24 FALLING

Pagi berganti malam tanpa ada suara yang saling bersahutan dari mulut Obi maupun Zeze. Kedua sahabat itu masih enggan membuka mulut untuk satu sama lain. Bahkan saat mereka dalam satu meja seperti ini pun, keduanya enggan untuk hanya sekedar bertatap muka. Mungkin lebih tepatnya, Obi yang menghindari Zeze.

"Apa yang kalian lakukan?" Tanya Kaló bingung. Aneh dan tidak biasanya kedua sahabat ini hanya bungkam menikmati ramen masing-masing tanpa ikut campur dalam obrolan mereka.

"Apakah kau tidak lihat? Aku sedang makan," jawab Zeze dengan mulut penuh mie.

Kaló mengernyit, "bukan itu..."

"Tidak bisakah kau menebaknya?" Timpal Juni yang duduk di sebelah kanan Kaló, "mereka sedang bertengkar." Nadanya berubah mengejek.

Suara tawa lolos dari bibir Norofi yang duduk di sebelah kiri Kaló, "pasti kali ini Zeze yang salah," tebaknya.

Zeze mengabaikan mereka. Setelah meletakan garpunya, ia mengangkat wajah agar bisa menatap Obi yang tengah sibuk mengetik di ponselnya.

"Bi..." panggilnya, bibirnya mulai melahirkan seringai.

Mulailah aksi merayunya. Ia tidak bisa melakukan ini karena sejak tadi laki-laki itu selalu kabur darinya. Hanya saat inilah, saat mereka berenam ditraktir makan di restoran Jepang oleh Kai, ia bisa bertatap muka dengannya.

Di bawah meja, kakinya mendorong-dorong kaki kursi Obi hingga membuatnya duduk agak jauh dari meja.

Obi mengangkat matanya dari ponsel dan menatap Zeze dengan tajam.

Namun cengiran Zeze justru semakin lebar ketika melihat ekspresinya itu. "Jangan marah, kau seperti anak kecil saja."

Mata Obi kembali terfokus ke ponselnya, "memangnya hanya kau yang berhak marah?"

"Obi..." panggil Zeze. "Robi..." cobanya lagi, masih tidak ada hasil.

"Robian Dargnaith!" Kali ini sambil menginjak ujung sepatu Obi yang akhirnya sukses membuat lelaki itu mengangkat wajahnya.

"Ck, diamlah!" Geramnya risih, menyingkirkan kaki Zeze dengan kakinya.

"Ayolah... aku akan membuatkanmu kopi yang enak."

Obi sedikit memperbaiki duduknya ketika mendengar ucapannya barusan. Dan hal itu mengembalikan optimisme Zeze. Ia tahu ini pasti akan mempan.

"Kalau tidak salah namanya..." Zeze memiringkan kepala sambil melihat atap, berpura-pura berpikir. "Kultur Coffee Beans Arabika Papua Wamena, kopi dari Indonesia."

Mendengarnya, tangan Obi yang sejak tadi mengetik cepat, mengerem sebentar.

"Bisa-bisa kau yang akan menjadi Aphrodite mengganti Juni, Ze." Norofi terkekeh.

Kaló mengangguk dengan seringai di bibirnya, "pasti akan berhasil dengan rayuanmu itu."

"Tidak terima kasih, aku tetap Artemis-nya Énkavma," tolaknya dengan bangga.

"Tentu saja, tidak akan ada yang bisa mengalahkanku dalam hal merayu." Juni tak mau kalah.

Di sebelah kanan Zeze, Rhea hanya bisa menggeleng melihat tingkah teman-temannya itu.

Zeze kembali memfokuskan tujuan di hadapannya. "Atau... Hacienda La Esmeralda, kopi abad ke-21 dari Panama?" Tawarnya.

"Esmeralda? Kenapa kau membawa-bawa nama ibuku?" Tanya Juni.

Zeze menatapnya dan berkata heran, "aku bahkan tidak tahu nama ibumu." Kemudian menghadap lagi ke depan. Ia melihat Obi menyilangkan kakinya sembari berdeham-deham pelan. Namun sepasang mata hitamnya masih tetap terpusat ke layar.

