36 FRAME

Madam Thoryvos tersentak mundur, tidak menyangka Zeze akan menanyakan hal semacam ini.

Alisnya bertaut serius ketika ia menjawab, "apa yang Anda katakan, Yang Mulia? Saya tidak memihak siapa pun. Tugas saya di sini hanya melayani keluarga kerajaan baik itu dari kanan atau kiri."

Zeze memejamkan matanya lalu terkekeh pelan. "Ya... benar juga. Dia tidak mungkin membiarkan sembarangan orang masuk ke sini."

"Yang Mulia, saya tidak pantas mengatakan ini tapi, semoga Anda selalu berhati-hati."

Ketika kembali membuka mata, Zeze melihat wanita itu menatapnya dengan sangat lekat. Entah apa yang terjadi tapi suasana berubah menjadi tegang.

"Apakah Yang Mulia tahu, 6 tahun lalu, putri pertama keluarga Qiseidon dinyatakan tewas?"

Berhenti menopang pipinya, Zeze berganti melipat tangannya dan meletakan dagunya di sana, berkonsentrasi dengan apa yang akan wanita di hadapannya ini tuangkan.

"Namun mayatnya tidak pernah ditemukan," lanjutnya.

"Kalau tidak pernah ditemukan, bagaimana kalian bisa tahu kalau dia tewas?" Zeze bertanya heran.

"Saat itu beliau sedang beristirahat di salah satu ruangan di kediaman Enochlei, karena memang tengah ada pesta besar di sana. Beliau tidak kunjung keluar bahkan saat pestanya usai. Ibunda beliau, Putri Libra, mencoba untuk memanggilnya. Tapi apa yang didapatkannya adalah... dinding penuh darah. Tak ada tanda-tanda sama sekali keberadaannya."

Zeze kembali menegakkan punggungnya, bersandar ke belakang seraya melipat tangan di depan dada. Agak antusias karena bisa mendapatkan informasi gratis tentang negara ini dari sumber terpercaya. Tanpa perlu susah payah mengendap-endap, mencuri dokumen, interogasi dan semacamnya.

"Saat dilakukan uji lab, darah itu murni milik beliau. Dan setelah dilihat di CCTV, ternyata orang terakhir yang meninggalkan ruangan itu adalah Putri Thalasa Lan Edafos." Madam Thoryvos melanjutkan.

"Sejak saat itu, hubungan keluarga Qiseidon dan Edafos kian memburuk. Bahkan mereka selalu terang-terangan memulai permusuhan. Lebih parah dibanding Zesto dan Enochlei."

"Tapi... saat di pesta ulang tahun waktu itu, Kakak terlihat baik-baik saja dengan Aleco. Ya, walaupun aku merasakan sedikit ketegangan di sana."

"Yang Mulia, kita tidak pernah tahu bagaimana seseorang di dalam hatinya bukan?" Dan Zeze pun tak dapat menyangkalnya.

"Setahun setelahnya, seorang detektif berbakat yang pernah dimiliki intelijen Aplistia bernama Hexa Andromeda memutuskan untuk mengusut kasus ini, karena tidak ada satu pun dari kepolisian yang berniat mengusut ulang. Mereka telah menetapkan Putri Thalasa sebagai tersangka hanya bermodal rekaman CCTV saja.

"Tapi malangnya, satu tahun kemudian beliau ditemukan tewas bunuh diri dengan banyaknya kasus-kasus besar yang masih belum terselesaikan. Kasihan, mungkin beliau depresi." Madam Thoryvos mendesah sedih. Sepertinya dia begitu menjunjung sosok wanita itu.

Kai pernah mengatakan ia akan menyelidiki hal ini karena kemungkinan besar berkaitan dengan ulah para pejabat dan bangsawan yang tidak ingin kejahatannya terbongkar. Tapi Zeze tidak begitu tertarik.

"Hmm, ngomong-ngomong, Ma'am, siapa nama putri itu?"

Sebelum Madam Thoryvos sempat menjawab, tiba-tiba pintu terbuka dan menampilkan tubuh tegap Kion yang dibalut kemeja abu-abu berlengan panjang yang dikeluarkan dari celana jeans-nya. Kancing bagian atasnya terbuka, mengekspos lehernya yang jenjang dan tulang selangkanya yang menawan.

