28 RESE

Kaló menunggu seseorang di seberang sana untuk mengangkat panggilannya. Dengan sabar, ia mendengarkan bunyi 'tut' berulang-ulang hingga akhirnya panggilannya pun terjawab.

"Bos?"

"Apa?"

"Jangan ke sini, beritahu juga Juni. Kita batalkan semuanya. Aku, Rhea, dan Zeze akan ke rumahmu dalam 15 menit. Noro terluka."

Orang di seberang sana hanya diam, namun beberapa detik kemudian terdengar jawaban singkat.

"...ok."

Panggilan pun terputus. Kaló menjejalkan kembali ponselnya ke dalam saku celana jeans-nya. Matanya tertuju pada Zeze yang sedang duduk membelakanginya sambil memeluk lutut, memperhatikan wajah damai Norofi yang tengah terlelap.

Menoleh ke samping kanannya, Kaló melihat Rhea yang juga melakukan hal yang sama. Dia bersandar pada pohon dengan kedua kaki terulur dan mata yang terpejam. Jeans hitam yang dipakainya agak terkoyak di bagian lutut. Hoodie putihnya pun telah terlihat usang.

Kaló berdecak kesal. Seharusnya ia datang lebih cepat. Apa yang ia lakukan? Ia membiarkan ketiga keluarganya berjuang melawan monster itu sendirian!

Ia berjongkok dan membawa tubuh Norofi di punggungnya. "Kita naik taksi saja," ujarnya dan dibalas anggukan oleh Zeze.

Zeze berjongkok untuk membangunkan Rhea. Ia merasa kasihan kepada kakaknya itu, kelelahan sehabis menggunakan dýnami-nya untuk mengobati Norofi mati-matian.

Setelah hampir 15 menit mereka menunggang taksi, akhirnya mobil itu berhenti di depan gerbang besar berwarna merah tua dengan patung burung hering terpajang di sisi atas kanan dan kirinya.

Jari Zeze menyentuh tombol hologram di dinding bercat coklat dekat gerbang itu. Sedetik kemudian, gerbang itu terbuka lebar, menampilkan pekarangan mansion bernuansa Eropa klasik yang dindingnya dicat merah bergradasi oranye.

Mereka berjalan di atas tanah yang walaupun telah tertutupi salju masih dapat dirasakan bahwa dulunya ditumbuhi rerumputan hijau nan segar.

Di tengah-tengah pekarangan terdapat sebuah kolam ikan yang airnya telah membeku, serta dinding tumbuhan yang mengitarinya.

Semakin mereka mendekat, semakin jelas terlihat visual seorang laki-laki berambut pirang cerah yang tengah bersandar di dinding depan mansion. Dia memakai kaus merah berlengan pendek dipadu ripped jeans biru walaupun di luar sedang turun salju.

"Lewat sini." Ia berjalan memimpin mereka menuju sebuah pintu coklat kecil di sisi samping mansion tersebut.

Saat pintu dibuka, tampilah secuil ruangan dengan satu sofa panjang berwarna merah marun serta 2 set sofa single yang saling berhadapan, dipisahkan oleh meja berkaca dari kayu oak di tengah-tengahnya.

Banyak lukisan artistik yang menggantung di dindingnya yang bercat oranye pudar. Lukisan-lukisan itu terpajang lengkap mulai dari lukisan manusia, hewan, maupun abstrak. Tak lupa juga guci-guci antik yang mendiami bagian sudutnya.

Setelah Kaló meletakan tubuh Norofi di atas sofa panjang, ia merosot duduk di lantai yang dilapisi karpet hitam.

"Kai, ini gawat. Entah dari mana mereka bisa mengetahui rencana kita," ungkap Rhea dengan serius setelah mengambil duduk di lantai dekat kepala Norofi, bersandar pada kaki sofa.

"Apakah pergerakan kita terlalu mudah dibaca?" Tukas Kaló, memandang Kai tak kalah serius. "Yang lainnya baik-baik saja ketika menjalani misi."

"Apa kau lupa? Mereka menjalani misi di negara lain. Hanya kita bertujuh saat ini yang ada di Aplistia," sangkal Rhea.

"Benar." Zeze ikut bersuara. Sejak tadi ia berdiri memunggungi mereka, menghadap dinding dan sibuk mengagumi lukisan.

"Contohnya 5 tahun yang lalu. Semuanya kacau. Kita kehilangan Afrodi. Mungkin hanya kebetulan misi yang aku pimpin berhasil membunuh Walikota Madora, meski memang karena para Ipotis itu sedang tidak ada di sana sebab mereka tengah terfokus ke hal lain. Dan untuk penyerangan pada saat pertemuan para bangsawan, saat itu ada Kak Leah, jadi... well, tidak terlalu sulit.

