26 HEALER part 1

"Oi... oi... jangan bercanda. Kenapa dia ada di sini?"

Sebenarnya percuma juga Norofi bertanya, karena baik Zeze maupun Rhea tidak ada yang tahu jawabannya. Zeze sudah sangat yakin bahwa penyerangan mereka ke kediaman salah satu jendral yang dirumorkan melakukan pemerasan kepada bawahannya akan dimulai 1 jam lagi. Karena itulah Kai, Juni, dan Kaló masih belum datang.

Dan jika memang benar mereka telah mengetahui rencananya, seharusnya orang itu tidak mungkin ikut campur tangan dalam hal ini.

Mungkin antara Norofi dan Rhea hanya merasakan emosi campur aduk antara takut dan gelisah. Tapi ada satu lagi emosi yang menyerang Zeze, yaitu amarah.

Rhea menyadari itu, ia dapat merasakan nafsu membunuh Zeze berkobar-kobar, membuat auranya menggelap. Tapi untungnya, Zeze dapat dengan cepat mengontrol emosinya kembali.

Rhea meneguk liurnya dan bergumam ngeri, "Antoni... Barier..."

Keringat keluar di pelipis mereka bertiga, turun ke tulang rahang hingga jatuh menetes di atas lapisan salju. Zeze dan Norofi ingin sekali menginjak kaki Rhea saat itu juga karena mengatakan namanya, jika tidak mengingat bahwa mereka sedang dalam kondisi di antara hidup dan mati. Walaupun Rhea tidak menggumamkan namanya sekalipun, Zeze dan Norofi juga sudah tahu. Siapa yang tidak mengenalnya?

Mereka bertiga sudah sangat paham, walaupun mereka mengerahkan segenap kekuatan sekalipun, orang ini masih bukanlah tandingan mereka.

Kebimbangan dan kengerian serta-merta merayapi tubuh mereka, ketika terlintas pikiran bahwa salah satu harus tinggal untuk melawan orang ini sendiri, memberi jalan yang lain untuk pergi.

Apa pun alasannya, Rhea sudah pasti tidak akan diperbolehkan. Itu adalah perintah mutlak raja mereka. Kekuatan Rhea sangatlah dibutuhkan. Rhea adalah tiang pendukung Énkavma. Tanpanya, Énkavma pasti akan runtuh.

Rasa bersalah langsung menyerbu Rhea. Tidak ada satu pun anggota Énkavma yang tega melihat temannya—keluarganya—mati berkorban. Namun jika tidak begini, mereka bertiga akan mati. Hanya ada dua pilihan sekarang, Zeze atau Norofi.

Tak perlu ditanya lagi, Norofi sudah sangat siap sedia mati untuk keluarganya. Dia memang diposisikan di garis depan untuk mati.

Namun Zeze tak setuju begitu saja dengan hal itu. Karena itulah, Zeze telah lebih dulu menekankan kaki kanannya ke tanah—dan dengan kaki itu sebagai pendorong—ia melesat dengan sangat cepat ke arah Antoni.

Tak peduli berapa kali pun Zeze menemukan celah, celah itu langsung tertutup lagi oleh pedang Antoni, hingga rapier-nya hanya membentur longsword-nya berulang-ulang.

Saat Antoni mengangkat pedangnya, Zeze merasakan itu lagi, perasaan seseorang yang tengah berada di ambang kematian.

Zeze bersalto ke belakang saat pedang itu turun. Jika ia telat sepersekian detik saja, tubuhnya pasti sudah terbelah dua.

Detik itu juga, Zeze mendengar suara tembakan. Ia menoleh ke belakang, dan melihat Rhea tengah menembaki Antoni dengan pistol yang selalu ia simpan di samping pinggangnya. Namun percuma, laki-laki itu seakan tak mempunyai celah.

Zeze berdecak, "kakak, pergi dari sini!" Desisnya.

Tapi Rhea tetap keras kepala. Jika memang mereka akan mati malam ini, mereka akan mati bertiga.

Sementara Zeze menyerang dari arah depan, Norofi melompat ke arah pohon-pohon lebat dan melepaskan dagger yang tak terhitung banyaknya. Ia bahkan tidak terkejut lagi ketika melihat dengan lihainya Antoni menangkis puluhan dagger itu dengan pedangnya.

Namun yang membuatnya terkejut adalah, dagger-nya yang membentur mata pisau Antoni memantul dan salah satunya malah mendarat di lengan kanan Zeze.