Madam Thoryvos langsung bangkit dan membungkukkan badan. "Semoga Yang Mulia Pangeran diberkati," sambutnya penuh hormat.

Kion tersenyum dan berkata, "tidak perlu terlalu formal begitu, Ma'am."

Madam Thoryvos kembali menegakkan punggungnya.

"Aku sangat berterima kasih karena Anda sudah mau mengajari Roze di sini," ungkapnya, menyiram senyuman bak malaikat. Bahkan Madam Thoryvos yang sudah termakan umur pun tak mampu menolak pesonanya.

Kion berjalan mendekat dan berhenti di samping Zeze, "kita harus pergi."

Zeze berdiri, "ke mana?" Tanyanya skeptis.

"Ada pertemuan yang harus aku datangi, dan kau juga harus ada di sana."

Mereka saling tatap untuk waktu yang lama. Madam Thoryvos merasa canggung sendiri karena diabaikan oleh mereka.

Zeze mengalihkan pandangan dan membuang napas, "baiklah." Ia mengerti bahwa kehadirannya di sana hanyalah sebagai 'wajah' yang membuktikan bahwa Ankhatia berada di pihak Zesto.

Zeze berjalan menuju pintu diikuti Kion yang telah selesai pamit kepada Madam.

Karena ini bukanlah sebuah pesta mengerikan, jadi Zeze hanya memakai long coat putih tulang selutut dipadu dengan celana legging hitam panjang. Ia memakai sepatu sneaker putih yang memberinya kebebasan untuk berjalan dibanding high heels.

Sementara Kion yang kini tengah duduk bersamanya di sofa putih milik keluarga Qiseidon, hanya mengenakan mantel gelap dengan kemeja hitam di dalamnya.

Hanya Obi, Saga, Luna, dan Driko yang ikut bersama mereka. Keempatnya memakai mantel berbulu dengan warna yang berbeda-beda.

Sesampainya di dalam, Zeze membuka long coat-nya sehingga menyisakan kaus hitam pudar berlengan panjang.

Kini keenam orang itu hanya perlu duduk santai sembari menunggu sang tuan rumah muncul. Hanya dalam hitungan menit, Putri Libra muncul dan membawa serta Kion, Saga, dan Driko ke dalam rapat mereka. Kion menyiramnya pilihan ingin ikut atau tidak. Dan tentu saja Zeze memilih tidak.

Sebagai gantinya, ia, Obi, dan Luna melakukan tour kecil-kecilan di sepanjang koridor lantai dua mansion keluarga Qiseidon.

Di tembok sebelah kirinya, berjejer lukisan keturunan keluarga Qiseidon selama beberapa generasi. Sebagian tertutupi tirai, menandakan lukisan anggota keluarga yang telah wafat. Makin ke ujung, lukisan bertirai makin berkurang, menandakan bahwa lukisan-lukisan ini adalah milik keluarga yang masih hidup.

Zeze menemukan lukisan Libra dan termangu di hadapannya. Ia sempat kaget tadi ketika melihatnya, karena wajahnya sekilas mirip seperti orang yang ia kenal.

Di antara lukisan Libra dan seorang gadis kecil, terdapat satu lukisan yang ditutupi tirai. Menurut urutan, seharusnya foto bertirai ini adalah anak pertama Libra dan suaminya, Peter. Itu berarti ini adalah lukisan Putri yang terbunuh itu

Ketika Zeze ingin menyingkap tirainya, di sudut mata, ia melihat seorang gadis kecil berumur sekitar 8 tahun yang berjalan mengendap-endap menghampirinya.

Rambutnya yang berwarna coklat dikuncir ke belakang tanpa poni. Gadis kecil itu memakai gaun berwarna wheat terusan yang mengembang dari pinggang hingga ke lutut.

Ia berhenti di samping kiri Zeze yang terlihat pura-pura tidak menyadarinya. Untuk menarik perhatiannya, gadis kecil itu berdeham-deham, namun Zeze sama sekali tidak tertarik. Bahkan Zeze tidak sekalipun memindahkan matanya dari lukisan Libra.

Ia cemberut karena merasa diabaikan. Zeze dapat merasakan tatapannya memperhatikan wajahnya begitu detail.

"Kakak, apakah kakak manusia?"

Obi sampai menyemburkan kopi yang sedang diminumnya. Ia tertawa begitu keras sehingga membuat gadis kecil itu menoleh bingung ke arahnya.

