33 ARTEMIS
Karena mereka masih berputar-putar tanpa arah di lorong sempit ini, Zeze yakin sekali bahwa pelakunya bukan dari orang-orang yang dibunuhnya tadi.
"Ini tidak akan selesai sebelum kita menangkap pelakunya." Zeze bergumam sembari menyandarkan punggungnya ke dinding.
"Mau bagaimana lagi," Mendesah frustrasi, Rhea juga ikut bersandar di samping kanannya. "Apa kita pancing saja mereka?"
Zeze menoleh dengan alis bertaut, "kita ini adalah pihak yang barusan mereka pancing. Apa kau bilang seekor ikan akan balik memancing nelayannya?"
"Lalu, apa rencanamu?" Tuntut Rhea. Walaupun nadanya kalem, ia terlihat uring-uringan.
"Mengapa kita tidak masuk kembali saja?" Usul Luna yang sejak tadi mondar-mandir sembari menggigit-gigit kukunya dengan gelisah.
Zeze dan Rhea bertukar pandang. Mengapa hal ini tidak terpikirkan oleh mereka?
"Benar. Aku ini bodoh sekali. Sial, ada apa denganku?" Gumam Zeze. Ia akui pikirannya memang tidak fokus sejak tadi.
"Ya sudah, ayo." Zeze melangkah dan membuka pintu di hadapannya. Pintu itu tidak terkunci yang membuatnya langsung mendorongnya hingga terbuka.
Namun saat pintu itu terbuka, ketiganya langsung menyesali keputusan tersebut. Ini bahkan lebih membingungkan dari terjebak di lorong.
Zeze tertawa miris lalu menggerutu, "yang benar saja?"
Mungkin ini bukanlah saat yang tepat untuk tertawa, tapi pemandangan di hadapannya ini begitu menggelikan sampai membuatnya mematung tak percaya di ambang pintu.
Kursi, meja, dan segala perabotan yang seharusnya berada di bawah, kini berada di atas. Ruangan ini terbalik, semua yang seharusnya di bawah, malah berada di atas, begitu pun sebaliknya. Ataukah mungkin mereka yang terbalik?
"Apa-apaan ini?" Tanya Luna tak percaya. Ia benar-benar tercengang.
"Alice in Wonderland versi baru?" Zeze terkekeh dan dihadiahi tatapan tajam oleh Rhea.
"Ini bukan waktunya untuk bercanda. Kita harus serius," tegur Rhea di belakangnya.
"Apa yang kau katakan, kak? Memangnya aku pernah tidak serius?" Kilahnya tanpa menoleh.
"Jangan bicara jika kau masih mengingat kejadian ketika kau bertarung melawan Raja karena dikendalikan," tukas Rhea. Sepertinya gadis itu benar-benar marah.
Kalimat Rhea barusan sukses mengatupkan bibir Zeze rapat-rapat. "Oke," balasnya singkat.
Sejak tadi Luna mendengarkan percakapan kedua orang ini dengan bingung. "Apa yang kalian bicarakan?" Tanyanya.
Zeze menoleh ke belakang dengan membawa senyum misterius penuh arti, "nanti juga kau tahu."
Mereka kembali memeriksa setiap pintu yang mereka lewati. Tapi hasilnya tetap sama saja.
"Apakah mungkin kita membuka pintu yang sama?" Tanya Rhea memastikan.
"Tidak, aku selalu membuat tanda yang berbeda di setiap pintu," sanggah Zeze sembari menunjuk pintu yang terukir bukti cakaran berbentuk XX.
"Lagi pula, mayat-mayat itu hilang," lanjutnya.
Rhea tersentak. Benar juga, mayat yang tadi tergeletak begitu saja di lantai kini hilang tanpa jejak.
"Apakah mungkin kita..." Luna tak sanggup meneruskan ucapannya.
Zeze yang berjalan di depan mereka mengangguk mantap, "kita tidak kembali ke tempat semula seperti tadi. Lorong ini terus memanjang." Rhea dan Luna tersentak mendengarnya.
Mungkin ini adalah hal yang lebih sia-sia dari berputar-putar seperti tadi. Mereka saat ini berjalan di lorong tanpa ujung!
"Lelah?" Tanya Zeze. Tapi tak ada jawaban dari arah belakangnya.
Zeze berhenti, yang membuat kedua gadis itu juga ikut berhenti. "Meneruskan juga percuma. Lebih baik kita istirahat terlebih dahulu," ujarnya, bersandar kembali ke dinding.
"Ze, apa kau sudah memiliki petunjuk apa sebenarnya ini semua?" Tanya Rhea hati-hati.
Bukannya menjawab, Zeze malah terfokus pada pintu di hadapannya dengan tatapan menerawang. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Baik Rhea dan Luna tidak ada yang dapat memahami. Terutama Rhea, telah lebih dari 5 tahun ia mengenal Zeze, masih sulit baginya untuk menebak pikiran gadis itu. Mencoba menebaknya seperti dipaksa memecahkan soal-soal rumit.
"Kak... apa kau percaya padaku?" Tiba-tiba Zeze bertanya dengan sorot mata serius ke arahnya.
Tentunya Rhea terkejut karena ditanya hal itu. Ia sama sekali tidak dapat memahami ke mana arah pembicaraan ini. Setelah terjadi hening beberapa saat, akhirnya Rhea menjawab mantap tanpa ada sedikit pun keraguan di matanya.
"Hah? Memang aku ini pernah sekalipun meragukan seeker terbaik kita?"
