34 PIC

Sebenarnya dirinya sangat tidak tahan jika disuruh untuk ikut rapat-rapat seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi, titelnya sebagai putra kedua Marquess Barier, Marquess dengan kedudukan tertinggi di Aplistia, mengharuskannya untuk ikut serta dalam hal merepotkan semacam ini, bahkan walau umurnya masih 16 tahun.

Ia telah mengikuti jalan kakaknya sejak berumur 10 tahun. Tentu saja sebagai pelatihan agar bisa menggantikan posisi kakaknya menjadi pewaris gelar selanjutnya.

Namun hanya segelintir orang yang dapat mengetahui wajahnya, karena ia selalu memakai masker saat keluar ruangan. Yang dapat meliput wajahnya hanyalah bawahan langsung kakaknya, para Ipotis tingkat dua, Afeith. Sementara ia hanya menjabat sebagai Ipotis tingkat tiga, Zertais, dan pengalamannya juga baru sedikit.

Meskipun begitu, mereka tidak memberinya perlakuan khusus yang tentu saja adalah atas perintah kakaknya. Tidak ada yang dibeda-bedakan di sini, semua diperlakukan sesuai pencapaian masing-masing.

Banyak yang memuji kemampuannya dalam pertarungan jarak dekat terutama berpedang. Bahkan ia dapat menguasai semua jenis seni berpedang pada usia 13 tahun.

Semua orang di ruangan ini berdiri, bersiap menyambut sang pimpinan, kepala keluarga Marquess Barier yang kini digantikan oleh putra pertamanya.

Itu dia, kakaknya, pria berambut hitam dengan mata berwarna hijau zamrud. Dia masuk dengan langkah tegas ke dalam ruangan. Bentuk matanya terlihat sayu, tapi hidung dan rahangnya tegas. Semua orang di sana langsung membungkukkan badan kecuali dirinya.

"Salam untuk Penyidik Senior Antoni Barier," sambut seseorang.

Ia tahu siapa itu, Charles Yerhavka, atasannya sekaligus wakil Antoni. Pria jangkung berambut pirang ini biasa memimpin rapat-rapat untuk membahas strategi serta penyelidikan.

"Kalian boleh duduk," ujar Antoni.

Mereka pun duduk serentak di bangku berwarna coklat yang mengitari meja bundar ini.

Sebelumnya, Antoni bilang bahwa kali ini mereka akan membahas tentang anggota lain Énkavma yang telah diketahui kekuatannya. Serta dia juga menambahkan tentang adanya hal 'darurat' yang harus dia beritahukan kepada mereka.

Tentunya hal itu membuat mereka semua tegang. Jarang sekali seorang Antoni Barier berkata darurat dengan nada mendesak seperti itu.

Rapat pun dibuka. Setelah percakapan panjang yang dilakukan silih berganti oleh para Afeith, saatnya menuju topik utama yang kini akan disampaikan oleh Antoni sendiri.

"Seminggu yang lalu, ketika aku sedang mencari angin di dekat mansion Jendral Xeveruz, aku bertemu dengan ketiga anggota Énkavma. Satu di antaranya adalah Artemis."

Mendengar itu, semuanya langsung berjengit di tempat. Mereka tahu bagaimana kekejaman Artemis terhadap buruannya.

"Komandan," seorang perempuan memecah ketegangan di tempat itu. "Sedang apa Anda di sana? Bukankah tidak ada jadwal..." ia mengingat-ingat agenda Antoni.

"Tidak ada?" Antoni mengernyit, "aku menemukan surat undangan di atas meja kantorku."

Pikiran Antoni menerawang, mengingat kejadian di malam itu, ketika Jendral Xeveruz malah terheran-heran melihat kehadirannya. Walaupun setelahnya, ia langsung disambut baik olehnya. Jendral itu juga merasa tidak mengundangnya. Lalu, undangan apa itu?

Antoni mencoba mengenyahkannya dan melanjutkan," tapi bukan itu yang akan aku bahas di sini, melainkan salah satu dari mereka. Dia mempunyai kekuatan untuk menghubungkan dýnami-nya dengan magma di dalam perut bumi dan membentuknya menjadi payung raksasa yang dapat melindungi rekan-rekannya."

"Dilihat dari kekuatannya, pasti posisinya adalah sebagai defender," celetuk seorang laki-laki berambut cepak.

