30 FORGOTTEN
Sepertinya Obi tidak paham dengan sorot mata Glen yang menuntut penjelasan itu. Karena itulah Glen berbisik, "oi, Bi. Kenapa dia memanggil ibu kepada ibumu?" Tuntutnya tidak paham.
Alis Obi bertaut, "tentu saja. Ibuku itu adalah ibu asuhnya."
"Apa itu ibu asuh?" Tanya Glen, bingung, terlihat dari kerutan di antara alisnya yang semakin dalam.
Obi berdeham sebelum menjelaskan singkat, "ibu asuh itu seperti ibu yang merawatmu sejak kecil."
Glen menelengkan kepalanya, "memangnya dia tidak mempunyai ibu? Kenapa harus ibumu yang merawatnya?"
"Itu..." baru saja Obi ingin menjawab, wanita itu telah lebih dulu berbicara dengan tegas, "ayo semuanya masuk, ini sudah waktunya makan siang."
Tidak ada alasan bagi mereka untuk menolak karena perut mereka memang sudah keroncongan sejak tadi. Mereka pun berjalan menuju mansion bernuansa hitam itu.
Saat sudah semakin dekat, dari belakang, Glen melihat Roze menarik-narik tangannya dalam genggaman wanita itu.
"Ada apa Nona?" Ibunya Obi menunduk ketika bertanya dengan lembut.
"Aku ingin makan di taman saja," bujuknya, suaranya menyicit.
Wanita itu menatapnya sendu dan prihatin sebelum akhirnya menyetujui. Ia memerintahkan para pelayan untuk mempersiapkan meja dan makanannya untuk ditaruh di taman samping mansion.
Dan di sinilah mereka berada, duduk berhadapan di meja makan yang tidak terlalu panjang dengan hidangan lengkap dari makanan pembuka hingga penutup. Langit cerah berawan sebagai atap yang menaungi mereka.
Glen duduk di samping kiri Obi dengan Roze yang ada di hadapannya. Anak perempuan itu makan dengan sangat lahap. Glen tahu bahwa sejak tadi anak itu ingin sekali menyingkirkan garpu serta sendoknya dan langsung memakan makanannya dengan tangan, jika saja tidak ada ibu Obi yang berdiri di belakangnya.
"Ibu, ibu tidak ikut makan?" Tanya Roze, menoleh ke belakang.
Wanita itu menggeleng, "Nona habiskan saja makanannya."
Roze mengangguk dan kembali menghadap makanannya. Tidak ada alasan baginya untuk tidak menghabiskan makanan yang luar biasa lezat ini.
Bahkan Glen pun menyetujuinya. Makanan ini adalah makanan terlezat yang pernah menyentuh lidahnya. Makanan di rumahnya bahkan kalah lezat. Ia yakin sekali bahwa makanan ini dapat mengalahkan makanan terlezat di dunia sekalipun.
"Lezat bukan?" Singgung Obi.
Glen tidak bisa mengelak karena ini memang enak. Ia mengangguk sambil menyuap supnya.
"Tentu saja, masakan Paman Arland memang tidak ada duanya." Suaranya mengandung kebanggaan ketika ia mengatakannya.
Sebelah alis Glen terangkat, "Arland?" Tanyanya dengan mulut penuh makanan.
Obi mengangguk, "koki di sini, Arland Finn," katanya. "Kalau masakan anaknya, Kak Dave, selalu saja kurang garam," keluhnya.
"Tentu saja, dia kan masih kecil," timpal Roze yang sedari tadi asyik mengunyah ayam kecap pedasnya. "Aku percaya, suatu saat nanti dia akan menjadi koki yang hebat. Aku bahkan sudah menandainya agar menjadi kokiku."
"Aku ragu dia mau," celetuk Obi yang dihadiahi tatapan tajam olehnya.
Glen tertawa pelan dan mencoba menatap Roze diam-diam. Tanpa disangka, Roze juga tengah menatapnya. Ia ingin berpaling, tapi mata biru itu begitu memerangkapnya.
"Ngomong-ngomong, Obi tadi memanggilmu Glen, benar kan?" Tanyanya memastikan yang dijawab anggukan kepala oleh Glen.
"Kenapa namamu Glen?" Tanyanya lagi. Kali ini Glen dibuat terperangah dengan mulut menganga.