Kata-kata Rhea membingkai senyum di wajah Zeze. Ia memejamkan matanya, dan ketika kembali terbuka, Rhea dan Luna dapat melihat iris birunya berkilat-kilat.
"Kalau begitu, dengarkan ya?" Pintanya dan dijawab anggukan kompak oleh mereka berdua.
Mereka bertiga duduk di lantai yang dilapisi karpet tipis sembari mendengarkan penjelasan-penjelasan Zeze. Walaupun beberapanya sulit dimengerti karena terdapat hukum fisika di dalamnya. Tapi di bagian akhir, Zeze merangkum itu semua menjadi penjelasan yang singkat, padat, dan mudah dipahami.
"...jadi, yang terbalik itu bukan ruangan itu, tapi kita. Kita berada di dalam sebuah dimensi paralel (paralel universe) yang membuat apa pun yang ada di dalamnya berbanding terbalik dengan dunia asli kita. Sebagai contohnya, tadi seharusnya kita berjalan dan menemukan aula dengan mudah, tetapi nyatanya kita malah kembali ke tempat semula.
"Saat tadi aku membuka pintu, hal itu telah membuat dimensi ini berputar kembali dan membentuk sebuah 'keterbalikan' yang lainnya, sehingga lorong ini pun berubah menjadi tanpa ujung," lanjutnya.
"Jadi kau bilang, setiap pintu yang tadi kita buka itu, membuat segala apa pun di dimensi ini juga terus berubah-ubah?" Luna memastikan.
Zeze mengangguk, "mungkin kau tidak menyadarinya, tapi posisi engsel pintu tertukar saat kita membuka pintu yang terakhir."
Pernyataan Zeze barusan sontak membuat kedua gadis itu cepat-cepat melihat ke arah pintu. Mereka kira, lorong ini terlihat berbeda dari sebelumnya adalah karena mereka telah berhasil mencapai tempat yang berbeda pula.
"Masih banyak perubahan-perubahan kecil yang lainnya tapi tidak semua dapat aku sadari." Zeze bergumam sembari mengusap-usap mata pisau rapier di pangkuannya dengan ujung telunjuk. Ia ingat telah membuka lima pintu, maka seharusnya terdapat lima perubahan.
Teori satu ini memang membingungkan dan rancu. Para ilmuan memiliki pendapat yang berbeda. Tetapi, dilihat dari kenyataan yang tengah ia hadapi saat ini, maka seharusnya spekulasinya benar. Dimensi paralel memberikan 'kenyataan' yang berbeda atau bertolak belakang dari dunia asli mereka. Semuanya terbalik. Ini jadi itu dan itu jadi ini.
Dan setiap pintu yang terbuka mungkin hanyalah sebagai 'syarat' atau 'instrumen' yang orang ini gunakan untuk mengubah tatanan tempat ini. Pada dasarnya, pintu-pintu tersebut tidaklah lebih dari sekedar permainan undian. Karena orang ini paham, dalam situasi terjebak seperti ini, orang-orang pasti akan mencari jalan keluar. Dan karena yang terpampang di depan mata mereka adalah pintu, maka mereka pasti akan menggunakan pintu tersebut sebagai 'jalan keluar' itu.
"Bagaimana bisa..." kata-kata Rhea menghilang karena kenyataan ini sulit diterimanya. Orang hebat mana yang bisa...
"Ini terjadi saat pertama kali kita keluar dari ruangan itu. Saat itulah kita memasuki dimensi ini. Alasan mengapa tidak ada yang berubah dari diri kita dan benda yang menempel pada kita adalah karena kita ini makhluk hidup. Mayat itu menghilang bersama dimensi yang sebelumnya karena mereka sudah tak bernyawa," tutur Zeze.
"Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang?" Desis Luna, panik.
"Dan itulah masalahnya. Aku tidak begitu yakin." Zeze terdengar ragu ketika ia mengungkapkannya.
Rhea mengerutkan alisnya. "Apa yang kau katakan Ze? Kau ini strategist kami, kalau kau sendiri saja tidak tahu harus berbuat apa, bagaimana dengan kami," kecamnya.
"Aku tidak sehebat Zarai ataupun Edgar, kak." Ia memang hebat dalam penalaran deduktif, dan ia percaya diri akan kemampuannya itu. Tapi mengenai penyusunan rencana, ia menganggap dirinya sendiri masih tertinggal jauh.
"Tidak ada masalah siapa yang hebat antara kau, Zarai, Edgar, Kai, atau Raja sekalipun. Karena kau yang ada di sini, berarti kau adalah otak kami!"
Kata-kata Rhea membuatnya tertunduk menatap gagang rapier yang dengan anteng tertidur di atas pahanya.
"Kau menyuruh kami untuk percaya padamu, tapi ketika kami melakukannya, kau sendiri yang tidak percaya pada dirimu sendiri. Kalau begini aku merasa dikhianati." Luna tiba-tiba menyambar sehingga Zeze menoleh cepat ke arahnya.
Benar, sebenarnya apa yang ia lakukan? Mengapa ia bisa patah semangat dan tak percaya diri seperti ini? Afrodi memberinya dua posisi itu bukan tanpa alasan. Seharusnya ia tidak boleh menyia-nyiakan kepercayaannya.
Dan Artemis... dia adalah dewi perburuan. Bukan saatnya untuk duduk-duduk santai seperti ini.
Ia harus memburu mangsanya.