"Dan untuk 2 tahun yang lalu, Raja sendiri yang memimpin, jadi... ya, tentu saja mulus. Terlebih lagi, Raja berhasil menyingkirkan Ueva Irdante, yang notabenenya selalu disandingkan dengan Antoni.

"Untuk minggu lalu, ketika aku dan Juni menghabisi keluarga besar Earl Swarovske, para Ipotis itu datang tetapi hanya yang berpangkat rendah. Karena itulah penyerangan kami berjalan mulus," terang Zeze panjang lebar.

Kemudian Zeze teringat misi-misi yang lainnya. Untung saja yang lainnya lagi berhasil karena Kion, batinnya.

"Mereka memiliki pangkat?" Gumam Rhea, melihat ke arah punggung Zeze.

"Seperti itulah," Zeze mengangkat bahu. "Dari informasi yang aku dapat, pangkat tertinggi adalah Cheimazo, atau yang biasa disebut dengan penyidik spesial. Di bawahnya terdapat Afeith, Zertais, dan Gafeus."

Suara helaan napas terdengar, "ya, memang Aplistia adalah negara dengan kekuatan militer terbaik abad ini."

Zeze menoleh ke belakang, ke arah Kai yang duduk di sebuah sofa single. Sebelah alisnya terangkat jail ketika menggodanya, "apa kau takut?"

Kai meliriknya sehingga dua pasang mata berwarna biru itu saling bertemu. Tak sampai lima detik, Zeze memecah kesunyian di antara mereka dengan tawa. Dia memang tidak bisa serius terlalu lama.

"Sepertinya akan sulit kali ini." Kaló mendesah frustrasi.

"Apa yang kau katakan? Apa kau lupa mengapa Raja memilih kita bertujuh kali ini?" Bantah Rhea, melihat ke arahnya dengan alis bertaut. "Justru karena Raja memilih kita, itu akan tambah lebih mudah dibanding jika dilakukan oleh yang lainnya."

Zeze mengangguk setuju. ia menuju sofa single di hadapan Kai dan mendudukinya.

"Ngomong-ngomong, Bos. Bagaimana penyerahan gelarnya?" Kaló bertanya kepada Kai.

Kai menyilangkan kaki kanannya di atas kaki kirinya sebelum menjawab santai, "belum ada kabar."

"Tentu saja, baru berjalan setengah tahun sejak Duke Arthares wafat. Seharusnya tidak secepat itu, apalagi Kai itu baru berumur 18 tahun," kata Rhea.

"Tidak," sanggah Kai. "Aku memiliki maksud lain. Gelar itu akan aku serahkan kepada adik dari ayahku."

"Jadi... kau ingin membuat boneka?" Tebak Zeze.

Kai menatapnya sesaat lalu mengangguk perlahan.

Sembari melipat kedua kakinya di atas sofa, Zeze bergumam, "aku sempat heran mengapa waktu itu kau membunuh ayahmu sendiri. Sekarang aku paham."

"Jadi setelah penobatan itu, titel Duke tidak ada pada keluargamu lagi? Apakah kita akan bebas berbicara dengan Zeze dan yang lainnya?" Kaló memastikan dan dijawab Kai dengan anggukan.

"Sekarang kita tidak perlu cemas. Bukan tanpa alasan Raja memilih kita." Rhea menimpali sambil menyisir rambutnya ke belakang dengan jari. "Terlebih lagi, leader kita kali ini adalah Ares, dewa perang-nya Énkavma," katanya, melirik penuh arti ke arah Kai.

Tiba-tiba pintu terbuka kasar, menampilkan seorang gadis berambut panjang tanpa poni yang sedang terengah-engah. Salju yang menumpuk di atas kepalanya terlihat kontras dengan rambutnya yang hitam. Dia mengenakan long coat yang berwarna senada dengan rambutnya dipadu dengan celana legging berwarna ungu gelap.

"A... apa... apa yang terjadi!?" Tuntutnya, cemas.

"Tidak ada yang terjadi." Zeze mengangkat bahu.

"Tenanglah dulu, Ni." Suara Rhea begitu menenangkan ketika ia mengusulkan.

Juni mengambil napas panjang dan membuangnya perlahan. Ia lakukan itu berulang-ulang sampai jantungnya kembali tenang.

Ketika melirik Norofi yang terbaring di atas sofa, mata Juni langsung menggelap. "Noro..."