Sementara Obi yang mendengarnya sampai tersedak, "ck, jangan dihiraukan, Glen. Biarkan saja alien sedang bertanya." Suaranya terdengar ketus.
"Berhenti memanggilku alien! Aku manusia!" Sergah Roze, tidak terima.
"Mana ada manusia bertanya hal aneh semacam itu? Mana dia tahu bagaimana namanya bisa menjadi Glen," tandas Obi. Mendengarnya, Roze berdecak sebal.
Di sisi lain, Glen tetap asyik mengunyah sambil mendengarkan pertengkaran kecil kedua orang itu. Sampai akhirnya, Roze yang lelah sendiri karena terus-terusan diejek Obi pun memilih diam dan menikmati pancake.
"Bolehkah aku bertanya?" Glen memandang dua orang itu bergantian.
"Tentu, tanya saja." Roze menjawab santai.
"Kenapa Obi bisa ada di sini? Bagaimana kalian bisa saling mengenal?"
Mata Roze bergeser menatap Obi, begitu pun sebaliknya. Kemudian Roze berkata, "biar Obi saja yang menjawab. Aku ingin makan."
Tak mendesak lebih lanjut, Glen pun menoleh ke arah Obi. Anak laki-laki itu berdeham sebelum menjawab, "aku tidak terlalu mengerti, tetapi ayah kakakku adalah ayahnya Roze," ucapnya. Suaranya lirih karena ia tidak ingin ibunya sampai mendengar. Sebenarnya agak geli sendiri karena ia terdengar seperti sedang bergosip.
"Itu pun aku tahu dari Roze. Dia pandai sekali dalam mencari informasi dan memecahkan kasus. Seperti detektif saja."
Alis Glen terangkat. Masih belum paham, dia menggeser duduknya menghadap Obi dengan tatapan antusias sekaligus penuh tanya.
"Kata Roze, ibuku adalah istri pertama ayahnya. Dan anak pertama mereka adalah kakakku. Tidak ada yang tahu siapa namanya," lanjut Obi, dan mata hijau Glen membulat mendengarnya.
"Aku belum pernah melihat wajahnya, Roze juga belum. Dia pergi saat berumur 14 tahun. Saat itu kami masih berumur 4 tahun."
"Obi, lalu..." Glen menatapnya ragu, "lalu ayahmu?"
Obi menggeleng, "aku tidak tahu dan tidak ingin tahu. Roze ingin memberitahuku tetapi selalu aku cegah. Dia sama sekali tidak ada urusannya denganku. Dia membuangku dan ibuku begitu saja, maka aku juga akan membuangnya dari hidupku."
Mata Glen meredup, "maaf," gumamnya.
Obi tertawa ringan, "tidak masalah," katanya sungguh-sungguh.
Glen menimbang-nimbang sebelum bertanya lirih, "lalu... ibunya?" Ia mengira-ngira apakah Roze mendengarnya. Ia tidak berani mencuri pandang karena takut tertangkap basah lagi.
"Dia cantik sekali. Luar biasa! Seperti malaikat, seperti Dewi Aphrodite!" Ucap Obi antusias, walaupun mulutnya dipenuhi nasi.
Glen menipiskan bibirnya, "bukan itu yang aku maksud..."
Obi menggaruk kepala belakangnya, "ah, iya." Ia terkekeh, "dia ada kok di sini. Dia adalah nyonya besar di rumah ini. Tapi... ada suatu masalah."
"Apa?" Tanya Glen. Ia menangkap perubahan emosi dalam diri Obi.
"Dia sama sekali tidak menyukai ibuku," gumam Obi. "Dia tidak ingin melihat ibuku dekat-dekat dengan Roze. Bahkan saat dia ingin mengunjungi Roze, ibuku harus menyingkir sejauh mungkin."
Glen bisa memahami sikap ibunya Roze, tapi ia tidak menyinggungnya di hadapan Obi. "Apakah ayahnya masih menerima ibumu, setelah tahu kau itu..." kata-kata Glen menghilang.
Mengerti maksudnya, karena itulah Obi mengangguk, "jangan bilang siapa-siapa, janji?" Dia memastikan.
Tertegun, Glen tak menjawab. Namun beberapa detik kemudian, ia mengangguk.
"Ayahnya Roze itu mafia." Bisikan Obi makin lirih.
Mata Glen terbelalak. Ia berjengit di tempat sampai mengundang perhatian Roze. "Kenapa dengannya?"