Antoni mengangguk, "seperti yang kita tahu dari mata-mata kita, Énkavma memiliki posisinya masing-masing. Tapi tetap saja, kekuatan mereka itu tidak jauh-jauh dari sesuatu yang panas dan terang."

"Sir, bagaimana hasil dari pertarungan itu?" Tanya yang lainnya.

"Aku tidak berhasil membunuh mereka." Satu kalimat itu sukses besar membuat mereka semua menegang di tempat.

"Tapi kali ini tidak sama seperti saat aku gagal membunuh wanita yang waktu itu melawanku di pertemuan para bangsawan. Itu karena aku kurang persiapan dan sebelumnya aku tidak tahu apa kekuatannya. Terlebih lagi, dia dibantu melarikan diri oleh Eileithyia* menggunakan portal."

Semua orang di sana dengan cermat mendengarkan kata demi kata yang diucapkan Antoni. Sebelum akhirnya, pembicaraan ini masuk ke 'darurat' itu.

"Artemis... kurasa dia menyadari kekuatanku."

Tak dapat dipungkiri, cukup dengan satu pernyataan itu sanggup melebarkan tiap pasang mata di sana, tak terkecuali Glen yang juga tak dapat menyembunyikan keterkejutannya.

"Komandan... bagaimana bisa?"

"Dia lebih cerdik daripada yang kukira." Antoni terdiam sejenak. "Kemampuannya mungkin telah meningkat pesat sejak kejadian 5 tahun lalu."

Mereka semua bingung ingin bereaksi seperti apa. Pasalnya tidak pernah ada yang tahu seperti apa kemampuan yang dimiliki Antoni.

"Kita akan menaikkan tingkat kewaspadaan kita kali ini. Aku berani jamin tidak akan ada penyerangan dalam waktu dekat ini, karena mereka juga sama dalam keadaan tidak diuntungkan seperti kita. Meski begitu, tidak ada lagi yang bertindak sendirian, karena aku bisa saja mati kapan pun."

"Apa yang Anda katakan, Komandan? Tidak mungkin Anda dapat dikalahkan begitu saja oleh kutu busuk seperti mereka."

"Apakah aku pernah mengajari kalian untuk meremehkan musuh?" Sambar Antoni. Semua orang yang ada di dalam ruangan itu terdiam.

"Tidak ada seorang pun yang tahu apa saja kemungkinan yang akan terjadi. Bisa saja di antara mereka ada yang sekuat Hades, seperti 5 tahun lalu ketika aku hampir mati dibuatnya. Bahkan mungkin ada yang lebih kuat darinya. Tidak ada yang boleh meremehkan musuh," tandasnya, menyisir wajah-wajah tegang di sekelilingnya.

Antoni mendesah, "untung saja malam itu aku datang dan berhasil mengusir mereka sebelum nyawa Jendral Xeveruz menjadi korban selanjutnya."

"Err... Komandan, bolehkah aku bertanya?" Seseorang mengangkat tangan takut-takut.

"Lanjutkan." Antoni mempersilahkan.

"Apakah alasan Anda tidak dapat menghabisi mereka bertiga adalah karena ada Artemis dan defender itu? Atau yang satunya lagi?"

Antoni terdiam. Ia sendiri juga bingung bagaimana menjawabnya. Pikirannya seakan terpecah-belah malam itu. Dan saat tersadar, ia telah kehilangan jejak mereka bertiga.

Sementara kakaknya tengah berkutat di dalam pikirannya, Glen hanya membisu sembari memainkan pulpen yang ia putar-putar di antara jemarinya tanpa berniat mengangkat kepala.

Tentu saja ia mengetahui jawaban dari pertanyaan itu. Musuh mereka bisa lari karena ulahnya.

Pikirannya menerawang di malam itu. Ketika berniat menghampiri Antoni, mendadak Glen mendengar bunyi dentingan pedang. Ia pergi ke sumber bunyi dan terkejut ketika melihat perempuan dengan topeng yang waktu itu pernah dirusaknya sedang melawan Antoni sendirian.

Terlebih lagi saat Antoni tengah bersiap menebasnya, yang dari pengamatan Glen sendiri, gerakan tersebut pasti tidak akan mampu dia tangkis.

Akhirnya Glen menggunakan dýnami-nya untuk membantu Zeze dan rekannya lolos dari maut. Ia tidak bisa menyangkal bahwa kakaknya sendiri saja sudah sangat berbahaya.

