29 FAIRYTALE
"Glen, kau ingin minum apa?" Tanya Hera yang kini duduk di hadapannya.
Tak kunjung mendapat jawaban, Hera mengangkat wajah dan melihat Glen tengah menatap intens ke satu tempat. Mengikuti arah pandangannya, Hera mendapatinya sedang memandangi meja orang-orang populer itu.
Tidak biasanya Glen tertarik melihat mereka. Hera menyentuh punggung tangan Glen di atas meja, membawanya kembali ke kenyataan.
"Kopi susu," ujar Glen. Ia terdiam sebentar lalu memutuskan untuk berdiri, "biar aku saja."
Glen memesan kopi susu dan jus strawberry, jus kesukaan Hera. Ia tidak ingin pura-pura tidak tahu mengenai tatapan permusuhan yang sejak tadi ditembakkan ke arahnya, karena ini sungguh terang-terangan. Tapi sebisa mungkin ia mengabaikan semuanya.
Sudah lama sekali sejak terakhir kali ia ke kantin. Jika bukan karena Hera yang memohon-mohon tadi, ia tidak akan mungkin mau ke sini. Terlalu berisik dan mengganggu.
Meletakkan jus dan kopi susu itu di atas meja, Glen kembali hinggap di kursinya sembari memperhatikan Hera yang kini tengah menyedot jus pesanannya. Anak rambutnya sedikit menjuntai menutupi pipinya. Menyadari itu, ia mengangkat tangan kanannya dan menyelipkan aliran sungai coklat itu ke belakang telinga.
Hera menegang. Ia tak lagi menikmati jusnya. Karena jika ia teruskan, sudah pasti ia akan tersedak.
"Seharusnya kau tidak bicara denganku." Suara Glen serak dan matanya nanar ketika ia mengatakannya.
Hera mengerjap kemudian alisnya bertaut marah. Ia mengambil napas panjang sebelum mengoceh, "aku sudah lelah berpura-pura kita tidak saling mengenal, Glen. Aku tidak tahan saat harus diam ketika melihat mereka melakukan hal semena-mena padamu. Ingin sekali aku berteriak di depan muka mereka dan memberitahu dirimu yang sebenarnya. Bahwa Glen itu tidak seperti yang mereka kira. Glen lebih dari ini. Glen itu sempurna. Aku ingin memberitahu mereka bahwa kau adalah..."
Ocehannya tersangkut ketika melihat Glen melekatkan telunjuknya di bibir, "tidak ada yang perlu mereka tahu," selanya.
Bibir Hera mengerucut, "sampai kapan kau ingin sembunyi terus seperti ini?"
"Sampai hal yang menggangguku hilang."
Hera berdecak, "semua hal di dunia ini kau anggap mengganggu. Aku tidak ingin mengatakan ini tapi... Glen, kalau begini kau seperti pengecut saja."
Glen terkekeh, "aku memang pengecut."
"Kau lebih suka sembunyi daripada berusaha."
Glen tersenyum sambil terpejam, "memang benar."
Hera mendengus kasar. Entah seberapa banyak kata-kata protes yang ia lontarkan, semuanya tak ada yang dapat mengubah jalan pikiran orang keras kepala satu ini.
"Hera aku hanya... aku takut mereka akan mengganggumu saat tahu kau bersamaku."
"Tidak ada yang menggangguku, Glen. Apakah kau pikir mereka akan mengganggu seorang Ralpheus?" Tukas Hera.
Glen mendesah, "memang tidak, tapi apa yang akan mereka katakan kepadamu ketika tahu kau bersama dengan—"
"Tidak tahu dan tidak peduli," sergah Hera tak acuh.
Lagi-lagi Glen mendesah pasrah, "baiklah, jika mereka bertanya katakan saja bahwa aku ini pembantumu, pesuruh atau hal semacamnya."
Mata Hera mengerjap kemudian membulat. Apakah dia ini serius? "Glen, keluarga kami telah menjadi pengikut Marquess Barier untuk waktu yang lama. Aku sama sekali tidak berani—"
"Ini perintah," tandas Glen, tatapannya mengeras hingga membuat Hera menegang di tempat. "Kau sudah beberapa kali melanggar omonganku, Heracle Delphi Ralpheus."
Mata Hera terbelalak. Cepat-cepat ia merendahkan kepala dan berkata dengan suara tegas namun gemetar, "mohon maaf atas ketidak-sopanan saya, Tuan Muda Heliose Glen Barier. Saya tidak akan mengulanginya lagi di masa depan."
"Hera, angkat kepalamu," desis Glen, panik.
Hera tersadar dan kembali mengangkat kepalanya, menatap mata hitam di hadapannya ini dengan hati-hati, takut kalau-kalau Glen masih menatapnya dengan tatapan penuh otoriter layaknya seorang penguasa seperti tadi. Jarang sekali dia menatapnya seperti itu, bahkan mungkin hampir tidak pernah.
"Maaf," gumam Glen, menyadari perubahan pada sikap Hera.
Hera mengangguk. Tidak berani menatap tepat di manik hitam itu lagi, ia mengedarkan matanya ke segala penjuru kantin. Seketika mata coklatnya menangkap punggung seseorang yang baru kemarin ia kenal.
Orang itu duduk bersama para anak populer itu. Dia terlihat akrab dengan mereka didengar dari suara tawanya.
"Glen..." gumam Hera, masih memandangi punggung orang itu.
"Ya, aku tahu," balas Glen dari sela giginya.
Hera kembali melihat Glen. Mata hitam itu kini teraling oleh bulu mata, menunduk, menatap sendu ke cangkir kopi yang isinya tinggal setengah.
Hera menatapnya prihatin. Entah mengapa mata sendu Glen selalu menyayat hatinya. "Ini tidak adil. Bahkan adikmu sendiri..."
