32 SILLY

Suara itu muncul dari belakang dan berbisik lirih tepat di telinga kirinya.

Zeze menoleh dan membeku, terkejut mendapati wajah Kion sangat dekat dengan wajahnya. Tanpa bisa mereka berdua mengerti, tak ada satu pun yang sanggup berpaling.

Dua pasang mata yang berbeda warna itu saling mengunci. Mereka saling mengagumi keindahan manik masing-masing. Zeze akui tidak biasanya ia seperti ini, bahkan jika diingat-ingat, ia tidak pernah memperhatikan mata orang sedetail ini, kecuali dengan apa yang ia lakukan terhadap Glen.

Bahkan kini suara-suara obrolan yang gemeresik itu telah lenyap dari telinga mereka berdua. Ruangan mewah penuh orang itu terasa hampa dan kosong. Mereka merasakan seperti berada di dalam sebuah kotak putih yang hanya tersaji mereka berdua di dalamnya, tanpa ada seorang pun pengganggu.

Tak ada seorang pun, sampai akhirnya suara Froura menghancurkan dunia putih mereka.

"Yang Mulia, ruangan istirahat telah siap. Apa Anda ingin ke sana sekarang?" Tanyanya polos.

Sepertinya gadis itu tak bisa menyerap situasi yang terjadi di antara dua insan itu. Bahkan ketika Saga, Juni, dan Obi memberi isyarat dengan gelengan kepala, dengan santainya, ia tetap melanjutkan kalimatnya.

Kion dan Zeze tersentak dan menoleh cepat ke belakang. Froura hanya memberi mereka tatapan datar. Karena tak kunjung ada jawaban, ia mengulang, "Yang Mulia?" Ia melihat Kion dan Zeze bergantian.

Zeze berdeham canggung, "ayo ke sana."

Karena Saga memanggil yang lainnya juga, akhirnya kesebelas orang itu berjalan menuju ruang istirahat. Setelah sampai di lorong penuh pintu, Zeze melepas lengan Kion dari pinggangnya dan berjalan mendahuluinya.

Ia berjalan di samping Juni, yang mana merupakan pilihan terburuknya, karena Juni malah berakhir menggodanya habis-habisan.

Akhirnya Zeze bisa tenang juga setelah sampai di sebuah ruangan berdinding kuning dengan tiga set sofa putih berbentuk huruf U dan dua buah sofa single di masing-masing ujungnya. Sambil sesekali mendesah lelah, Zeze menyandarkan punggungnya ke sofa.

Karena Zeze duduk paling ujung, ia bisa menidurkan kepalanya di atas lengan sofa. Sementara Obi, Juni, dan Rhea lebih nyaman duduk di karpet. Padahal tempat duduk masih lega, mungkin karena telah menjadi sebuah kebiasaan.

Kion duduk di sofa single diikuti Saga yang juga duduk di sofa single satunya. Luna, Volta dan Airo duduk di sofa yang terletak di seberang Zeze. Sementara Froura dan Driko duduk di sofa tengah yang menghadap ke pintu masuk. Singkatnya, sofa itu hanya diisi Zeze seorang. Ia ingin sekali berbaring di sofa itu jika tidak mengingat Luna dan Rhea yang pastinya akan mengomelinya habis-habisan jika ia sampai melakukannya.

Mereka asyik berbincang-bincang tanpa mengajak Zeze, memang karena Obi dan Juni yang melarangnya. Mereka bilang, obrolan akan menjadi tidak nyambung jika Zeze ikut campur.

Zeze pun tidak terlalu peduli karena ia memang jarang bicara, tapi jika sekalinya buka mulut, hal random apa pun akan ia ucapkan.

Zeze memutuskan membungkus matanya sejenak sebelum kembali ke aula utama, karena pestanya masih berlangsung sekitar dua jam lagi. Sayangnya baru berlangsung sekitar 10 menit dirinya terbawa ke alam mimpi, suara pintu yang dibuka kasar sudah mengharuskannya membuka mata.

Mereka semua menoleh ke arah pintu. Dan tampaklah visual sang tokoh utama, menyeringai lebar hingga memamerkan gigi-giginya yang putih. "Hai semuanya!" Sapanya riang.