Obi menggeleng, "aku menceritakan cerita badut seram kepadanya," dustanya.
Detik itu juga, Roze menegang. "Jika kau berbicara keras-keras aku akan menendang bokongmu," ancamnya. Wajah kalutnya itu berhasil mengundang tawa Obi.
"Dia takut badut." Obi memberitahu dan Glen mengangguk-angguk paham.
Kemudian, Obi kembali melanjutkan, "mafia paling ditakuti oleh mafia-mafia yang ada di dunia. Bahkan mereka menjadikannya pemimpin para bos mafia di seluruh dunia.
"Nah, ibuku adalah salah satu bawahannya," sambungnya. "Ikatan yang mereka jalin tidaklah sembarangan. Tidak gampang untuk hanya memutuskan hubungan begitu saja. Mereka itu memiliki perasaan loyal yang tinggi. Jika mereka telah memutuskan untuk mengabdi pada satu orang, maka selamanya mereka akan mengabdi."
Glen mengangguk paham, "seperti prinsip para Ipotis."
"Ya, seperti para kesatria itu. Dan juga seperti hubungan para bangsawan yang telah bersumpah setia kepada raja." Setelah menerangkan, Obi kembali menyuap nasinya.
"Ibuku sangat menyayangi Roze. Karena dia merupakan anak majikan sekaligus pria yang dicintainya. Roze juga menyukai ibuku, karena itulah ayahnya memutuskan ibuku sebagai pengasuhnya, karena memang sejak Roze dan aku masih bayi, ibuku yang mengurusi kami. Tapi ibunya Roze tidak suka, terlebih lagi sejak beranjak dewasa, dia lebih dekat dengan ibuku dibanding ibunya sendiri.
"Mungkin karena ibunya selalu memaksanya melakukan hal-hal yang tidak dia sukai. Karena ibuku mengasuh Roze sejak kecil, aku jadi sering main dengannya. Saat dia tahu bahwa dia mempunyai kakak laki-laki yang 10 tahun lebih tua darinya, dia sangat senang bahkan mulai memanggil ibuku dengan sebutan ibu.
"Dan dia juga menganggapku sebagai saudaranya." Obi berhenti sebentar untuk minum, "oh ya, ayahnya menunjukku sebagai pengawalnya ngomong-ngomong." Glen terenyak pada kalimat yang satu itu.
"Tapi aku akan tetap menjaganya seperti saudariku sendiri. Karena itulah aku tidak akan pernah memaafkan orang yang telah membuat saudariku menangis. Aku tidak akan pernah memaafkan siapa pun yang menyakitinya."
"Aku ingin sekali mempunyai saudara perempuan." Obi menyeringai. "Dia seperti boneka kan? Aku jadi bisa bermain-main dengannya," lanjutnya dengan tawa hangat.
"Apanya yang lucu?" Tuntutan Roze mengundang kedua orang itu menoleh ke arahnya. "Kalian tidak sedang merencanakan untuk membawa badut ke sini kan!?"
Tawa Obi seketika menggelegar. Tapi bukan hanya dia, Glen juga ikut tertawa. Hal itu makin membuat Roze tambah kalut dan bangun dengan kasar dari kursinya, "t- tidak lucu, Bi!" Ia pun lari terbirit-birit ke dalam rumah.
"Nona!" Ibu Obi memanggilnya tapi ia tidak kunjung berhenti.
"Sebegitu takutnya dia dengan badut?" Tanya Glen.
"Bukan hanya badut, dia juga takut boneka dan strawberry, aneh kan? Seperti alien." Obi terkekeh.
"Memangnya alien takut pada hal-hal semacam itu?" Tanya Glen dengan wajah polos.
"Ck, bukan! Maksudku, dia itu aneh. Di saat yang lainnya menyukai hal itu, dia malah takut."
Glen bangun dari duduknya dan Obi memberinya tatapan penuh tanda tanya. Menyadari tatapan itu, Glen tersenyum singkat dan berkata, "kurasa aku harus menyusulnya."
Ia memperbaiki posisi bangkunya dan melanjutkan, "dan aku juga harus berkenalan dengannya."
Alis Obi bertaut heran ketika mendengarnya. Tidak biasanya Glen ingin berkenalan lebih dulu dengan orang lain. Biasanya jika tidak diajak bicara terlebih dulu, dia tidak akan mau membuka mulutnya.
