31 DEBUTANTE
Tanpa terasa telah seminggu waktu berlayar. Tahun 2135 Masehi pun telah lama berganti. Tak ada yang spesial bagi Zeze selama seminggu ini, kecuali perubahan orang-orang di sekitarnya.
Contohnya para gadis, Juni, Volta, dan Luna. Tanpa Zeze sadari, mereka telah menjadi sangat dekat. Bahkan mereka bertiga sering berbelanja di mal tanpa sepengetahuannya.
Namun nyatanya, Luna masih agak sulit mengubah sikapnya terhadap Zeze. Tapi ada suatu kemajuan, ia mau berbicara dengannya, walau kebanyakan adalah teguran. Seperti menegur cara makan dan cara bicara Zeze. Ini lebih baik dari diam.
Dan untuk yang lainnya, contohnya Rhea dan Driko, entah sejak kapan mereka jadi sering mengobrol membicarakan masalah hukum dan filsafat. Bahkan saat makan siang, keduanya tetap asyik dengan dunia mereka sendiri.
Untuk Obi, tidak butuh waktu lama baginya mengakrabkan diri dengan mereka. Karena karakter Obi itu memang ramah, bersahabat, dan supel. Ia bahkan sering hang out bersama dengan Kion, Airo, Saga, dan Driko.
Dan tanpa Zeze duga, ternyata laki-laki itu telah lama saling kenal dengan Froura. Zeze baru tahu kalau gadis itu ditunjuk secara pribadi oleh Raja terakhir mereka, Gen Naios Zesto untuk menjadi salah satu dari pengawal Kion. Tapi, bukankah akhir-akhir ini Froura sering mengikuti Zeze? Hal ini mau tak mau membuatnya curiga.
"Ze, coba pakai yang ini!" Juni menyodorkan lipstik berwarna pink tua ke arah bibir Zeze.
Tentu saja Zeze akan menghindar sejauh apa pun itu. Ia bangun dari kursinya dan dengan tergesa-gesa berlari menuju pintu.
"Kalau kau terus seperti itu, aku tidak akan ikut!" Ancamnya, ngeri.
Juni tertawa terbahak-bahak melihat wajah kalutnya. Oke, mungkin bercandanya sudah keterlaluan kali ini.
"Jangan," Rhea memperingatkan, meliput kekejaman Juni lewat cermin meja rias. "Ini sudah sebuah keajaiban dia mau ikut ke pesta debutante putri ketiga keluarga Asteri itu."
Juni mengangguk-angguk walau masih dengan membendung senyum yang pada akhirnya bocor menjadi tawa. Ia pun duduk di sebelah kanan Luna yang sedang memakai foundation.
Pintu terbuka, memuntahkan Volta yang membawa bingkisan camilan. Ia agak terkesiap ketika melihat Zeze yang bersandar di dinding samping pintu dengan ekspresi aneh seperti baru saja melihat hantu.
"Yang Mulia, kau sedang apa?" Tanyanya, bingung. Walaupun gadis itu masih tetap memanggilnya dengan sebutan Yang Mulia, tapi cara bicaranya sudah agak lebih santai dan tidak kaku seperti dulu. Mungkin dikarenakan buah didikan keluarga Duke Gahernam yang sangat menghargai para keturunan kerajaan.
Menggeleng, Zeze menyuruh Volta jalan duluan dengan lirikan matanya. Awalnya bingung, tapi akhirnya Volta menuruti kemauannya. Dan saat Volta sudah memimpin di depan, barulah Zeze mengekor di belakangnya.
Volta duduk di samping Juni, sementara Zeze duduk di bangku paling ujung sebelah kanan, menghindari Juni.
Setelah acara dandan selesai, saatnya memakai gaun. Juni seperti biasa dengan warna kesukaannya, gaun merah tanpa kerah yang memamerkan lekuk lehernya yang indah. Untuk Rhea, dia memang tak pandai memilih warna, jadi yang dikenakannya hanya gaun putih dengan beberapa hiasan permata bening. Volta memakai gaun ungu berkerah U, sementara Luna gaun pink tanpa kerah dengan kalung mutiara yang melingkari lehernya. Sedangkan Zeze, gadis itu tidak mengenakan gaun ketat seperti yang lainnya kenakan.
Zeze lebih memilih gaun hitam gothic ala Victoria yang bawahannya agak mengembang dari pinggang sampai ke lutut. Ia hanya nyaman jika memakai gaun dengan gaya seperti ini, karena memang sejak kecil, ia selalu disuruh memakai ini oleh ibunya. Di atas kepalanya terpajang bandana renda berwarna senada dengan gaun, sangat kontras dengan rambutnya yang cerah.
Penampilannya kali ini membuatnya terlihat seperti boneka hidup. Harus mereka akui, bahkan tanpa make up sekalipun, Zeze memang sangat atraktif. Tanpa harus memamerkan lekuk tubuh pun, ia terlihat sangat cantik dan menarik. Ditambah lagi dengan pakaian era Ratu Victoria di Inggris seperti ini. Aura kebangsawanannya makin terasa.
Dan inilah waktunya menunjukkan penampilan mereka kepada para laki-laki yang pastinya sudah siap sejak tadi. Mereka pun berjalan keluar menuju ruang tamu lantai dua. Froura tidak ikut dengan mereka karena telah lebih dulu berada di mobil.