"Si Antoni sialan itu yang melakukannya," geram Kaló dengan tangan terkepal kuat di atas paha. Rahangnya mengeras, gigi-giginya saling gemertak menahan amarah.

Juni menyapukan pandangannya ke arah teman-temannya, mencoba menemukan apakah ada lagi yang terluka. Matanya berhenti di lengan kanan Zeze. Terdapat warna merah yang kontras dengan biru pada jaket denimnya itu.

"Ze, tanganmu..."

Zeze mengangkat tangannya itu lalu menggoyang-goyangkannya, "sudah sembuh." Ia melirik penuh makna ke arah Rhea.

Akhirnya Juni dapat benar-benar membuang napas dengan lega. Berjalan mendekat, suara high heels-nya menggema di seluruh ruangan yang tampak kosong ini. Dia berhenti dan duduk di lantai dekat kaki Zeze.

"Ngomong-ngomong soal Antoni Barier..." Zeze memulai, membuka ikatan rambutnya yang berantakan dan membiarkannya tergerai lurus sampai ke pinggang. "...ada hal penting yang ingin kuberitahukan kepada kalian."

Keempat orang itu menegakkan punggung dengan tampang serius. Mereka paham, jika Zeze telah berbicara seperti itu, pastinya hal itu benar-benar penting.

"Aku mengetahui ini setelah bertarung satu lawan satu dengannya."

Mata Juni melebar mendengarnya. Ia memang sudah tahu sehebat apa Zeze. Dia mempunyai kemampuan seimbang antara pertahanan dan penyerangan. Terlebih lagi, dia menguasai pertarungan jarak dekat dan jauh. Meski itu wajar saja karena Zeze telah mempelajari ilmu bela diri dan dýnami sejak berumur 9 tahun.

"Mungkin Kak Rhea dan Kak Leah melihat ini dari sudut pandang berbeda, karena memang dia itu luar biasa cepat dan tangguh. Tapi aku menemukan petunjuk lain yang lebih akurat."

========

Semua mata di kantin indoor lantai satu terbelalak ketika melihat tiga orang tambahan yang duduk di meja keramat itu.

Suasana sama namun canggung juga dirasakan oleh orang-orang lama yang mendiami meja tersebut. Namun beda halnya dengan Zeze yang justru tambah semangat semenjak Obi, Juni, dan Rhea bergabung dengannya.

"Kau makan banyak kali ini," komentar Airo yang duduk di sebelah kiri Zeze.

"Mungkin karena ada kita." Juni mengerling penuh arti.

"Setengah benar, setengah tidak," balas Zeze dengan mulut penuh pancake. "Ah, dia Junigra." Zeze menjelaskan kepada Airo. "Keren bukan namanya?"

Airo menatap Juni yang duduk di hadapan Zeze dengan ekspresi rumit, "ya, aku sudah tahu. Aku pernah mendengar tentangnya."

"Kau dengar itu, Ni? Kau lebih terkenal dari yang kau kira." Zeze meledek, sementara Juni hanya memutar bola matanya.

"Pelacur terbaik di Exousia," lanjutnya.

Detik itu juga, mereka semua tersedak.

Juni berdecak dengan mata terpejam, "jangan mulai."

"Bukankah itu panggilan kesayangan yang mereka berikan padamu?" Nadanya lebih terdengar sarkastis dibanding mengejek.

"Lebih baik daripada alien albino sepertimu," balas Juni lalu menjulurkan lidahnya.

Orang-orang di meja itu saling bertukar pandang, kecuali Kion yang menyelam dalam bukunya dan Froura yang fokus dengan makanannya. Obi dan Rhea sudah terbiasa dengan hal ini jadi mereka tidak ambil pusing dan tetap meneruskan makan.

Mereka keheranan dengan dua orang manusia yang saling mengejek tapi tak ada yang tersinggung ini. Terlebih lagi, putri semata wayang Earl Mavros itu baru saja menghina Zeze! Bukankah itu bisa masuk undang-undang?

"Kuberitahu ya, albino itu keadaan dimana seseorang kehilangan pigmen warna dalam tubuhnya. Karena kau punya mata, coba lihat bola biru ini baik-baik." Zeze menarik kelopak matanya. Ekspresinya sangat lucu hingga mengundang tawa Obi dan Rhea.

"Ah, aku belum memperkenalkan kalian." Zeze menyapukan pandangan ke orang-orang di sebelah kirinya. "Yang berambut emas di sampingku ini Airo, gamer terburuk sepanjang masa."

"Itu karena Gear-nya rusak!" Airo memprotes.