Zeze bangkit berdiri dengan pikiran yang baru. Ia menatap sekeliling. Entah apa yang sekarang ada di kepalanya, Rhea dan Luna masih tidak tahu. Tapi pastinya, mereka yakin Zeze tidak akan diam saja seperti tadi.
Rhea dan Luna ikut bangkit, menunggu Zeze mengutarakan pikirannya. Sementara itu di kepalanya, Zeze tengah memutar ulang kejadian demi kejadian. Tidak ada yang terlalu penting. Ini bukan ruang misner karena tadi Rhea mengetuk tembok...
Tunggu dulu, tembok? Dan mata birunya langsung melebar seperti baru saja mendapat pencerahan.
"Kak..." Zeze menyipitkan matanya.
"Jika kau bertanya sekali lagi apa aku percaya padamu, aku akan menjitak kepalamu, Ze," tukas Rhea.
Zeze sampai tertawa dibuatnya, "bukan itu. Aku hanya ingin bilang..." kata-katanya menghilang seraya ia memundurkan beberapa langkahnya dan bersikap seperti hendak menendang dinding itu.
Rhea dan Luna bahkan baru menyadari kalau kaki kirinya telah terbalut oleh api berwarna merah. Ia seperti memakai sepatu yang bisa menyala dalam gelap.
"Jika sesuatu menghalangi jalanmu...," tendangan berputarnya menghancurkan tembok menjadi bongkahan-bongkahan besar. "...buatlah jalanmu sendiri!"
Benar, tidak perlu menggunakan pintu-pintu tidak berguna itu. Buatlah jalanmu sendiri. Percuma memiliki jalan keluar yang terpampang jelas di depan mata tapi tidak bisa digunakan.
Dan terpampanglah sebuah lorong yang mereka yakini adalah yang asli. Di ambang lubang besar, Luna langsung mengamati pintu, warna atap, lantai, lukisan dan foto-foto yang terpajang di dinding. Semuanya telah kembali normal.
Mereka pun melangkah keluar dari dimensi paralel itu dan menuju dunia asli mereka. Setelah kaki mereka menapaki lantai, terjadi guncangan yang membuat Rhea dan Luna harus berpegangan ke dinding.
Zeze merasakan kedua tangannya menjadi hampa. Dan ketika ia melihat tangannya, pedangnya telah menghilang.
Mereka sama-sama melebarkan mata ketika melihat tembok yang berlubang, perlahan-lahan kembali seperti semula. Bongkahan-bongkahan yang tersebar kembali menutup dinding itu seperti reka ulang.
Tapi sebelum dinding itu tertutup seutuhnya, Zeze dapat melihat pasti seseorang berjas hitam yang berdiri di baliknya. Ia tak dapat melihat jelas wajahnya karena bongkahan terakhir telah menutup sempurna dinding itu.
Satu hal yang Zeze tahu. Pelakunya adalah tamu di pesta ini.
"Kita benar-benar kembali?" Luna bertanya hati-hati. Ia melihat sekeliling untuk ke sekian kalinya.
"Kurasa begitu," gumam Zeze. Ia berbalik dan membuka pintu di hadapannya. Syukurlah tak ada lagi hal aneh seperti yang ia lihat sebelumnya. Kursi, meja, lemari, dan seluruh perabotan ada di tempatnya semula.
"Ze, kurasa tadi aku mendengar suara." Rhea memberitahu dengan cemas. "Kurasa dari belokan itu." Matanya tertuju ke belokan yang mengarah ke kanan.
Sorot mata Zeze mengeras. Ia berjalan duluan untuk memeriksa.
"Hati-hati, Ze." Rhea memperingatkan dari belakang namun Zeze malah mendengus geli.
Tapi ketika Zeze mengintip ke belokan lorong, tak ada sama sekali hal janggal yang ia temukan. Semuanya terlihat baik-baik saja. Ia memutuskan untuk maju dan berbelok, mencoba mengecek lebih dekat, dan hasilnya tetap saja nihil.
Saat berbalik dan hendak kembali, tanpa disangka kakinya menginjak sesuatu yang menimbulkan bunyi cipratan. Ketika ia melihat ke bawah, darah merah pekat telah mewarnai telapak kakinya dan terciprat hingga ke mata kaki.
"Jangan diseret." Rhea yang telah berdiri di sampingnya mengingatkan.
"Aku tahu," sahutnya lalu mengeluarkan sapu tangan dan mengelap kakinya.
"Memangnya kenapa?" Tanya Luna, meminta penjelasan.
"Akan menimbulkan sidik jari," jelas Rhea. "Bisa-bisa nanti Zeze dituduh membunuh orang."
"Suruh seseorang untuk membersihkannya nanti."
Luna menjawab perintah Zeze dengan anggukan.
Mundur dan kembali memandangi darah itu, Zeze bertanya, "apa aku harus mengetesnya?"
"Menurutmu?" Rhea malah balik bertanya.
Zeze berpikir sebentar lalu memutuskan. "Tidak, instingku bilang jangan."
"Ze, kau ini mempunyai otak seperti super komputer, tapi kenapa masih saja percaya dengan insting-insting yang tidak pasti itu?" Ujar Rhea, tidak percaya. Dahinya mengernyit dan bibirnya mencebik.
"Yang Mulia!" Seseorang memanggil.
Zeze maju dan menoleh ke kiri, melihat Froura dan Volta yang berlari menghampirinya dengan tergesa-gesa, padahal keduanya sedang memakai high heels.