Tanpa gadis kecil itu sangka, ternyata pertanyaannya tadi berhasil menarik Zeze untuk melihatnya.

"A—apa-apaan anak kecil ini?" Hidung Zeze mengernyit. Inilah yang mendukung alasannya tidak pernah menyukai anak-anak.

"Dia punya mata yang bagus." Obi tergelak lagi. "Benarkan? Bahkan di mata anak-anak pun kau itu aneh."

Zeze mendelik ke arahnya. Ini menyebalkan. Baru saja ia ingin santai-santai di hari minggu, tetapi pangeran yang selalu tidur itu malah mengajaknya pergi. Dan sekarang, seorang anak curut entah dari mana meragukan identitasnya sebagai manusia.

Tentu saja Zeze kesal, karena bila mendengar kata bukan manusia, pasti yang terlintas di kepalanya adalah alien. Ini semua gara-gara sejak kecil Obi selalu memanggilnya begitu.

Kenapa hidupnya tidak bisa sesantai dulu? Ini mungkin adalah misi terburuk yang pernah diterimanya. Harusnya waktu itu ia menolaknya. Menjalani misi di Aplistia selalu menjadi kesialan baginya.

"Kakak seperti peri yang ada di komik kesukaanku."

Oke, dulu alien, sekarang apalagi ini? Peri? Zeze mengatupkan bibirnya rapat-rapat lalu berbalik menuju tembok di belakangnya yang dipenuhi lukisan-lukisan abstrak. "Aku tidak punya waktu untuk omong kosong anak kecil, sana pergi."

Luna yang juga sedang mengagumi karya seni, langsung menoleh ke arahnya ketika mendengar itu, "err... Roze, itu... dia...."

Zeze menoleh, dan mendapati ekspresi ngeri di wajah Luna. "Apa?"

"Dia itu—"

"Apakah kakak ini benar-benar manusia?" Pertanyaan gadis itu membawa Zeze menatapnya lagi. Ternyata dia telah berdiri di sampingnya. Kapan dia akan berhenti mengikutinya?

"Entahlah, aku juga bingung aku ini apa," jawabnya masa bodo. Ia bisa mendengar Obi menertawakannya lagi. Mencoba mengabaikan mereka berdua, ia memilih fokus mengartikan lukisan abstrak di hadapannya.

"Kenapa rambut kakak banyak ubannya?"

"Ini bukan uban. Warnanya memang begini."

"Kenapa?"

"Entahlah, tanya saja orang tuaku."

"Siapa orang tua kakak?"

"Aku lupa."

"Kenapa kakak lupa?"

"Entahlah, kenapa ya?"

"Kalau begitu, aku tidak bisa bertanya."

"Benar, sayang sekali ya? Kalau begitu sana, kau bisa pergi."

"Tapi ini rumahku."

"Oh."

"Kenapa kakak berada di rumahku?"

"Entahlah, aku juga tidak mau di sini."

Setiap pertanyaan yang anak itu lontarkan, selalu dijawabnya dengan asal-asalan. Tapi tetap saja, anak itu masih tidak menyerah untuk bertanya dengan tampang polosnya.

"Kakak benar-benar seperti peri." Kekaguman di pujiannya terdengar tidak dibuat-buat. "Kakak cantik sekali."

"Begitukah? Terima kasih. Sana pergi."

"Kakak sangat hebat saat bernyanyi di ulang tahun Kak Kion."

"Oh."

"Apakah kakak mau bermain piano untukku?"

"Tidak."

"Apa kakak bisa bermain biola? Aku punya—"

"Tidak."

"Apa—"

"Bisakah kau diam?" Akhirnya Zeze meledak. Ia memang tidak tahan jika mendengar kata berulang-ulang dimuntahkan kepadanya. Untuk menguapkan emosinya, Zeze menghela napas panjang.

Mata bulat gadis kecil itu mengerjap cepat, tidak mengira perinya akan memarahinya. Selama ini belum ada yang pernah berkata dengan nada seperti itu kepadanya.

"Kakak." Tapi sepertinya gadis kecil itu masih belum menyerah.

Di sudut mata, Zeze melihat Luna dan Obi pergi ke ruangan di balik dinding. Bisa-bisanya mereka meninggalkannya berduaan dengan curut ini? Dengan jengkel, ia pun menyusul mereka.