Mengabaikannya, Zeze beralih ke arah Saga. "Yang berambut kuning seperti kotoran di sebelah Juni adalah Suga."

"Saga," ralat Saga sambil mendengus.

"Ah, iya Saga. Jika kau bertanya siapa warior terbaik, itu pasti dia. Dia sangat handal dalam mengendalikan Gear yang katanya 'rusak' itu." Zeze menekankan kata 'rusak' sambil melirik Airo.

"Nah, yang berambut hitam di ujung sana adalah Driko. Aku tidak tahu banyak tentangnya tapi dia akrab sekali dengan Obi, jadi kalian tanya saja Obi."

Driko dan Obi saling pandang. Mereka tahu Zeze tengah berbohong.

Merasakan itu, Zeze cepat-cepat menghindari tatapan Driko dan Obi lalu kembali melanjutkan, "di hadapan Driko ada Volta, dia orang terjujur yang pernah aku temui."

Melihat Zeze tersenyum kepadanya, Volta tercekat. Baru kali ini ia disiram senyuman malaikat seperti itu darinya.

Volta membungkukkan badan, "sebuah kehormatan, Yang Mulia."

Zeze kembali menjelaskan, "di samping Driko, ada Froura. Aku tidak tahu banyak tentangnya karena menurutku dia itu misterius. Tapi dia adalah orang yang sabar, mungkin sama penyabarnya seperti Kak Rhea." Zeze mengedipkan sebelah matanya ke Rhea yang duduk di sebelah kanannya.

"Yang berambut pirang di tengah-tengah Froura dan Airo adalah Lady Luna Vierhent. Aku tidak banyak bicara dengannya, karena kurasa dia juga tidak ingin berbicara denganku."

Terkejut, Luna menghentikan makannya. Ia tidak pernah menyangka Zeze akan menyinggung hal semacam itu di sini.

"Itu-"

"Setiap orang berhak memilih hal yang disukai dan yang tak disukainya. Kau pun juga begitu." Zeze menyela, terdengar tidak terlalu peduli.

Merasa canggung, Luna memilih menyantap kembali makanannya.

"Yang satu lagi belum, Ze," kata Obi. Laki-laki bertopi hitam yang duduk di hadapan Rhea itu mencoba menahan senyum yang pada akhirnya terukir juga di bibirnya.

"Haruskah aku perkenalkan dia kepada kalian? Tanpa aku kenalkan, kalian pasti juga sudah tahu."

Juni mengangguk serius, "tentu harus! Aku sama sekali tidak tahu siapa laki-laki yang luar biasa tampan itu!" Juni berganti menatap Rhea, "kau bagaimana, Rhe?"

Rhea menggeleng dengan senyum tertahan, "sama, aku juga tidak tahu."

"Sudahlah, Ze. Aku sudah sangat penasaran sampai rasanya ingin mati," desak Obi, sok dramatis.

Zeze menusuk Obi dengan tatapan sengit. "Ck, kalau begitu mati saja sana!"

"Jangan, nanti Charlotte sedih," ledek Juni.

"Kenapa jadi bawa-bawa Charlotte?" Sergah Obi, mendelik ke arahnya.

Juni terkikik kemudian mencoba menggoda Zeze lagi, "memangnya ada apa ya dengan laki-laki itu? Sampai-sampai adik kita ini tidak ingin memperkenalkannya kepada kita."

Rhea melirik Zeze, "aku juga penasaran."

Zeze mendengus kasar. Baiklah, ia menyerah daripada harus terus mendengar ocehan berisik kakak-kakaknya itu.

Zeze berdeham dan menjatuhkan matanya, "dia Kion, kakak sepupuku," ucapnya dengan satu tarikan napas.

"Cuma itu?" Obi menuntut dengan sebelah alis terangkat.

Zeze mendelik, "ya, cuma itu! Apa lagi?"

Juni meletakan alat makannya. "Rhe, sayang sekali 22 Desember kemarin kita tidak ikut hadir. Kudengar ada seorang tuan putri cantik yang berdansa dengan pangerannya," sesalnya dengan nada murung yang dibuat-buat.

Akhirnya meja itu dipenuhi gelak tawa. Suasana canggung tadi berubah menjadi hidup hanya karena Zeze yang menjadi korban.

Meskipun begitu, Luna tetap menundukkan kepalanya. Semua suara tawa itu membuatnya pening. Kenapa mereka bisa tertawa selepas itu? Kenapa dirinya tidak bisa?

Kenapa mereka semua bisa sebebas itu? Benar, bebas. Sesuatu yang belum pernah ia rasakan sejak kecil. Dan mungkin tidak akan pernah ia rasakan.