"Yang Mulia, kau dari mana saja?" Tanya Volta. Nadanya menuntut dan rautnya terlihat cemas. Ia memandang Rhea dan Luna bergantian. Tapi ketika matanya berhenti di wajah Luna, ia menangkap raut kalut di wajahnya yang terlihat pucat, seakan gadis itu bisa pingsan kapan saja.
"Apa yang terjadi?" Tuntutnya lagi. "Kenapa aku tidak dapat menemukan kalian tadi?"
"Kau mungkin tak percaya tapi aku baru saja merasakan menjadi Alice in Wonderland dalam sehari."
"Jangan didengarkan," sambar Rhea. "Penjelasannya nanti saja, kita harus membawa Luna untuk istirahat. Kejadian kali ini mungkin membuatnya syok."
Pesta pun berakhir, karena tak terasa mereka bertiga telah berputar-putar selama lebih dari satu jam. Juni dan Rhea tidak pulang ke kediaman mereka masing-masing. Keduanya telah ijin kepada orang tua mereka untuk menginap di Istana Timur Aplistia yang tentu saja langsung disetujui. Terlebih lagi Esmeralda, wanita itu tak henti-hentinya menciumi Juni dan memujinya dengan raut bangga.
Saat tiba di ruang tamu lantai satu, Zeze menyuruh pelayan membawakan camilan apa saja yang ada di dapur untuk mereka. Sofa hanya muat diisi tujuh orang. Karena itulah Obi, Juni, dan Rhea duduk di karpet, yang dengan senang hati akan mereka lakukan.
Sementara Zeze masih berdiri sembari meneguk air putihnya. Ia telah berganti baju sementara yang lain belum. Karena ternyata ia memakai kaus hitam lengan pendek dan celana selutut di balik gaunnya. Jadi, ia hanya tinggal membukanya saja.
"Ada waktu?" Setelah menghabiskan dua gelas penuh air putih, Zeze bertanya kepada sepuluh orang itu.
Mereka semua menatap Zeze penasaran, kecuali Kion yang malah terpejam dengan tangan terlipat di depan dada.
Zeze meletakan gelas kosongnya ke atas meja di tengah sofa dan mengatakan suatu hal yang membuat orang-orang yang tidak terlibat menegang di tempat. "Ada yang ingin membunuh kami tadi." Bahkan Kion pun bersedia membuka matanya.
"Apakah ini sering terjadi... pada kalian?" Zeze menatap para anak bangsawan itu bergantian, tapi tak ada satu pun yang merespons.
Beberapa detik kemudian, Driko mengangkat tangan, "bagaimana caranya kalian bertiga lolos dari semua itu?"
Zeze dan Driko saling pandang untuk waktu yang lama. Rhea dan Luna pun tidak berniat menginterupsi. Akhirnya, setelah sunyi cukup lama, Zeze menjawab sembari duduk di karpet, "kalau kubilang sebuah keberuntungan, aku yakin kau pasti tidak akan percaya, benar kan? Deka."
Mendengar Zeze memanggil Driko dengan nama tengahnya, mata Luna mengerjap cepat. Jarang sekali ada yang memanggil Driko dengan sebutan itu. Bahkan untuk teman dekatnya sendiri, Kion.
"Aku membunuh mereka semua." Zeze menyaksikan wajah penuh keterkejutan orang-orang yang tidak terlibat saat kejadian itu.
Sementara Kion hanya memandangnya datar, menunggu apa kalimat selanjutnya yang akan terlontar dari bibirnya. Walau sebenarnya Kion sudah tahu cepat atau lambat dia akan mengatakannya.
"Tidak perlu terkejut begitu. Bukankah itu panggilan yang selalu kalian berikan kepada kami?" Zeze tersenyum sinis, "pembunuh." Suaranya melirih tapi penuh penekanan ketika ia melanjutkan.
"Oi... Ze," tegur Obi. Ia menatap tak percaya gadis yang duduk di samping kanannya itu.
Sama halnya dengan Juni dan Rhea. Mata mereka melebar dan saat itu juga mereka berpikir bahwa Zeze ini benar-benar sudah gila. Apa yang akan mereka lakukan saat ini? Membunuh para anak bangsawan itu? Itu pilihan yang paling konyol. Dan tentunya Zeze pasti juga sadar akan hal itu.
"Tidak apa, aku sudah membuat kesepakatan dengan Alpha mereka." Zeze menatap Kion yang juga tengah menatapnya. Tak ada perubahan ekspresi di wajah tenang kedua orang itu.
"Serigala pasti akan mengikuti pemimpin mereka kan?" Lanjut Zeze. Suaranya santai tapi mengandung sarkasme.
Semuanya bergeming. Obi, Juni, dan Rhea tahu bahwa Zeze ini memang tidak pernah mengutarakan rencananya kepada orang lain, tapi kalau begini caranya, Zeze benar-benar sudah kelewatan. Lantas apa gunanya tim? Apa gunanya kerja sama?
"Apa? Sejak kapan kau..." kalimat Juni menghilang karena saking terkejutnya.
"Benarkah... benarkah kalian itu bagian dari mereka?" Pertanyaan ragu-ragu Driko justru mengundang senyuman di bibir Zeze. Dia memanglah putra dari Duke Megaloan. Pikirannya secair air dan daya tangkapnya cepat.
Luna, Volta, Froura, Airo, dan Saga menoleh cepat ke arahnya dengan tampang tak mengerti. Namun sepertinya Driko masih belum pulih dari keterkejutannya sehingga tak menyadari bahwa seluruh perhatian telah tersedot ke arahnya.