Semuanya langsung berdiri menyambut, terkecuali Zeze, Kion, dan Obi yang kembali asyik dengan kegiatan mereka sebelumnya. Obi tidak bisa berdiri karena harus melawan musuh-musuh di game sendirian sebab Airo dan Saga melimpahkan semuanya begitu saja kepadanya.

Tanpa memedulikan orang-orang yang tengah membungkuk kepadanya, Silian langsung menyerbu leher Kion dari belakang. "Kiooon!"

Mata Kion langsung terbuka, "Lian," gumamnya, terdengar lelah.

"He-he-he, aku masih ingin mengobrol denganmu." Silian terkekeh manja.

"Mohon maaf Tuan Putri, tapi Pangeran Kion telah bertunangan. Sebaiknya Anda menghentikan hal ini untuk ke depannya," tegur Luna, terlihat tidak suka.

Ketika mendengar suaranya, Zeze langsung membuka mata. Ia agak terkejut karena Luna berani mengatakan hal itu.

Bibir Silian mencebik, kemudian matanya menangkap Zeze. Silian mengangkat dagunya dengan sikap menantang. Namun Zeze sama sekali tidak terlihat peduli. Ia hanya mengambil ponselnya dan mulai membaca buku online.

Silian yang merasa diabaikan tentunya tidak terima. Ia melepaskan pelukannya dari leher Kion dan bertitah dengan angkuh, "kalian semua bisa duduk."

Walau dipenuhi keraguan, orang-orang itu pun duduk. Akhirnya Obi bisa mendesah lega karena Airo dan Saga kembali bergabung dengannya.

"Lama tidak bertemu ya? Rozeale Ankhatia," sapanya, menekankan kata 'Ankhatia' dengan sinis.

Zeze hanya mengangguk-angguk tanpa mengalihkan matanya dari ponsel, yang lagi-lagi membuat gigi-gigi Silian menggertak dengan kesal.

"Aku masih tidak menyangka darah kotor sepertimu akhirnya muncul juga sebagai seorang Ankhatia. Aku penasaran siapa ayahmu? Apakah mungkin seorang narapidana?" Dia menebak asal sambil terkekeh kering.

"Mungkin. Tapi yang kutahu, dia selalu lolos dari penjara." Zeze bergumam santai. Mendengarnya, para anak bangsawan itu terperanjat, tak terkecuali Silian yang sekarang berubah menegang. Ia tidak bisa mengerti apakah ucapan Zeze ini serius atau tidak.

Silian tidak ingin terpengaruh begitu saja. Sudah cukup sewaktu kecil orang ini mempermainkannya. Kali ini ia tidak akan jatuh lagi!

Dengan langkah pasti, Silian berjalan ke belakang sofa yang diduduki Zeze, meletakkan kedua sikunya di atas sandaran sofa dekat kepala Zeze agar kedua telapak tangannya dapat menopang pipinya. Rambut merah panjangnya terjuntai jatuh sampai mengenai pundak kanan Zeze.

"Bagaimana dengan dia? Aku tahu kau masih menyukai anak itu," bisiknya. Ia menjaga suaranya agar hanya dapat didengar oleh Zeze.

Zeze mengangkat wajahnya, menyorot kosong ke depan, tapi telinganya tetap terpusat pada kata-kata yang akan dimuntahkan nenek sihir di belakangnya ini.

"Kalau kau mau, aku bisa membantumu. Aku bisa membuatmu dekat dengannya dan-"

Kata-katanya terputus dan digantikan oleh erangan kesakitan. Bagaimana tidak? Karena rambutnya kini tengah ditarik kuat oleh Zeze!

Zeze menarik rambutnya yang menjuntai tanpa berbalik melihatnya, walaupun sepertinya asyik juga jika bisa melihat wajahnya yang sedang mengerang kesakitan itu.

"Hei, hei! Berhenti... aw! Ini sakit sekali! Roze!" Erangnya sambil berusaha menguraikan jemari Zeze dari rambutnya. Namun percuma, jari-jari itu mencengkeramnya terlalu kuat.

"Putri Silian!" Dua orang wanita berpakaian jas serba hitam menyerbu masuk setelah mendengar jeritan kesakitan Silian.