Glen terkekeh lalu memandang pintu yang barusan dilewati Roze. "Temanmu... berarti temanku juga kan?"
========
Ya, itu adalah kenangan yang tak bisa ia lupakan. Memori itu terus berputar-putar bagai film abadi di kepalanya.
"Glen?" Panggil Hera, "ada apa? Tadi kau bilang ingin cerita?"
Suara Hera membuatnya berhenti menyelami langit-langit dengan ukiran rumit itu. Glen menurunkan matanya dan menatap Hera yang terlihat kebingungan.
Cukup lama ia tenggelam pada mata beriris coklat itu yang membuat si pemiliknya menjadi salah tingkah dengan pipi memerah. "G- Glen? Cerita?" Tanyanya lagi, mencoba meredam kegugupannya.
Melihat tingkahnya itu, Glen memejamkan matanya kemudian tertawa pelan. Dengan tangan yang terlipat di depan dada, Glen tidak mengucapkan sepatah kata pun sampai kurang lebih lima menit. Yang dilakukannya hanyalah bernapas dengan sesekali mendengus, seperti sedang menendang beban berat yang memenuhi rongga dadanya.
Kemudian, perlahan tapi pasti, kelopak matanya terbuka, dan hal pertama yang menyambut penglihatannya adalah Hera yang tengah memperhatikannya sambil bertopang tangan.
"Maaf, aku sudah lupa," kata Glen singkat.
Terperangah mendengarnya, Hera mengerjapkan matanya. Sementara Glen, tanpa memberi penjelasan apa pun, ia bangkit berdiri dan mengedarkan pandangannya ke seluruh kantin, tanpa memedulikan kesinisan yang masih menusuk tajam ke arahnya. Seperti tidak ada objek pandang yang lain saja.
Lalu matanya berhenti di sepasang mata biru itu. Entah mengapa mata biru itu selalu berhasil menjerat matanya. Di sana, dia sedang menopang pipinya dengan punggung tangan kanannya, sementara tangan kirinya memegang apel merah yang telah tergigit. Rambut platinumnya tidak lagi mengalir, karena dia mengikatnya menjadi satu di belakang.
Dia tidak melakukan apa pun selain memandanginya dan menggigit apel itu. Dan Glen sendiri pun sadar bahwa dirinya juga tidak ingin berpaling, jika saja Hera tidak memanggil namanya.
"Pengganggu." Zeze mendengus.
Rhea yang duduk di sebelahnya menoleh, "kau mengatakan sesuatu?"
Zeze menggeleng lalu terkekeh sinis. "Tidak, hanya... ada serangga pengganggu." Ia menjawab tanpa menoleh, karena matanya masih terpaku pada punggung tegap yang perlahan-lahan mulai menjauh itu.
Dari kejauhan, Zeze melihat Glen dengan lembutnya membukakan pintu kaca kantin dan mempersilahkan gadis berambut coklat itu lewat terlebih dahulu. Sesuatu yang tidak pernah ditunjukkan lelaki itu di depannya.
Zeze menyaksikan semuanya, bahkan ketika dengan akrabnya, Glen mengobrol sambil sesekali tertawa kecil dengan gadis itu.
"Namanya..." gumam Zeze.
"Apa?" Tanya Rhea, bingung. Sejak tadi Zeze mengatakan hal-hal yang tak masuk akal, walaupun setiap harinya memang begitu.
"Siapa namanya?" Tanya Zeze sambil menunjuk gadis itu dengan lirikan matanya.
Rhea mengikuti arah pandangnya dan mendapati visual seorang gadis berambut coklat yang tengah melangkah ke luar pintu kantin.
"Oh, dia Heracle Ralpheus," jawab Rhea, "kenapa? Apakah ada yang menarik?" Suaranya mengandung antusiasme.
Zeze meletakan sisa apelnya di piring. Ia bersandar ke kursi dan melipat tangannya di depan dada. Matanya terbungkus ketika menjawab, "dia orang yang hampir aku bunuh saat penyerangan ke pertemuan para bangsawan."
Alis Rhea terangkat, "hampir?" Tanyanya, keheranan. Bagaimana bisa Zeze melewatkan buruannya?
"Ya, hampir," balasnya. Ia membuka perlahan matanya dan mendongak, melihat langit-langit kantin yang dipenuhi ukiran cerita dewa-dewi Yunani.