Sebenarnya Glen agak kaget karena melihat Zeze bisa mengimbangi gerakan Antoni. Mungkin jika tangannya tidak terluka, dia pasti masih bisa bertahan lebih lama.

Samar-samar, Glen mendengarnya mengucapkan, 'aku berhutang padamu' yang terbawa angin dan sampai ke telinganya dengan sangat lembut bagai bisikan.

"Aku tidak terlalu yakin." Jawaban Antoni membawa pikirannya kembali. "Mungkin ini ulah salah yang satunya," lanjutnya, ragu.

Tentu saja Antoni tidak tahu itu adalah kekuatannya. Glen tidak pernah menunjukkannya kepada siapa pun bahkan keluarganya sendiri. Dan ajaibnya, Zeze adalah orang pertama yang membongkar kekuatannya hanya dengan sebuah pengamatan kecil, meski tidak sepenuhnya benar.

"Komandan, apa adik kedua Anda berhalangan hadir?"

Pertanyaan itu berhasil membuat Glen berdecak pelan. Ia paling malas jika seseorang mengungkit ini lagi dan lagi.

Ketika pernyataan itu terlontar, Antoni langsung menatapnya dan mata hijau mereka bertemu dalam keheningan.

"Tidak, dia masih butuh waktu lama untuk pantas berada di sini." Akhirnya Antoni menjawab.

"Apa yang Anda katakan? Tentunya dia pasti hebat seperti Anda dan juga Glen," bantah seseorang.

Glen menunduk. Mungkin jika orang itu di sini sekarang dan melihat dirinya, tubuhnya sudah pasti akan menjadi samsak hidup.

Rapat pun berakhir hanya dalam waktu satu jam. Glen mengganti bajunya dengan T-shirt putih lengan pendek dan jaket kulit hitam mengilat di luarnya. Udara di luar sini cukup dingin karena musim dingin sedang mencapai suhu terendahnya.

Glen duduk di anak tangga depan halaman. Di sini sangat sepi, jadi ia tidak harus menggunakan maskernya. Dengan tenangnya, ia menikmati semilir angin dingin yang menerpa tiap pori-pori kulit wajahnya.

Tak lama kemudian, gelas plastik kopi yang panas dan beruap menutupi pandangannya secara tiba-tiba.

Mendongak, ia melihat Antoni menyodorkan segelas kopi panas untuknya. Ia menerima kopi tersebut dan menyeruputnya sebentar sembari memandangi bintang-bintang, sementara Antoni telah mengambil duduk di samping kirinya.

"Pahit. Seharusnya kau memberikan ini untuk dia," gumamnya.

Antoni mengangkat bahu, "karena hanya ada kau, jadi kuberikan padamu."

Glen tertawa kecil. "Aku lebih suka kopi susu," balasnya. Tapi pada akhirnya ia meminumnya juga.

"Sampai kapan kau akan menyembunyikan dirimu darinya?" Tanya Antoni. "Apakah kau pikir dia akan menolakmu? Kalau benar, berarti dia itu kekanak-kanakan sekali. Saat aku mengetahui kalau kau adalah adikku saja, dengan senang hati aku menerimamu."

Glen mendengus, "ini berbeda."

"Jadi benar dia itu kekanak-kanakan? Masa hanya karena kau berbeda ibu dengannya, dia akan menolakmu. Cobalah untuk jujur."

Pandangan Glen terjatuh ke gelas yang dipegangnya, "tidak semudah itu."

"Kau tahu? Ketika aku menyadari bahwa aku mempunyai 2 adik dari ibu yang berbeda-beda, aku merasa ayahku adalah orang paling brengsek di dunia ini. Tapi ketika melihat bahwa adikku seperti kalian berdua, aku merasa menjadi orang yang suka menjilat ludahnya sendiri."

Glen menoleh ke arahnya. Ia melihat kakaknya itu tengah mendongak, menghadap langit malam dengan mata terpejam, merasakan salju turun dan meleleh di wajahnya.

"Aku ingin melihat saudaraku saling menyayangi satu sama lain suatu hari nanti."

Entah mengapa mata Glen melebar ketika mendengarnya. Ia merasa tidak asing dengan kalimat itu. Ia pernah mendengar seseorang mengatakannya.

"Aku ingin melihat sahabatku kembali saling menyayangi satu sama lain suatu hari nanti."

