25 COMPARISON

Ketika kakinya hinggap di ambang pintu, Froura membungkuk pamit, "Yang Mulia, kalau begitu saya akan kembali ke kelas."

Zeze hanya mengangguk. Entah sejak kapan gadis itu selalu mengikutinya terus. Zeze tidak menggubrisnya karena ia tahu, Kion pasti di balik semua ini.

Entah apa tujuannya, tapi Zeze yakin gadis itu bukan sekedar menjadi pengawalnya. Zeze curiga kalau dia juga menjadi mata-matanya. Zeze baru mencari tahu asal-usulnya tadi malam. Dia, Froura Shieldove, anak kedua Marquess Shieldove, sekarang duduk di kelas tahun ke-5.

Ditebaslah semua pikirannya tentang hal itu. Yang menjadi masalah selanjutnya adalah apa yang menanti di balik punggungnya ini. Ia yakin sekali bahwa dirinya tidak akan bisa menghindar lagi seperti sebelumnya.

Dengan satu tarikan napas, ia berbalik dan menyelami ruang kelas barunya. Pintu otomatis langsung terbelah ketika mendeteksi langkahnya.

Siapa pun dapat menyorot perbedaannya. Kelas ini lebih bagus dan nyaman dari kelasnya yang dulu. Dengan dinding kaca di bagian belakang, memajang pemandangan Kota Clausador yang asri, karena memang dataran di akademi ini lebih tinggi dari tempat-tempat di sekitarnya.

Matanya menangkap tangan seseorang yang terangkat melambai-lambai. Zeze menyeringai lebar. Ternyata Obi benar-benar datang.

Dalam perjalanan ke mejanya, ada saja halangan yang harus ia lewati, seperti harus beberapa kali tersenyum dengan terpaksa sebagai jawaban dari orang-orang yang tiada hentinya menumpahkan salam. Dari sini ia dapat melihat Obi menertawakannya tanpa suara.

Mereka semua tak menyangka Zeze akan mengambil tempat duduk di samping Obi. Padahal beberapanya telah mempersiapkan bangku kosong untuk ia duduki, tapi Zeze malah memilih duduk dengan siswa yang ternyata adalah putra ketiga Marquess Barier itu.

Tak sampai di sana, mereka juga dibuat terkejut ketika melihat kepalan tangan kedua orang itu saling bertemu. Terlihat sekali kalau mereka ini sangat akrab. Belum lagi ketika Obi dengan santainya meletakkan lengan kanannya di pundak kiri Zeze. Sepertinya rencana mereka untuk mengambil hati seorang Ankhatia telah diambil alih oleh Obi.

"Kerja yang bagus." Zeze berbisik sembari menyeringai.

Obi terkekeh, "kopinya?"

"Nanti malam."

Tak ada lagi Madam Heiss yang akan meneriakinya ketika tertidur seperti ini. Rasanya seru juga menjadi Tuan Putri, bisa melakukan apa pun sesukanya.

Namun sayup-sayup, Zeze masih dapat mendengar penjelasan panjang Mrs. Kardiá yang malah seperti obrolan sepihak itu.

"Dýnami dapat muncul karena dua hal, yaitu bakat dari lahir, maupun mengasahnya sendiri. Jika seseorang telah dianugerahi bakat terlahir dengan dýnami yang tanpa perlu diasah, dýnami orang tersebut tidak memiliki kemampuan untuk menggabungkan aura yang satu ke aura yang lain. Biasanya orang-orang terpilih seperti ini menggunakan dýnami tanpa mereka sadari."

"Nah, bagi yang terlahir tanpa dýnami, tentunya semua butuh proses untuk dapat membangkitkan dýnami itu sendiri. Mulai dari pengaturan pernapasan, emosi, tenaga dalam, pikiran, meditasi dan semacamnya, sampai kalian dapat merasakan energi tersebut merambat ke setiap bagian sel dalam tubuh kalian. Setelah itu, barulah kalian dapat mengendalikannya agar bisa berpindah-pindah dari bagian tubuh yang satu ke yang lain."