"Dunia ini memang tidak adil, Her." Glen tersenyum, "jadi daripada terus mengeluh tentang betapa tidak adilnya dunia ini, lebih baik biasakan dirimu." Ia meminum habis kopi susunya.
"Karena walaupun kau merasa seperti tertusuk berjuta-juta pisau sekalipun, dunia tidak akan pernah peduli," sambungnya kemudian.
"Daripada mengubah dan memperbaiki dunia ini, kau lebih suka duduk diam dan menerimanya?" Tuntut Hera.
Glen mengangkat pandangannya. Alisnya terangkat naik, "apa maksudmu?"
Hera menunduk, terlihat ragu, "aku hanya..." ia kembali mendongak, "perkataan seseorang akhir-akhir ini menggangguku."
Glen memajukan duduknya, berniat mendengarkan ucapan dari seorang gadis yang terlihat sedang bimbang di hadapannya ini.
"Kau ingat orang yang hampir membunuhku waktu itu?"
Alis Glen mencuat. Ia seperti dapat menebak ke mana pembicaraan ini mengalir.
"Sebelum kau datang, kami sempat bicara."
Ungkapan Hera barusan sukses menarik perhatiannya. "Apa yang dia bilang?"
Hera memainkan telunjuknya, mengitari pinggiran gelas jus, "dia bilang bahwa mengambil satu nyawa, di lain pihak juga akan menyelamatkan nyawa yang lain." Suaranya sangat lirih seperti sedang berbisik.
Glen kembali memundurkan duduknya, bersandar pada kursi sambil bersedekap.
"Dia juga bilang bahwa tujuannya cuma satu, yaitu kedamaian."
Glen tak bereaksi. Sorot matanya terlihat seperti sedang menilai. Namun Hera tahu, yang sedang Glen nilai bukanlah dirinya, tapi ucapannya.
"Saat aku tanya mengapa kita saling bertarung jika tujuan kita sama, dia berkata padaku bahwa aku tidak pantas memegang senjata," suara Hera terdengar getir.
"Dia bilang, orang yang berhak memegang senjata adalah orang yang telah paham apa yang dilakukannya."
"Sementara kau tidak?" Glen menebak. "Dan kau merasa kau tidak pantas memegang senjata?" Sikap dan suaranya tenang, berbeda dengan Hera.
"Aku... aku tidak bisa menemukan jawabannya. Mengapa dia mengambil jalan itu jika kita mempunyai tujuan yang sama," ungkapnya, ragu. "Glen, bagaimana menurutmu?" Tanyanya. Biasanya Glen akan mudah sekali mengatasi hal-hal yang mengundang keraguannya.
Glen memajukan duduknya dan berdeham. "Dulu, ada seorang anak perempuan..."
Alis Hera bertaut, bingung ke mana arah ucapannya kali ini.
"...dia sangat menyebalkan karena hanya peduli pada pikirannya sendiri. Mungkin dia adalah orang paling keras kepala yang pernah orang-orang temui.
"Dia tidak pernah peduli pada sekitar. Dia juga tidak takut untuk mengutarakan apa yang ada di dalam pikirannya, walaupun hal itu menyinggung ataupun menyakiti orang lain.
"Dia sangat sulit dipengaruhi, sangat sulit diubah, pendiriannya kuat. Pikirannya unik, berbeda dari orang lain. Jika orang lain dapat mendengar isi pikirannya, mungkin walau mereka belajar seumur hidup sekalipun, aku tidak yakin mereka akan dapat memahaminya.
"Dia itu tidak tersentuh, tak suka dikekang. Jiwanya bebas. Dia bahkan tidak segan untuk melawan orang yang telah merenggut kebebasannya.
"Jika kau dibenci olehnya, itu berarti walau kau sujud ataupun mencium kakinya sekalipun, dia tidak akan pernah memaafkanmu. Benar-benar tidak bisa diubah kan?" Glen bertanya lalu terkekeh. Tapi Hera tidak mengerti dimana letak lucunya.
"Dia itu seorang idealis sejati, namun juga pendengar yang baik. Dia akan mendengarkan semua pikiranmu dengan sabar, selama itu tidak bertentangan dengan pendiriannya. Karena itulah dia sangat cocok sebagai tempat ceritamu.
"Dia tidak gampang membuka hatinya kepada orang lain. Tapi ketika dia melakukannya, dia akan menghargaimu seperti benda antik yang tak ternilai harganya. Dia akan mengikutimu bahkan sampai ujung dunia sekalipun. Jika kau jatuh, dia akan ikut jatuh bersamamu. Dia tidak akan pernah meninggalkanmu bahkan jika seluruh dunia menentangmu. Dia akan terus bersamamu dalam benar maupun salah.
"Jika kau mendengar pendapatnya, kau pasti akan terperangah sambil berpikir bahwa dia ini adalah orang paling benar yang ada di muka bumi ini. Kata-katanya dapat mempengaruhimu. Kau akan terkejut bagaimana caranya melihat sesuatu dari sudut pandang yang tak pernah dilihat orang lain.
"Aku bahkan harus hati-hati setiap kali berbicara dengannya. Karena aku tahu, apa pun yang dia ucapkan pasti akan selalu benar di telingaku. Menyebalkan bukan?"
Glen terkekeh, "karena itulah, aku tidak heran jika kata-katanya dapat membuatmu seperti ini."
Mata Hera serta-merta melebar. Benar juga, waktu itu Glen berbicara dengan gadis itu seakan-akan mereka telah lama saling mengenal. Saat itu ia tak sadarkan diri hampir seminggu, sehingga lupa akan hal itu.
"Jika mengambil satu mata berarti menyelamatkan mata yang lain, bukankah seisi dunia akan buta sebelah?" Entah Glen sedang bertanya pada siapa.
"Mau dengar sebuah dongeng?" Usulan Glen menyebabkan alis Hera kembali bertaut. Arah obrolan ini telah benar-benar keluar jalur.