Alis Zeze berkedut menahan sakit, namun ia berhasil melayangkan serangan terakhir—yang menurutnya sia-sia itu—sebelum akhirnya kembali melompat mundur.

Di saat yang sama, Norofi turun dari pohon dengan dagger penuh api yang berkobar di tangannya, bersiap menusuk Antoni dari atas. Tapi percuma saja, karena sekarang yang tengah ditusuknya adalah debu berbentuk manusia!

Tanpa mampu disadari matanya, sesuatu melesat ke arahnya dan menghantamnya hingga ia terhempas ke belakang. Sudah tak terhitung betapa banyaknya pohon yang tumbang karena ditabrak tubuhnya, hingga ia benar-benar jauh dari kedua gadis itu.

Zeze mencabut dagger yang bersarang di lengannya. Walaupun sedikit kebas, jari-jari dan telapak tangannya masih dapat tersambung dengan sarafnya, meski sepertinya, lengan atasnya telah mati rasa.

Darah merembes keluar dari jaket denimnya. Warna biru itu kini berubah menjadi merah. Rapier di tangan kanannya pun serta-merta lolos dan terjatuh, tertimbun di tumpukan salju.

Zeze juga tidak begitu yakin apa yang baru saja menimpa Norofi. Ia hanya melihat sekilas sebelum dagger berapi Norofi menyentuh kepala Antoni, sesuatu berwarna hitam entah datang dari mana melesat dengan sangat cepat.

Ini gawat. Ia hanya sendirian melindungi Rhea. Sejujurnya, sekarang juga ia ingin sekali melempar gadis itu menjauh dari sini.

Dýnami-nya mulai aktif, membawa energi panas dari sel-sel tubuhnya dan terpusat menjadi satu di punggung. Saat itu juga, rasa sakit tanpa ampun menusuk-nusuk otot serta tulang-tulang punggungnya.

Simathyst dari dýnami Zeze adalah energi panas atau kalor. Ia memutuskan untuk menggabungkan auranya dengan energi panas tubuhnya sendiri setelah merasakan adanya kecocokan. Zeze baru berumur 9 tahun saat Afrodi melatihnya cara mengontrol dýnami.

Sebenarnya, ia masih tidak boleh menggunakan ini lagi karena kejadian waktu itu membuatnya menjadi overheat. Jika ia kehilangan banyak energi, hal itu akan mengganggu kerja organ-organ tubuhnya.

Meskipun memusatkan dýnami di satu titik tubuh akan memperkuat titik tersebut, namun risiko yang ditanggung juga akan besar. Setelahnya, rasa sakit akan menyerang, dikarenakan begitu banyaknya energi yang harus ditanggung titik tersebut. Serta di saat yang sama juga memperlemah bagian yang tidak terlindungi.

Setelah cukup lama kesulitan, akhirnya sayap itu berkobar dengan indahnya. Zeze masih tidak mempunyai petunjuk dimana keberadaan Antoni. Sekarang debu berbentuk siluet manusia itu lama-lama memudar, terbawa angin.

Ini kesempatan yang bagus. "Kak, hitung sampai tiga lalu lari," perintahnya.

Namun belum juga sampai ke hitungan kedua, ia merasakan angin yang tak terbantahkan kencangnya, datang dari arah belakang.

Dengan sigap, Zeze berbalik dan langsung menarik Rhea ke belakang tubuhnya. Dengan sekuat tenaga, ia tahan pedang Antoni dengan rapier di tangan kirinya. Gema dentingan pedang yang saling bertemu itu memecah kesunyian malam.

Dapat ia rasakan kakinya perlahan terseret mundur. Kalau begini terus ia akan terpental jauh. Karenanya, ia melompat ke atas. Bentangan sayap yang sejak tadi berkobar-kobar itu memeluk tubuhnya yang berputar-putar di udara seperti bola api. Kemudian ketika terbuka, ratusan, atau bahkan ribuan api terlepas dan siap menghujani tubuh lelaki di bawahnya.

Melihat itu, Rhea dengan sigap menjauh, bersembunyi di balik pohon terdekat, dengan tak mengurangi sikap waspadanya. Ia masih siap sedia dengan pistolnya, menunggu saat yang tepat sampai Antoni lengah.

Rhea tidak dapat melihat jelas apa yang terjadi dengan lelaki itu karena hujan api yang menutupi pandangannya. Walaupun ia tahu bahwa serangan tadi pasti tidak akan berdampak banyak, namun setidaknya, pasti akan menimbulkan beberapa luka bakar, dilihat dari betapa banyak dan panasnya hujan api tersebut. Setelahnya, ia tinggal mengambil kesempatan dan membunuhnya.

