23 OLD FRIEND

Zeze mendengus keras melihat orang di hadapannya ini yang tak ada henti-hentinya tertawa. "Ya ampun... aku tidak bisa berhenti tertawa." Obi terduduk di lantai dengan satu kaki ditekuk, menahan geli di perutnya. Bahkan semenjak Zeze turun dari tangga, Obi masih saja seperti itu.

"Apa yang lucu?" Tanya Saga yang berjalan menghampiri mereka berdua.

"Zeze... Zeze memakai rok," Obi menjawab di sela-sela tawanya.

Zeze melayangkan pandangan sengit, "orang gila. Jangan dipikirkan."

Di sudut matanya, Zeze melihat keenam orang itu berjalan mendekat. Ia tidak tahu harus bersikap seperti apa di depan Kion, karena itulah ia memilih menjatuhkan pandangannya ke lantai.

"Sudah siap, kan? Ayo berangkat," ajak Saga.

Zeze berdeham dan menyikut Obi yang telah berdiri, "sepertinya akan ada murid baru di sekolah nanti."

Mereka pergi ke akademi dengan 2 mobil yang berbeda. Zeze, Obi, Kion, dan Saga berada di satu mobil sementara sisanya berada di mobil yang lain. Saat Zeze hendak meraih gagang pintu, mendadak pintunya telah dibukakan dari luar. Dan sebuah pahatan tangan terulur ke arahnya.

Zeze hanya memandangi wajah pemilik tangan itu, siapa lagi kalau bukan Sang Pangeran. Dengan terpaksa, Zeze menyambutnya bagai Cinderella dalam negeri dongeng.

Mulai sekarang, Zeze diharuskan untuk terus menempel dengan ketujuh orang ini. Bahkan saat tiba di sekolah pun, ia harus jalan berbarengan begini. Zeze sampai harus menahan rasa geli karena lengan Kion yang selalu melingkar di pinggangnya.

Sambil menunggu bel berbunyi, kedelapan orang itu duduk di meja yang dikeramatkan di kantin indoor lantai satu. Dari 3 kantin di akademi ini, meja paling tengah memang seperti telah diciptakan untuk mereka. Dan mulai sekarang, Zeze juga akan duduk di sana. Obi tidak ikut karena ia telah lebih dulu bergabung dengan Kai, Kaló, dan Norofi serta kawan-kawannya.

Zeze dapat merasakannya kembali, perasaan yang sama yang ia rasakan ketika baru masuk ke akademi ini. Semua mata menyorotnya tanpa terkecuali. Kejadian tadi malam masih membekas di ingatan mereka semua. Siapa sangka siswi baru itu ternyata adalah anak dari Putri Vourtsa dan juga merupakan tunangan Kion, putra semata wayang raja terakhir mereka.

Zeze mengambil duduk di hadapan Kion yang kini sedang membaca bukunya yang lain. Zeze sampai harus menekan kuat-kuat keinginannya untuk merebut buku itu lalu membakarnya sampai menjadi abu.

Novel itu berjudul FALSE dengan sampul berwarna hitam pekat. Zeze memang sengaja tidak menuang ilustrasi atau sampul menarik untuk novel-novelnya. Karena prinsip 'tidak boleh menilai buku dari sampulnya' sangat ia junjung tinggi.

Yang lainnya juga sangat terkejut ketika mengetahui bahwa Zeze adalah seorang penulis terkenal yaitu Artemis. Siapa yang tidak mengenal penulis dengan nama pena yang diambil dari dewi bulan dan perburuan itu.

Walaupun penulis itu tidak pernah menampakkan wajahnya, seisi Aplistia dan negara Eropa bagian selatan pasti tahu beberapa karyanya jika ditanya tentang Artemis.

Zeze menumpuk lengannya di depan dada dengan alis bertaut. Sementara orang di hadapannya ini sama sekali tidak terusik oleh tatapan tajamnya itu. Kion malah asyik membalik lembaran demi lembarannya dengan wajah serius.

Menyerah, Zeze membuang muka sambil mendengus. Dan di saat itulah Kion mengintipnya dari balik buku dengan seringai kecil di bibirnya.

Di meja itu terjadi berbagai macam percakapan sederhana. Namun tak ada satu pun yang diikuti oleh Zeze, Kion, dan Luna. Mereka bertiga sibuk dengan kegiatan dan pikiran masing-masing.