Berdiri, Mrs. Kardiá mengedarkan pandangan ke arah siswa-siswi di hadapannya. Kemudian, matanya berhenti di salah satu meja, yaitu meja putra kedua keluarga cabang Marquess Tigris.

"Lalu apa tahap selanjutnya seseorang dalam mempelajari dýnami, Mr. Tigris?"

Mr. Tigris gelagapan. Ia sama sekali tidak mendengarkan karena sejak tadi sedang bermain catur di layar LCD pada kaca mejanya.

Tidak kehabisan ide, ia mencari di boogle mengenai dýnami dan mendengarkan suara penjelasan HAI (High Artificial Intelligence) lewat headset tanpa kabel yang menyumbat telinganya sejak tadi. Suara robot perempuan langsung terdengar di kepalanya.

Mr. Tigris berdeham sebelum menjawab dengan mantap. "Setelah kita berhasil mengontrol dýnami ke setiap bagian tubuh kita, maka akan terbuka peluang untuk dapat melepaskan dýnami tersebut keluar tubuh."

Mrs. Kardiá mengangkat alis dengan tangan terlipat di depan dada, "lalu?"

Mr. Tigris tentunya sudah sangat siap menjawab. "Kita harus beberapa kali melakukan latihan seperti mengontrol seberapa besar jumlah dýnami yang dapat dikeluarkan dari tubuh tanpa membuat tubuh itu sendiri kekurangan energi. Hal itu diperlukan untuk mencapai tahap selanjutnya yaitu memilih Simathyst dari dýnami kita. Lalu-"

"Dan apa itu Simathyst, Mr. Tigris?" Potong Mrs. Kardiá.

Mr. Tigris meneguk ludah beberapa kali karena ia sama sekali tidak mengerti apa itu Simathyst. Gawat, sudah terlalu lama ia terdiam. Tidak akan sempat untuk mencari sementara tatapan Mrs. Kardiá makin menyudutkannya.

Tiba-tiba, sebuah suara berat seseorang menolongnya keluar dari semua ini, "Simathyst adalah 'pasangan' dari dýnami. Kita bebas menentukan objek yang akan dihubungkan dengan dýnami kita."

Dengan mata yang separuh terbuka, Zeze melihat orang di sampingnya ini menjawab pertanyaan itu dengan tenang.

Mrs. Kardiá tersenyum puas, "yup! Benar sekali, Mr. Barier. Setelah dýnami kita terhubung dengan aura dari objek tersebut, tentunya kita bebas untuk mengendalikan objek tersebut sesuai dengan keinginan kita. Dan objek itu dinamakan Simathyst. Namun ada yang perlu kalian tahu, jika kita telah memutuskan satu objek yang akan dihubungkan dengan dýnami kita, 'tidak' akan mungkin untuk menghubungkannya lagi dengan objek lainnya.

"Dan juga, kata 'bebas' itu bukanlah artian sebenarnya. Simathyst itu harus memiliki kecocokan dengan dýnami kita, jika tidak, well... cari Simathyst lain."

"Tapi, bagaimana jika ada seseorang yang memiliki lebih dari satu Simathyst?" Tanya Obi.

Zeze sampai dibuat sepenuhnya membuka mata karena tidak menduga Obi akan berpartisipasi dalam hal-hal seperti ini.

Mrs. Kardiá terdiam sebentar sebelum menjawab, "orang itu... mungkin adalah orang paling berbakat yang pernah ada."

Obi terdiam. Bukan tanpa alasan ia bertanya hal ini. Tentunya ia sudah tahu apa jawabannya. Namun ia bertanya karena Mrs. Kardia bilang 'tidak mungkin' padahal terdapat seseorang yang ia kenal dapat membuatnya menjadi 'mungkin'.

"Jarang sekali ada orang yang dapat melakukannya, Mr. Barier. Itu adalah bakat alami yang tidak semua orang punya." Mata sayu Mrs. Kardiá berubah serius ketika ia melanjutkan.

Obi tidak bertanya lebih lanjut dan kembali mendengarkan penjelasan lainnya.