Mungkin begitulah perkiraannya sebelum dengan mata kepalanya sendiri, ia melihat Zeze memadamkan sayapnya untuk turun ke atas pohon terdekat. Dan dengan sangat cepat, Zeze berpindah ke pohon di belakang Antoni, melesat turun, bersiap menusuk tengkuknya.

Mata Rhea dibuat terbelalak ketika Zeze malah menembusnya. Tidak, ini bukan karena Antoni tembus pandang, tapi dia berubah menjadi debu! Debu berbentuk manusia, setidaknya itulah yang bisa diterjemahkan matanya.

Berbeda dengan apa yang dilihat Zeze. Akhirnya Zeze dapat melihat dengan jelas apa yang sebelumnya terjadi dengan Norofi.

Antoni tidak berubah menjadi debu. Dengan jelas, Zeze melihat lelaki itu melesat, menghindari serangannya. Sebagai gantinya, debu berbentuk dirinya tertinggal, meninggalkan bukti bahwa tadi lelaki itu pernah berdiri di sana. Ini jelas hanyalah pengecoh. Tapi entah mengapa napas Zeze tiba-tiba sesak.

Dan itu dia, di sana, berdiri sekitar 10 langkah di hadapannya. Kini tak sulit lagi bagi Zeze untuk menemukannya. Zeze sedikit merasa lega karena telah mengetahui trik orang itu. Mungkin ia adalah orang kedua setelah Afrodi yang mengetahuinya.

Ini akan menjadi informasi yang sangat berguna. Namun masalah terbesarnya baru dimulai sekarang. Zeze tahu bahwa Antoni tidak akan membiarkannya hidup untuk bisa menyebarkan informasi itu.

"Aku ingat kau..." tiba-tiba Antoni berbicara yang membuat sikap Zeze menjadi tambah defensif.

"Kau ada di sana saat aku membunuh Hades."

Tubuh Zeze menegang. Emosi penuh kemarahan dan kebencian itu bangkit lagi sampai ia kewalahan menekannya dengan embusan napas yang berat.

Tidak, ia tidak boleh membiarkan emosi pribadinya membuat yang lainnya berada dalam bahaya.

"Benar... Artemis," gumam Antoni.

Tangan Rhea yang sedari tadi menggenggam pistol, bergetar hebat. Tapi ia tidak boleh mengeluarkan suara. Jika tidak, Antoni akan mengetahui keberadaannya.

Perlahan, kaki Zeze melangkah mendekat. Namun Antoni masih bergeming, bahkan saat gadis muda itu tinggal beberapa langkah lagi darinya. Sampai di suatu waktu, matanya tidak dapat lagi mengikuti gerakannya. Yang dapat ditangkap matanya hanyalah bayangan samar yang melesat ke atas.

Antoni mendongak, dan yang pertama kali menyambut penglihatannya adalah api yang sangat besar seperti siap menelannya.

Belum sempat menyentuhnya, api itu tiba-tiba padam, digantikan oleh mata pisau rapier yang siap menghunjam tubuhnya.

Tangannya yang memegang pedang terangkat, menahan rapier itu, hingga terdengar bunyi kedua bilah logam yang saling berbenturan. Tak seperti sebelumnya, kali ini Zeze tidak mencoba lebih lanjut untuk menekan paksa pedangnya.

Zeze menarik mundur pedangnya lalu ia tancapkan ke tanah. Ia membalik tubuhnya hingga kakinya menendang dagu Antoni, lalu mendarat ke belakang dengan sempurna seraya mencabut rapier-nya dari tanah.

Antoni bergeming, merasakan sensasi berdenyut yang menyerang rahangnya. Sudah lama sekali sejak terakhir kali lawannya dapat memberinya rasa sakit seperti ini. Hal ini membuatnya teringat ketika ia hampir mati saat bertarung dengan Hades. Namun ini semua tidak sebanding dengan apa yang Hades berikan padanya.

Zeze kembali menyerang, namun lelaki itu lagi-lagi bergeming, seperti sengaja agar terkena serangan. Kejadian tadi akhirnya terulang lagi. Zeze kalah cepat dan hanya berakhir menusuk debu berbentuk manusia.

Zeze menyapukan pandangannya, mencari-cari keberadaan Antoni. Dan matanya dibuat terbelalak ketika mendapati Antoni melesat cepat ke arah tempat Rhea berada. Tangannya terangkat, bersiap menebas pepohonan sekaligus tubuh gadis itu.