Di ruang tamu, Obi dan Kion sedang bermain catur, Saga dan Airo tengah bermain game mobile, dan Driko tengah memainkan gitar. Mereka telah siap dengan tuxedo kebanggaan masing-masing.
Saat mereka mencapai anak tangga terakhir, para laki-laki menghentikan kegiatan mereka, yang mana merupakan pilihan yang bagus, karena sayang sekali jika harus melewatkan para bidadari yang telah terpampang jelas di depan mata seperti ini.
Obi bersiul, "aku baru tahu ada bidadari tanpa sayap." Bibirnya melahirkan seringai ketika ia mengatakannya. Ia berdiri dan mengambil kamera berbentuk kotak yang sejak tadi terselip di sudut sofa.
"Wow, Ze! Apakah benar kau ini manusia?" Ujarnya sok terperangah dengan gaya dramatis.
Namun Zeze terlihat tidak senang dengan pujiannya, "aku tidak akan termakan omonganmu." Ia membalas sinis.
Obi nyengir, "ayolah, Ze sekali saja," bujuknya sambil mengarahkan lensa kamera itu ke depan matanya.
Zeze berdecak, tapi pada akhirnya menyetujui. Ia tersenyum manis ke arah kamera sehingga membuat Obi tersenyum puas.
Tapi sesaat sebelum tombol tangkap ditekan, Zeze mengangkat jari tengahnya. Dan tertangkaplah Zeze yang tersenyum manis sambil mengacungkan jari tengahnya ke arah kamera.
Melihat hasilnya, Obi berdecak lalu menghapus foto itu. "Ayolah, sekali saja?" Bujuknya, yang lagi-lagi dibalas Zeze dengan jari tengah.
"Hei, apa yang kau lakukan!?" Pekik Luna. Ia sama sekali tidak mampu mempercayai matanya yang melihat seorang keturunan kerajaan melakukan hal semacam itu.
Zeze melirik Luna sekilas lalu mengulum senyum dan mengucapkan, "maaf," yang pastinya tidak sedikit pun mengandung penyesalan.
Beralih ke Obi, Zeze berkata, "kalau kau tidak mengirimkan foto-fotoku kepada Arigel, aku mungkin mau jika kau foto."
"Ini kan bisnis, Ze!" Bantah Obi.
"Ck, bisnis apanya? Menjual temanmu sendiri untuk kopi?" Rutuk Zeze. Sementara Juni dan Rhea yang mendengarnya tertawa.
Obi menyeringai kemudian merajuk, "ayolah Ze, terima saja Ari. Dia sudah menyukaimu lebih dari 5 tahun. Coba kau sebutkan, apa yang kurang darinya? Tidak ada!"
"Diamlah, kau tidak lihat aku sudah ada yang memiliki," sergahnya sambil mengacungkan jari manisnya yang telah dilingkari oleh cincin putih.
"Itu kan untuk masa depan. Masih ada banyak waktu lagi untuk itu. Sekarang tolonglah aku agar bisa mendapatkan kopi-kopi langka itu. Setelahnya kau bebas mencampakkan Ari. Master juga tidak masalah kan?"
"Tentu saja masalah!" Tukas Zeze sambil melirik Kion yang ternyata sedang memejamkan mata di sofa. Ia berdecak sebal melihat itu. Tidak bisakah pangeran tidur itu membantunya? Mana kesepakatannya?
Zeze berbalik dan menuruni tangga, "ayo semuanya, aku ingin bermain bersama Saga malam ini."
"Kau tidak mengajakku?" Seru Airo dari jauh.
"Gear-mu kan rusak?" Saga menjawab dengan entengnya sehingga membuat Airo yang mendengar itu mendelik kesal.
Mereka pun tiba di kediaman salah satu keluarga keturunan kerajaan, Keluarga Asteri, di Istana Barat Aplistia. Seperti biasa, bahkan saat turun dari mobil pun, Kion langsung melingkarkan lengannya di pinggang Zeze. Mereka berjalan menuju pintu kembar berwarna emas yang langsung dibukakan oleh pelayan di kanan dan kiri pintu.
Hal serba berkilau langsung menyerbu mata Zeze. Nuansanya serba emas, bahkan karpet yang mereka injak ini juga berwarna emas. Di langit-langitnya yang menyudut seperti kubah tergantung hiasan berkilau yang Zeze yakini adalah berlian yang saling disambung.
Saat mereka berdua melangkah masuk, para bangsawan dan pengusaha serentak menghentikan obrolan mereka dan langsung membungkukkan badan, menyambut kedua orang ini.
Zeze tak menunjukkan banyak perubahan ekspresi di wajahnya. Karena waktu kecil, ia memang telah terbiasa mendapatkan perlakuan seperti ini, walau dalam konteks berbeda.
Di dalam, mereka berdua melayani para bangsawan yang silih berganti berdatangan, meskipun kebanyakan Kion yang berbicara. Laki-laki itu beralasan bahwa Zeze sedang seriawan, jadi tidak bisa banyak omong.
Zeze mendengus. 'Alasan yang bagus,' batinnya. Namun merasa bersyukur juga.
Mata birunya menyisir ke segala arah dan terperangkap pada sepasang mata hitam sampai membuatnya tak sanggup berpaling.