"Ini cerita bagaimana aku bisa bertemu dengannya," sambungnya.
Walau ragu, perlahan Hera mengangguk. Glen kembali menyandarkan punggungnya dan menatap langit-langit kantin dengan tatapan menerawang.
========
Dua orang anak laki-laki berumur 6 tahun sedang berlarian di taman belakang sebuah mansion mewah. Mereka berdua memakai kaus kembar berwarna hitam dan wajah mereka sekilas terlihat mirip dengan bentuk hidung dan bibir yang sama. Rambut mereka juga sama-sama berwarna hitam pekat. Hanya bentuk rahang dan mata mereka yang berbeda. Yang satu bermata hitam dengan bentuk tajam, yang satu lagi berwarna hijau.
"Seru kan di sini, Glen?" Tanya yang bermata hitam.
"Kau benar, Obi. Di sini lebih luas dan bagus," balas yang bermata hijau. Ia mengagumi hamparan rerumputan hijau sejauh mata memandang di bawah langit biru yang cerah ini.
"Aku heran bagaimana kau bisa tahu tempat seperti ini." Glen menyapukan pandangannya ke sekeliling dan melihat beberapa rusa menuju ke arah mereka. Glen mengusap lembut kepala rusa yang berbadan paling kecil. Rusa itu balas mengelus-eluskan kepalanya dengan manja ke tangannya yang mungil.
"Hmm... ayo pergi, Glen. Akan aku perkenalkan kau dengan seseorang!" Ajak Obi antusias.
Glen menatapnya heran sebelum akhirnya mengangguk dan mengikutinya. Ia pamit dengan melambai ke arah kawanan rusa itu.
Mereka berdua membelah pepohonan lebat yang terletak di bagian depan mansion. Awalnya Glen bingung, tapi ia putuskan untuk tetap bungkam. Setelah memasuki pepohonan lebih jauh, Obi pun berhenti, matanya menyisir sekeliling, seperti sedang mencari sesuatu. Namun sepertinya ia tidak dapat menemukan apa yang dicarinya, terlihat dari bibirnya yang melengos kecewa.
"Ke mana ya?" Gumam Obi, menggaruk kepala belakangnya.
Glen juga ikut mengedarkan pandangan, mencoba kalau-kalau ia mendapatkan sesuatu. Namun nihil, ia juga tak menemukan apa pun.
"Ah! Aku lupa! Glen, tunggu sini. Aku akan kembali," ucap Obi dan berlari begitu saja ke arah mansion.
Glen baru saja akan memanggil namanya, namun Obi lari begitu cepat hingga pohon-pohon itu melahap sosoknya. Glen menghela napas. Baiklah ia akan menunggu.
Karena bosan, ia putuskan untuk bermain dengan dedaunan kering yang berserakan di kaki pohon. Ia tumpuk daun-daun coklat itu hingga menjadi gunung.
Ia berjongkok, memandangi gunung dari dedaunan kering yang baru saja ia buat. Sudah lewat 10 menit Obi meninggalkannya. Glen bertanya-tanya apa yang anak itu lakukan.
Belum sempat pertanyaannya terjawab, matanya dibuat terbelalak saat daun keringnya malah hancur berserakan oleh sesuatu yang jatuh dari atas. Yang pertama kali menyambut matanya adalah sepasang kaki mungil dengan sepatu boots hitam yang membalutnya.
Ia sangat kaget sampai membatu beberapa saat. Perlahan, ia mendongak untuk meliput wajah orang yang telah merusak daunnya ini. Dan matanya bahkan dibuat lebih melebar lagi ketika berhasil melihat orang itu seutuhnya.
Rambut pirang hampir putih yang mengalir sampai ke pinggang dengan mata berwarna biru langit. Bibir mungilnya berwarna merah muda dan kulitnya seputih salju. Dia memakai gaun gothic lolita berwarna hitam, mirip seperti pakaian Alice in Wonderland, tapi yang satu ini berwarna hitam seluruhnya.
Dia tidak terlihat seperti manusia. Dia seperti peri. Tidak, karena dia jatuh dari langit, mungkin lebih pantas memanggilnya...
"Malaikat..." sebutan itu lolos begitu saja dari mulut Glen.
Anak perempuan itu menunduk, menyelam ke dalam manik mata hijaunya. Dia menelengkan kepalanya, seperti sedang menilai. Kemudian dia berjongkok, agar bisa sejajar dengan wajahnya.
Mata birunya masih merasuki mata hijau Glen tanpa berniat untuk berpaling. Dia menatapnya dengan sorot takjub, seperti seseorang yang baru pertama kalinya melihat barang mewah.
Namun tiba-tiba matanya berubah dingin, "siapa kau?" Tukasnya.
Suaranya renyah dan unik. Mungkin jika Glen menutup matanya, ia masih dapat mengenali anak perempuan ini dari suaranya saja. Karena baru kali ini Glen mendengar suara yang begitu unik dan berbeda.
'Dia cocok jika bernyanyi,' batin Glen.
"Kenapa kau bisa di sini? Tidak, yang lebih penting, kenapa mereka tidak membunuhmu?"
Jika kata-katanya diganti tidak semenyeramkan ini, mungkin Glen akan berpikir ini adalah suara termerdu yang pernah ia dengar.
"Seseorang tidak dikenal ada di sekitar rumah... tetapi mengapa mereka membiarkannya?" Berpikir, alisnya yang berkerut terlihat menggemaskan.
Dia kembali menatap mata Glen. Sepertinya dia tertarik sekali dengan mata hijau itu. "Baiklah, aku akan membantu. Kau harus pergi sebelum mereka menemukanmu."
Gadis kecil itu berdiri dan mengedarkan pandangan ke sekeliling. Masih tidak ada orang yang mencarinya. Ini kesempatan bagus untuk pergi tanpa ketahuan.