Ia menjatuhkan pandangannya di sepatunya. Walaupun sedikit berbeda, tapi tentu saja maksudnya sama.

"Aku harap dapat semudah itu. Aku... dan kau telah banyak melakukan dosa yang tak termaafkan kepadanya."

Ketika menoleh, Antoni hanya melihat kaki Glen yang dilapisi jeans berwarna hitam. Laki-laki itu telah beranjak berdiri dan mulai berjalan menuruni anak tangga hingga sepatunya menginjak rerumputan yang telah tertutupi salju.

"Glen..." panggilan Antoni membuat langkahnya terhenti.

"Apakah terjadi sesuatu kepada kalian sebelumnya?"

Satu pertanyaan itu berhasil mengundang memori yang sangat ingin ia lupakan, kembali lagi ke permukaan dan mulai seenaknya berputar-putar di dalam otaknya. Ia menyesal telah berhenti dan mendengar pertanyaan itu.

Saat itu, saat ia mengatakan penolakan terbesarnya, yang sama sekali tidak ingin ia lakukan. Tapi di saat yang sama, ia juga tidak menyesal karena telah mengatakannya.

"Kenapa kau kembali? Untuk apa?" Suaranya begitu tajam dan dingin.

"Hei, Glen. Kau kenapa?" Obi mulai cemas. Ia berganti menatap Zeze yang berdiri di sebelah kirinya. Dia pun sama terkejutnya. Mata birunya melebar dengan mulut yang terkatup rapat.

"Aku... hanya ingin melihat kalia-"

"Karena itukah kau mengumpulkan kita berdua malam-malam di sini? Sungguh kurang kerjaan. Seharusnya aku sudah berada di kasurku saat ini." Glen mencibir dingin, sama sekali tidak peduli dengan raut wajah Zeze yang terlihat sangat terkejut. Bagaimana tidak? Ini pertama kalinya ia berbicara sekasar dan sedingin ini kepadanya.

"Hei... Glen." Obi sudah mulai kewalahan.

"Perlu kau tahu, Rozeale Ankhatia..." Zeze tersentak saat Glen mengucapkan nama aslinya, nama yang baru ia ketahui dua tahun lalu, saat ulang tahunnya yang ke-8.

"Aku sama sekali tidak berharap untuk melihatmu lagi."

Tanpa aba-aba, kerahnya langsung disambar oleh Obi, "hei, Glen. Bercanda juga ada batasnya. Sadarlah! Ini seperti bukan dirimu," sentaknya.

Glen mencengkeram pergelangan tangan Obi di lehernya. "Bukan diriku? Memangnya kau tahu apa tentangku?" Sebelah alisnya terangkat menantang.

"Aku tahu kau membenci para keturunan kerajaan itu, tapi ini Roze, Glen! Roze! Dia sama sekali tidak tahu-menahu soal dirinya sendiri!" Bentak Obi.

"Lalu? Apa yang harus aku lakukan? Bertingkah seperti tidak terjadi apa-apa dan memeluknya? Mengatakan 'lama tidak bertemu' atau 'aku rindu sekali denganmu'? Menjijikkan. Jika dia ingin pergi, dia bisa pergi. Jangan bertingkah labil dan malah kembali lagi ke sini dengan alasan konyol seperti itu."

"Kau... apa yang..." Obi tidak sanggup meneruskan kata-katanya. Alisnya bertaut marah. Ia bingung dengan apa yang harus ia katakan dan lakukan saat ini. Rahangnya mengeras sampai menggertak gigi-giginya.

Zeze mencoba mengatur ekspresinya. Ia menelan liur satu mulut penuh kemudian mencoba menjelaskan, "aku kembali ke sini karena aku merindukan kalian, karena kalian adalah sahabatku. Sejauh apa pun aku pergi, kita tetaplah sahabat, aku tidak akan melupakan kalian, janji yang kita buat-"

"Bagus, sudah puas melihatku kan?" Glen menepis tangan Obi dengan kasar hingga terlepas dari kerahnya. "Sekarang kau bisa pergi dan membawa serta janjimu itu, karena jujur, aku telah lama melupakannya."

Baik Zeze maupun Obi sama-sama membeku di tempat. Ini bukan Glen, ini sama sekali bukan anak laki-laki yang sopan dan pendiam itu. Mereka sama sekali tidak dapat mengenal orang ini.

"Sialan!" Obi meninju Glen sampai punggungnya menabrak pohon pinus.