Dugaan Volta dan yang lainnya benar, mood Luna jatuh sejatuh-jatuhnya sejak kemarin malam.

Bel masuk menyudahi waktu santai mereka di pagi hari. Zeze dan yang lainnya pun bangkit dari duduk mereka. Namun ketika Zeze hendak menaiki eskalator, tangannya dicegat oleh Volta.

"Yang Mulia, Anda ingin ke mana?" Tanya Volta, bingung.

"Ke kelasku, tentu saja," balasnya, tak kalah bingung.

"Err... mulai sekarang, kelas Yang Mulia ada di lantai satu."

Mulut Zeze setengah terbuka tanpa suara yang menyusul, kemudian terkatup rapat lagi dengan bibir membentuk garis lurus. Ternyata benar, mulai sekarang akan sulit untuknya bersama lagi dengan Glen.

Zeze memperbaiki ekspresinya, "hanya untuk hari ini." Ia berbalik dan menaiki eskalator, meninggalkan Volta, Froura, dan Luna di bawah.

Volta mendengar Luna berdecak. Sepertinya gadis itu merasa bahwa Zeze mempersulitnya.

"Apa yang akan kita lakukan?" Tanya Volta.

Luna berbalik, "aku akan kembali ke kelas. Terserah dengan kalian."

Froura dan Volta saling pandang sebelum memutuskan menyusul Luna.

Sementara itu, Zeze telah berjalan santai di lorong lantai empat dengan kedua tangan tenggelam di dalam saku jaket denimnya. Rambutnya mengalir dengan bagian bawah yang masih tampak ikal.

Tak dihiraukannya tatapan-tatapan yang serta-merta mengiringinya. Zeze tahu beberapa dari mereka ada yang menyembunyikan wajah saat ia lewat. Zeze berasumsi bahwa mereka bagian dari orang-orang yang pernah mengganggunya.

Sesampainya di ambang pintu kelas, suara yang semula riuh tiba-tiba berubah hening. Mata mereka sepenuhnya tertuju ke ambang pintu. Atau lebih tepatnya ke arah sosok bagai dewi yang berdiri di sana.

Kalau seperti ini, ia merasa seperti orang aneh saja. Bahkan ini lebih parah daripada hari pertama masuk sekolah dulu.

Dengan satu embusan napas, Zeze memutuskan berjalan mendekati mejanya. Zeze melihat teman sebangkunya itu tengah menunduk dengan tangan bergerak-gerak di atas kertas.

Ia berhenti di samping meja Glen dan menunduk, melihat tulisannya. Tulisan itu terlihat sangat hidup dengan bentuk yang berbeda di setiap hurufnya, hasil dari efek 3 dimensi. Glen memang sangat ahli dalam lettering dan graffiti. Walaupun satu huruf belum sempurna, Zeze dapat menebak keseluruhan kata dalam bahasa Perancis itu.

Vieil Ami

Zeze berlutut dengan satu kaki dan meletakan dagunya di atas meja Glen, memperhatikan tiap gerakan yang dibuat tangan itu hingga menghasilkan karya seni yang indah.

Walaupun merasakan tiap pasang mata di dalam kelas mendarat kepada mereka berdua, Zeze tidak peduli. Biarlah begini untuk yang terakhir kali.

Tangan Glen berhenti mengukir sehingga membuat mata Zeze terangkat ke wajahnya. Ternyata dia juga sedang menatapnya. Zeze ingin berpaling, tapi mata itu begitu memerangkapnya.

Untungnya, suara high heels Madam Heiss yang berulang-ulang bertemu lantai menyelamatkannya. Dengan linglung, Zeze pun bangkit menuju kursinya.

Madam Heiss menyapukan pandangannya ke sekeliling dan melihat seseorang yang seharusnya tidak ada di kelasnya. "Yang Mulia, sedang apa Anda di sini?"

Rasanya aneh jika dimana-mana harus dipanggil dengan gelar seperti itu. "Ini hari terakhir, Madam Heiss," jawabnya seadanya.

Madam Heiss mengangguk dan tak bertanya lebih. Sebenarnya ia juga sangat terkejut ketika mendapati bahwa salah satu muridnya itu adalah seorang keturunan kerajaan, terlebih lagi seorang Ankhatia. Ia juga tidak enak hati karena pernah memberinya detensi.