Dia menunduk dan menyentak, "apa yang kau lakukan? Ayo berdiri! Kuberitahu, mereka tidak akan segan membunuh anak kecil seperti kita sekalipun."
Glen mengerjap dan cepat-cepat berdiri. Ia sendiri juga bingung kenapa ia menurut begitu saja. Jika berhadapan seperti ini, terlihat sekali bahwa anak itu lebih pendek darinya, puncak kepalanya hanya sebatas lehernya.
"Kita harus memanjat tembok. Kau bisa kan?" Tanyanya.
Glen mengangguk ragu. Bukan karena ia tidak bisa. Memanjat adalah hal sehari-hari yang dilakukannya bersama Obi saat menginginkan mangga. Ia sudah sangat ahli dalam hal itu.
Yang membuatnya ragu adalah anak perempuan di hadapannya ini. Banyak sekali yang ingin ia tanyakan, namun tak sepatah kata pun yang terlontar. Tapi mengapa anak itu begitu lepasnya berbicara dengannya—dengan orang asing sepertinya?
"Ayo," ajaknya. Dia berbalik dan berjalan mendahuluinya.
Namun Glen masih mematung di tempat. Apakah aneh jika ia percaya begitu saja dengan orang yang baru saja ditemuinya? Walaupun ia telah menguasai teknik beladiri meski baru berumur 6 tahun, namun tidak seharusnya ia mengikuti orang asing begitu saja. Seperti sekarang ini, ia malah berjalan mengekorinya.
"Glen!"
Glen berhenti, begitu pula anak perempuan itu. Keduanya berbalik dan menyaksikan Obi yang tengah berlari mendekat sembari membawa kotak makan.
Obi berhenti di hadapan Glen dengan seringai lebar di bibirnya. Kemudian ia menunjuk kotak makan itu dengan lirikan matanya.
Memperhatikan kotak transparan itu, Glen melihat mangga yang telah terkupas serta terpotong rapi di dalamnya. Mereka berdua langsung berpandangan dengan seringai puas di wajah masing-masing.
Obi melihat ke belakang Glen dan menemukan orang yang dicarinya, "Roze! Dari mana saja kau?"
Glen berbalik dan menatap terkejut anak perempuan itu, "kau kenal dia?"
"Ini dia orang yang ingin aku kenalkan padamu. Namanya Roze."
"Idiot, aku ada di atas pohon. Aku bahkan melihatmu melihat ke sana ke mari mencariku seperti orang idiot."
Obi tertawa mendengarnya. Namun tidak dengan Glen. Mulutnya menganga karena terkejut mendengar kata-kata itu keluar begitu saja dengan santainya dari malaikat sepertinya.
Mata Roze bergeser ke arah Glen. Ketika mata mereka bertemu, entah mengapa Glen membeku di tempat. "Kenapa kau bisa membawa orang asing ke sini? Siapa dia?"
Obi nyengir, "dia Glen, temanku. Saat aku keluar rumah, aku sering bermain dengannya."
Mata Roze melebar. Ia mendekat dengan mata berbinar-binar. "Benarkah? Kau teman Obi?" Desaknya dengan wajah berseri-seri, berbeda 180 derajat dari sebelumnya.
Glen sedikit mundur karena wajah itu terlalu dekat dengannya. Kemudian ia mengangguk cepat.
Tiba-tiba saja Roze tertawa, "wah... Salam kenal! Aku tidak tahu kalau kau teman Obi. Ah! Namaku Rozeale Vladimic, panggil saja Roze." Sambutnya riang.
"Dimana huruf R-nya, Ze?" Obi terkikik pelan, membuat Roze mendelik tajam ke arahnya.
Di lain sisi, Glen bahkan dibuat melongo akan perubahan sikapnya yang tiba-tiba bersahabat itu. Namun lebih dari itu, ia dibuat mematung oleh senyumannya.
"Teman Obi berarti temanku juga. Semoga mulai sekarang kita bisa cepat akrab, oke?"
Glen menelan ludah, lalu dengan perlahan mengangguk. Obi yang berdiri di sebelahnya mengulum senyum jahil ketika melihat tingkahnya itu. "Kenapa? Dia cantik ya?" Godanya.
Glen menoleh cepat ke arahnya dengan alis bertaut. Dan ekspresinya itu makin melebarkan seringai di bibir Obi.
Tiba-tiba terdengar suara setengah berteriak dari seorang wanita, "Nona!"
Mereka bertiga menoleh ke sumber suara. Terlihat seorang wanita berambut hitam yang diikat satu, setengah berlari menghampiri mereka. Wanita itu berumur sekitar 30 tahunan dan mengenakan jas serta celana panjang yang berwarna serba hitam. Glen tahu siapa itu, ia sering bertemu dengannya. Wanita ini tak lain dan tak bukan adalah ibu kandung Obi.
"Nona! Nona dari mana saja? Nona tidak boleh seenaknya menghilang begitu saja," omelnya dengan alis bertaut marah.
Glen menoleh ke belakang dan membeku, terkejut ketika melihat anak perempuan itu menundukkan kepalanya dengan mata yang jatuh ke tanah. Sudut matanya berkerut sedih serta melukiskan perasaan bersalah.
"Maaf, Ibu. Aku tidak akan mengulanginya lagi. Jika ingin bermain, aku akan meminta izin terlebih dahulu," cicitnya sembari memainkan jari-jarinya dengan gelisah.
Wanita itu mendesah. Ia tidak dapat marah terlalu lama kepada anak kecil cantik bagai boneka di hadapannya ini, apalagi ketika melihat matanya yang mencair seperti ingin menangis.
Kejadian hari ini mungkin adalah hal paling membingungkan dalam hidup Glen. Anak itu baru saja memanggil ibunda Obi dengan sebutan Ibu.
Apa yang sebenarnya terjadi?