Mereka membatu ketika melihat Putri yang mereka layani tengah dijambak oleh seorang Ankhatia. Tentu saja mereka ragu-ragu untuk mendekat.

"Y- Yang Mulia, tolong lepaskan," bujuk salah satunya.

Zeze menoleh dan mereka berdua menegang. Mata biru itu begitu dingin, seperti seekor singa yang bersiap menerkam mangsanya.

"Apa yang kalian lakukan! Ayo cepat bantu lepask- aw!"

Silian menatap ngeri rambutnya yang satu persatu rontok dan jatuh melanda lengan baju Zeze.

Sebelum akhirnya, sepasang tangan gentle bersedia menyelamatkannya. Dengan lembut, jemarinya yang panjang membebaskan rambutnya dari cengkeraman Zeze. Bahkan tak perlu memakai usaha lebih seperti yang tadi dilakukannya.

Orang itu tersenyum dan membungkuk sopan, "Yang Mulia, sebaiknya Anda kembali ke pesta debutante Anda. Tidak baik bukan melewatkan pesta kedewasaan Anda sendiri terlalu lama?" Suaranya begitu lembut ketika ia bertanya.

Silian mematung di tempat, masih memegangi kepalanya. Ia terpana oleh senyum dan suara lembut itu. Perlahan, ia mengangguk tanpa mengalihkan matanya dari sepasang manik berwarna hitam itu.

"Nama... siapa namamu?" Tanyanya, mencoba bersikap angkuh.

Senyum orang itu semakin manis ketika menjawab, "nama saya Robian Barier, salam kenal Yang Mulia."

Pipi Silian merona. Ia tertunduk malu, tak ingin laki-laki di hadapannya ini melihat wajahnya yang telah memerah seperti kepiting rebus. Ternyata dia telah tumbuh dengan sangat baik sampai-sampai membuatnya pangling.

Diekori oleh kedua wanita itu, Silian berjalan begitu saja melewati Obi.

Setelah pintu tertutup barulah Zeze tertawa sejadi-jadinya. "Luar biasa! Ya ampun!"

Zeze bertepuk tangan, kebiasaannya ketika sedang tertawa. "Kalian dapat fotonya kan?" Ia bertanya kepada Juni yang langsung mengangguk girang.

"Sialan. Kau keren sekali tadi, Bi," decak Saga, terkagum-kagum. Tentu saja ia terkesan. Jarang sekali ada yang dapat menaklukkan Tuan Putri satu itu kecuali Kion.

"Saga mana bisa seperti itu, ya kan?" Ledek Airo.

"Saga tidak perlu hal macam-macam seperti itu. Dia diam saja, wanita pasti akan langsung nyangkut. Contohnya..." Juni menuding Froura dengan dagunya.

Driko mengangguk, "memangnya Airo yang dari dulu sampai sekarang masih tidak berhasil mendapatkan hati Volta."

"Apa!?" Pekik Volta, tak terima.

"Apa yang kau bicarakan?" Sergah Airo.

Seketika ruangan itu dipenuhi gelak tawa. Tak ada yang dapat menyangkal bahwa suasana menjadi lebih hidup semenjak Zeze, Obi, Juni dan Rhea datang. Mereka bahkan lebih bebas dari sebelumnya yang harus selalu menjaga image.

Setelah istirahat kurang lebih setengah jam, mereka bertolak dari ruangan itu dan kembali ke dalam aula.

"Ketika kalian bilang Asteri, kukira Asteri yang mana. Ternyata Si Silly," gerutu Zeze.

Juni terkikik, "Silly?" (Silly = bodoh)

Zeze mengangkat bahu, "karena dia memang bodoh."

"Kau tidak boleh berbicara seperti itu di depannya." Luna yang berjalan di belakang memperingatkan.

"Memangnya kenapa? Aku sudah terbiasa memanggilnya begitu."

"Kalian saling kenal?" Tanya Airo dari belakangnya.

"Dia selalu mengganggu setiap kali..." ucapan Zeze terhenti ketika menyadari Kion mencuat di samping kanannya. Baru saja ia ingin menuangkan suatu hal yang berhubungan dengan masa kecilnya.