Sekilas, Luna mendengar tawa kecil seseorang. Ia mengangkat wajahnya dan membeku, terkejut mendapati Kion yang tengah tertawa geli tanpa melepaskan mata hazelnya dari buku.

Mata Luna melebar. Tawa itu, tawa yang jarang sekali dilihatnya. Namun harus ia akui, akhir-akhir ini Kion memang lebih sering tertawa. Seperti saat ulang tahunnya kemarin, sering kali Luna memergoki Kion sedang terkekeh tanpa sebab.

Mata Luna meredup. Kenapa dia tidak pernah menunjukkan senyum dan tawa itu kepadanya?

"Senang bertemu dengan kalian," kata Rhea dengan senyum ramah. Mereka mengangguk sebagai jawaban. "Terima kasih sudah menjaga Zeze. Ya walaupun dia sedikit merepotkan," sambungnya.

"Ngomong-ngomong, kalian terlihat akrab. Aku terkejut Zeze dapat dengan mudah berteman dengan orang lain," ujar Juni, menyapukan pandangannya ke sekeliling.

"Itu karena hobi kita sama." Saga menjawab sembari menyeringai penuh arti ke arah Zeze dan Airo.

"Kau tahu? Airo dan Saga ternyata seorang player Fairnity Online," jelas Zeze. "Well... walaupun sebenarnya ada penghambat di sini," sambungnya, melirik laki-laki di sebelah kirinya.

"Sudah kubilang Gear-nya rusak!" Bantah Airo, tidak terima.

"Omong kosong, kita telah bertukar Gear beberapa kali tapi kau tetap saja mengatakan hal yang sama," Zeze mencibir tanpa menatapnya.

"Wah... Fairnity Online?" Juni memasang wajah terkejut.

"Kenapa? Kau juga main?" Airo mulai tertarik.

"Dulu, tapi sekarang sudah tidak. Aku lebih sering menggunakan stik daripada Gear. Ngomong-ngomong class-ku adalah mage."

Percakapan terus berlanjut, mengalir bagaikan air. Saat mereka sedang membicarakan topik yang satu, lama-kelamaan menyambar ke topik yang lain. Terus begitu hingga mereka dapat saling mengenal pribadi satu sama lain.

Para anak bangsawan itu mengakui bahwa ini pertama kalinya bagi mereka mengobrol lepas seperti ini. Keempat orang itu membawa warna baru ke dalam kehidupan mereka.

Begitu juga dengan apa yang dirasakan oleh Juni dan Rhea. Terutama bagi Juni. Ternyata orang-orang yang selalu ia lihat dari jauh ini tidak seburuk seperti yang selama ini ia kira. Mereka jadi dapat berbagi sudut pandang yang berbeda-beda.

Seisi kantin teredam oleh suara gelak tawa dari meja itu. Siapa pun dapat melihat bahwa meja itu menjadi lebih hidup semenjak Zeze dan yang lainnya datang.

Saat sedang tertawa terbahak-bahak oleh lelucon yang dilontarkan Volta, mata Juni menangkap Kai yang berjalan diikuti Kaló dan 5 orang lain di belakangnya.

Mata mereka bertemu dan tawa Juni langsung memudar. Bahkan setelah Kai mengambil duduk di meja dekat dinding, mata mereka berdua masih enggan untuk saling melepaskan.

"Lady Junigra, mau kubantu memilih gaun pengantinnya?"

Suara penuh kejahilan itu membuyarkan fokusnya. Juni mendelik kesal ke arah sang pemilik suara, siapa lagi kalau bukan Zeze.

"Kau mau kubunuh sekarang atau nanti?" Tukas Juni. Sementara Zeze malah tertawa.

Tawanya perlahan menghilang ketika melihat seseorang laki-laki yang sangat dikenalnya untuk pertama kalinya memasuki kantin. Namun dia tidak sendiri, di sisinya terdapat seorang gadis berambut coklat yang dulu pernah hampir dibunuhnya.

Tanpa aba-aba, sepasang mata hitam itu juga ikut melihat ke arahnya. Manik mata mereka saling bertemu, mengunci satu sama lainnya untuk waktu yang lama. Terus begitu sampai pasangan itu akhirnya mengambil duduk jauh di depannya.

Zeze tersenyum miring dengan raut wajah tak tertebak.

"Kau lihat apa, Ze?" Tanya Rhea, bingung melihat senyum anehnya.

Zeze menggeleng, masih dengan senyuman yang membingkai wajahnya, senyum pahit seseorang yang tengah patah hati.
RECENTLY UPDATES