Entah mengapa ia merasa mata itu seperti selalu terkunci padanya. Mungkin karena itulah ketika mengedarkan pandangan, ia bisa langsung menangkap mata itu dengan mudah.
Pemilik mata hitam itu menjeratnya dengan tatapan penuh rasa haus yang tak dapat Zeze mengerti. Zeze menelengkan kepalanya untuk menyentak agar dia berhenti menatapnya. Namun tak berhasil, mata laki-laki itu tetap menyelam ke arahnya. Ternyata benar, orang ini sejak tadi memperhatikannya.
Tanpa aba-aba, laki-laki itu berjalan mendekat. Otomatis Zeze menegang di tempat sehingga Kion yang sedang mengobrol terpancing ke arahnya.
Kion melihat Zeze memandang ke satu titik dengan wajah terkejut. Mengikuti arah pandangnya, Kion melihat Tuan Muda Aiden Laktisma sedang memperpendek jarak ke arah mereka berdua.
Aiden berhenti dua langkah dari mereka. Matanya masih tak dapat berpaling dari sepasang iris berwarna biru yang menatapnya penuh keterkejutan itu. Bahkan saat membungkuk salam kepada Kion pun matanya masih tak kunjung lepas darinya.
"Yang Mulia, lama tidak bertemu," sapanya datar.
Kion mengangguk, "selamat malam Tuan Muda Laktisma." Kion menatap kedua orang yang tengah saling pandang itu secara bergantian. Ia mencerna sebentar dan akhirnya mengerti apa yang sanggup membuat Zeze mengeluarkan raut wajah seperti itu.
"Apakah Tuan Muda Laktisma mempunyai urusan dengan tunanganku?"
Pertanyaan itu sukses membuat Aiden memutus kontak matanya. Ia menatap Kion datar, sama halnya dengan Kion. Tanpa sepatah kata, kedua orang itu hanya beradu pandang dalam diam.
Zeze yang merasa tak enak karena dilihat banyak orang pun menengahi adu mata itu. "Mungkin dia hanya ingin berkenalan denganku," ujarnya, tersenyum setengah hati.
Kion menoleh ke arahnya tanpa membawa ekspresi apa pun di wajahnya. Tentunya Zeze tahu dia tidak percaya.
"Saya hanya ingin mengucapkan selamat, karena waktu itu saya sedang ada urusan jadi tidak sempat menghampiri Yang Mulia." Ucapan tiba-tiba Aiden mengundang Kion untuk kembali melihatnya.
Kion dapat menebak orang ini kurang tidur, terbukti dari lingkaran keunguan di bawah matanya.
"Selamat atas pertunangan Yang Mulia," ucapnya. Dengan perlahan, matanya bergeser ke arah Zeze, "Yang Mulia beruntung sekali..." suaranya berubah parau ketika mengatakan kalimat selanjutnya, "mempunyai tunangan yang cantik seperti Tuan Putri."
Kata-katanya sukses membuat Zeze terpana. Ia tak dapat membebaskan matanya dari wajah Aiden yang entah mengapa terlihat berbeda. Raut wajahnya tidak setegas dan sesombong dulu.
Mungkin jika lengan Kion tidak mempererat pinggangnya, Zeze tidak akan ada henti-hentinya memandangi wajah Aiden.
"Benarkah? Terima kasih." Kion membalas datar. Suaranya seolah menyuruh Aiden untuk mengakhiri semua ini.
Aiden pun tidak bodoh, ia mengerti maksud dari nada bicaranya itu. Akhirnya ia membungkuk pamit dan berbalik pergi. Namun sesaat, Zeze melihat pergerakan di bibirnya yang seperti mengucapkan kata 'maaf'. Tapi tidak terlalu yakin, karena ia memang kurang ahli dalam membaca gerak bibir.
Ada baiknya bagi Zeze untuk tidak terlalu memikirkan orang itu, karena saat ini adalah gilirannya dan Kion untuk menyapa sang pemeran utama dalam pesta ini. Zeze menengok ke belakang dan tidak menemukan Obi serta yang lainnya. Ia yakin Obi pasti tengah mencicipi berbagai hidangan, dan hal itu membuatnya iri.
Hanya ada Froura dan Saga di belakangnya. Zeze tahu dari Volta bahwa kedua orang pendiam itu adalah sepasang kekasih, dan bahkan akan bertunangan dalam waktu dekat ini.
Zeze dibawa melewati kerumunan yang akan langsung menyingkir ketika melihat ia dan Kion lewat. Dari jauh, ia sudah dapat melihat siapa sang tokoh utama. Tanpa aba-aba, ia menyendat langkahnya sehingga membuat Kion ikut berhenti.
Kion menoleh heran, "ada apa?"
"Benar, hidupku tidak akan berjalan tenang lagi setelah ini." Zeze mendesah lelah dengan wajah ditekuk. Ekspresinya itu mengundang senyum di wajah Kion.
"Hidupku juga."
Zeze bersumpah ia mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Kion. Tapi ketika menoleh, orang itu masih saja memasang wajah datar dan tenangnya seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
Mereka akhirnya sampai di hadapan sang tokoh utama, seorang gadis berambut lurus dengan warna merah kecokelatan dan poni yang menutupi dahinya. Warna matanya sama seperti mata Kion dan Aleco. Dari raut wajahnya, setiap orang yang melihatnya pasti sudah dapat menduga bagaimana sifatnya: angkuh, manja, dan kekanak-kanakan. Dia mengenakan one-shoulder dress berwarna coklat muda transparan yang membalut lekuk tubuhnya dengan baik.