Pelajaran pun berlanjut tanpa gangguan. Namun daripada memperhatikan pelajaran, Zeze malah menopang kepalanya dengan telapak tangan dan asyik memperhatikan wajah Glen dari samping.

"Glen...." bisiknya.

Glen bergeming tanpa menarik matanya dari papan tulis.

Zeze mengerucutkan bibirnya. "Ayo bertaruh," tantangnya.

Glen meliriknya.

"Jika aku bisa mengerjakan soal di depan dalam waktu 1 menit, kau harus ikut aku nanti saat istirahat."

Sama sekali tidak ada tanda-tanda Glen akan merespons permainan kekanak-kanakannya itu yang akhirnya membuatnya mengambil kesimpulan sepihak.

"Diam berarti setuju," tandasnya.

Glen mendesah. Ia lebih memilih mencatat soal di papan tulis. 'Dia ini berkepribadian ganda atau apa?'

Wajar saja Glen berpikir begitu. Zeze bertingkah layaknya tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka semenjak kejadian di pemakaman kemarin.

Tiba-tiba, Glen mendengar gesekan kursi di sebelahnya. Tak perlu melihat untuk mengetahui bahwa Zeze telah berdiri ketika Madam Heiss bertanya siapa yang akan menjawab soal di depan. Gadis itu berjalan ke depan kelas dengan langkah pasti lalu mengambil kapur yang diserahkan Madam Heiss.

Sebelum memulai, Zeze menoleh ke belakang dan memberikan senyum miring mempesonanya kepada Glen yang juga tengah memperhatikannya.

Ketika kembali menghadap depan, tangan kirinya mulai menggores papan tulis hitam itu dengan jawaban yang sangat akurat. Tanpa jeda dan bahkan lebih cepat dari orang yang menulis dengan melihat buku.

Dan akhirnya, seluruh papan tulis itu telah tertutupi oleh angka-angka. Zeze menggaris bawahi hasil akhirnya lalu menyerahkan kembali kapur itu kepada Madam Heiss yang masih melongo.

Dengan membawa senyum percaya diri di wajahnya, Zeze melenggang santai ke tempat duduknya. Saat melewati Glen, ia berbisik, "tepat satu menit kan?"

Glen mendesah lalu lanjut mencatat. Tak ada pilihan lain selain menuruti maunya.

Bahkan lima menit sebelum bel, Zeze telah merapikan buku-bukunya. Sepertinya ia sudah siap sedia kalau-kalau Glen mengecohnya lagi, dilihat dari caranya memusatkan seluruh indranya ke arah teman sebangkunya itu.

Glen mendesah dengan mata terpejam, "aku tidak akan lari, jadi berhenti menatapku."

Zeze mengerjap, "benarkah?"

Glen menoleh ke arahnya dengan sorot mata mengeras, yang Zeze paham itu adalah tatapan mata penuh kesungguhan.

Zeze mengulum senyum. Hatinya sudah lega sekarang setelah mendengar jawaban tak langsung dari Glen.

Hingga tibalah saat yang dinantinya. Ia berdiri lebih dulu dan berbisik saat melewati Glen, "ikuti aku."

Zeze berjalan dengan Glen yang mengikuti 3 meter di belakangnya. Ia kira, Zeze akan membawanya ke suatu tempat yang tidak diketahuinya. Tapi ternyata gadis itu menuntunnya ke kebun mawar belakang sekolah. Zeze duduk dengan kaki terulur ke depan sambil menepuk-nepuk tanah berumput yang telah terselimuti salju di sampingnya, mengisyaratkan Glen untuk ikut duduk.

Glen ikuti apa maunya. Dan mereka pun duduk berdampingan dikelilingi kebun mawar yang kini telah layu tertutup salju.

"Aku minta maaf." Itulah kata-kata pertama yang didengar Glen.

"Siapa pun itu, aku minta maaf," sambungnya. "Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan seseorang. Aku tidak ingin kau merasakannya juga tapi...," Ia menunduk. "Aku minta maaf."

Glen meliput langit di atasnya. "Tidak ada yang perlu dimaafkan," ujarnya. "Bukankah manusia memang seperti itu?"

Zeze menoleh di saat Glen sedang menghela napas.