Mengambil garpu di mangkuk ramennya, Zeze melemparnya hingga berlabuh tepat ke dalam ramen Obi. Kuahnya terciprat mengenai kaus hitamnya. Obi berdecak dan mendelik kesal ke arahnya.

Namun Zeze malah tertawa geli yang akhirnya membuat Obi berdiri dan pergi meninggalkan meja mereka dengan kesal.

"Besok pagi akan kubuatkan!" Seru Zeze lalu kembali tertawa. Sepertinya ia senang sekali jika bisa menjahili teman-temannya.

Matanya mendarat ke ramen Obi yang masih belum habis. Ia meraih mangkuk itu dan menyingkirkan sumpitnya, karena ia memang tidak bisa menggunakan sumpit.

"Oh ya, Juni. Kapan rencananya kau akan menikah dengan Kai?" Tanyanya setelah ramennya habis.

Juni sampai tersedak dibuatnya. Di sebelah kirinya, Kaló membantu menepuk-nepuk punggungnya sambil susah payah membendung tawa.

"Double kill," tembak Norofi, menyeringai lebar kepada laki-laki bertopi merah di hadapannya yang kini tengah memijit pangkal hidungnya sambil terpejam frustrasi.

"Cinta itu tidak boleh ditunda-tunda." Penuturan Zeze lagi-lagi sukses membuat tawa Kaló, Norofi, dan Rhea pecah. Ia mengatakannya secair air tanpa ada perasaan ragu sama sekali.

"Hei!" Tegur Juni setelah selesai dengan acara tersedaknya.

Zeze menggeleng dan berkata serius, "dimana table manners-mu Lady Junigra Mavros?"

Juni mendelik sementara Zeze terlihat sedang berpikir. "Luar biasa bukan? Junigra... dua tahun aku mengenalnya, baru kemarin aku mengetahui namanya," katanya.

Rhea terkekeh, "sepertinya pelajaran kebangsawanan itu telah membuat otakmu rusak, Ze."

"Eitss.. kau juga, Lady Rheanes Algheus." Zeze menggeleng dengan gerakan dilebih-lebihkan, "table manners," tekannya, sok serius.

Rhea memutar bola matanya, sementara Juni mengacungkan jari tengahnya.

Zeze menepuk meja dengan ekspresi marah dramatis. "Jaga sikapmu kepada Yang Mulia Ratu!"

Mendengarnya, Norofi yang sedang minum sampai dibuat tersedak.

"Jika alien sepertinya menjadi ratu, aku tidak bisa membayangkan bagaimana nasib dunia," sambar Obi yang kembali masuk dan menempati kursinya.

"Benar juga!" Juni menggebrak meja lalu menuntut, "mengapa kau tidak bilang kalau kau adalah tunangan Si Zesto itu?"

Zeze mengangkat bahu, "untuk menipu musuhmu, kau harus bisa menipu temanmu." Ia mengutipnya dengan enteng tanpa perasaan bersalah sehingga membuat Juni berdecak kesal.

Rhea berdeham, "mulai lagi."

"Ze, jika Si Zesto itu berbuat macam-macam kepadamu, jangan ragu untuk bilang kepadaku. Akan kubuat dia melompat dari gedung," ancam Kaló.

Juni mengangkat alisnya, "memangnya kau sanggup?"

"Ck, jangan meremehkan Hermes-nya Énkavma!"

Juni memutar bola matanya, "jadi penipu bangga," cibirnya.

"Sepertinya ada pengalihan isu di sini," Zeze menyinggung sarkastis. "Sudahlah, jika cinta bilang saja cinta."

"Kau ini berisik sekali!" Sergah Juni dengan wajah merah padam.

Melihatnya, Zeze malah mengulum senyum tanpa sedikit pun merasa menyesal.

Zeze sedikit mendorong mundur bangkunya untuk melirik Kai yang duduk di samping kanan Rhea. Laki-laki itu tengah meneguk air putihnya. Zeze tahu dia menyadari tatapannya, karena itulah bibirnya menyeringai lebar.

"Oh ya, mulai besok Zeze sudah harus dipindahkan ke kelas khusus untuk keturunan kerajaan, Duke, dan Marquess," Rhea memberitahu.