Ketika melihat Kion, dia langsung menyerbu tanpa memedulikan Zeze yang terpajang di sebelahnya.
"Kiooon!" Sambutnya. Ia memeluknya erat tanpa memedulikan banyak mata yang memandang.
Kion sampai harus melepas lengannya dari pinggang Zeze dan sedikit mendorongnya menjauh agar Zeze tidak tertabrak gadis itu.
Kion terus berusaha melepaskan diri. Namun sepertinya gadis ini tidak ingin menyerah. Zeze pun terlihat enggan menolongnya dan hanya memperhatikan kesulitannya itu dengan ekspresi datar. Mungkin ia ingin balas dendam karena tadi Kion tidak membelanya di hadapan Obi.
"Silian! Apa yang kau lakukan? Jaga sikapmu!" Akhirnya sebuah suara tegas dari ibunya, Putri Eirene Ve Zilevo menolong Kion keluar dari ketidaknyamanan ini.
Silian melepaskan pelukannya dengan bibir cemberut. Padahal sudah cukup lama dia tidak bertemu Kion karena harus ikut bersama kakaknya selama lima bulan di Amerika.
Kion tertawa hambar, "selamat ulang tahun yang ke-16, Lian." Ucapannya mengembalikan senyum riang Silian.
Mereka terus berbincang sampai-sampai Kion sendiri pun tidak menyadari Zeze telah hilang dari sisinya. Zeze berjalan mendekati seseorang yang tengah membelakanginya. Orang itu terlihat sangat lahap menyantap berbagai hidangan di atas meja.
"Enak sekali ya," cibirnya.
Orang itu—yang tak lain adalah Obi—menoleh dengan cengiran di wajahnya. "Kenapa sendirian? Dimana Master?"
Zeze mencomot kue terdekat dan melahapnya. "Sedang reuni," jawabnya, terkesan tidak peduli.
"Putri Roze!" Suara Juni yang tiba-tiba terdengar, membawa kepala Zeze menoleh ke kiri.
Gadis bermata dingin itu menghampiri Zeze bersama seorang wanita cantik berambut hitam yang sepintas mirip dengannya. Namun raut Juni tidak terlihat senang, berbeda dengan wanita itu yang justru berbinar-binar ketika melihat Zeze.
Ketika sampai di hadapannya, Juni dan wanita itu membungkuk. Zeze mengerjap bingung, 'ada apa ini?'
"Perkenalkan, ini ibuku, Esmeralda Mavros," kata Juni tak acuh.
Esmeralda Mavros tersenyum semakin lebar, "selamat malam, Yang Mulia," sapanya.
Zeze mengangguk canggung. Ia tidak tahu harus berbuat apa di hadapan ibu dari temannya.
"Ini pertama kalinya saya bertatap muka langsung dengan Yang Mulia. Kalau dilihat-lihat lagi, memang benar Yang Mulia terlihat mirip dengan Putri Vourtsa. Hanya berbeda di warna mata dan rambut."
Zeze hanya tertawa canggung sembari melirik Juni yang terlihat tidak nyaman seolah ingin cepat-cepat pergi.
"Saya tidak pernah menyangka Junigra bisa berteman dengan Yang Mulia. Semoga kalian berdua bisa terus akrab ke depannya." Esmeralda tersenyum senang.
"Junigra tidak pernah merepotkan Yang Mulia, kan?" Tanyanya, kini sedikit lebih lirih dari ucapan sebelumnya. Sepertinya tadi ia sengaja memperkeras suaranya agar para nyonya bangsawan lain iri.
Zeze mengerjap dan tersenyum, "ah, tidak. Juni sangat baik dan..." ia melirik Juni dan melihat gadis itu tengah menahan tawa.
Zeze mengeluh dalam hati. Kalau tahu begini, harusnya tadi ia tidak memujinya. Zeze berdeham dan melanjutkan, "...dan lucu."
Terpana mendengarnya, Esmeralda meletakkan kedua tangannya di pundak Zeze seolah mereka telah lama akrab satu sama lain. Dan hal itu tentu saja tak luput dari perhatian orang-orang di sekitar mereka.
"Saya senang sekali mendengarnya. Lain kali, maukah Yang Mulia berkunjung ke kediaman Earl Mavros? Saya akan menyiapkan hidangan yang Anda sukai. Junigra bilang, Yang Mulia suka sesuatu yang pedas dan manis ya? Saya akan membuatkannya." Esmeralda mengucapkannya dengan antusiasme berlebihan.
Sementara Zeze hanya membalasnya dengan anggukan kepala sambil sesekali tertawa canggung. Setelah Esmeralda pergi, akhirnya Juni dan Zeze dapat kembali ke sikap normal mereka.
"Apa itu tadi?" Tanya Zeze.
"Ibuku, dia sangat senang seperti orang kerasukan saat aku bilang kalau aku kemari bersamamu," jawab Juni dengan nada jijik," dasar penjilat." Bibirnya mencebik tak suka.
Zeze hanya menatapnya datar. Ia dapat mengerti bagaimana perasaan Juni dikelilingi oleh keluarga penuh kepalsuan seperti itu.
Zeze merenung lalu berjengit ketika lengan seseorang merenggut pinggangnya tanpa aba-aba.