Tapi Zeze tidak pernah menyangka bahwa kalimat yang selanjutnya akan dikatakan gadis kecil itu sanggup membuatnya berubah pikiran.

"Kakak suka film Disney? Ayo kita tonton! Aku banyak sekali DVD film kartun. Apa kakak suka—"

"Ayo tonton." Zeze langsung memenggal ucapannya dan berbalik, sampai-sampai gadis kecil itu dibuat terperangah sendiri. Ia kira Zeze akan kembali menolak dan mengacuhkannya.

Tentu saja Zeze akan langsung mengiyakan. Ia adalah penggila kartun. Lagi pula, tidak ada yang bisa dilakukannya sekarang selagi menunggu Kion selesai dari pertemuannya dengan para kubu kiri itu.

Kamar gadis kecil itu penuh nuansa oranye. Banyak poster Princess Disney yang menempel di dinding-dindingnya. Banyak juga boneka yang Zeze anggap sangat menyeramkan. Karena itulah ia memilih membelakangi boneka-boneka tersebut seperti sekarang ini.

Telah habis 2 DVD yang mereka tonton. Tanpa disangka, Zeze menanggapi apa saja yang diucapkan anak kecil itu, seperti pendapat-pendapatnya tentang para tokoh dan jalan cerita animasi yang mereka tonton. Mereka terus mengobrol sampai tiba-tiba arah pembicaraan mereka menjadi merambat ke hal lain.

"Kakak tahu? Kamar ini dulunya bekas kakakku."

Walaupun tahu orang itu telah meninggal, Zeze tetap bertanya, "memangnya ke mana kakakmu?"

"Kata ibu, dia meninggal saat aku berumur 2 tahun."

Zeze meletakkan sikunya di atas paha untuk menopang pipinya dengan telapak tangan. Dengan wajah tenang—mencoba untuk tidak terdengar ingin tahu—ia bertanya, "tentang itu... siapa nama kakakmu?"

Rasa penasarannya sebentar lagi akan terjawab. Tadi ia lupa menyinggungnya lagi kepada Madam Thoryvos karena terburu-buru ingin pergi dari Kion. Dan saat ia ingin menyibak tirai lukisan itu, curut ini mengganggunya.

Gadis kecil itu berkata "aha!" tiba-tiba hingga membuat Zeze tersentak. Kemudian dia berlari masuk ke ruang ganti, dan keluar lagi membawa sebuah bingkai foto yang ukurannya cukup besar sehingga dia harus memeluknya.

"Ini, kak!" Dia menyodorkan bingkai itu lalu kembali naik ke kasur.

Zeze mengambil lalu membaliknya agar dapat meliput foto orang di dalamnya. Dan kemudian, ia menyesal karena telah melakukannya.

Ia tidak seharusnya membalik bingkai itu. Tidak seharusnya ia melihat wajah yang terpampang di sana.

Bingkai itu lolos dari kedua tangannya. Untung saja ia sedang duduk di kasur empuk, jika tidak, kacanya pasti akan pecah.

Foto itu terjatuh telentang, menampilkan wajah seorang gadis yang tengah tersenyum manis. Matanya berwarna hazel dan rambutnya coklat ikal di bagian bawah.

"Itu dia kakakku. Sageta."

========

Sekarang semuanya jelas. Mengapa Sageta tidak pernah mau membahas tentang keluarganya. Bahkan ketika ditanya, Sageta selalu bilang tidak ingat karena orang tuanya meninggal saat ia kecil.

Sageta ingin pergi, menjauh dari semua ini. Gadis itu ingin bebas, sama sepertinya.

Memalsukan sesuatu adalah keahlian Sageta, bahkan kematian sekalipun. Sampai akhirnya, karena lelah harus selalu berpura-pura, kematian yang asli mendatanginya 1 tahun yang lalu. Dan malangnya saat itu ia sedang mengandung delapan bulan.

Mengandung... keponakannya.

Zeze masih enggan bicara bahkan setelah mereka bertolak dari kediaman Qiseidon. Yang mencium perubahannya itu hanya Kion dan Obi. Mereka merasakan aura di sekitarnya berubah suram. Obi merangkulnya saat mereka berjalan menuju mobil agar emosinya itu tidak disadari orang lain.

Biasanya Zeze selalu bisa mengontrol emosinya, tapi sekarang kebalikannya. Obi penasaran hal apa yang sanggup membuatnya seperti itu, tapi ia mengurungkan niatnya untuk bertanya.