Tanpa melepaskan matanya dari Driko, Zeze mengangguk.
"Benar, Énkavma."
"Ini tidak akan selesai sebelum kita menangkap pelakunya." Zeze bergumam sembari menyandarkan punggungnya ke dinding.
"Mau bagaimana lagi," Mendesah frustrasi, Rhea juga ikut bersandar di samping kanannya. "Apa kita pancing saja mereka?"
Zeze menoleh dengan alis bertaut, "kita ini adalah pihak yang barusan mereka pancing. Apa kau bilang seekor ikan akan balik memancing nelayannya?"
"Lalu, apa rencanamu?" Tuntut Rhea. Walaupun nadanya kalem, ia terlihat uring-uringan.
"Mengapa kita tidak masuk kembali saja?" Usul Luna yang sejak tadi mondar-mandir sembari menggigit-gigit kukunya dengan gelisah.
Zeze dan Rhea bertukar pandang. Mengapa hal ini tidak terpikirkan oleh mereka?
"Benar. Aku ini bodoh sekali. Sial, ada apa denganku?" Gumam Zeze. Ia akui pikirannya memang tidak fokus sejak tadi.
"Ya sudah, ayo." Zeze melangkah dan membuka pintu di hadapannya. Pintu itu tidak terkunci yang membuatnya langsung mendorongnya hingga terbuka.
Namun saat pintu itu terbuka, ketiganya langsung menyesali keputusan tersebut. Ini bahkan lebih membingungkan dari terjebak di lorong.
Zeze tertawa miris lalu menggerutu, "yang benar saja?"
Mungkin ini bukanlah saat yang tepat untuk tertawa, tapi pemandangan di hadapannya ini begitu menggelikan sampai membuatnya mematung tak percaya di ambang pintu.
Kursi, meja, dan segala perabotan yang seharusnya berada di bawah, kini berada di atas. Ruangan ini terbalik, semua yang seharusnya di bawah, malah berada di atas, begitu pun sebaliknya. Ataukah mungkin mereka yang terbalik?
"Apa-apaan ini?" Tanya Luna tak percaya. Ia benar-benar tercengang.
"Alice in Wonderland versi baru?" Zeze terkekeh dan dihadiahi tatapan tajam oleh Rhea.
"Ini bukan waktunya untuk bercanda. Kita harus serius," tegur Rhea di belakangnya.
"Apa yang kau katakan, kak? Memangnya aku pernah tidak serius?" Kilahnya tanpa menoleh.
"Jangan bicara jika kau masih mengingat kejadian ketika kau bertarung melawan Raja karena dikendalikan," tukas Rhea. Sepertinya gadis itu benar-benar marah.
Kalimat Rhea barusan sukses mengatupkan bibir Zeze rapat-rapat. "Oke," balasnya singkat.
Sejak tadi Luna mendengarkan percakapan kedua orang ini dengan bingung. "Apa yang kalian bicarakan?" Tanyanya.
Zeze menoleh ke belakang dengan membawa senyum misterius penuh arti, "nanti juga kau tahu."
Mereka kembali memeriksa setiap pintu yang mereka lewati. Tapi hasilnya tetap sama saja.
"Apakah mungkin kita membuka pintu yang sama?" Tanya Rhea memastikan.
"Tidak, aku selalu membuat tanda yang berbeda di setiap pintu," sanggah Zeze sembari menunjuk pintu yang terukir bukti cakaran berbentuk XX.
"Lagi pula, mayat-mayat itu hilang," lanjutnya.
Rhea tersentak. Benar juga, mayat yang tadi tergeletak begitu saja di lantai kini hilang tanpa jejak.
"Apakah mungkin kita..." Luna tak sanggup meneruskan ucapannya.
Zeze yang berjalan di depan mereka mengangguk mantap, "kita tidak kembali ke tempat semula seperti tadi. Lorong ini terus memanjang." Rhea dan Luna tersentak mendengarnya.
Mungkin ini adalah hal yang lebih sia-sia dari berputar-putar seperti tadi. Mereka saat ini berjalan di lorong tanpa ujung!
"Lelah?" Tanya Zeze. Tapi tak ada jawaban dari arah belakangnya.
Zeze berhenti, yang membuat kedua gadis itu juga ikut berhenti. "Meneruskan juga percuma. Lebih baik kita istirahat terlebih dahulu," ujarnya, bersandar kembali ke dinding.
"Ze, apa kau sudah memiliki petunjuk apa sebenarnya ini semua?" Tanya Rhea hati-hati.
Bukannya menjawab, Zeze malah terfokus pada pintu di hadapannya dengan tatapan menerawang. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Baik Rhea dan Luna tidak ada yang dapat memahami. Terutama Rhea, telah lebih dari 5 tahun ia mengenal Zeze, masih sulit baginya untuk menebak pikiran gadis itu. Mencoba menebaknya seperti dipaksa memecahkan soal-soal rumit.
"Kak... apa kau percaya padaku?" Tiba-tiba Zeze bertanya dengan sorot mata serius ke arahnya.
Tentunya Rhea terkejut karena ditanya hal itu. Ia sama sekali tidak dapat memahami ke mana arah pembicaraan ini. Setelah terjadi hening beberapa saat, akhirnya Rhea menjawab mantap tanpa ada sedikit pun keraguan di matanya.
"Hah? Memang aku ini pernah sekalipun meragukan seeker terbaik kita?"