"Kenapa hanya keturunan Duke dan Marquess?" Zeze bertanya dan Rhea mengangkat bahu.

Mata birunya melirik Obi yang tengah asyik bermain game, "berarti Obi juga bisa masuk?"

Obi mengangkat matanya dan menatapnya dengan ketus, "jangan harap aku akan menjadi anaknya."

"Aku rasa sebaiknya kau pulang ke rumah terlebih dahulu. Kau tidak lupa kan apa rencana kita? Jika kau tidak menggunakan statusmu sebagai putra ketiga Marquess Barier, akan sulit bagimu berada di dekat Zeze." Rhea menjelaskan dengan lembut.

Obi sedikit tertegun. Rhea memaklumi dan tetap setia menunggu keputusannya sambil menyantap ramennya.

Obi berdeham, "...oke," balasnya, walau dengan terpaksa.

"Kalau bisa, bunuh Si Antoni itu sekalian," timpal Zeze tak acuh.

Rhea melayangkan tatapan penuh peringatan ke arahnya, "jangan didengarkan, Bi. Fokus saja pada tujuanmu. Jangan bertindak sendirian."

"Jadi, apakah adik-adik kita ini sudah berbaikan?" Norofi melihat Zeze dan Obi bergantian.

Zeze mengangguk percaya diri, "tentu saja, dia tidak akan bisa marah terlalu lama denganku." Kemudian ia teringat sesuatu. "Oh ya, ngomong-ngomong kalian bisa pergi malam ini."

"Oh, kau sudah mendapat informasinya?" Tanya Kaló, terlihat antusias.

Zeze mengangguk.

Juni mendecak tak terima. "Curang sekali, nanti kau hanya akan tidur-tiduran di rumah sementara kami harus mengatasi bau busuk mereka."

Mendengar celaannya, Zeze mengerutkan alis, "apa yang kau katakan? Memangnya tidak susah mencari tahu tentang para sialan itu? Aku harus menghafal tata letak rumahnya, aku harus mencari tahu agendanya, aku harus mencari tahu pengawal-pengawalnya, apa saja dýnami-nya, kelemahannya, rute berjaganya, dan yang lain-lain. Belum lagi menyusun rencana agar tidak gagal. Memangnya kau yang hanya tinggal bergerak dan membakar mereka? Sekarang jangan salahkan aku jika aku dapat berkencan dengan kasurku malam ini."

Juni memutar bola matanya. Sebenarnya bukannya Juni tidak suka menjalankan misinya. Ia justru sangat menanti-nanti hal ini. Tapi menurutnya akan jauh lebih menyenangkan jika melakukannya bersama-sama, dan Juni pun sungkan untuk mengakuinya.

Tiba-tiba, sebuah suara bariton yang tenang membuyarkan lamunannya. "Coba jelaskan."

Juni berpaling melihat orang itu lewat ekor matanya. Sebenarnya ia penasaran dengan apa yang tengah dipikirkan orang itu. Apakah dia sama gugupnya dengan dirinya ketika Zeze menggoda mereka? Tapi Juni tidak mau berharap banyak.

Mungkinkah dia juga merasakan hal yang sama terhadapnya?

"Oke, dengarkan." Juni bersyukur karena suara Zeze mengalihkan perhatiannya dari dia.

========

"Yang Mulia! Anda dari mana saja!?" Seruan heboh itu langsung menyambutnya ketika ia baru saja mendaratkan kaki di ambang pintu masuk.

"Mmm...." Zeze menggaruk tengkuknya.

"Anda tidak boleh bepergian tanpa pengawalan seperti ini!" Seru Madam Thoryvos lagi. Suaranya sampai membuat Zeze pusing.

"Maaf Ma'am, aku hanya pergi bersama temanku." Zeze sampai bingung sendiri mengapa ia harus merasa bersalah seperti ini.

Ia melirik Froura di sampingnya untuk memberinya isyarat. Mengerti maksudnya, dengan pelan Froura berkata, "Ma'am, sepertinya Yang Mulia sudah lelah. Sebaiknya kita biarkan dia istirahat terlebih dahulu."

Madam Thoryvos mendesah untuk menguapkan emosinya, "ya sudah, lain kali Anda tidak boleh seperti itu lagi, Yang Mulia."