"Dýnami adalah energi yang dapat mengontrol aura. Untuk mengaktifkannya, kalian harus melakukan hal-hal yang tadi telah saya dan HAI tadi sebutkan."

Mendengarnya, Mr. Tigris tersentak. Ternyata Mrs. Kardiá telah mengetahuinya sejak tadi. Siswa lain yang tidak tak tahu-menahu hanya bisa saling bertukar pandang.

"Kira-kira apa Simathyst-nya, Ze?" Obi bertanya ketika mengetahui Zeze telah bangun.

Mengerti siapa yang Obi maksud, ia menjawab, "getaran, mungkin? Tapi jika begitu, kurasa dia juga bisa mendengar kita dari sini tapi pura-pura tidak tahu."

Obi mengangguk-angguk kemudian mengikuti Zeze, menidurkan kepala di atas lipatan tangan sembari mendengarkan Mrs. Kardiá yang kembali menjelaskan.

"Setelah negara terakhir di benua Afrika menggunakan tesla sebagai penangkal nuklir, sekarang lengkaplah sudah setiap negara di dunia menjadi kebal terhadap serangan nuklir. Hingga kini benda perusak itu telah menjadi tak ada gunanya lagi. Semua negara di dunia hanya mengandalkan kemampuan berpedang dan menembak dari para tentaranya. Pada tahun 2084, seorang ilmuan bernama Cassandra Xie, menemukan potensi tak terbatas manusia yang lainnya, yaitu dýnami. Hal ini sangat..."

Zeze teringat sesuatu yang membuatnya tiba-tiba menegakkan badan. Merogoh kantung jaket denimnya, ia mengeluarkan kertas tadi malam lalu meletakannya di atas meja Obi.

"Apa ini?" Obi menunjuk kertas itu dengan lirikan matanya.

"Untukmu," jawab Zeze seraya menguap.

Obi meluruskan punggung lalu membukanya. Yang pertama kali dilihatnya adalah tulisan À plus tard yang tak dapat terbantahkan indahnya. Melihat bayangan tulisan lain, ia membalik kertas itu dan melihat Vieil Ami yang juga tak kalah indah dengan tulisan yang pertama.

Obi mengangkat alis, bukan karena ia tidak mengerti. Obi sangat mengerti artinya. "Siapa...." kata-katanya menghilang ketika melihat Zeze menggeleng.

"Jangan bangunkan aku sampai istirahat." Zeze berpesan. Kepalanya langsung terkulai kembali di atas lengannya yang terlipat.

"Kau tahu kan nanti malam aku tidak bisa ikut." Obi melipat kembali kertas berisi tulisan indah itu dan menaruhnya ke dalam dompet.

"Aku tahu. Itu malah bagus."

========

Ini hanya perasaannya saja atau memang orang-orang itu tidak lagi mengganggunya. Seperti tak ada lagi cacian yang biasanya menyusup ke telinganya. Namun tidak dengan tatapan-tatapan jijik dan sinis itu. Mereka bagaikan senapan yang diciptakan hanya untuk membidik ke arahnya.

Ada hal aneh lain yang mengganggunya. Padahal ia sudah terbiasa duduk selama 2 tahun dengan bangku kosong di sampingnya. Namun mengapa sekarang ia sendiri malah merasa kosong? Padahal belum sampai sehari gadis itu pergi.

Menyandarkan punggungnya, untuk pertama kalinya Glen menyapukan pandangannya, menikmati suasana kelas. Ia abaikan semua tatapan tak bersahabat yang diarahkan kepadanya. Sudah hampir setahun duduk di kelas ini tapi ia tidak pernah sekalipun memperhatikannya begitu detail. Mungkin karena tidak ada yang menarik.

Matanya berhenti di meja kosong di sebelah kirinya. Meja itu juga telah diwarnai tulisan-tulisan yang tak enak dibaca, walaupun tak separah mejanya. Tapi sayangnya mantan pemilik meja itu terlalu apatis untuk dapat menyadarinya.

Glen terkekeh. 'Dia memang aneh.'

Walau sadar sekalipun, Glen ragu dia akan melakukan sesuatu. Glen ingat sekali dulu Obi selalu memanggilnya alien. Apa sekarang masih begitu?