Kata-kata Rhea membingkai senyum di wajah Zeze. Ia memejamkan matanya, dan ketika kembali terbuka, Rhea dan Luna dapat melihat iris birunya berkilat-kilat.
"Kalau begitu, dengarkan ya?" Pintanya dan dijawab anggukan kompak oleh mereka berdua.
Mereka bertiga duduk di lantai yang dilapisi karpet tipis sembari mendengarkan penjelasan-penjelasan Zeze. Walaupun beberapanya sulit dimengerti karena terdapat hukum fisika di dalamnya. Tapi di bagian akhir, Zeze merangkum itu semua menjadi penjelasan yang singkat, padat, dan mudah dipahami.
"...jadi, yang terbalik itu bukan ruangan itu, tapi kita. Kita berada di dalam sebuah dimensi paralel (paralel universe) yang membuat apa pun yang ada di dalamnya berbanding terbalik dengan dunia asli kita. Sebagai contohnya, tadi seharusnya kita berjalan dan menemukan aula dengan mudah, tetapi nyatanya kita malah kembali ke tempat semula.
"Saat tadi aku membuka pintu, hal itu telah membuat dimensi ini berputar kembali dan membentuk sebuah 'keterbalikan' yang lainnya, sehingga lorong ini pun berubah menjadi tanpa ujung," lanjutnya.
"Jadi kau bilang, setiap pintu yang tadi kita buka itu, membuat segala apa pun di dimensi ini juga terus berubah-ubah?" Luna memastikan.
Zeze mengangguk, "mungkin kau tidak menyadarinya, tapi posisi engsel pintu tertukar saat kita membuka pintu yang terakhir."
Pernyataan Zeze barusan sontak membuat kedua gadis itu cepat-cepat melihat ke arah pintu. Mereka kira, lorong ini terlihat berbeda dari sebelumnya adalah karena mereka telah berhasil mencapai tempat yang berbeda pula.
"Masih banyak perubahan-perubahan kecil yang lainnya tapi tidak semua dapat aku sadari." Zeze bergumam sembari mengusap-usap mata pisau rapier di pangkuannya dengan ujung telunjuk. Ia ingat telah membuka lima pintu, maka seharusnya terdapat lima perubahan.
Teori satu ini memang membingungkan dan rancu. Para ilmuan memiliki pendapat yang berbeda. Tetapi, dilihat dari kenyataan yang tengah ia hadapi saat ini, maka seharusnya spekulasinya benar. Dimensi paralel memberikan 'kenyataan' yang berbeda atau bertolak belakang dari dunia asli mereka. Semuanya terbalik. Ini jadi itu dan itu jadi ini.
Dan setiap pintu yang terbuka mungkin hanyalah sebagai 'syarat' atau 'instrumen' yang orang ini gunakan untuk mengubah tatanan tempat ini. Pada dasarnya, pintu-pintu tersebut tidaklah lebih dari sekedar permainan undian. Karena orang ini paham, dalam situasi terjebak seperti ini, orang-orang pasti akan mencari jalan keluar. Dan karena yang terpampang di depan mata mereka adalah pintu, maka mereka pasti akan menggunakan pintu tersebut sebagai 'jalan keluar' itu.
"Bagaimana bisa..." kata-kata Rhea menghilang karena kenyataan ini sulit diterimanya. Orang hebat mana yang bisa...
"Ini terjadi saat pertama kali kita keluar dari ruangan itu. Saat itulah kita memasuki dimensi ini. Alasan mengapa tidak ada yang berubah dari diri kita dan benda yang menempel pada kita adalah karena kita ini makhluk hidup. Mayat itu menghilang bersama dimensi yang sebelumnya karena mereka sudah tak bernyawa," tutur Zeze.
"Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang?" Desis Luna, panik.
"Dan itulah masalahnya. Aku tidak begitu yakin." Zeze terdengar ragu ketika ia mengungkapkannya.
Rhea mengerutkan alisnya. "Apa yang kau katakan Ze? Kau ini strategist kami, kalau kau sendiri saja tidak tahu harus berbuat apa, bagaimana dengan kami," kecamnya.
"Aku tidak sehebat Zarai ataupun Edgar, kak." Ia memang hebat dalam penalaran deduktif, dan ia percaya diri akan kemampuannya itu. Tapi mengenai penyusunan rencana, ia menganggap dirinya sendiri masih tertinggal jauh.
"Tidak ada masalah siapa yang hebat antara kau, Zarai, Edgar, Kai, atau Raja sekalipun. Karena kau yang ada di sini, berarti kau adalah otak kami!"
Kata-kata Rhea membuatnya tertunduk menatap gagang rapier yang dengan anteng tertidur di atas pahanya.
"Kau menyuruh kami untuk percaya padamu, tapi ketika kami melakukannya, kau sendiri yang tidak percaya pada dirimu sendiri. Kalau begini aku merasa dikhianati." Luna tiba-tiba menyambar sehingga Zeze menoleh cepat ke arahnya.
Benar, sebenarnya apa yang ia lakukan? Mengapa ia bisa patah semangat dan tak percaya diri seperti ini? Afrodi memberinya dua posisi itu bukan tanpa alasan. Seharusnya ia tidak boleh menyia-nyiakan kepercayaannya.
Dan Artemis... dia adalah dewi perburuan. Bukan saatnya untuk duduk-duduk santai seperti ini.
Ia harus memburu mangsanya.
Zeze bangkit berdiri dengan pikiran yang baru. Ia menatap sekeliling. Entah apa yang sekarang ada di kepalanya, Rhea dan Luna masih tidak tahu. Tapi pastinya, mereka yakin Zeze tidak akan diam saja seperti tadi.