"Dan aku menyesal tidak melakukannya." Sambungnya.
Alis Obi bertaut, "tentu saja. Ibuku itu adalah ibu asuhnya."
"Apa itu ibu asuh?" Tanya Glen, bingung, terlihat dari kerutan di antara alisnya yang semakin dalam.
Obi berdeham sebelum menjelaskan singkat, "ibu asuh itu seperti ibu yang merawatmu sejak kecil."
Glen menelengkan kepalanya, "memangnya dia tidak mempunyai ibu? Kenapa harus ibumu yang merawatnya?"
"Itu..." baru saja Obi ingin menjawab, wanita itu telah lebih dulu berbicara dengan tegas, "ayo semuanya masuk, ini sudah waktunya makan siang."
Tidak ada alasan bagi mereka untuk menolak karena perut mereka memang sudah keroncongan sejak tadi. Mereka pun berjalan menuju mansion bernuansa hitam itu.
Saat sudah semakin dekat, dari belakang, Glen melihat Roze menarik-narik tangannya dalam genggaman wanita itu.
"Ada apa Nona?" Ibunya Obi menunduk ketika bertanya dengan lembut.
"Aku ingin makan di taman saja," bujuknya, suaranya menyicit.
Wanita itu menatapnya sendu dan prihatin sebelum akhirnya menyetujui. Ia memerintahkan para pelayan untuk mempersiapkan meja dan makanannya untuk ditaruh di taman samping mansion.
Dan di sinilah mereka berada, duduk berhadapan di meja makan yang tidak terlalu panjang dengan hidangan lengkap dari makanan pembuka hingga penutup. Langit cerah berawan sebagai atap yang menaungi mereka.
Glen duduk di samping kiri Obi dengan Roze yang ada di hadapannya. Anak perempuan itu makan dengan sangat lahap. Glen tahu bahwa sejak tadi anak itu ingin sekali menyingkirkan garpu serta sendoknya dan langsung memakan makanannya dengan tangan, jika saja tidak ada ibu Obi yang berdiri di belakangnya.
"Ibu, ibu tidak ikut makan?" Tanya Roze, menoleh ke belakang.
Wanita itu menggeleng, "Nona habiskan saja makanannya."
Roze mengangguk dan kembali menghadap makanannya. Tidak ada alasan baginya untuk tidak menghabiskan makanan yang luar biasa lezat ini.
Bahkan Glen pun menyetujuinya. Makanan ini adalah makanan terlezat yang pernah menyentuh lidahnya. Makanan di rumahnya bahkan kalah lezat. Ia yakin sekali bahwa makanan ini dapat mengalahkan makanan terlezat di dunia sekalipun.
"Lezat bukan?" Singgung Obi.
Glen tidak bisa mengelak karena ini memang enak. Ia mengangguk sambil menyuap supnya.
"Tentu saja, masakan Paman Arland memang tidak ada duanya." Suaranya mengandung kebanggaan ketika ia mengatakannya.
Sebelah alis Glen terangkat, "Arland?" Tanyanya dengan mulut penuh makanan.
Obi mengangguk, "koki di sini, Arland Finn," katanya. "Kalau masakan anaknya, Kak Dave, selalu saja kurang garam," keluhnya.
"Tentu saja, dia kan masih kecil," timpal Roze yang sedari tadi asyik mengunyah ayam kecap pedasnya. "Aku percaya, suatu saat nanti dia akan menjadi koki yang hebat. Aku bahkan sudah menandainya agar menjadi kokiku."
"Aku ragu dia mau," celetuk Obi yang dihadiahi tatapan tajam olehnya.
Glen tertawa pelan dan mencoba menatap Roze diam-diam. Tanpa disangka, Roze juga tengah menatapnya. Ia ingin berpaling, tapi mata biru itu begitu memerangkapnya.
"Ngomong-ngomong, Obi tadi memanggilmu Glen, benar kan?" Tanyanya memastikan yang dijawab anggukan kepala oleh Glen.
"Kenapa namamu Glen?" Tanyanya lagi. Kali ini Glen dibuat terperangah dengan mulut menganga.
Sementara Obi yang mendengarnya sampai tersedak, "ck, jangan dihiraukan, Glen. Biarkan saja alien sedang bertanya." Suaranya terdengar ketus.