"Tidak ada," gumamnya ketika pintu kembar menuju aula terlihat.

Tamu terlihat lebih ramai daripada sebelumnya. Dan ini merupakan neraka bagi Zeze karena harus melayani mereka lagi. Sepertinya mereka gencar sekali ingin mendapatkan perhatian seorang Ankhatia.

Ia sudah tidak tahan lagi dan akhirnya memilih mengundurkan diri dengan alasan ke toilet. Kion menawarkan diri menemaninya, walaupun sebenarnya ia tahu Zeze ingin kembali ke ruangan tadi.

Zeze menolaknya dan memilih kembali bersama Luna dan Rhea. Sepertinya kedua gadis itu menjadi semakin dekat kali ini, dilihat dari cara mereka yang asyik mengobrol bersebelahan di sofa tanpa memedulikan Zeze yang duduk di hadapan mereka.

Walaupun sebenarnya, Zeze memang tidak terlalu peduli. Ia juga tidak tahu bagaimana caranya berinteraksi dengan perempuan. Temannya kebanyakan adalah laki-laki, karena menurutnya perempuan itu adalah makhluk penuh drama.

Sebuah keajaiban ia bertemu Juni. Gadis itu terlihat cocok dengannya dan dapat mengimbangi cara kerja otaknya. Selain itu, Juni juga berjiwa bebas. Dia tidak pernah menahan apa yang ada di pikirannya yang membuat Zeze nyaman berbicara dengannya.

Jam dinding menunjukkan pukul 11 malam. Tinggal 1 jam lagi dan semua ini akan berakhir. Zeze mendesah lega dan memilih terpejam sampai suara percakapan gadis di hadapannya itu tenggelam.

Mungkin tidur nyenyak selama satu jam adalah ekspektasinya, namun nyatanya tidak sesederhana itu. Ketika sebuah guncangan membuat mereka bertiga tersentak berdiri dari duduk mereka.

Zeze bertukar pandang dengan Rhea. Namun tak ada satu pun yang tahu apa itu tadi.

"Kita keluar?" Usul Luna, cemas.

Zeze menilai pintu kembar itu. Ada yang janggal. Kenapa getarannya hanya sekali? Zeze mulai berasumsi bahwa ini seperti sebuah pancingan agar mereka keluar.

"Ini pancingan," gumam Rhea yang dihadiahi anggukan oleh Zeze. Ini akan semakin mudah karena Rhea memikirkan hal yang sama dengannya.

"Bagaimana?" Tanya Rhea. Memang di saat seperti ini, ia tidak boleh mengambil langkah sendiri. Zeze adalah tempat yang tepat untuknya bertanya.

Zeze merenung dan Rhea menunggu dengan sabar. Karena ia tahu, Zeze tengah menyusun langkah-langkah terbaik di otaknya.

Kemudian, Zeze berkata dengan mantap, "kita keluar."

Rhea tidak membantah dan menggenggam tangan Luna sehingga gadis itu berjengit kaget. "Jangan jauh-jauh dariku," bisiknya. Luna semakin panik, tapi ia memaksakan untuk tetap tenang dengan mengambil napas panjang.

Zeze pun merangkai langkah ke arah pintu sambil merasakan berbagai macam getaran melalu auranya yang merambat ke tanah dan tembok. Namun nihil, tak ada apa pun bahkan sampai ia membuka pintu. Akhirnya Zeze memilih memimpin mereka berjalan mengarungi lorong untuk kembali ke dalam aula.

Anehnya, telah lebih dari 10 menit mereka berlayar, aula tersebut masih tak tercapai. Padahal mereka yakin telah melewati jalan yang benar.

"Sepertinya percuma," gumam Zeze. "Lihat, kita selalu berakhir di tempat yang sama." Ia menyentuh tanda cakaran yang tadi sengaja ia ukir di dinding bercat putih.

"Ilusi?" Tebak Rhea.

Tapi Zeze membayangkan hal lain, "apa mungkin... Ruang Misner?"

"Kenapa kau berpikir ini Ruang Misner? Kita bahkan tidak dapat menembus dinding ini," ujar Rhea seraya mengetukkan punggung tangannya ke dinding.