Rhea dan Luna ikut bangkit, menunggu Zeze mengutarakan pikirannya. Sementara itu di kepalanya, Zeze tengah memutar ulang kejadian demi kejadian. Tidak ada yang terlalu penting. Ini bukan ruang misner karena tadi Rhea mengetuk tembok...
Tunggu dulu, tembok? Dan mata birunya langsung melebar seperti baru saja mendapat pencerahan.
"Kak..." Zeze menyipitkan matanya.
"Jika kau bertanya sekali lagi apa aku percaya padamu, aku akan menjitak kepalamu, Ze," tukas Rhea.
Zeze sampai tertawa dibuatnya, "bukan itu. Aku hanya ingin bilang..." kata-katanya menghilang seraya ia memundurkan beberapa langkahnya dan bersikap seperti hendak menendang dinding itu.
Rhea dan Luna bahkan baru menyadari kalau kaki kirinya telah terbalut oleh api berwarna merah. Ia seperti memakai sepatu yang bisa menyala dalam gelap.
"Jika sesuatu menghalangi jalanmu...," tendangan berputarnya menghancurkan tembok menjadi bongkahan-bongkahan besar. "...buatlah jalanmu sendiri!"
Benar, tidak perlu menggunakan pintu-pintu tidak berguna itu. Buatlah jalanmu sendiri. Percuma memiliki jalan keluar yang terpampang jelas di depan mata tapi tidak bisa digunakan.
Dan terpampanglah sebuah lorong yang mereka yakini adalah yang asli. Di ambang lubang besar, Luna langsung mengamati pintu, warna atap, lantai, lukisan dan foto-foto yang terpajang di dinding. Semuanya telah kembali normal.
Mereka pun melangkah keluar dari dimensi paralel itu dan menuju dunia asli mereka. Setelah kaki mereka menapaki lantai, terjadi guncangan yang membuat Rhea dan Luna harus berpegangan ke dinding.
Zeze merasakan kedua tangannya menjadi hampa. Dan ketika ia melihat tangannya, pedangnya telah menghilang.
Mereka sama-sama melebarkan mata ketika melihat tembok yang berlubang, perlahan-lahan kembali seperti semula. Bongkahan-bongkahan yang tersebar kembali menutup dinding itu seperti reka ulang.
Tapi sebelum dinding itu tertutup seutuhnya, Zeze dapat melihat pasti seseorang berjas hitam yang berdiri di baliknya. Ia tak dapat melihat jelas wajahnya karena bongkahan terakhir telah menutup sempurna dinding itu.
Satu hal yang Zeze tahu. Pelakunya adalah tamu di pesta ini.
"Kita benar-benar kembali?" Luna bertanya hati-hati. Ia melihat sekeliling untuk ke sekian kalinya.
"Kurasa begitu," gumam Zeze. Ia berbalik dan membuka pintu di hadapannya. Syukurlah tak ada lagi hal aneh seperti yang ia lihat sebelumnya. Kursi, meja, lemari, dan seluruh perabotan ada di tempatnya semula.
"Ze, kurasa tadi aku mendengar suara." Rhea memberitahu dengan cemas. "Kurasa dari belokan itu." Matanya tertuju ke belokan yang mengarah ke kanan.
Sorot mata Zeze mengeras. Ia berjalan duluan untuk memeriksa.
"Hati-hati, Ze." Rhea memperingatkan dari belakang namun Zeze malah mendengus geli.
Tapi ketika Zeze mengintip ke belokan lorong, tak ada sama sekali hal janggal yang ia temukan. Semuanya terlihat baik-baik saja. Ia memutuskan untuk maju dan berbelok, mencoba mengecek lebih dekat, dan hasilnya tetap saja nihil.
Saat berbalik dan hendak kembali, tanpa disangka kakinya menginjak sesuatu yang menimbulkan bunyi cipratan. Ketika ia melihat ke bawah, darah merah pekat telah mewarnai telapak kakinya dan terciprat hingga ke mata kaki.
"Jangan diseret." Rhea yang telah berdiri di sampingnya mengingatkan.
"Aku tahu," sahutnya lalu mengeluarkan sapu tangan dan mengelap kakinya.
"Memangnya kenapa?" Tanya Luna, meminta penjelasan.
"Akan menimbulkan sidik jari," jelas Rhea. "Bisa-bisa nanti Zeze dituduh membunuh orang."
"Suruh seseorang untuk membersihkannya nanti."
Luna menjawab perintah Zeze dengan anggukan.
Mundur dan kembali memandangi darah itu, Zeze bertanya, "apa aku harus mengetesnya?"
"Menurutmu?" Rhea malah balik bertanya.
Zeze berpikir sebentar lalu memutuskan. "Tidak, instingku bilang jangan."
"Ze, kau ini mempunyai otak seperti super komputer, tapi kenapa masih saja percaya dengan insting-insting yang tidak pasti itu?" Ujar Rhea, tidak percaya. Dahinya mengernyit dan bibirnya mencebik.
"Yang Mulia!" Seseorang memanggil.
Zeze maju dan menoleh ke kiri, melihat Froura dan Volta yang berlari menghampirinya dengan tergesa-gesa, padahal keduanya sedang memakai high heels.
"Yang Mulia, kau dari mana saja?" Tanya Volta. Nadanya menuntut dan rautnya terlihat cemas. Ia memandang Rhea dan Luna bergantian. Tapi ketika matanya berhenti di wajah Luna, ia menangkap raut kalut di wajahnya yang terlihat pucat, seakan gadis itu bisa pingsan kapan saja.