- You can't spell FAIRYTALE without FATE -
Tak kunjung mendapat jawaban, Hera mengangkat wajah dan melihat Glen tengah menatap intens ke satu tempat. Mengikuti arah pandangannya, Hera mendapatinya sedang memandangi meja orang-orang populer itu.
Tidak biasanya Glen tertarik melihat mereka. Hera menyentuh punggung tangan Glen di atas meja, membawanya kembali ke kenyataan.
"Kopi susu," ujar Glen. Ia terdiam sebentar lalu memutuskan untuk berdiri, "biar aku saja."
Glen memesan kopi susu dan jus strawberry, jus kesukaan Hera. Ia tidak ingin pura-pura tidak tahu mengenai tatapan permusuhan yang sejak tadi ditembakkan ke arahnya, karena ini sungguh terang-terangan. Tapi sebisa mungkin ia mengabaikan semuanya.
Sudah lama sekali sejak terakhir kali ia ke kantin. Jika bukan karena Hera yang memohon-mohon tadi, ia tidak akan mungkin mau ke sini. Terlalu berisik dan mengganggu.
Meletakkan jus dan kopi susu itu di atas meja, Glen kembali hinggap di kursinya sembari memperhatikan Hera yang kini tengah menyedot jus pesanannya. Anak rambutnya sedikit menjuntai menutupi pipinya. Menyadari itu, ia mengangkat tangan kanannya dan menyelipkan aliran sungai coklat itu ke belakang telinga.
Hera menegang. Ia tak lagi menikmati jusnya. Karena jika ia teruskan, sudah pasti ia akan tersedak.
"Seharusnya kau tidak bicara denganku." Suara Glen serak dan matanya nanar ketika ia mengatakannya.
Hera mengerjap kemudian alisnya bertaut marah. Ia mengambil napas panjang sebelum mengoceh, "aku sudah lelah berpura-pura kita tidak saling mengenal, Glen. Aku tidak tahan saat harus diam ketika melihat mereka melakukan hal semena-mena padamu. Ingin sekali aku berteriak di depan muka mereka dan memberitahu dirimu yang sebenarnya. Bahwa Glen itu tidak seperti yang mereka kira. Glen lebih dari ini. Glen itu sempurna. Aku ingin memberitahu mereka bahwa kau adalah..."
Ocehannya tersangkut ketika melihat Glen melekatkan telunjuknya di bibir, "tidak ada yang perlu mereka tahu," selanya.
Bibir Hera mengerucut, "sampai kapan kau ingin sembunyi terus seperti ini?"
"Sampai hal yang menggangguku hilang."
Hera berdecak, "semua hal di dunia ini kau anggap mengganggu. Aku tidak ingin mengatakan ini tapi... Glen, kalau begini kau seperti pengecut saja."
Glen terkekeh, "aku memang pengecut."
"Kau lebih suka sembunyi daripada berusaha."
Glen tersenyum sambil terpejam, "memang benar."
Hera mendengus kasar. Entah seberapa banyak kata-kata protes yang ia lontarkan, semuanya tak ada yang dapat mengubah jalan pikiran orang keras kepala satu ini.
"Hera aku hanya... aku takut mereka akan mengganggumu saat tahu kau bersamaku."
"Tidak ada yang menggangguku, Glen. Apakah kau pikir mereka akan mengganggu seorang Ralpheus?" Tukas Hera.
Glen mendesah, "memang tidak, tapi apa yang akan mereka katakan kepadamu ketika tahu kau bersama dengan—"
"Tidak tahu dan tidak peduli," sergah Hera tak acuh.
Lagi-lagi Glen mendesah pasrah, "baiklah, jika mereka bertanya katakan saja bahwa aku ini pembantumu, pesuruh atau hal semacamnya."
Mata Hera mengerjap kemudian membulat. Apakah dia ini serius? "Glen, keluarga kami telah menjadi pengikut Marquess Barier untuk waktu yang lama. Aku sama sekali tidak berani—"
"Ini perintah," tandas Glen, tatapannya mengeras hingga membuat Hera menegang di tempat. "Kau sudah beberapa kali melanggar omonganku, Heracle Delphi Ralpheus."
Mata Hera terbelalak. Cepat-cepat ia merendahkan kepala dan berkata dengan suara tegas namun gemetar, "mohon maaf atas ketidak-sopanan saya, Tuan Muda Heliose Glen Barier. Saya tidak akan mengulanginya lagi di masa depan."
"Hera, angkat kepalamu," desis Glen, panik.
Hera tersadar dan kembali mengangkat kepalanya, menatap mata hitam di hadapannya ini dengan hati-hati, takut kalau-kalau Glen masih menatapnya dengan tatapan penuh otoriter layaknya seorang penguasa seperti tadi. Jarang sekali dia menatapnya seperti itu, bahkan mungkin hampir tidak pernah.
"Maaf," gumam Glen, menyadari perubahan pada sikap Hera.
Hera mengangguk. Tidak berani menatap tepat di manik hitam itu lagi, ia mengedarkan matanya ke segala penjuru kantin. Seketika mata coklatnya menangkap punggung seseorang yang baru kemarin ia kenal.
Orang itu duduk bersama para anak populer itu. Dia terlihat akrab dengan mereka didengar dari suara tawanya.
"Glen..." gumam Hera, masih memandangi punggung orang itu.
"Ya, aku tahu," balas Glen dari sela giginya.
Hera kembali melihat Glen. Mata hitam itu kini teraling oleh bulu mata, menunduk, menatap sendu ke cangkir kopi yang isinya tinggal setengah.
Hera menatapnya prihatin. Entah mengapa mata sendu Glen selalu menyayat hatinya. "Ini tidak adil. Bahkan adikmu sendiri..."