Zeze terpaksa mengangguk. Ditemani Froura, ia berjalan menaiki tangga menuju kamarnya di lantai 2. Setelah sampai di depan pintu, gadis berkemeja renda itu membungkuk pamit dan pergi meninggalkannya.

Malam ini akan terasa sepi karena Obi telah kembali ke rumah ayahnya. Selama ini jika tidak ada misi, laki-laki itu sesekali menginap di rumah ibunya ataupun di sini bersama Zeze.

'Bagaimana jika dia bertemu dengan....'

Zeze menggeleng, mencoba mengenyahkan pikiran buruknya. Dia pasti tahu jika Obi akan datang, karena itulah dia pasti telah pergi dari sana.

Tubuhnya langsung memantul ketika ia menghempaskan diri ke kasur king size bernuansa hitam-merah. Sudah lama sekali sejak terakhir kali ia tidur di kasur ini. Mulai sekarang, ia diharuskan untuk tidur di sini lagi, ditemani sepi dan sunyi.

Rasanya akan sangat membosankan tidur di kasur sebesar ini sendirian. Saat berguling ke kiri, mendadak ia teringat sesuatu dan merogoh cepat saku jaket denimnya, merenggut kertas yang sejak pagi tadi terlipat di dalamnya.

'Vieil Ami'

Matanya perlahan kehilangan cahayanya ketika ia menatap tulisan yang tadi pagi diambilnya secara diam-diam itu. Dan satu pertanyaan langsung menginvasi otaknya: Apakah semuanya benar telah berakhir?

Kemudian ia iseng-iseng membaliknya. Dan matanya melebar, mengizinkan cahaya kembali merasuk ke dalamnya ketika mengetahui ternyata terdapat tulisan lain di sana.

'À plus tard'

Zeze mengerutkan alis. Benar, jika semuanya telah berakhir, maka harusnya berakhir dengan indah. Jika berakhir dengan buruk, itu artinya masih belum berakhir.

Mereka bertiga akan kembali bersama.

Tanpa sadar, ia ketiduran dan terbangun pada pukul setengah 8 pagi. Ia cepat-cepat mandi seadanya dan memakai seragam sekolahnya. Saat turun, ternyata Kion dan yang lainnya masih sibuk sarapan di meja makan. Hatinya melengos. Kalau tahu begini, tadi ia tidak perlu sampai buru-buru.

Zeze menarik kursi di hadapan Kion yang masih saja membaca bukunya. Tidak ingin ambil pusing, ia duduk lalu menyendok supnya.

Tangannya mendadak berhenti sebelum sup itu sempat tenggelam di mulutnya. Hidungnya langsung mengernyit ketika mencium secuil makanan di sendoknya itu.

"Ini daging babi ya?" Tanyanya, entah kepada siapa.

Orang-orang di meja itu menghentikan makan mereka dan menoleh ke arahnya dengan heran. Tentu saja kecuali Sang Pangeran yang masih asyik membalik lembaran buku.

"Iya. Ada apa Yang Mulia?" Volta yang menjawab.

Zeze mendorong mangkuknya. "Siapa yang memasak?" Selidiknya.

Alis Volta bertaut bingung, "kepala koki, Mr. Jaeykel."

Pantas saja. "Ke mana Dave Finn?" Tanyanya.

"Itu... aku tidak tahu. Apa perlu aku tanyakan?"

"Tidak perlu," tolaknya sambil mengambil apel merah. "Lain kali beritahu..." ia menggigit apel itu lalu melanjutkan sembari mengunyah, "...aku alergi daging babi dan sapi."

Mata Volta melebar, "Y- Yang Mulia apa Anda ingin memakan makanan yang lain?" Zeze menggeleng atas tawarannya. Volta mengerti betapa seriusnya hal ini. Bisa gawat jika Zeze kenapa-kenapa.

Setelah selesai sarapan, mereka pun pergi ke sekolah. Seperti biasa, ketika sampai, mereka tidak langsung menuju kelas masing-masing. Meja panjang kantin lantai satulah tempat mereka berlabuh.