"Aku dapat pesan, Juni dan yang lainnya sedang makan di restoran Hydra. Dia menyuruh kita ke sana, bagaimana?" Tanya Luna yang duduk di kursi tengah.

"Itu dekat dari sini, ya sudah ayo. Tidak apa kan, Master?"

Dari kursi depan, Kion menjawab dengan anggukan kepala. Sementara Zeze dan Driko sedang asyik menonton film aksi di kursi paling belakang.

Limousine mereka pun berputar arah menuju Restoran Hydra di Kota Ammo. Kali ini Saga yang menyetir karena tidak ada Froura. Mereka pergi ke bilik privat yang telah lebih dulu dipesan Juni. Saat masuk ke ruangan itu, mereka melihat Juni, Rhea, Volta, Airo, dan Froura telah lebih dulu makan sambil bermain kartu remi.

Zeze dan yang lainnya pun ikut bergabung. Mereka bermain kartu dan bercanda tentang hal apa saja. Namun tidak dengan Zeze dan Kion yang sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.

Kion tentu saja sedang membaca buku. Sementara Zeze benar-benar dalam mode melamun. Bahkan makanan di hadapannya tak tersentuh sedikit pun.

Tak ada yang berusaha menegurnya karena Juni, Rhea, dan Obi telah terbiasa dengan sikap Zeze yang terus berubah-ubah. Kadang aktif membicarakan hal random apa saja, kadang benar-benar diam seperti orang bisu.

Tapi hal itu rupanya berdampak pada Kion yang duduk di hadapannya. Entah mengapa laki-laki itu lebih terganggu dengan diamnya Zeze dibanding suara berisik orang-orang di sebelah kirinya itu.

Kion terus menatapnya dan berniat memanggil namanya, tapi ia harus mengurungkannya karena Obi telah mendahuluinya, "Ze, temani aku sebentar, aku ingin memesan kopi."

Namun ketika sampai di luar, ternyata Obi tidak memesan. Zeze tahu maksud Obi membawanya ke sini, karena itulah ia berkata, "Bi, ada hal sialan yang ingin kubicarakan."

"Aku tahu," balas Obi. "Tapi tidak di sini kan?"

Zeze mengangguk. Setelah mengikat rambutnya menjadi satu, ia mengeluarkan ponsel dan menelepon seseorang selama beberapa saat sebelum menutupnya dan berjalan keluar restoran bersama Obi.

Obi mencuri sebuah mobil sport berwarna kuning tak jauh dari lokasi mereka. Mobil itu ia bawa ke sebuah kawasan yang sedikit menanjak dan berhenti di sebuah rumah makan pinggir jalan.

Mereka melihat punggung seorang pemuda yang dilapisi hoodie abu-abu, tengah duduk di salah satu kursi yang mengelilingi meja bundar berpayung sambil memakan sesuatu. Pemuda itu juga menyadari kehadiran mereka, tapi ia tidak ingin ambil pusing untuk sekedar menyambut dan tetap lahap menyantap makanannya.

"Babi," gumam Zeze yang kini telah mengambil duduk di samping kanannya.

"Yang penting sehat," balas pemuda itu, terdengar tak acuh.

"Sejak kapan kau di Aplistia? Bukannya kau sedang berada di Turki?" Tanya Obi yang mendarat di sebelah kirinya.

"Sejak aku memutuskan untuk datang ke sini," jawabnya enteng.

"Zafth, traktir aku."

Mendengar permintaan Zeze, pemuda itu langsung menyendat makannya. "Apa kau gila? Untuk apa aku mentraktir orang yang lebih kaya dariku?"

"Aku tidak bawa uang."

Zafth baru ingin mengoceh tetapi ia merasakan piringnya menjadi tambah ringan di tangannya. Ketika ia mengecek, makanannya tinggal setengah. Ternyata dari tadi lelaki di sebelah kirinya ini asyik merecokinya.

"Apa-apaan kau!" Zafth langsung menjauhkan piringnya dari Obi yang malah tergelak tanpa rasa berdosa.

"Dasar orang kaya tak tahu diri! Apa kalian tidak malu mengambil hak tuna wisma sepertiku? Kalian ingin jadi sasaran Énkavma berikutnya, hah?"

Cibiran Zafth justru membuat tawa Obi dan Zeze semakin menjadi.