"Dunia ini memang tidak adil, Her." Glen tersenyum, "jadi daripada terus mengeluh tentang betapa tidak adilnya dunia ini, lebih baik biasakan dirimu." Ia meminum habis kopi susunya.
"Karena walaupun kau merasa seperti tertusuk berjuta-juta pisau sekalipun, dunia tidak akan pernah peduli," sambungnya kemudian.
"Daripada mengubah dan memperbaiki dunia ini, kau lebih suka duduk diam dan menerimanya?" Tuntut Hera.
Glen mengangkat pandangannya. Alisnya terangkat naik, "apa maksudmu?"
Hera menunduk, terlihat ragu, "aku hanya..." ia kembali mendongak, "perkataan seseorang akhir-akhir ini menggangguku."
Glen memajukan duduknya, berniat mendengarkan ucapan dari seorang gadis yang terlihat sedang bimbang di hadapannya ini.
"Kau ingat orang yang hampir membunuhku waktu itu?"
Alis Glen mencuat. Ia seperti dapat menebak ke mana pembicaraan ini mengalir.
"Sebelum kau datang, kami sempat bicara."
Ungkapan Hera barusan sukses menarik perhatiannya. "Apa yang dia bilang?"
Hera memainkan telunjuknya, mengitari pinggiran gelas jus, "dia bilang bahwa mengambil satu nyawa, di lain pihak juga akan menyelamatkan nyawa yang lain." Suaranya sangat lirih seperti sedang berbisik.
Glen kembali memundurkan duduknya, bersandar pada kursi sambil bersedekap.
"Dia juga bilang bahwa tujuannya cuma satu, yaitu kedamaian."
Glen tak bereaksi. Sorot matanya terlihat seperti sedang menilai. Namun Hera tahu, yang sedang Glen nilai bukanlah dirinya, tapi ucapannya.
"Saat aku tanya mengapa kita saling bertarung jika tujuan kita sama, dia berkata padaku bahwa aku tidak pantas memegang senjata," suara Hera terdengar getir.
"Dia bilang, orang yang berhak memegang senjata adalah orang yang telah paham apa yang dilakukannya."
"Sementara kau tidak?" Glen menebak. "Dan kau merasa kau tidak pantas memegang senjata?" Sikap dan suaranya tenang, berbeda dengan Hera.
"Aku... aku tidak bisa menemukan jawabannya. Mengapa dia mengambil jalan itu jika kita mempunyai tujuan yang sama," ungkapnya, ragu. "Glen, bagaimana menurutmu?" Tanyanya. Biasanya Glen akan mudah sekali mengatasi hal-hal yang mengundang keraguannya.
Glen memajukan duduknya dan berdeham. "Dulu, ada seorang anak perempuan..."
Alis Hera bertaut, bingung ke mana arah ucapannya kali ini.
"...dia sangat menyebalkan karena hanya peduli pada pikirannya sendiri. Mungkin dia adalah orang paling keras kepala yang pernah orang-orang temui.
"Dia tidak pernah peduli pada sekitar. Dia juga tidak takut untuk mengutarakan apa yang ada di dalam pikirannya, walaupun hal itu menyinggung ataupun menyakiti orang lain.
"Dia sangat sulit dipengaruhi, sangat sulit diubah, pendiriannya kuat. Pikirannya unik, berbeda dari orang lain. Jika orang lain dapat mendengar isi pikirannya, mungkin walau mereka belajar seumur hidup sekalipun, aku tidak yakin mereka akan dapat memahaminya.
"Dia itu tidak tersentuh, tak suka dikekang. Jiwanya bebas. Dia bahkan tidak segan untuk melawan orang yang telah merenggut kebebasannya.
"Jika kau dibenci olehnya, itu berarti walau kau sujud ataupun mencium kakinya sekalipun, dia tidak akan pernah memaafkanmu. Benar-benar tidak bisa diubah kan?" Glen bertanya lalu terkekeh. Tapi Hera tidak mengerti dimana letak lucunya.
"Dia itu seorang idealis sejati, namun juga pendengar yang baik. Dia akan mendengarkan semua pikiranmu dengan sabar, selama itu tidak bertentangan dengan pendiriannya. Karena itulah dia sangat cocok sebagai tempat ceritamu.
"Dia tidak gampang membuka hatinya kepada orang lain. Tapi ketika dia melakukannya, dia akan menghargaimu seperti benda antik yang tak ternilai harganya. Dia akan mengikutimu bahkan sampai ujung dunia sekalipun. Jika kau jatuh, dia akan ikut jatuh bersamamu. Dia tidak akan pernah meninggalkanmu bahkan jika seluruh dunia menentangmu. Dia akan terus bersamamu dalam benar maupun salah.
"Jika kau mendengar pendapatnya, kau pasti akan terperangah sambil berpikir bahwa dia ini adalah orang paling benar yang ada di muka bumi ini. Kata-katanya dapat mempengaruhimu. Kau akan terkejut bagaimana caranya melihat sesuatu dari sudut pandang yang tak pernah dilihat orang lain.
"Aku bahkan harus hati-hati setiap kali berbicara dengannya. Karena aku tahu, apa pun yang dia ucapkan pasti akan selalu benar di telingaku. Menyebalkan bukan?"
Glen terkekeh, "karena itulah, aku tidak heran jika kata-katanya dapat membuatmu seperti ini."
Mata Hera serta-merta melebar. Benar juga, waktu itu Glen berbicara dengan gadis itu seakan-akan mereka telah lama saling mengenal. Saat itu ia tak sadarkan diri hampir seminggu, sehingga lupa akan hal itu.
"Jika mengambil satu mata berarti menyelamatkan mata yang lain, bukankah seisi dunia akan buta sebelah?" Entah Glen sedang bertanya pada siapa.
"Mau dengar sebuah dongeng?" Usulan Glen menyebabkan alis Hera kembali bertaut. Arah obrolan ini telah benar-benar keluar jalur.