"Bukankah tidak sopan meninggalkan tunanganmu bersama perempuan lain?"
Contohnya para gadis, Juni, Volta, dan Luna. Tanpa Zeze sadari, mereka telah menjadi sangat dekat. Bahkan mereka bertiga sering berbelanja di mal tanpa sepengetahuannya.
Namun nyatanya, Luna masih agak sulit mengubah sikapnya terhadap Zeze. Tapi ada suatu kemajuan, ia mau berbicara dengannya, walau kebanyakan adalah teguran. Seperti menegur cara makan dan cara bicara Zeze. Ini lebih baik dari diam.
Dan untuk yang lainnya, contohnya Rhea dan Driko, entah sejak kapan mereka jadi sering mengobrol membicarakan masalah hukum dan filsafat. Bahkan saat makan siang, keduanya tetap asyik dengan dunia mereka sendiri.
Untuk Obi, tidak butuh waktu lama baginya mengakrabkan diri dengan mereka. Karena karakter Obi itu memang ramah, bersahabat, dan supel. Ia bahkan sering hang out bersama dengan Kion, Airo, Saga, dan Driko.
Dan tanpa Zeze duga, ternyata laki-laki itu telah lama saling kenal dengan Froura. Zeze baru tahu kalau gadis itu ditunjuk secara pribadi oleh Raja terakhir mereka, Gen Naios Zesto untuk menjadi salah satu dari pengawal Kion. Tapi, bukankah akhir-akhir ini Froura sering mengikuti Zeze? Hal ini mau tak mau membuatnya curiga.
"Ze, coba pakai yang ini!" Juni menyodorkan lipstik berwarna pink tua ke arah bibir Zeze.
Tentu saja Zeze akan menghindar sejauh apa pun itu. Ia bangun dari kursinya dan dengan tergesa-gesa berlari menuju pintu.
"Kalau kau terus seperti itu, aku tidak akan ikut!" Ancamnya, ngeri.
Juni tertawa terbahak-bahak melihat wajah kalutnya. Oke, mungkin bercandanya sudah keterlaluan kali ini.
"Jangan," Rhea memperingatkan, meliput kekejaman Juni lewat cermin meja rias. "Ini sudah sebuah keajaiban dia mau ikut ke pesta debutante putri ketiga keluarga Asteri itu."
Juni mengangguk-angguk walau masih dengan membendung senyum yang pada akhirnya bocor menjadi tawa. Ia pun duduk di sebelah kanan Luna yang sedang memakai foundation.
Pintu terbuka, memuntahkan Volta yang membawa bingkisan camilan. Ia agak terkesiap ketika melihat Zeze yang bersandar di dinding samping pintu dengan ekspresi aneh seperti baru saja melihat hantu.
"Yang Mulia, kau sedang apa?" Tanyanya, bingung. Walaupun gadis itu masih tetap memanggilnya dengan sebutan Yang Mulia, tapi cara bicaranya sudah agak lebih santai dan tidak kaku seperti dulu. Mungkin dikarenakan buah didikan keluarga Duke Gahernam yang sangat menghargai para keturunan kerajaan.
Menggeleng, Zeze menyuruh Volta jalan duluan dengan lirikan matanya. Awalnya bingung, tapi akhirnya Volta menuruti kemauannya. Dan saat Volta sudah memimpin di depan, barulah Zeze mengekor di belakangnya.
Volta duduk di samping Juni, sementara Zeze duduk di bangku paling ujung sebelah kanan, menghindari Juni.
Setelah acara dandan selesai, saatnya memakai gaun. Juni seperti biasa dengan warna kesukaannya, gaun merah tanpa kerah yang memamerkan lekuk lehernya yang indah. Untuk Rhea, dia memang tak pandai memilih warna, jadi yang dikenakannya hanya gaun putih dengan beberapa hiasan permata bening. Volta memakai gaun ungu berkerah U, sementara Luna gaun pink tanpa kerah dengan kalung mutiara yang melingkari lehernya. Sedangkan Zeze, gadis itu tidak mengenakan gaun ketat seperti yang lainnya kenakan.
Zeze lebih memilih gaun hitam gothic ala Victoria yang bawahannya agak mengembang dari pinggang sampai ke lutut. Ia hanya nyaman jika memakai gaun dengan gaya seperti ini, karena memang sejak kecil, ia selalu disuruh memakai ini oleh ibunya. Di atas kepalanya terpajang bandana renda berwarna senada dengan gaun, sangat kontras dengan rambutnya yang cerah.
Penampilannya kali ini membuatnya terlihat seperti boneka hidup. Harus mereka akui, bahkan tanpa make up sekalipun, Zeze memang sangat atraktif. Tanpa harus memamerkan lekuk tubuh pun, ia terlihat sangat cantik dan menarik. Ditambah lagi dengan pakaian era Ratu Victoria di Inggris seperti ini. Aura kebangsawanannya makin terasa.
Dan inilah waktunya menunjukkan penampilan mereka kepada para laki-laki yang pastinya sudah siap sejak tadi. Mereka pun berjalan keluar menuju ruang tamu lantai dua. Froura tidak ikut dengan mereka karena telah lebih dulu berada di mobil.
Di ruang tamu, Obi dan Kion sedang bermain catur, Saga dan Airo tengah bermain game mobile, dan Driko tengah memainkan gitar. Mereka telah siap dengan tuxedo kebanggaan masing-masing.