Napas Zeze tercekat, "Obi!" Serunya.

"Diam di sana, Ze." Mata Obi tak lepas menatap tajam ke arah Glen yang tengah terbatuk sambil berpegangan pada pohon.

Tak lama kemudian, akhirnya Glen dapat kembali menatap Obi. Ia terkekeh dengan bibir yang telah memerah oleh darah. "Kau juga. Kau bisa pergi juga jika kau mau."

Obi menggeram, "aku tidak akan pernah mempermasalahkan walau kau memperlakukanku seburuk apa pun itu. Tapi jangan Roze, Glen. Aku sudah pernah memperingatkanmu." Suara tajamnya memecah keheningan malam.

"Keren sekali, Robian. Seperti seorang anjing yang selalu setia kepada tuannya." Glen terkekeh.

Sungguh demi apa pun Zeze tidak dapat mempercayai telinganya saat ini. Benar, ini bukanlah Glen yang ia kenal.

Afrodi pernah bilang, mulai sekarang ia bebas mengekspresikan perasaannya. Afrodi juga bilang bahwa dirinya bukan boneka lagi. Tidak ada yang bisa mengaturnya lagi. Tidak ada benar atau salah lagi. Tidak ada peraturan harus ini, harus itu lagi. Mulai sekarang, ini adalah hidupnya. Ia bebas mengatur ke mana sayapnya akan membawanya terbang.

Dan sekarang inilah perasaannya, perasaan yang tak dapat dibendung lagi hingga tumpah tersalurkan oleh air mata. Sama seperti Obi, ia juga tidak masalah jika orang lain menghinanya atau apa pun itu, tapi tidak dengan sahabatnya, saudaranya. Hatinya sedih seperti diiris-iris. Sahabatnya dihina seperti itu oleh sahabatnya yang lain.

Ini bukanlah dunianya—dunia kecilnya yang ia harapkan. Ini semua salah. Apakah ini semua terjadi karena ia kembali?

Semuanya jadi serba salah. Ia sudah pergi dari penjara itu, bertemu orang-orang baru dan dunia baru, dunia yang lebih luas dari dunia kecilnya yang hanya sebatas rumah besar dan halaman luas penuh rusa. Tapi, inikah harga yang harus dibayar? Dunia yang baru itu berarti menghapus dunianya yang lama, termasuk kebahagiaan dan tawa di dalamnya.

Obi menoleh ke belakang, dan matanya dibuat melebar ketika melihat Zeze menangis. "Roze..." jujur, baru kali ini ia melihatnya menangis. Dan pemandangan itu begitu menghantamnya.

Zeze menyeka air matanya lalu menarik lengan hoodie Obi, "ayo, Bi."

Mereka berdua berjalan meninggalkan Glen yang mematung, memandang punggung mereka dari jauh hingga tertelan jarak.

Kesalahan pertama telah berhasil menimbulkan nyeri di hatinya. Dan yang kedua, saat Antoni membunuh kakak dari kedua sahabatnya itu... Glen menunduk saat mengingat wajah mereka berdua kala itu. Belum pernah seumur hidupnya, Glen melihat mereka mengeluarkan raut sedih dan tersiksa semacam itu. Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa.

Dan tak lupa juga, saat ia dengan nyamannya bernaung di bawah atap yang sama dengan ayah dan keluarganya, tertawa bahagia bersama-sama sementara adiknya...

Ia terlalu pengecut untuk mengatakan yang sebenarnya, takut jika adiknya sendiri akan membencinya dengan segala ketidak-adilan yang selama ini diterimanya.

Seharusnya semua hal ini terjadi kepadanya. Ia tidak pantas mendapatkan semua ini. Bahkan ia berpikir, ia tidak pantas bahagia.

Belum berakhir kesalahan demi kesalahan yang ia perbuat, satu tahun kemudian, setelah ia diangkat menjadi Ipotis termuda yang menyandang pangkat Zertais, ia hampir saja membunuh Zeze jika Obi tidak datang tepat pada waktunya.

"Aku tidak ingin mempercayai mataku." Suara Obi gemetar seperti tangannya yang tengah mendekap Zeze.

Di pipi gadis itu tertoreh goresan memanjang. Bibirnya terlihat lebih merah karena lintasan darah yang turun sampai ke rahangnya. Lengan bajunya bahkan telah tercabik hingga potongan kain itu terjatuh ke tanah, menampilkan lengannya yang juga dipenuhi luka dan memar kebiruan, terlihat begitu kontras di kulitnya yang putih.