"Ini cerita bagaimana aku bisa bertemu dengannya," sambungnya.
Walau ragu, perlahan Hera mengangguk. Glen kembali menyandarkan punggungnya dan menatap langit-langit kantin dengan tatapan menerawang.
========
Dua orang anak laki-laki berumur 6 tahun sedang berlarian di taman belakang sebuah mansion mewah. Mereka berdua memakai kaus kembar berwarna hitam dan wajah mereka sekilas terlihat mirip dengan bentuk hidung dan bibir yang sama. Rambut mereka juga sama-sama berwarna hitam pekat. Hanya bentuk rahang dan mata mereka yang berbeda. Yang satu bermata hitam dengan bentuk tajam, yang satu lagi berwarna hijau.
"Seru kan di sini, Glen?" Tanya yang bermata hitam.
"Kau benar, Obi. Di sini lebih luas dan bagus," balas yang bermata hijau. Ia mengagumi hamparan rerumputan hijau sejauh mata memandang di bawah langit biru yang cerah ini.
"Aku heran bagaimana kau bisa tahu tempat seperti ini." Glen menyapukan pandangannya ke sekeliling dan melihat beberapa rusa menuju ke arah mereka. Glen mengusap lembut kepala rusa yang berbadan paling kecil. Rusa itu balas mengelus-eluskan kepalanya dengan manja ke tangannya yang mungil.
"Hmm... ayo pergi, Glen. Akan aku perkenalkan kau dengan seseorang!" Ajak Obi antusias.
Glen menatapnya heran sebelum akhirnya mengangguk dan mengikutinya. Ia pamit dengan melambai ke arah kawanan rusa itu.
Mereka berdua membelah pepohonan lebat yang terletak di bagian depan mansion. Awalnya Glen bingung, tapi ia putuskan untuk tetap bungkam. Setelah memasuki pepohonan lebih jauh, Obi pun berhenti, matanya menyisir sekeliling, seperti sedang mencari sesuatu. Namun sepertinya ia tidak dapat menemukan apa yang dicarinya, terlihat dari bibirnya yang melengos kecewa.
"Ke mana ya?" Gumam Obi, menggaruk kepala belakangnya.
Glen juga ikut mengedarkan pandangan, mencoba kalau-kalau ia mendapatkan sesuatu. Namun nihil, ia juga tak menemukan apa pun.
"Ah! Aku lupa! Glen, tunggu sini. Aku akan kembali," ucap Obi dan berlari begitu saja ke arah mansion.
Glen baru saja akan memanggil namanya, namun Obi lari begitu cepat hingga pohon-pohon itu melahap sosoknya. Glen menghela napas. Baiklah ia akan menunggu.
Karena bosan, ia putuskan untuk bermain dengan dedaunan kering yang berserakan di kaki pohon. Ia tumpuk daun-daun coklat itu hingga menjadi gunung.
Ia berjongkok, memandangi gunung dari dedaunan kering yang baru saja ia buat. Sudah lewat 10 menit Obi meninggalkannya. Glen bertanya-tanya apa yang anak itu lakukan.
Belum sempat pertanyaannya terjawab, matanya dibuat terbelalak saat daun keringnya malah hancur berserakan oleh sesuatu yang jatuh dari atas. Yang pertama kali menyambut matanya adalah sepasang kaki mungil dengan sepatu boots hitam yang membalutnya.
Ia sangat kaget sampai membatu beberapa saat. Perlahan, ia mendongak untuk meliput wajah orang yang telah merusak daunnya ini. Dan matanya bahkan dibuat lebih melebar lagi ketika berhasil melihat orang itu seutuhnya.
Rambut pirang hampir putih yang mengalir sampai ke pinggang dengan mata berwarna biru langit. Bibir mungilnya berwarna merah muda dan kulitnya seputih salju. Dia memakai gaun gothic lolita berwarna hitam, mirip seperti pakaian Alice in Wonderland, tapi yang satu ini berwarna hitam seluruhnya.
Dia tidak terlihat seperti manusia. Dia seperti peri. Tidak, karena dia jatuh dari langit, mungkin lebih pantas memanggilnya...
"Malaikat..." sebutan itu lolos begitu saja dari mulut Glen.
Anak perempuan itu menunduk, menyelam ke dalam manik mata hijaunya. Dia menelengkan kepalanya, seperti sedang menilai. Kemudian dia berjongkok, agar bisa sejajar dengan wajahnya.
Mata birunya masih merasuki mata hijau Glen tanpa berniat untuk berpaling. Dia menatapnya dengan sorot takjub, seperti seseorang yang baru pertama kalinya melihat barang mewah.
Namun tiba-tiba matanya berubah dingin, "siapa kau?" Tukasnya.
Suaranya renyah dan unik. Mungkin jika Glen menutup matanya, ia masih dapat mengenali anak perempuan ini dari suaranya saja. Karena baru kali ini Glen mendengar suara yang begitu unik dan berbeda.
'Dia cocok jika bernyanyi,' batin Glen.
"Kenapa kau bisa di sini? Tidak, yang lebih penting, kenapa mereka tidak membunuhmu?"
Jika kata-katanya diganti tidak semenyeramkan ini, mungkin Glen akan berpikir ini adalah suara termerdu yang pernah ia dengar.
"Seseorang tidak dikenal ada di sekitar rumah... tetapi mengapa mereka membiarkannya?" Berpikir, alisnya yang berkerut terlihat menggemaskan.
Dia kembali menatap mata Glen. Sepertinya dia tertarik sekali dengan mata hijau itu. "Baiklah, aku akan membantu. Kau harus pergi sebelum mereka menemukanmu."
Gadis kecil itu berdiri dan mengedarkan pandangan ke sekeliling. Masih tidak ada orang yang mencarinya. Ini kesempatan bagus untuk pergi tanpa ketahuan.