Zafth menggerutu panjang lebar sebelum bertanya, "jadi, kalian datang ke sini bukan hanya untuk menggangguku kan?"

Obi menggeleng, "Zeze mempunyai hal yang menarik untuk kita dengar."

Menengok, Zafth melihat Zeze sedang menunduk, memainkan jari-jarinya. Bingung akan tingkah adiknya itu, Zafth mengangkat sebelah alisnya. Kemudian ia berganti menatap Obi untuk meminta penjelasan. Tapi Obi hanya membalasnya dengan mengedikan bahu.

"Ze, coba bilang." Akhirnya Zafth menyuruh.

Kedua orang ini adalah tempat Zeze untuk memuntahkan keluh kesah dan hal yang mengganggunya. Karena di dalam Énkavma, ia paling dekat dengan mereka. Selain karena mereka selalu satu misi, Zafth dan Obi selalu membuatnya nyaman untuk menjadi dirinya sendiri.

"Bi, Zafth, ternyata Sageta adalah anggota keluarga keturunan kerajaan," katanya, langsung tanpa peringatan.

Dan tentu saja Obi dan Zafth yang tidak memiliki persiapan akan hal ini, terkejut bukan main. Bahkan Zafth sampai berhenti mengunyah.

"Apa maksudmu?" Wajah Obi serius ketika ia bertanya.

"Dia putri pertama keluarga Qiseidon yang 6 tahun lalu dinyatakan meninggal. Tadi aku bertemu adiknya yang masih kecil. Dia menunjukkan foto Sageta."

"Jadi, bagaimana?" Tanya Zafth, suaranya memberat.

"Satu bulan lalu, aku berhasil membunuh wanita itu." Zeze bisa merasakan mereka tertegun. Menghela napas berat, ia melanjutkan, "Sageta bisa tenang sekarang."

"Oh iya!" Kepala Obi terangkat tiba-tiba, memandang payung yang menaungi mereka, "di hari aku pulang, aku mendengar Antoni berbicara tentang salah satu rekannya yang hilang. Kalau tidak salah, namanya Aridna."

"Sudah beberapa kali kami bilang, jangan bertindak sendirian!" Tukas Zafth.

"Ck, dia yang menyerangku, terlebih lagi dia melihat wajahku, jadi tidak ada pilihan lain," bantah Zeze, membela diri. "Lagi pula, aku sudah pernah bilang kan kepada kalian, wanita itu bagianku."

"Aku terkejut kau bisa mengalahkannya. Bukannya terakhir kali kau sudah hampir mati?" Singgung Obi.

"Itu pun aku sudah akan mati jika Mastermu itu tidak menolongku."

"Master? Bagaimana bisa?" Tanya Obi, terkejut.

"Itulah yang ingin kuketahui. Bagaimana bisa dia ada di sana," gerutunya. Tapi jika dipikir-pikir lagi. Benar juga, bagaimana dia bisa ada di sana?

"Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang? Pembunuhnya pun telah mati. Sekarang acara balas dendam kita sudah tidak ada lagi. Apa lagi sekarang?" Tanya Zafth.

Obi meminta tolong kepada Zafth, "beritahu Raja tentang ini."

"Apakah selesai? Begitu saja?" Zeze bergumam sehingga mengundang perhatian Obi dan Zafth sekaligus.

"Apa yang kau inginkan, Ze?" Zafth memicingkan mata, curiga.

"Hanya saja... ada yang janggal," katanya, tak mengindahkan tatapan skeptikal itu. Zeze merasa tidak puas jika orang-orang yang terlibat tidak mendapatkan hukuman yang pantas, sementara Sageta menderita di neraka sana sendirian. Semua yang pernah membuat hidup Sageta menderita harus juga ikut merasakannya.

Obi memperhatikannya lekat-lekat sebelum bertanya, "instingmu?"

"Ya, kurasa instingku bilang begitu."

"Ck, apakah di abad ini adalah waktu yang tepat untuk masih percaya pada insting?" Protes Zafth.

Zeze menoleh, "kau melupakan senjata terbesar manusia selain otak... yaitu hati." Ia kembali menatap lurus ke depan dengan pandangan menggelap.

"Lagi pula, Sageta tidak akan mungkin mati jika saja tidak ada yang mencoba membunuhnya 6 tahun lalu."
RECENTLY UPDATES