"Berhenti memanggilku alien! Aku manusia!" Sergah Roze, tidak terima.
"Mana ada manusia bertanya hal aneh semacam itu? Mana dia tahu bagaimana namanya bisa menjadi Glen," tandas Obi. Mendengarnya, Roze berdecak sebal.
Di sisi lain, Glen tetap asyik mengunyah sambil mendengarkan pertengkaran kecil kedua orang itu. Sampai akhirnya, Roze yang lelah sendiri karena terus-terusan diejek Obi pun memilih diam dan menikmati pancake.
"Bolehkah aku bertanya?" Glen memandang dua orang itu bergantian.
"Tentu, tanya saja." Roze menjawab santai.
"Kenapa Obi bisa ada di sini? Bagaimana kalian bisa saling mengenal?"
Mata Roze bergeser menatap Obi, begitu pun sebaliknya. Kemudian Roze berkata, "biar Obi saja yang menjawab. Aku ingin makan."
Tak mendesak lebih lanjut, Glen pun menoleh ke arah Obi. Anak laki-laki itu berdeham sebelum menjawab, "aku tidak terlalu mengerti, tetapi ayah kakakku adalah ayahnya Roze," ucapnya. Suaranya lirih karena ia tidak ingin ibunya sampai mendengar. Sebenarnya agak geli sendiri karena ia terdengar seperti sedang bergosip.
"Itu pun aku tahu dari Roze. Dia pandai sekali dalam mencari informasi dan memecahkan kasus. Seperti detektif saja."
Alis Glen terangkat. Masih belum paham, dia menggeser duduknya menghadap Obi dengan tatapan antusias sekaligus penuh tanya.
"Kata Roze, ibuku adalah istri pertama ayahnya. Dan anak pertama mereka adalah kakakku. Tidak ada yang tahu siapa namanya," lanjut Obi, dan mata hijau Glen membulat mendengarnya.
"Aku belum pernah melihat wajahnya, Roze juga belum. Dia pergi saat berumur 14 tahun. Saat itu kami masih berumur 4 tahun."
"Obi, lalu..." Glen menatapnya ragu, "lalu ayahmu?"
Obi menggeleng, "aku tidak tahu dan tidak ingin tahu. Roze ingin memberitahuku tetapi selalu aku cegah. Dia sama sekali tidak ada urusannya denganku. Dia membuangku dan ibuku begitu saja, maka aku juga akan membuangnya dari hidupku."
Mata Glen meredup, "maaf," gumamnya.
Obi tertawa ringan, "tidak masalah," katanya sungguh-sungguh.
Glen menimbang-nimbang sebelum bertanya lirih, "lalu... ibunya?" Ia mengira-ngira apakah Roze mendengarnya. Ia tidak berani mencuri pandang karena takut tertangkap basah lagi.
"Dia cantik sekali. Luar biasa! Seperti malaikat, seperti Dewi Aphrodite!" Ucap Obi antusias, walaupun mulutnya dipenuhi nasi.
Glen menipiskan bibirnya, "bukan itu yang aku maksud..."
Obi menggaruk kepala belakangnya, "ah, iya." Ia terkekeh, "dia ada kok di sini. Dia adalah nyonya besar di rumah ini. Tapi... ada suatu masalah."
"Apa?" Tanya Glen. Ia menangkap perubahan emosi dalam diri Obi.
"Dia sama sekali tidak menyukai ibuku," gumam Obi. "Dia tidak ingin melihat ibuku dekat-dekat dengan Roze. Bahkan saat dia ingin mengunjungi Roze, ibuku harus menyingkir sejauh mungkin."
Glen bisa memahami sikap ibunya Roze, tapi ia tidak menyinggungnya di hadapan Obi. "Apakah ayahnya masih menerima ibumu, setelah tahu kau itu..." kata-kata Glen menghilang.
Mengerti maksudnya, karena itulah Obi mengangguk, "jangan bilang siapa-siapa, janji?" Dia memastikan.
Tertegun, Glen tak menjawab. Namun beberapa detik kemudian, ia mengangguk.
"Ayahnya Roze itu mafia." Bisikan Obi makin lirih.
Mata Glen terbelalak. Ia berjengit di tempat sampai mengundang perhatian Roze. "Kenapa dengannya?"
Obi menggeleng, "aku menceritakan cerita badut seram kepadanya," dustanya.