Rhea juga bingung, orang hebat mana yang mampu membuat Ruang Misner menjadi kekuatannya. Menghubungkan dýnami dengan dimensi ruang dan waktu sangatlah sulit, bahkan hampir mustahil.

Mata Zeze luruh ke lantai, "hanya saja..." kemudian ia menggeleng, "aku rasa kita telah dijebak bahkan saat kita keluar dari pintu. Sudah kuduga, keluar adalah pilihan yang salah."

Mata Luna melebar mendengarnya. "Kalau kau sudah tahu salah, kenapa keluar?"

"Lalu apa yang kau mau? Diam saja seperti orang idiot tanpa melakukan apa-apa? Menunggu seorang pangeran datang menyelamatkan kita?" Cecar Zeze dengan santainya, sehingga membuat Luna melongo tak percaya.

"Sudahlah, itu tidak penting. Yang terjadi biarlah terjadi. Tak ada gunanya mempermasalahkannya sekarang karena itu hanya akan membuang waktu." Rhea menengahi.

"Ngomong-ngomong Lady Luna, kau belajar cara mengendalikan dýnami kan?" Tiba-tiba Zeze bertanya.

Luna ragu ingin menjawab, karena ia telah terbiasa dilindungi oleh pengawal. "Sedikit, saat di kelas tahun kedua." Suaranya lirih ketika menjawab.

Zeze mengangguk-angguk, namun ia bisa menangkap secercah kebohongan di kata-katanya. Entah apa itu tapi ia merasa Luna tidak sepenuhnya jujur. Ada yang ia tutup-tutupi.

"Berarti ketika seseorang berniat menyerangmu, kau bisa merasakannya kan?"

Mata Luna mengerjap, "serangan seperti apa?" Tanyanya, bingung dan kalut.

Tiba-tiba, Zeze mengulurkan tangan kanannya. Luna menatap ragu tangan itu, lalu entah kenapa ia malah meraihnya. Ia sama sekali tidak tahu apa yang dilakukannya, dan apa maksud dari uluran tangan itu. Tapi melihat dan menggenggamnya membuatnya nyaman.

Zeze terkekeh samar, "pilihan yang bagus, Lady."

Tak salah lagi Luna mendengar Zeze mengatakan itu, sebelum Zeze menarik kuat-kuat tangannya sehingga ia kini berdiri di belakangnya.

Sekelebat, ia melihat Zeze menghancurkan kaca pajangan berisi rapier bergagang perak di dinding.

Dan bunyi dentingan pedang yang saling bertemu pun terdengar. Dengan mata kepalanya sendiri, Luna melihat tangan kiri Zeze menahan sabre seseorang yang mengarah cepat ke arah mereka, sementara tangan kanan gadis itu masih bertaut dengan tangannya.

Zeze benar, pilihan yang bagus baginya karena meraih tangan itu. Sepertinya tadi Zeze tengah mengetes instingnya. Jika Luna terlambat sedetik saja, sabre itu pasti telah menebasnya. Mungkin karena inilah Luna merasakan perasaan nyaman saat menggenggam tangan itu.

"Halo, tuan-tuan. Bukankah tidak sopan menyuruh seseorang keluar untuk mainan murahan seperti ini?" Zeze bertanya dengan senyuman licik bak anak kecil.

Tapi bukan itu yang harus dipermasalahkan. Zeze baru saja berkata 'tuan-tuan', berarti ada bahaya lain lagi selain pria berjubah hitam di hadapannya ini.

Zeze melepaskan tangan Luna dan dengan lihai menendang kemaluan orang itu menggunakan bagian heels-nya yang runcing.

Saat orang itu menunduk, mengaduh kesakitan, Zeze menancapkan rapier itu tepat di tengah-tengah kepalanya. Orang itu pun roboh, tengkurap dekat kakinya dengan tubuh tanpa nyawa.

Karena tulang tengkorak terlalu kuat menelan pedangnya, Zeze harus menginjak kepala orang itu sebagai bantuan untuk menariknya.

Sebuah suara napas tercekat mengundang Zeze untuk menengok ke belakang. Dan ia baru tersadar Luna juga menyaksikan kekejiannya barusan.