Glen sedikit menggeser kursinya mendekati meja itu. Entah apa yang sedang dilakukannya, ia sendiri juga bingung. Tangannya merogoh kolong meja tersebut, mencoba menemukan barangkali ada satu benda saja yang tertinggal di sana.

Tidak ada hal khusus yang ia temukan. Tidak mengherankan. Karena memang hanya sedikit yang gadis itu suka, hanya segelintir yang benar-benar menarik perhatiannya.

Dari sekian banyak kertas kosong yang tersobek-sobek di kolong itu, akhirnya ada juga yang tertuang coretan. Ia pandangi kata-kata bertinta merah yang tertulis di lembar putih itu.

Instead of having meaningless conversation with others, I'd rather be in awkward silence with you.

- Stay

Sepertinya kalimat itu telah mewakili seluruh pikiran dan perasaannya. Walau Glen memang mengakui, selama ini yang dilakukannya hanya mengabaikannya.

Pagi berlalu begitu cepat. Dengan sabar, ia dengarkan semua celotehan perempuan yang berjalan di sebelah kirinya ini.

Sudah lewat dua hari gadis itu masuk kembali ke sekolah setelah luka parah yang diterima kakinya. Meski belum begitu sembuh, dilihat dari caranya yang setengah menyeret kakinya itu. Glen harus bersabar mengikuti langkah gadis itu agar tidak tertinggal olehnya.

"...Glen, padahal aku ingin sekali ikut," gerutunya.

Glen sedikit meliriknya, "jika kau ingin kehilangan kakimu, silakan."

"Aku hanya tidak enak..." suaranya murung ketika ia bergumam.

Menghela napas, Glen mengangkat tangan dan mengelus lembut rambut coklatnya. Tidak ada alasan khusus mengapa ia melakukan hal itu. Dari hal yang lalu, Hera memang selalu tenang jika ia berbuat seperti ini kepadanya.

Mata cokelat Hera melebar, kemudian terjatuh ke bawah. Pipinya bersemu merah. Ia berada di antara dilema ingin mengenyahkan tangan itu atau membiarkannya terus membelainya. Ia takut pipinya akan terbakar jika Glen terus-terusan mengelusnya seperti ini.

Hera adalah orang spesial dalam hidup Glen. Waktu kecil, mereka sering bermain bersama. Glen-lah yang selalu berada di depan jika Hera dalam bahaya. Bahkan jika itu berarti dirinya sendiri yang akan jadi korban. Seperti waktu kecil, ketika Hera diganggu oleh anak-anak nakal yang sering membuatnya menangis, ialah yang menyumbangkan tubuhnya sebagai samsak hidup untuk menggantikan Hera. Setelahnya Hera pasti akan menangisi dirinya yang terbaring dengan luka di sekujur tubuh.

Karena itulah ia marah sekali ketika melihat gadis itu terduduk di tanah dengan kaki penuh darah. Terlebih lagi ketika melihat Zeze tengah bersiap mengangkat pedangnya untuk menebas tubuhnya.

Tidak bisa, dia tidak bisa mengambil apa pun lagi darinya. Bahkan Hera sekalipun.

"K- kau akan bersama Kak Antoni kan?" Tanya Hera, tergagap.

Glen mengangguk, menurunkan tangannya dari rambut Hera sehingga membuat gadis itu mendesah lega.

"Kenapa?"

"Ah... t- tidak. Aku hanya lega jika kau bersama dengannya. Walaupun aku tahu kau itu hebat, tapi tetap saja bersama dengan Ipotis terhebat di Aplistia sepertinya..."

Glen menatapnya datar, berbeda halnya dengan mata cokelat Hera yang terlihat seperti tersedot.

"Glen... kau adalah anak dari Marquess tertinggi dan paling berpengaruh di Aplistia. Tapi kenapa..."

"Hera, diamlah." Suara Glen datar ketika ia menyelanya.

Hera mengerjap akan balasannya dan memilih menatap lurus ke depan.

"Itu semua tidak ada artinya untukku."