Tak salah lagi sebelum Zeze kehilangan kesadarannya, Glen mendengarnya berbicara dengan senyuman lemah di bibirnya yang memerah, "Aku ingin melihat sahabatku kembali saling menyayangi satu sama lain suatu hari nanti."

"Kau benar-benar akan membunuhnya?" Obi bertanya lirih. Suaranya terdengar amat tersiksa. Alisnya bertaut antara marah dan tidak berdaya.

Glen meludahkan darah dari mulutnya. Ia juga benar-benar tidak menyangka bahwa Zeze tidak akan melawan. Dan bahkan sama sekali tidak menghindar ataupun menangkis serangannya.

Glen memasang wajah sedatar dan seangkuh mungkin. "Dia adalah bagian dari Énkavma, musuh terbesar dunia, musuh terbesar FBI saat ini. Dan dia juga musuhku... Ankhatia."

"Kau gila, Glen. Kau gila."

"Terserah. Jika kau tidak ingin mati juga, sebaiknya berhenti ikut campur," tukas Glen dingin. Ia mengambil katana dengan ukiran hijau menyala yang sejak tadi terbaring di atas rerumputan hijau.

Guratan halus di sudut mata Obi semakin nyata. Ia terlihat seperti ingin menangis, tapi air mata itu tak kunjung keluar yang malah membuat raut wajahnya terlihat seperti tengah menahan sakit.

Obi mengeluarkan korek dari dalam sakunya. Ketika ia menekan pemantiknya, api berwarna biru keluar menari-nari.

Bagaikan semburan air, api itu mencuat ke atas, berputar-putar mengelilingi dirinya dan gadis di dalam dekapannya, lalu membakar tubuh mereka berdua.

Mata Glen terbelalak melihat pemandangan itu. Tapi ketika menyadari ekspresi Obi yang terlihat tenang-tenang saja, ia menghela napas dan memperbaiki ekspresinya sendiri. Jujur, ia sempat mengira mereka ingin bunuh diri.

Lama-kelamaan, api biru itu berubah dari ungu menjadi hitam, seiring luasnya jangkauan yang ia lalui, menelan dan menjalari tubuh mereka berdua.

Glen menyaksikan semuanya, terutama saat mata Obi yang berubah menggelap menatapnya. Cahaya benar-benar terkuras habis di matanya yang pekat. Udara di sekelilingnya pun mendingin dan berubah suram.

"Kau yang akan mati, Glen. Aku sendiri yang akan membunuhmu."

Dan mereka pun tertelan oleh api, menyisakan abu yang terjatuh begitu saja di rerumputan.

"Serius sekali."

Suara ringan itu membawanya kepada kenyataan. Ternyata tanpa Glen sadari, ia telah sampai ke tempat tujuannya.

Ia berdiri di depan mansion mewah berwarna putih, dengan tiang-tiang besar terlihat menopang bagian depannya.

Di dekat pintu utama, berdiri seorang lelaki berwajah rupawan dengan rambut coklat dan mata berwarna hazel. Lelaki itu bersandar ke bingkai pintu yang terbuka sambil melipat tangannya di depan dada dengan pandangan menilai.

Glen terdiam sebentar, mengembalikan sisa-sisa kesadarannya sebelum membungkuk dan menyapa. "Salam, Yang Mulia Pangeran Aleco."

Aleco menyeringai sinis dengan dagu yang terangkat angkuh, "inilah bagian favoritku, melihat putra Marquess terkuat di Aplistia merendahkan kepalanya untukku."

Tanpa menggubris perkataannya, Glen menegakkan punggung. Untuk beberapa saat, ia hanya memandang datar mata hazel penuh intimidasi itu. Alih-alih tersinggung, orang di hadapannya ini malah tertawa.

Aleco mendesah keras setelah tawanya reda. "Ya... tidak perlu terlalu formal, benar kan, Partner In Crime?" Ia tersenyum penuh arti ke arah Glen.

Glen hanya mengangguk kaku, yang lagi-lagi membuat Aleco tertawa. Untuk meredakan tawanya, Aleco berdeham pelan lalu berkata, "ayo, masuk, sepertinya banyak sekali yang akan kita bicarakan."

========

Note:

Eileithyia = Aurel
RECENTLY UPDATES