelah.
Zeze tersenyum setelah matanya dimanjakan oleh pemandangan familier pekarangan mansion berwarna hijau di hadapannya ini. Ia pernah beberapa kali ke sini dan ternyata pemandangan ini masih tetap sama seperti terakhir kalinya ia berkunjung.
Saat Glen membuka pintu utama, terpampanglah visual klasik ruang tamu bergaya perancis. Zeze merasa seperti pulang kembali ke rumah, yang padahal bukan rumahnya sendiri.
Di ujung sana, berhadapan dengan pintu masuk, terdapat pintu kembar dari kaca berbingkai kayu yang dibiarkan terbuka, menyuguhkan suasana yang sama seperti ruang tamu ini tapi lebih minimalis.
"Duduk dimana saja," ujar Glen dan langsung berjalan pergi ke ruangan di balik pintu kaca tersebut untuk menaiki tangga.
Zeze membuka jaket denimnya dan hanya menyisakan T-shirt hitam berlengan pendek dengan tulisan Supreme di tengah-tengahnya.
"Wah, coba lihat siapa ini?"
Zeze menoleh ke sumber suara. Suara itu, suara khas yang pernah didengarnya ketika kecil.
Matanya pun bertemu dengan sepasang iris hijau milik seorang pria paruh baya berambut hitam legam. Uban terlihat telah memenuhi beberapa bagian di kepalanya. Namun meski begitu, ketampanannya tak lekang oleh waktu. Pria itu mengenakan kemeja bermotif catur dengan celana panjang berwarna coklat tua.
Ketika melihatnya, senyum Zeze langsung menyambutnya.