"Tapi kenapa? Kenapa kau lebih memilih memakai nama keluarga itu? Kenapa kau—"

"Keluarga yang kau maksud itu adalah keluarga ibuku. Apa kau tidak menyukainya? Jika iya, itu urusanmu ingin suka atau tidak. Jadi berhenti mengoceh dan diamlah."

Mungkin baru kali ini Glen berbicara dengan nada tinggi seperti itu kepadanya. Hera akui ini salahnya. Karena itulah ia lebih memilih berjalan dengan kepala tertunduk.

"Aku ingin bertanya. Bukan, bukan tentang itu lagi," ucapnya, buru-buru ketika merasakan Glen bersiap mengambil napas untuk menyelanya lagi. "Kenapa kau tiba-tiba ingin menginap di rumahku?"

Glen tidak menjawab, yang membuat Hera mengeceknya. Hera melihat laki-laki itu mendongak, menatap langit yang sedikit mendung.

Butiran salju mendarat di wajahnya, meleleh dan mengalir menuruni pipinya. Jika seseorang yang tidak tahu apa-apa melihatnya, pasti orang tersebut telah berasumsi kalau laki-laki itu sedang menangis.

"Apa kau kedinginan?" Bukannya menjawab, tiba-tiba Glen malah bertanya.

"Ah... i- iya sedikit." Hera melihat sweater berwarna krem yang membalut tubuhnya.

Tiba-tiba, sesuatu yang berat telah tersampir di pundaknya. Ini adalah jaket kulit hitam yang barusan Glen pakai.

Tangan Glen terulur dengan telapak tangan menengadah ke arahnya. Awalnya Hera bingung, tapi setelah Glen bergumam, "tas," akhirnya ia dibuat mengerti.

Hera melepas tas selempang yang tersampir di pundaknya dan memberikannya ke tangan yang terulur itu. Sekarang laki-laki itu membawa dua tas. Yang satu di punggungnya, yang satunya lagi ia pegang di tangan kanannya.

"Jawabannya..." tiba-tiba Glen berbicara.

Hera menoleh dan matanya dibuat melebar. 'Dia... tersenyum?'

"...aku hanya ingin mencoba menjadi saudara yang baik."

========

Batang pohon tumbang yang diduduki Norofi sedikit oleng ketika Zeze menginjak salah satu ujungnya. Terkejut, laki-laki itu terbangun dengan cepat.

Zeze tertawa geli melihat raut wajahnya.

"Ck, tidak lucu, Ze!" Gerutunya, kembali duduk.

"Gelap, tidak ada yang ingin menyalakan api?" Tanya Zeze sembari melihat sekeliling, sedikit waswas kalau-kalau ada hantu baju putih berambut panjang yang selalu dilihatnya di film-film.

"Kenapa? Takut?" Ekspresi Norofi berubah jail ketika melihat ke arahnya.

Memilih bungkam, Zeze mengeluarkan dýnami-nya dan membakar kayu yang tadi disiapkan Rhea. Saat cahaya memperjelas wajah mereka, mereka memakai topeng masing-masing.

"Apa yang akan kita lakukan sekarang? Yang lainnya masih belum sampai. Bahkan Kai, leader kita kali ini juga belum datang," ucap Rhea yang bersandar pada pohon di hadapan mereka

"Nyanyi saja. Ze, nyanyikan sesuatu, Rhea juga." Norofi dengan antusias mengusulkan.

Zeze mengangkat tangannya dengan telapak terbuka ke depan, "maaf tidak bisa, suaraku hanya akan keluar jika seseorang memberiku es krim," tolaknya.

Norofi menggeleng sembari berdecak, sementara Rhea menyeringai saat ia membalas, "aku baru tahu ada yang seperti itu."

"Tentu ada. Kau tidak tahu? Itu adalah sebuah sindrom yang langka," kata Zeze, pura-pura serius. Ia kembali duduk di sebelah kiri Norofi. "Dokter macam apa kau?"

Rhea memutar bola matanya ketika mendengar ejekan Zeze

"Ngomong-ngomong Ze, topeng itu sudah rusak. Kenapa kau masih memakainya?" Tanya Norofi.