Detik itu juga, Roze menegang. "Jika kau berbicara keras-keras aku akan menendang bokongmu," ancamnya. Wajah kalutnya itu berhasil mengundang tawa Obi.
"Dia takut badut." Obi memberitahu dan Glen mengangguk-angguk paham.
Kemudian, Obi kembali melanjutkan, "mafia paling ditakuti oleh mafia-mafia yang ada di dunia. Bahkan mereka menjadikannya pemimpin para bos mafia di seluruh dunia.
"Nah, ibuku adalah salah satu bawahannya," sambungnya. "Ikatan yang mereka jalin tidaklah sembarangan. Tidak gampang untuk hanya memutuskan hubungan begitu saja. Mereka itu memiliki perasaan loyal yang tinggi. Jika mereka telah memutuskan untuk mengabdi pada satu orang, maka selamanya mereka akan mengabdi."
Glen mengangguk paham, "seperti prinsip para Ipotis."
"Ya, seperti para kesatria itu. Dan juga seperti hubungan para bangsawan yang telah bersumpah setia kepada raja." Setelah menerangkan, Obi kembali menyuap nasinya.
"Ibuku sangat menyayangi Roze. Karena dia merupakan anak majikan sekaligus pria yang dicintainya. Roze juga menyukai ibuku, karena itulah ayahnya memutuskan ibuku sebagai pengasuhnya, karena memang sejak Roze dan aku masih bayi, ibuku yang mengurusi kami. Tapi ibunya Roze tidak suka, terlebih lagi sejak beranjak dewasa, dia lebih dekat dengan ibuku dibanding ibunya sendiri.
"Mungkin karena ibunya selalu memaksanya melakukan hal-hal yang tidak dia sukai. Karena ibuku mengasuh Roze sejak kecil, aku jadi sering main dengannya. Saat dia tahu bahwa dia mempunyai kakak laki-laki yang 10 tahun lebih tua darinya, dia sangat senang bahkan mulai memanggil ibuku dengan sebutan ibu.
"Dan dia juga menganggapku sebagai saudaranya." Obi berhenti sebentar untuk minum, "oh ya, ayahnya menunjukku sebagai pengawalnya ngomong-ngomong." Glen terenyak pada kalimat yang satu itu.
"Tapi aku akan tetap menjaganya seperti saudariku sendiri. Karena itulah aku tidak akan pernah memaafkan orang yang telah membuat saudariku menangis. Aku tidak akan pernah memaafkan siapa pun yang menyakitinya."
"Aku ingin sekali mempunyai saudara perempuan." Obi menyeringai. "Dia seperti boneka kan? Aku jadi bisa bermain-main dengannya," lanjutnya dengan tawa hangat.
"Apanya yang lucu?" Tuntutan Roze mengundang kedua orang itu menoleh ke arahnya. "Kalian tidak sedang merencanakan untuk membawa badut ke sini kan!?"
Tawa Obi seketika menggelegar. Tapi bukan hanya dia, Glen juga ikut tertawa. Hal itu makin membuat Roze tambah kalut dan bangun dengan kasar dari kursinya, "t- tidak lucu, Bi!" Ia pun lari terbirit-birit ke dalam rumah.
"Nona!" Ibu Obi memanggilnya tapi ia tidak kunjung berhenti.
"Sebegitu takutnya dia dengan badut?" Tanya Glen.
"Bukan hanya badut, dia juga takut boneka dan strawberry, aneh kan? Seperti alien." Obi terkekeh.
"Memangnya alien takut pada hal-hal semacam itu?" Tanya Glen dengan wajah polos.
"Ck, bukan! Maksudku, dia itu aneh. Di saat yang lainnya menyukai hal itu, dia malah takut."
Glen bangun dari duduknya dan Obi memberinya tatapan penuh tanda tanya. Menyadari tatapan itu, Glen tersenyum singkat dan berkata, "kurasa aku harus menyusulnya."
Ia memperbaiki posisi bangkunya dan melanjutkan, "dan aku juga harus berkenalan dengannya."
Alis Obi bertaut heran ketika mendengarnya. Tidak biasanya Glen ingin berkenalan lebih dulu dengan orang lain. Biasanya jika tidak diajak bicara terlebih dulu, dia tidak akan mau membuka mulutnya.
Glen terkekeh lalu memandang pintu yang barusan dilewati Roze. "Temanmu... berarti temanku juga kan?"