"Mereka saling berkompetisi dan saling mengalahkan untuk membuktikan siapa yang terbaik. Dengan bodohnya mereka menentukan sendiri yang mana yang salah, dan yang mana yang benar. Dengan bodohnya mereka beranggapan bahwa yang menang itu sudah pasti yang benar. Tidak bisakah kita saling mendukung? Saling bekerja sama? Pertarungan itu tidak artinya. Ini bukanlah dunia yang aku inginkan. Memecah belah mimpi menjadi bagian-bagian terpisah. Setiap orang memiliki rasa haus yang sama. Tidak bisakah kita hanya saling berbagi?"

Mungkin itu adalah kalimat terpanjang yang pernah ia dengar dari Glen. Zeze tidak tahu harus bersikap seperti apa, prihatin atau senang karena akhirnya ia dapat mendengar pikirannya.

"Dunia yang kau lihat berbeda dengan dunia yang aku lihat." Suara Zeze cukup terkendali ketika ia mengatakannya. "Cara kita melihat dunia ini berbeda."

Glen menoleh namun mata Zeze malah pergi memandang langit kelabu.

"Tujuan kita mungkin sama, tapi cara kita meraihnya berbeda. Aku tahu cara tak manusiawi seperti itu hanya akan menimbulkan kerusakan. Namun manusia hanya akan berubah jika dipaksa, jika ada hal yang mendorongnya. Mereka itu seperti bayi. Cara lama tidak akan mempan kepada mereka."

Zeze kembali menatapnya. "Bisa dibilang kita ini sedang dalam kompetisi, Glen." Ia tersenyum miring, "kita lihat siapa yang akan duluan mencapai garis finis. Kau... atau aku."

Glen tertegun ketika iris biru itu berkilat-kilat.

"Jangan parkir terlalu lama, kalau tidak kau akan tertinggal." Zeze mengedipkan sebelah matanya.

"Tapi kusarankan untuk mengganti mobilmu itu." Zeze menatap lurus ke depan lalu melanjutkan, "karena kurasa itu sudah terlalu jadul." Ia mengangkat bahu.

Tanpa disangka, Zeze malah mendengar suara tawa. Ia menoleh cepat ke kiri dan mendapati bahwa benar, suara tawa itu berasal dari Glen. Tak biasanya Glen tertawa lepas seperti ini. Bahkan mungkin ini pertama kalinya setelah sekian lama. Jika bisa, ia ingin sekali mengabadikannya lewat video ataupun foto.

"Siapa bilang aku akan menggunakan mobil?" Tanya Glen setelah tawanya pudar.

Sebelah alis Zeze terangkat.

Glen menyeringai ketika ia melanjutkan, "aku akan menggunakan motor."

Walau sempat melebarkan matanya, sesaat kemudian Zeze juga balas menyeringai. 'Boleh juga,' batinnya, merasakan semangat berapi-api yang menggelora dalam dadanya.

"Ah, aku sudah tertutupi salju." Zeze menyapu salju yang menimbun kakinya. Ia memang selalu memakai stocking panjang sampai ke paha, namun tetap saja salju itu masih membuatnya kedinginan.

Zeze berdiri dan mengusap kepalanya, "ayo, aku lapar."

Glen ikut berdiri. Zeze memandanginya, atau lebih tepatnya rambut hitamnya yang kini dijajah oleh bulir salju yang mencair. Pemandangan itu terlihat bagaikan mutiara di atas arang. Zeze ingin sekali mengusap kepala itu dilihat dari tangannya yang sudah terangkat dan perlahan mendekat ke atas kepala Glen. Tapi beberapa detik kemudian, sebuah suara menghentikan tangannya di udara.

"Zeze...." suara itu menghilang begitu saja ketika melihat siapa orang yang berdiri di sampingnya.

Orang itu, orang yang telah menghancurkan segalanya. Menghancurkan kepercayaannya. Menghancurkan hati orang yang sangat ia jaga dan sayangi seperti saudara perempuannya sendiri. Dan tanpa ampun menghancurkan impiannya, impian mereka bertiga.

Kakinya secara refleks membunuh jarak dengan sangat cepat. Tangannya yang telah gatal, bergerak meninjunya dengan segenap campuran emosi yang memenuhi rongga dadanya.