Saat mereka mencapai anak tangga terakhir, para laki-laki menghentikan kegiatan mereka, yang mana merupakan pilihan yang bagus, karena sayang sekali jika harus melewatkan para bidadari yang telah terpampang jelas di depan mata seperti ini.
Obi bersiul, "aku baru tahu ada bidadari tanpa sayap." Bibirnya melahirkan seringai ketika ia mengatakannya. Ia berdiri dan mengambil kamera berbentuk kotak yang sejak tadi terselip di sudut sofa.
"Wow, Ze! Apakah benar kau ini manusia?" Ujarnya sok terperangah dengan gaya dramatis.
Namun Zeze terlihat tidak senang dengan pujiannya, "aku tidak akan termakan omonganmu." Ia membalas sinis.
Obi nyengir, "ayolah, Ze sekali saja," bujuknya sambil mengarahkan lensa kamera itu ke depan matanya.
Zeze berdecak, tapi pada akhirnya menyetujui. Ia tersenyum manis ke arah kamera sehingga membuat Obi tersenyum puas.
Tapi sesaat sebelum tombol tangkap ditekan, Zeze mengangkat jari tengahnya. Dan tertangkaplah Zeze yang tersenyum manis sambil mengacungkan jari tengahnya ke arah kamera.
Melihat hasilnya, Obi berdecak lalu menghapus foto itu. "Ayolah, sekali saja?" Bujuknya, yang lagi-lagi dibalas Zeze dengan jari tengah.
"Hei, apa yang kau lakukan!?" Pekik Luna. Ia sama sekali tidak mampu mempercayai matanya yang melihat seorang keturunan kerajaan melakukan hal semacam itu.
Zeze melirik Luna sekilas lalu mengulum senyum dan mengucapkan, "maaf," yang pastinya tidak sedikit pun mengandung penyesalan.
Beralih ke Obi, Zeze berkata, "kalau kau tidak mengirimkan foto-fotoku kepada Arigel, aku mungkin mau jika kau foto."
"Ini kan bisnis, Ze!" Bantah Obi.
"Ck, bisnis apanya? Menjual temanmu sendiri untuk kopi?" Rutuk Zeze. Sementara Juni dan Rhea yang mendengarnya tertawa.
Obi menyeringai kemudian merajuk, "ayolah Ze, terima saja Ari. Dia sudah menyukaimu lebih dari 5 tahun. Coba kau sebutkan, apa yang kurang darinya? Tidak ada!"
"Diamlah, kau tidak lihat aku sudah ada yang memiliki," sergahnya sambil mengacungkan jari manisnya yang telah dilingkari oleh cincin putih.
"Itu kan untuk masa depan. Masih ada banyak waktu lagi untuk itu. Sekarang tolonglah aku agar bisa mendapatkan kopi-kopi langka itu. Setelahnya kau bebas mencampakkan Ari. Master juga tidak masalah kan?"
"Tentu saja masalah!" Tukas Zeze sambil melirik Kion yang ternyata sedang memejamkan mata di sofa. Ia berdecak sebal melihat itu. Tidak bisakah pangeran tidur itu membantunya? Mana kesepakatannya?
Zeze berbalik dan menuruni tangga, "ayo semuanya, aku ingin bermain bersama Saga malam ini."
"Kau tidak mengajakku?" Seru Airo dari jauh.
"Gear-mu kan rusak?" Saga menjawab dengan entengnya sehingga membuat Airo yang mendengar itu mendelik kesal.
Mereka pun tiba di kediaman salah satu keluarga keturunan kerajaan, Keluarga Asteri, di Istana Barat Aplistia. Seperti biasa, bahkan saat turun dari mobil pun, Kion langsung melingkarkan lengannya di pinggang Zeze. Mereka berjalan menuju pintu kembar berwarna emas yang langsung dibukakan oleh pelayan di kanan dan kiri pintu.
Hal serba berkilau langsung menyerbu mata Zeze. Nuansanya serba emas, bahkan karpet yang mereka injak ini juga berwarna emas. Di langit-langitnya yang menyudut seperti kubah tergantung hiasan berkilau yang Zeze yakini adalah berlian yang saling disambung.
Saat mereka berdua melangkah masuk, para bangsawan dan pengusaha serentak menghentikan obrolan mereka dan langsung membungkukkan badan, menyambut kedua orang ini.
Zeze tak menunjukkan banyak perubahan ekspresi di wajahnya. Karena waktu kecil, ia memang telah terbiasa mendapatkan perlakuan seperti ini, walau dalam konteks berbeda.
Di dalam, mereka berdua melayani para bangsawan yang silih berganti berdatangan, meskipun kebanyakan Kion yang berbicara. Laki-laki itu beralasan bahwa Zeze sedang seriawan, jadi tidak bisa banyak omong.
Zeze mendengus. 'Alasan yang bagus,' batinnya. Namun merasa bersyukur juga.
Mata birunya menyisir ke segala arah dan terperangkap pada sepasang mata hitam sampai membuatnya tak sanggup berpaling.
Entah mengapa ia merasa mata itu seperti selalu terkunci padanya. Mungkin karena itulah ketika mengedarkan pandangan, ia bisa langsung menangkap mata itu dengan mudah.