Tapi lain halnya dengan Luna yang langsung saja bertolak ke kelasnya. Ia tidak tahan jika harus berada di sana. Tapi tetap saja, dimana pun ia berada, orang-orang pasti akan membicarakan hal yang sama. Apalagi kalau bukan pertunangan Kion dan Zeze.

Seperti saat ini. Kupingnya penging mendengar hal itu terucap dari mulut yang berbeda-beda. Bahkan teman-temannya saat ini juga sedang gencar-gencarnya membicarakan hal itu.

"Apakah kalian sudah lihat tunangan Pangeran Kion?"

"Tentu. Ya Tuhan, dia cantik sekali."

"Aku belum."

"Kenapa? Sayang sekali."

"Kau akan terkejut ketika melihatnya. Dia terlihat tidak nyata, seperti malaikat atau peri dari negeri dongeng."

"Kira-kira siapa ayahnya ya?"

"Kurasa bukan asli penduduk sini."

"Aku jadi penasaran bagaimana kabar Yang Mulia Putri Vourtsa."

Niatnya ingin menghindari hal-hal yang berhubungan dengan kedua orang itu. Tapi nyatanya hal itu seperti mengejarnya bahkan sampai ke ujung dunia sekalipun.

Ia dapat merasakan mereka semua menatapnya. Ia tidak butuh itu, tatapan prihatin itu. Ia tidak butuh dikasihani. Untuk apa ia dikasihani?

"Kalian sedang membicarakan apa?" Tahu-tahu, suara halus nan lembut penuh wibawa milik seseorang terdengar.

Tak perlu menunggu lama, mereka semua berdiri serentak dan membungkukkan badan, menyambut si pemilik suara. Tak terkecuali Luna. Ia tidak menyangka orang ini akan datang ke mejanya.

"Selamat pagi Tuan Putri Ingrid Voan Enochlei," sambut seseorang yang dihadiahi senyuman manis olehnya.

Ingrid beralih ke Luna lalu memberinya secercah senyuman. Luna sedikit menundukkan kepalanya karena tidak menyangka akan ditatap seperti itu.

"Apa kabar, Lady Vierhent?"

Luna memaksakan senyum, "saya baik. Bagaimana Yang Mulia sendiri?"

Ingrid tertawa pelan. Tawanya sangat anggun dan berkelas bahkan dapat membekukan orang-orang di sekitarnya. "Aku baik. Jangan terlalu formal begitu." Ia menyelipkan rambut coklat bergelombangnya yang terjuntai ke belakang telinga, "bagaimana kalau kita mengobrol sebentar?"

========

Pagi ini berisik sekali seperti biasanya. Apalagi ditambah manusia yang entah datang dari mana langsung menggelayuti lengannya. Gadis itu terus saja mengoceh, tanpa peduli ia mendengarkan atau tidak.

Walau matanya membidik pada langit biru di hadapannya, pikirannya terus melayang ke hal lain. Ia meletakkan siku kanannya di atas palang pembatas supaya telapak tangannya dapat menopang dagunya.

Hari ini salju lumayan lebat. Dinginnya membuat rasa sakit di punggungnya kumat. Ia tidak dapat memaafkan orang yang telah membuatnya 5 hari berturut-turut berbaring di tempat tidur tanpa bisa melakukan apa-apa. Namun jika sudah bertemu dengannya, apa yang akan ia lakukan? Apa yang bisa ia lakukan? Ia tidak akan mudah mendekatinya seperti dulu lagi. Status mereka sudah berbeda. Tidak, walau tidak ada perbedaan sekalipun, ia masih tidak yakin apa yang akan ia lakukan terhadapnya.

Frustrasi, Aiden mengacak-ngacak rambutnya. Dalam hatinya ia selalu bertanya, sebenarnya ada apa dengannya? Apa yang salah? Kenapa gadis itu selalu membuatnya tak karuan seperti ini? Kenapa dia? Dari sekian banyaknya perempuan di dunia ini, kenapa harus dia?

Lamunannya seketika terpenggal oleh suara gumaman di belakang punggungnya yang kian menumpuk. Ini mengganggunya. Dengan dongkol, ia menoleh ke belakang.