Dia terjungkal ke belakang sebab saking kuatnya pukulan itu, hingga gravitasi menariknya jatuh ke dalam dinginnya lautan salju.

"Glen!" Zeze berniat menolong Glen, namun ketika melihat orang itu maju untuk mendaratkan pukulannya lagi, Zeze memilih menjulang di antara mereka.

"Tenang, Obi," katanya pelan. Kedua tangannya terulur dengan telapak tangan terbuka, mencoba mendorong amarah lelaki bertopi hitam di hadapannya itu.

"Sialan! Brengsek!" Kata-kata makian berceceran dari mulut Obi. "Bangun!" Bentaknya.

Sementara itu, Glen masih tersungkur dengan napas tersengal-sengal. Ini, ini dia. Pukulan terhebat yang pernah diterimanya. Bahkan beratus-ratus pukulan dari para murid yang sering membullynya pun tidak ada bandingannya dengan satu pukulan ini.

Salju mulai menimbun wajah Glen. Kepalanya pening. Ia dapat merasakan darah yang tumpah dari hidung dan bibirnya. Mencoba bangkit, ia memiringkan tubuhnya, menumpunya dengan siku kanannya, sementara telapak kirinya menekan kuat tanah.

Dengan susah payah, Zeze masih berusaha mendorong dada Obi menjauh, namun sepertinya Obi masih ingin memanjakan kepalan tangannya itu di tubuh Glen hingga membuatnya remuk.

Obi menepis tangan Zeze, "kau ini bodoh atau idiot!? Kenapa... kenapa kau masih... dengan... brengsek itu...," telunjuknya terulur, menunjuk-menunjuk Glen. Ucapannya terpotong karena napasnya yang terengah-engah. "Sialan!" Umpatnya.

"Beraninya... beraninya kau muncul lagi di hadapan Zeze!" Obi sudah mengambil langkah, namun dengan kuat Zeze menarik tangannya hingga Obi terseret mundur beberapa langkah.

"Yang bodoh itu kau! Lihat ini dimana!" Suara Zeze melejit. Walaupun tidak ada orang karena salju sedang turun, bisa saja mereka terpancing karena suara gaduhnya.

Glen terbatuk lalu meludahkan darah. Ia menyorot sosok Obi dengan pandangan berkunang-kunang. Sudah sangat lama sejak terakhir kali ia melihatnya.

Glen tersenyum samar di balik batuknya. Akhirnya ia berjumpa dengannya lagi. Teman lamanya.

"Glen! Glen, bangun!" Seru Zeze yang masih berusaha menarik-narik tangan kiri Obi dengan kedua tangannya. Tenaganya sudah hampir tandas karena permainan tarik-menarik itu. Jelas ia kalah kuat karena Obi adalah laki-laki.

Namun Glen tak sanggup bergerak satu inci pun. Ia terperangkap ke dalam mata gelap yang tengah menghunjamnya dengan penuh kebencian itu.

Melihatnya, Zeze berdecak kesal dengan alis bertaut marah. Ia membuang tangan Obi dengan kasar yang berhasil mengundangnya menoleh dengan tampang terkejut.

"Sudahlah! Aku tidak peduli!" Erangnya, frustrasi.

Mengeluarkan sesuatu dari dalam saku jaketnya, Zeze melemparkannya masing-masing ke tanah di dekat kaki kedua laki-laki itu. Benda itu memantul dan terbuka, menampakkan logamnya yang tajam.

Obi dan Glen mempelajari benda itu. Ini adalah pisau lipat.

"Jangan menggunakan cara kekanak-kanakan seperti tadi," sergahnya.

Obi dan Glen saling bertukar pandang.

"Apa yang kalian tunggu? Tenang saja, aku akan mengurus pemakaman kalian," ujar Zeze sarkastis. Tangannya terlipat di depan dada ketika ia mengatakannya.

Keheningan menjerat mereka bertiga. Sebelum kemudian Obi mendengus keras dan mengusap kasar wajahnya dengan kedua tangan. Ia membuka topinya lalu menyisir rambut hitamnya ke belakang dengan jari.

Perlahan, tanpa melonggarkan tatapan tajamnya dari Glen, ia berjalan mundur. Kemudian ia berbalik pergi, menjerat serta lengan Zeze bersamanya.
RECENTLY UPDATES