Pemilik mata hitam itu menjeratnya dengan tatapan penuh rasa haus yang tak dapat Zeze mengerti. Zeze menelengkan kepalanya untuk menyentak agar dia berhenti menatapnya. Namun tak berhasil, mata laki-laki itu tetap menyelam ke arahnya. Ternyata benar, orang ini sejak tadi memperhatikannya.
Tanpa aba-aba, laki-laki itu berjalan mendekat. Otomatis Zeze menegang di tempat sehingga Kion yang sedang mengobrol terpancing ke arahnya.
Kion melihat Zeze memandang ke satu titik dengan wajah terkejut. Mengikuti arah pandangnya, Kion melihat Tuan Muda Aiden Laktisma sedang memperpendek jarak ke arah mereka berdua.
Aiden berhenti dua langkah dari mereka. Matanya masih tak dapat berpaling dari sepasang iris berwarna biru yang menatapnya penuh keterkejutan itu. Bahkan saat membungkuk salam kepada Kion pun matanya masih tak kunjung lepas darinya.
"Yang Mulia, lama tidak bertemu," sapanya datar.
Kion mengangguk, "selamat malam Tuan Muda Laktisma." Kion menatap kedua orang yang tengah saling pandang itu secara bergantian. Ia mencerna sebentar dan akhirnya mengerti apa yang sanggup membuat Zeze mengeluarkan raut wajah seperti itu.
"Apakah Tuan Muda Laktisma mempunyai urusan dengan tunanganku?"
Pertanyaan itu sukses membuat Aiden memutus kontak matanya. Ia menatap Kion datar, sama halnya dengan Kion. Tanpa sepatah kata, kedua orang itu hanya beradu pandang dalam diam.
Zeze yang merasa tak enak karena dilihat banyak orang pun menengahi adu mata itu. "Mungkin dia hanya ingin berkenalan denganku," ujarnya, tersenyum setengah hati.
Kion menoleh ke arahnya tanpa membawa ekspresi apa pun di wajahnya. Tentunya Zeze tahu dia tidak percaya.
"Saya hanya ingin mengucapkan selamat, karena waktu itu saya sedang ada urusan jadi tidak sempat menghampiri Yang Mulia." Ucapan tiba-tiba Aiden mengundang Kion untuk kembali melihatnya.
Kion dapat menebak orang ini kurang tidur, terbukti dari lingkaran keunguan di bawah matanya.
"Selamat atas pertunangan Yang Mulia," ucapnya. Dengan perlahan, matanya bergeser ke arah Zeze, "Yang Mulia beruntung sekali..." suaranya berubah parau ketika mengatakan kalimat selanjutnya, "mempunyai tunangan yang cantik seperti Tuan Putri."
Kata-katanya sukses membuat Zeze terpana. Ia tak dapat membebaskan matanya dari wajah Aiden yang entah mengapa terlihat berbeda. Raut wajahnya tidak setegas dan sesombong dulu.
Mungkin jika lengan Kion tidak mempererat pinggangnya, Zeze tidak akan ada henti-hentinya memandangi wajah Aiden.
"Benarkah? Terima kasih." Kion membalas datar. Suaranya seolah menyuruh Aiden untuk mengakhiri semua ini.
Aiden pun tidak bodoh, ia mengerti maksud dari nada bicaranya itu. Akhirnya ia membungkuk pamit dan berbalik pergi. Namun sesaat, Zeze melihat pergerakan di bibirnya yang seperti mengucapkan kata 'maaf'. Tapi tidak terlalu yakin, karena ia memang kurang ahli dalam membaca gerak bibir.
Ada baiknya bagi Zeze untuk tidak terlalu memikirkan orang itu, karena saat ini adalah gilirannya dan Kion untuk menyapa sang pemeran utama dalam pesta ini. Zeze menengok ke belakang dan tidak menemukan Obi serta yang lainnya. Ia yakin Obi pasti tengah mencicipi berbagai hidangan, dan hal itu membuatnya iri.
Hanya ada Froura dan Saga di belakangnya. Zeze tahu dari Volta bahwa kedua orang pendiam itu adalah sepasang kekasih, dan bahkan akan bertunangan dalam waktu dekat ini.
Zeze dibawa melewati kerumunan yang akan langsung menyingkir ketika melihat ia dan Kion lewat. Dari jauh, ia sudah dapat melihat siapa sang tokoh utama. Tanpa aba-aba, ia menyendat langkahnya sehingga membuat Kion ikut berhenti.
Kion menoleh heran, "ada apa?"
"Benar, hidupku tidak akan berjalan tenang lagi setelah ini." Zeze mendesah lelah dengan wajah ditekuk. Ekspresinya itu mengundang senyum di wajah Kion.
"Hidupku juga."
Zeze bersumpah ia mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Kion. Tapi ketika menoleh, orang itu masih saja memasang wajah datar dan tenangnya seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
Mereka akhirnya sampai di hadapan sang tokoh utama, seorang gadis berambut lurus dengan warna merah kecokelatan dan poni yang menutupi dahinya. Warna matanya sama seperti mata Kion dan Aleco. Dari raut wajahnya, setiap orang yang melihatnya pasti sudah dapat menduga bagaimana sifatnya: angkuh, manja, dan kekanak-kanakan. Dia mengenakan one-shoulder dress berwarna coklat muda transparan yang membalut lekuk tubuhnya dengan baik.