========
Ya, itu adalah kenangan yang tak bisa ia lupakan. Memori itu terus berputar-putar bagai film abadi di kepalanya.
"Glen?" Panggil Hera, "ada apa? Tadi kau bilang ingin cerita?"
Suara Hera membuatnya berhenti menyelami langit-langit dengan ukiran rumit itu. Glen menurunkan matanya dan menatap Hera yang terlihat kebingungan.
Cukup lama ia tenggelam pada mata beriris coklat itu yang membuat si pemiliknya menjadi salah tingkah dengan pipi memerah. "G- Glen? Cerita?" Tanyanya lagi, mencoba meredam kegugupannya.
Melihat tingkahnya itu, Glen memejamkan matanya kemudian tertawa pelan. Dengan tangan yang terlipat di depan dada, Glen tidak mengucapkan sepatah kata pun sampai kurang lebih lima menit. Yang dilakukannya hanyalah bernapas dengan sesekali mendengus, seperti sedang menendang beban berat yang memenuhi rongga dadanya.
Kemudian, perlahan tapi pasti, kelopak matanya terbuka, dan hal pertama yang menyambut penglihatannya adalah Hera yang tengah memperhatikannya sambil bertopang tangan.
"Maaf, aku sudah lupa," kata Glen singkat.
Terperangah mendengarnya, Hera mengerjapkan matanya. Sementara Glen, tanpa memberi penjelasan apa pun, ia bangkit berdiri dan mengedarkan pandangannya ke seluruh kantin, tanpa memedulikan kesinisan yang masih menusuk tajam ke arahnya. Seperti tidak ada objek pandang yang lain saja.
Lalu matanya berhenti di sepasang mata biru itu. Entah mengapa mata biru itu selalu berhasil menjerat matanya. Di sana, dia sedang menopang pipinya dengan punggung tangan kanannya, sementara tangan kirinya memegang apel merah yang telah tergigit. Rambut platinumnya tidak lagi mengalir, karena dia mengikatnya menjadi satu di belakang.
Dia tidak melakukan apa pun selain memandanginya dan menggigit apel itu. Dan Glen sendiri pun sadar bahwa dirinya juga tidak ingin berpaling, jika saja Hera tidak memanggil namanya.
"Pengganggu." Zeze mendengus.
Rhea yang duduk di sebelahnya menoleh, "kau mengatakan sesuatu?"
Zeze menggeleng lalu terkekeh sinis. "Tidak, hanya... ada serangga pengganggu." Ia menjawab tanpa menoleh, karena matanya masih terpaku pada punggung tegap yang perlahan-lahan mulai menjauh itu.
Dari kejauhan, Zeze melihat Glen dengan lembutnya membukakan pintu kaca kantin dan mempersilahkan gadis berambut coklat itu lewat terlebih dahulu. Sesuatu yang tidak pernah ditunjukkan lelaki itu di depannya.
Zeze menyaksikan semuanya, bahkan ketika dengan akrabnya, Glen mengobrol sambil sesekali tertawa kecil dengan gadis itu.
"Namanya..." gumam Zeze.
"Apa?" Tanya Rhea, bingung. Sejak tadi Zeze mengatakan hal-hal yang tak masuk akal, walaupun setiap harinya memang begitu.
"Siapa namanya?" Tanya Zeze sambil menunjuk gadis itu dengan lirikan matanya.
Rhea mengikuti arah pandangnya dan mendapati visual seorang gadis berambut coklat yang tengah melangkah ke luar pintu kantin.
"Oh, dia Heracle Ralpheus," jawab Rhea, "kenapa? Apakah ada yang menarik?" Suaranya mengandung antusiasme.
Zeze meletakan sisa apelnya di piring. Ia bersandar ke kursi dan melipat tangannya di depan dada. Matanya terbungkus ketika menjawab, "dia orang yang hampir aku bunuh saat penyerangan ke pertemuan para bangsawan."
Alis Rhea terangkat, "hampir?" Tanyanya, keheranan. Bagaimana bisa Zeze melewatkan buruannya?
"Ya, hampir," balasnya. Ia membuka perlahan matanya dan mendongak, melihat langit-langit kantin yang dipenuhi ukiran cerita dewa-dewi Yunani.
"Dan aku menyesal tidak melakukannya." Sambungnya.