Terlambat. Ia tidak bisa menyelamatkan siapa pun. Ia tidak bisa melindungi siapa pun. Lihatlah, sekarang ia malah mematung, menunggu tubuh Rhea terbelah, tercerai berai. Semuanya akan terulang lagi, seperti pada saat ia menyaksikan Afrodi pelan-pelan meregang nyawa.

Zeze menunduk, menggigit bibir bawahnya, sampai ia dapat merasakan rasa darah yang kini memenuhi mulutnya.

Dan terdengarlah suara yang paling tidak ingin ia dengar sekarang, suara tebasan kencang yang merobohkan pepohonan.

Sanggupkah ia mendongak? Walaupun jawabannya tidak, paling tidak, ia harus melihat tubuh hancur Rhea untuk yang terakhir kali sebelum ia menyusulnya ke neraka.

Perlahan, ia angkat wajahnya dan bahunya langsung merosot turun. Agak jauh di depannya, terdapat payung berwarna merah gelap yang luar biasa besarnya.

Mungkin kurang tepat jika menyebutnya payung. Karena ini bukanlah payung, ini adalah magma, batuan panas berapi yang sekarang mengambil bentuk seperti sebuah payung.

Tidak ada yang dapat menjelaskan betapa leganya Zeze ketika melihat kedua temannya—keluarganya—baik-baik saja seperti ini.

Tubuh utuh Rhea kini berlindung di balik payung besar itu, payung yang dibuat oleh defender mereka kali ini, Norofi.

Rasanya Zeze ingin sekali memeluk mereka berdua, jika tidak mengingat situasi apa yang sedang dihadapinya sekarang.

Di lain sisi, Antoni tertegun menatap payung itu. Ternyata ada satu lagi di antara mereka yang tidak ia ketahui kekuatannya. Informasi bagus.

Namun kelegaan Zeze tak berlangsung lama ketika ia mendengar suara kalut Rhea. "Jangan kehilangan kesadaran! Hermes akan segera ke sini. Oh Ya Tuhan, darah... perutmu!"

Zeze tidak dapat melihat apa yang terjadi di sana karena mereka berdua tertutupi payung. Tapi ia mengerti jelas bahwa itu bukanlah hal baik.

Ia menjilat bibir bawahnya, rasa darah itu masih membekas di sana. Tanpa pikir panjang, ia bergerak menyerang Antoni lagi. Paling tidak ia harus mengulur waktu sampai Kaló dan yang lainnya datang.

Tarian kematian itu mulai lagi. Mereka menari sampai tak terasa 2 menit telah terlewat. Karena lukanya masih belum sembuh, tubuh Zeze agak kesulitan mengimbangi gerakan cepat Antoni walaupun matanya sanggup mengikutinya.

Tapi beruntungnya Zeze kidal. Jika yang terluka tangan kanannya, ia tidak tahu harus berbuat apa. Mengandalkan kaki saja pasti tidak cukup.

Di sudut mata, ia melihat longsword itu siap membelah tubuhnya dari belakang. Ia tahu yang satu ini pasti akan terlambat ia tangkis. Sejak tadi ia telah memaksakan tubuhnya, kini ia telah mencapai batas maksimalnya. Pedang itu akan merenggut nyawanya. Tapi biarlah, asalkan kedua orang itu selamat.

Walau tahu akan terlambat, Zeze tetap berbalik. Dan ketika ia melakukannya, ia mengerjapkan mata beberapa kali, heran karena menyaksikan Antoni yang malah menancapkan pedangnya ke tanah dan memilih berdiri diam memandanginya. Tapi Zeze dapat melihat dengan nyata sorot kebingungan di mata hijau lelaki itu. Antoni terlihat linglung, tidak mengerti apa yang tengah dilakukannya.

Untuk sesaat, Zeze kebingungan, sebelum akhirnya ia dibuat mengerti. Zeze langsung berbalik, berlari ke arah Rhea dan Norofi. Ia tidak boleh melewatkan satu-satunya kesempatannya untuk kabur.

"Aku berhutang padamu...." Zeze berkata lirih dengan senyuman yang entah ditujukan kepada siapa.

Rhea yang tengah memapah Norofi menoleh ke arahnya dengan bingung.

Mereka berhasil pergi dari sana, meninggalkan malaikat maut itu sendirian dengan pedangnya.
RECENTLY UPDATES