Ketika melihat Kion, dia langsung menyerbu tanpa memedulikan Zeze yang terpajang di sebelahnya.
"Kiooon!" Sambutnya. Ia memeluknya erat tanpa memedulikan banyak mata yang memandang.
Kion sampai harus melepas lengannya dari pinggang Zeze dan sedikit mendorongnya menjauh agar Zeze tidak tertabrak gadis itu.
Kion terus berusaha melepaskan diri. Namun sepertinya gadis ini tidak ingin menyerah. Zeze pun terlihat enggan menolongnya dan hanya memperhatikan kesulitannya itu dengan ekspresi datar. Mungkin ia ingin balas dendam karena tadi Kion tidak membelanya di hadapan Obi.
"Silian! Apa yang kau lakukan? Jaga sikapmu!" Akhirnya sebuah suara tegas dari ibunya, Putri Eirene Ve Zilevo menolong Kion keluar dari ketidaknyamanan ini.
Silian melepaskan pelukannya dengan bibir cemberut. Padahal sudah cukup lama dia tidak bertemu Kion karena harus ikut bersama kakaknya selama lima bulan di Amerika.
Kion tertawa hambar, "selamat ulang tahun yang ke-16, Lian." Ucapannya mengembalikan senyum riang Silian.
Mereka terus berbincang sampai-sampai Kion sendiri pun tidak menyadari Zeze telah hilang dari sisinya. Zeze berjalan mendekati seseorang yang tengah membelakanginya. Orang itu terlihat sangat lahap menyantap berbagai hidangan di atas meja.
"Enak sekali ya," cibirnya.
Orang itu—yang tak lain adalah Obi—menoleh dengan cengiran di wajahnya. "Kenapa sendirian? Dimana Master?"
Zeze mencomot kue terdekat dan melahapnya. "Sedang reuni," jawabnya, terkesan tidak peduli.
"Putri Roze!" Suara Juni yang tiba-tiba terdengar, membawa kepala Zeze menoleh ke kiri.
Gadis bermata dingin itu menghampiri Zeze bersama seorang wanita cantik berambut hitam yang sepintas mirip dengannya. Namun raut Juni tidak terlihat senang, berbeda dengan wanita itu yang justru berbinar-binar ketika melihat Zeze.
Ketika sampai di hadapannya, Juni dan wanita itu membungkuk. Zeze mengerjap bingung, 'ada apa ini?'
"Perkenalkan, ini ibuku, Esmeralda Mavros," kata Juni tak acuh.
Esmeralda Mavros tersenyum semakin lebar, "selamat malam, Yang Mulia," sapanya.
Zeze mengangguk canggung. Ia tidak tahu harus berbuat apa di hadapan ibu dari temannya.
"Ini pertama kalinya saya bertatap muka langsung dengan Yang Mulia. Kalau dilihat-lihat lagi, memang benar Yang Mulia terlihat mirip dengan Putri Vourtsa. Hanya berbeda di warna mata dan rambut."
Zeze hanya tertawa canggung sembari melirik Juni yang terlihat tidak nyaman seolah ingin cepat-cepat pergi.
"Saya tidak pernah menyangka Junigra bisa berteman dengan Yang Mulia. Semoga kalian berdua bisa terus akrab ke depannya." Esmeralda tersenyum senang.
"Junigra tidak pernah merepotkan Yang Mulia, kan?" Tanyanya, kini sedikit lebih lirih dari ucapan sebelumnya. Sepertinya tadi ia sengaja memperkeras suaranya agar para nyonya bangsawan lain iri.
Zeze mengerjap dan tersenyum, "ah, tidak. Juni sangat baik dan..." ia melirik Juni dan melihat gadis itu tengah menahan tawa.
Zeze mengeluh dalam hati. Kalau tahu begini, harusnya tadi ia tidak memujinya. Zeze berdeham dan melanjutkan, "...dan lucu."
Terpana mendengarnya, Esmeralda meletakkan kedua tangannya di pundak Zeze seolah mereka telah lama akrab satu sama lain. Dan hal itu tentu saja tak luput dari perhatian orang-orang di sekitar mereka.
"Saya senang sekali mendengarnya. Lain kali, maukah Yang Mulia berkunjung ke kediaman Earl Mavros? Saya akan menyiapkan hidangan yang Anda sukai. Junigra bilang, Yang Mulia suka sesuatu yang pedas dan manis ya? Saya akan membuatkannya." Esmeralda mengucapkannya dengan antusiasme berlebihan.
Sementara Zeze hanya membalasnya dengan anggukan kepala sambil sesekali tertawa canggung. Setelah Esmeralda pergi, akhirnya Juni dan Zeze dapat kembali ke sikap normal mereka.
"Apa itu tadi?" Tanya Zeze.
"Ibuku, dia sangat senang seperti orang kerasukan saat aku bilang kalau aku kemari bersamamu," jawab Juni dengan nada jijik," dasar penjilat." Bibirnya mencebik tak suka.
Zeze hanya menatapnya datar. Ia dapat mengerti bagaimana perasaan Juni dikelilingi oleh keluarga penuh kepalsuan seperti itu.
Zeze merenung lalu berjengit ketika lengan seseorang merenggut pinggangnya tanpa aba-aba.
"Bukankah tidak sopan meninggalkan tunanganmu bersama perempuan lain?"