Dan terlihatlah orang itu. Orang yang seenaknya mengacaukan hidupnya yang semula tenteram. Beberapa hari ini ia sama sekali tidak tertarik pada apa pun. Bahkan hobinya sendiri, berpedang pun terasa hambar. Dan bahkan wanita-wanitanya pun sudah terlihat basi di matanya.

Namun cuma dia, orang yang tengah membelah lorong inilah yang selalu awet di pikirannya.

Dia diikuti oleh seorang perempuan yang kalau tidak salah merupakan anak kedua Marquess Shieldove, Froura.

Matanya terlihat lelah, namun warna dalam irisnya masih tetap cerah seperti langit yang tadi ia pandangi.

Dia sama sekali tidak memedulikan tatapan-tatapan dan bisikan yang mengarah padanya. Dia juga tidak ingin ambil pusing untuk tersenyum atau sekedar membalas salam orang-orang yang dilaluinya. Tambah lagi pengetahuannya tentang gadis itu: dia tidak suka berpura-pura.

Aiden tersenyum ketika memikirkan hal ini. Aneh, entah sejak kapan ia menjadi seorang peneliti begini. Tanpa ia sadari, ia semakin ahli dalam membaca ekspresi wajah gadis itu.

Apa mungkin karena selama ini yang selalu dia tunjukan kepadanya hanyalah ekspresi penuh permusuhan? Aiden jadi ingin melihat berbagai macam ekspresi yang terlintas di wajah itu.

Saat sedang tersenyum begini, tiba-tiba gadis itu melihat ke arahnya. Mata mereka bertemu. Aiden kira dia akan menatapnya dengan mata penuh kebencian lagi seperti yang lalu, tapi ternyata tidak, dia malah membuang muka.

Ini membuatnya emosi. Kenapa dia tidak menatapnya? Kenapa dia tidak bereaksi apa-apa?

Tidak, yang patut dipertanyakan adalah dirinya sendiri. Kenapa ia sangat ingin mata itu menatapnya? Apakah ia lebih suka ditatap penuh kebencian olehnya daripada harus diabaikan seperti ini?

Aneh, tapi harus diakui. Lagi-lagi Aiden mengacak-acak rambutnya dengan tangannya yang bebas. Ingin sekali ia menyentak tangannya yang lain untuk mengenyahkan kutu yang selalu menggelayutinya ini.

"Memangnya apa bagusnya anak haram sepertinya? Benar kan, Aiden?"

Akhirnya Aiden mempunyai alasan untuk menyentaknya. Dan tentu saja dia sangat terkejut. Ini pertama kalinya Aiden memperlakukannya dengan kasar. Terlebih lagi, Aiden tengah menusuknya dengan tatapan seakan siap membunuh orang.

Gadis itu gemetar. Tidak pernah sekalipun ada orang yang pernah menatapnya seperti itu.

"Tutup mulutmu," desisnya.

Di detik berikutnya, Aiden kembali dilanda kebingungan. Kenapa dirinya marah? Kenapa ia tidak terima? Lagi-lagi ia mengacak-acak rambutnya. Kenapa segala sesuatu yang berhubungan dengan gadis itu selalu membuatnya tidak yakin.

Sudah ada kandidat jawaban dari perasaan ini di dalam kepalanya. Tapi ini terlalu tidak masuk akal untuk dibilang jawaban. Ia tidak bisa menerimanya. Ia tidak bisa mengakuinya. Ia tidak ingin.

Setelah berbicara sebentar dengan Froura, gadis itu menghilang di balik pintu kelas barunya. Walaupun mereka semakin dekat tapi ia tidak pernah bisa merasakan kedekatan itu.

Ia mendengus keras, mengeluarkan sesak di dalam dadanya. Coba saja perasaannya dapat keluar seperti angin itu. Tapi kali ini ia tidak ingin lari lagi. Ini memalukan untuk lari dari perasaan sendiri.

Ia terjatuh, terjatuh untuk pertama kalinya setelah hidup selama 16 tahun di dunia ini. Ia terjatuh di lubang penuh bunga yang mana membuatnya mengernyit jijik.

Karena walaupun lubang itu dipenuhi bunga, jatuh tetaplah jatuh, menyakitkan.

Dia, Rozeale Ankhatia... untuk pertama kalinya membuatnya 'jatuh' cinta.
RECENTLY UPDATES