Dia menunduk dan menyentak, "apa yang kau lakukan? Ayo berdiri! Kuberitahu, mereka tidak akan segan membunuh anak kecil seperti kita sekalipun."
Glen mengerjap dan cepat-cepat berdiri. Ia sendiri juga bingung kenapa ia menurut begitu saja. Jika berhadapan seperti ini, terlihat sekali bahwa anak itu lebih pendek darinya, puncak kepalanya hanya sebatas lehernya.
"Kita harus memanjat tembok. Kau bisa kan?" Tanyanya.
Glen mengangguk ragu. Bukan karena ia tidak bisa. Memanjat adalah hal sehari-hari yang dilakukannya bersama Obi saat menginginkan mangga. Ia sudah sangat ahli dalam hal itu.
Yang membuatnya ragu adalah anak perempuan di hadapannya ini. Banyak sekali yang ingin ia tanyakan, namun tak sepatah kata pun yang terlontar. Tapi mengapa anak itu begitu lepasnya berbicara dengannya—dengan orang asing sepertinya?
"Ayo," ajaknya. Dia berbalik dan berjalan mendahuluinya.
Namun Glen masih mematung di tempat. Apakah aneh jika ia percaya begitu saja dengan orang yang baru saja ditemuinya? Walaupun ia telah menguasai teknik beladiri meski baru berumur 6 tahun, namun tidak seharusnya ia mengikuti orang asing begitu saja. Seperti sekarang ini, ia malah berjalan mengekorinya.
"Glen!"
Glen berhenti, begitu pula anak perempuan itu. Keduanya berbalik dan menyaksikan Obi yang tengah berlari mendekat sembari membawa kotak makan.
Obi berhenti di hadapan Glen dengan seringai lebar di bibirnya. Kemudian ia menunjuk kotak makan itu dengan lirikan matanya.
Memperhatikan kotak transparan itu, Glen melihat mangga yang telah terkupas serta terpotong rapi di dalamnya. Mereka berdua langsung berpandangan dengan seringai puas di wajah masing-masing.
Obi melihat ke belakang Glen dan menemukan orang yang dicarinya, "Roze! Dari mana saja kau?"
Glen berbalik dan menatap terkejut anak perempuan itu, "kau kenal dia?"
"Ini dia orang yang ingin aku kenalkan padamu. Namanya Roze."
"Idiot, aku ada di atas pohon. Aku bahkan melihatmu melihat ke sana ke mari mencariku seperti orang idiot."
Obi tertawa mendengarnya. Namun tidak dengan Glen. Mulutnya menganga karena terkejut mendengar kata-kata itu keluar begitu saja dengan santainya dari malaikat sepertinya.
Mata Roze bergeser ke arah Glen. Ketika mata mereka bertemu, entah mengapa Glen membeku di tempat. "Kenapa kau bisa membawa orang asing ke sini? Siapa dia?"
Obi nyengir, "dia Glen, temanku. Saat aku keluar rumah, aku sering bermain dengannya."
Mata Roze melebar. Ia mendekat dengan mata berbinar-binar. "Benarkah? Kau teman Obi?" Desaknya dengan wajah berseri-seri, berbeda 180 derajat dari sebelumnya.
Glen sedikit mundur karena wajah itu terlalu dekat dengannya. Kemudian ia mengangguk cepat.
Tiba-tiba saja Roze tertawa, "wah... Salam kenal! Aku tidak tahu kalau kau teman Obi. Ah! Namaku Rozeale Vladimic, panggil saja Roze." Sambutnya riang.
"Dimana huruf R-nya, Ze?" Obi terkikik pelan, membuat Roze mendelik tajam ke arahnya.
Di lain sisi, Glen bahkan dibuat melongo akan perubahan sikapnya yang tiba-tiba bersahabat itu. Namun lebih dari itu, ia dibuat mematung oleh senyumannya.
"Teman Obi berarti temanku juga. Semoga mulai sekarang kita bisa cepat akrab, oke?"
Glen menelan ludah, lalu dengan perlahan mengangguk. Obi yang berdiri di sebelahnya mengulum senyum jahil ketika melihat tingkahnya itu. "Kenapa? Dia cantik ya?" Godanya.
Glen menoleh cepat ke arahnya dengan alis bertaut. Dan ekspresinya itu makin melebarkan seringai di bibir Obi.
Tiba-tiba terdengar suara setengah berteriak dari seorang wanita, "Nona!"
Mereka bertiga menoleh ke sumber suara. Terlihat seorang wanita berambut hitam yang diikat satu, setengah berlari menghampiri mereka. Wanita itu berumur sekitar 30 tahunan dan mengenakan jas serta celana panjang yang berwarna serba hitam. Glen tahu siapa itu, ia sering bertemu dengannya. Wanita ini tak lain dan tak bukan adalah ibu kandung Obi.
"Nona! Nona dari mana saja? Nona tidak boleh seenaknya menghilang begitu saja," omelnya dengan alis bertaut marah.
Glen menoleh ke belakang dan membeku, terkejut ketika melihat anak perempuan itu menundukkan kepalanya dengan mata yang jatuh ke tanah. Sudut matanya berkerut sedih serta melukiskan perasaan bersalah.
"Maaf, Ibu. Aku tidak akan mengulanginya lagi. Jika ingin bermain, aku akan meminta izin terlebih dahulu," cicitnya sembari memainkan jari-jarinya dengan gelisah.
Wanita itu mendesah. Ia tidak dapat marah terlalu lama kepada anak kecil cantik bagai boneka di hadapannya ini, apalagi ketika melihat matanya yang mencair seperti ingin menangis.
Kejadian hari ini mungkin adalah hal paling membingungkan dalam hidup Glen. Anak itu baru saja memanggil ibunda Obi dengan sebutan Ibu.
Apa yang sebenarnya terjadi?
- You can't spell FAIRYTALE without FATE -