"Apa yang terjadi?" Tuntutnya lagi. "Kenapa aku tidak dapat menemukan kalian tadi?"
"Kau mungkin tak percaya tapi aku baru saja merasakan menjadi Alice in Wonderland dalam sehari."
"Jangan didengarkan," sambar Rhea. "Penjelasannya nanti saja, kita harus membawa Luna untuk istirahat. Kejadian kali ini mungkin membuatnya syok."
Pesta pun berakhir, karena tak terasa mereka bertiga telah berputar-putar selama lebih dari satu jam. Juni dan Rhea tidak pulang ke kediaman mereka masing-masing. Keduanya telah ijin kepada orang tua mereka untuk menginap di Istana Timur Aplistia yang tentu saja langsung disetujui. Terlebih lagi Esmeralda, wanita itu tak henti-hentinya menciumi Juni dan memujinya dengan raut bangga.
Saat tiba di ruang tamu lantai satu, Zeze menyuruh pelayan membawakan camilan apa saja yang ada di dapur untuk mereka. Sofa hanya muat diisi tujuh orang. Karena itulah Obi, Juni, dan Rhea duduk di karpet, yang dengan senang hati akan mereka lakukan.
Sementara Zeze masih berdiri sembari meneguk air putihnya. Ia telah berganti baju sementara yang lain belum. Karena ternyata ia memakai kaus hitam lengan pendek dan celana selutut di balik gaunnya. Jadi, ia hanya tinggal membukanya saja.
"Ada waktu?" Setelah menghabiskan dua gelas penuh air putih, Zeze bertanya kepada sepuluh orang itu.
Mereka semua menatap Zeze penasaran, kecuali Kion yang malah terpejam dengan tangan terlipat di depan dada.
Zeze meletakan gelas kosongnya ke atas meja di tengah sofa dan mengatakan suatu hal yang membuat orang-orang yang tidak terlibat menegang di tempat. "Ada yang ingin membunuh kami tadi." Bahkan Kion pun bersedia membuka matanya.
"Apakah ini sering terjadi... pada kalian?" Zeze menatap para anak bangsawan itu bergantian, tapi tak ada satu pun yang merespons.
Beberapa detik kemudian, Driko mengangkat tangan, "bagaimana caranya kalian bertiga lolos dari semua itu?"
Zeze dan Driko saling pandang untuk waktu yang lama. Rhea dan Luna pun tidak berniat menginterupsi. Akhirnya, setelah sunyi cukup lama, Zeze menjawab sembari duduk di karpet, "kalau kubilang sebuah keberuntungan, aku yakin kau pasti tidak akan percaya, benar kan? Deka."
Mendengar Zeze memanggil Driko dengan nama tengahnya, mata Luna mengerjap cepat. Jarang sekali ada yang memanggil Driko dengan sebutan itu. Bahkan untuk teman dekatnya sendiri, Kion.
"Aku membunuh mereka semua." Zeze menyaksikan wajah penuh keterkejutan orang-orang yang tidak terlibat saat kejadian itu.
Sementara Kion hanya memandangnya datar, menunggu apa kalimat selanjutnya yang akan terlontar dari bibirnya. Walau sebenarnya Kion sudah tahu cepat atau lambat dia akan mengatakannya.
"Tidak perlu terkejut begitu. Bukankah itu panggilan yang selalu kalian berikan kepada kami?" Zeze tersenyum sinis, "pembunuh." Suaranya melirih tapi penuh penekanan ketika ia melanjutkan.
"Oi... Ze," tegur Obi. Ia menatap tak percaya gadis yang duduk di samping kanannya itu.
Sama halnya dengan Juni dan Rhea. Mata mereka melebar dan saat itu juga mereka berpikir bahwa Zeze ini benar-benar sudah gila. Apa yang akan mereka lakukan saat ini? Membunuh para anak bangsawan itu? Itu pilihan yang paling konyol. Dan tentunya Zeze pasti juga sadar akan hal itu.
"Tidak apa, aku sudah membuat kesepakatan dengan Alpha mereka." Zeze menatap Kion yang juga tengah menatapnya. Tak ada perubahan ekspresi di wajah tenang kedua orang itu.
"Serigala pasti akan mengikuti pemimpin mereka kan?" Lanjut Zeze. Suaranya santai tapi mengandung sarkasme.
Semuanya bergeming. Obi, Juni, dan Rhea tahu bahwa Zeze ini memang tidak pernah mengutarakan rencananya kepada orang lain, tapi kalau begini caranya, Zeze benar-benar sudah kelewatan. Lantas apa gunanya tim? Apa gunanya kerja sama?
"Apa? Sejak kapan kau..." kalimat Juni menghilang karena saking terkejutnya.
"Benarkah... benarkah kalian itu bagian dari mereka?" Pertanyaan ragu-ragu Driko justru mengundang senyuman di bibir Zeze. Dia memanglah putra dari Duke Megaloan. Pikirannya secair air dan daya tangkapnya cepat.
Luna, Volta, Froura, Airo, dan Saga menoleh cepat ke arahnya dengan tampang tak mengerti. Namun sepertinya Driko masih belum pulih dari keterkejutannya sehingga tak menyadari bahwa seluruh perhatian telah tersedot ke arahnya.
Tanpa melepaskan matanya dari Driko, Zeze mengangguk.
"Benar, Énkavma."