Zeze mendongak ke langit malam, "kenang-kenangan," jawabnya.

"Kenapa bisa pecah sebelah seperti itu?"

"Kan sudah kubilang," Zeze menoleh ke arahnya dengan ekspresi yang rumit. "Orang yang melakukan ini ingin membuat kenang-kenangan."

Ketiga orang itu terus berbincang dalam gelapnya malam, hanya berbekal cahaya bulan, bintang-bintang, dan api kecil di hadapan mereka. Binatang malam juga sudah mulai menunjukkan eksistensi mereka melalui suara.

Sampai tiba saatnya, Norofi dan Zeze bangkit dan loncat menjauh dari sana dengan sangat cepat. Zeze menuju ke kiri, sementara Norofi ke kanan.

Dan di detik itu juga, pohon yang tadi mereka duduki terbelah.

Tidak, ini bukan hanya terbelah, tetapi hancur berkeping-keping.

Tak hanya itu, api unggun yang tadi Zeze nyalakan terlempar ke atas kemudian mendarat di tanah dan padam karena dinginnya salju.

Rhea masih bergeming di tempat karena tidak yakin dengan apa yang baru saja terjadi. Ia tersadar sesaat setelah Norofi berteriak nyaring, menyuruhnya menunduk.

Rhea dapat mendengar suara tebasan dari atas kepalanya. Pohon tempatnya bersandar bergetar dan terbelah dua sampai hampir menimpa dirinya jika saja Zeze tidak buru-buru membawanya berdiri dan menarik paksa tangannya.

Masih belum sepenuhnya sadar, Rhea menatap horor pohon yang telah terjatuh di samping tubuhnya.

"Fokus," titah Zeze dengan rahang mengeras.

Saat itulah Rhea menyadari bahwa mereka benar-benar berada dalam bahaya.

Zeze bertukar pandang dengan Norofi yang berada jauh di hadapannya. Ia melihat Norofi menggeleng perlahan-lahan dengan sorot mata serius.

Rhea mengerti apa yang sedang mereka berdua komunikasikan. Zeze dan Norofi sama-sama tidak mempunyai petunjuk apa itu tadi.

Berkonsentrasi, Zeze mengeluarkan aura dari dalam tubuhnya. Aura itu merambat ke tanah, menangkap getaran demi getaran yang ditimbulkan makhluk hidup, hingga akhirnya ia mendengar suara langkah kaki seseorang.

Bukan, bukan hanya dirinya, Norofi dan Rhea pun juga mendengar hal yang sama. Tidak perlu menggunakan dýnami untuk mengetahui ada seseorang yang berjalan mendekat ke arah mereka.

Dari asal suaranya, orang itu akan muncul dari sebelah kanannya. Dengan sigap, Zeze langsung berdiri di depan Rhea. Meski mereka berbeda dua tahun, tinggi Zeze sebanding dengan Rhea, bahkan mungkin lebih tinggi beberapa senti.

Zeze mencabut dua rapier yang sejak tadi menggantung di kedua sisi pinggangnya. Meski gadis itu tidak mengangkat pedangnya ke depan dada, tapi Rhea dapat merasakan udara di sekitarnya sedikit melambat, bukti bahwa Zeze memang sedang dalam konsentrasi penuh.

Suara salju yang diinjak berulang-ulang itu membuat jantung Rhea berdegup kencang. Ia masih menunggu kapan orang itu akan muncul. Zeze dan Norofi pun merasakan hal yang sama. Mereka lebih nyaman jika orang itu langsung menyerang daripada bermain petak umpat yang tidak pasti seperti ini.

Tak lama kemudian, dari balik gelapnya pepohonan, sesosok laki-laki berjubah hitam muncul. Dia mengangkat kepalanya yang sejak tadi menunduk, mengizinkan cahaya sang dewi malam memperjelas wajahnya.

Dan detik itu juga, mata mereka bertiga dibuat terbelalak.

Mereka tidak pernah menyangka bahwa malaikat maut itu sendiri yang akan menjemput mereka malam ini.
RECENTLY UPDATES