Zeze berdecak, "Kak Rhea." Ia mengingatkan.

"Aku tahu," gumam Rhea. Ia menarik tangan Luna dan membawa gadis itu menghadapnya.

"Tidak apa-apa. Semuanya akan baik-baik saja." Suara lembutnya begitu menenangkan. Ia menempatkan kedua tangannya di pundak Luna lalu mengusap-usapnya.

"Kita harus percaya pada Zeze. Kau tahu kan kekuatan dari kepercayaan itu sangat besar? Saat kau berpikiran positif dan bergantung pada satu hal, tanpa sadar auramu akan merambat kepada hal tersebut dan memberinya dukungan. Karena itulah berpikiran positif agar hal-hal di sekitarmu juga ikut positif!"

Mata Luna mulai kembali cerah. Ia mengangguk dan mencoba percaya pada Zeze dari lubuk hatinya yang terdalam.

Benar, yang paling utama dalam suatu hubungan adalah kepercayaan. Jika salah satu pihak saja meragukan yang lain, maka dipastikan hubungan itu akan hancur.

"Oke Ladies, dramanya sudah selesai. Saatnya kita lari. Ah, iya, jangan lupa lepas sepatunya oke?" Ujar Zeze.

Mereka pun mencampakkan sepatu mereka begitu saja dan berlari dengan Luna dan Rhea yang memimpin di depan, sementara Zeze mengawasi dari belakang.

Luna melebarkan matanya ketika ia melihat 5 orang berpakaian serba hitam menghadang di depan jalan. Ia hendak berhenti dan berbalik, jika saja Rhea tidak mempererat genggaman tangannya.

"Jangan berhenti, percaya!" Tekan Rhea. Luna pun mengangguk dan terus berlari.

Lewat ekor matanya, Luna melihat Zeze melompat ke dinding samping sebagai batu loncatan untuk mendahului mereka berdua dan mendarat tepat di depannya.

Sangat cepat, bahkan mata Luna sendiri pun tak sanggup mengekori apa yang selanjutnya terjadi. Namun sebenarnya, yang dilakukan Zeze hanyalah memotong-motong mereka dengan sabre dan rapier di masing-masing tangannya.

Salah satu bagian tubuh mereka—yang Luna yakini adalah tangan—terbang ke arahnya. Luna sudah ingin menjerit saat sebuah bayangan hitam lompat ke atas dan mengambil tangan itu.

Setelah bayangan itu mendarat, barulah Luna menyadari bahwa itu adalah Zeze. "Maaf, aku tidak sengaja," ucapnya sambil melambai-lambaikan potongan tangan itu.

"Zeze!" Tegur Rhea.

"Ah, iya." Zeze melirik Luna yang wajahnya telah memutih. "Maaf." Ia menjatuhkan potongan tangan itu dan berbalik, berjalan memimpin di depan.

Sekarang, Luna dan Rhea dapat melihat dengan jelas darah dan juga potongan tubuh yang menanti di depan mereka. Namun Zeze melewati itu semua dengan santainya. Bahkan karena tidak ingin melangkah lebar, kakinya pun menginjak mereka.

Luna menahan napas dan memejamkan matanya saat ia melewati mimpi buruk itu. Dapat ia rasakan suara gemercik air yang tak lain adalah darah yang sekarang sedang ia injak.

Jika tidak ada tangan Rhea yang menggenggamnya dan memberinya kekuatan, Luna pasti akan roboh. Ia selalu mengulang-ulang perkataan Rhea di kepalanya. Percaya. Benar, percaya kepada seseorang yang sempat diragukannya.

Ia meragukannya banyak hal, termasuk menjadi pendamping orang yang selama ini dicintainya. Namun kali ini, tidak ada lagi keraguan di hatinya.

Luna akan percaya sepenuhnya kepada dia. Luna sudah memutuskan untuk terus berada di sampingnya dan terus membantunya, seperti yang sekarang ini tengah dia lakukan kepadanya.

Dan kini, ia akan menyerahkan semuanya kepada gadis itu. Ia akan mempercayakan orang yang selama ini dicintainya kepadanya.
RECENTLY UPDATES