22 IF IT WAS YOU

Dari kejauhan, seseorang memperhatikan mereka berdua dengan hati teriris-iris. Ia sengaja memakai baju hitam karena ia sedang berduka. Berduka akan hatinya yang mati, masa depannya yang mati.

Untuk apa masa kecilnya terbuang sia-sia jika akhirnya seperti ini?

"Luna." Namanya dipanggil. Ia kenal suara itu, suara sahabat yang selalu ada untuknya.

"Apa?" Jawabnya muram tanpa menoleh.

"Kau ingin minum?"

Ia menggeleng. Ia tidak ingin apapun. Sudah tidak ada lagi yang ia inginkan.

Sebuah lengan yang tiba-tiba melingkari pinggangnya, membawa kepalanya mendongak ke kiri. "Driko..."

Driko tersenyum, "ayo berdansa."

Driko menarik Luna agak ke tengah karena sejak tadi gadis itu berdiri di pojokan seperti orang yang terasing. Mereka pun berdansa diiringi piano yang mengalun melankolis. Tentu saja mereka tidak sendiri, banyak pasangan lain yang juga ikut berdansa.

Namun yang paling mencolok adalah dua orang di tengah yang berdansa dengan sangat anggun. Semua orang memandang kagum kepada pasangan rupawan itu.

Luna juga memandangi mereka. Bahkan ia lebih sering memperhatikan mereka daripada pasangan dansanya sendiri.

"Luna..." panggilan itu membuatnya berpaling dari mereka. "Lihat aku," kata Driko, sorot matanya mengeras.

Luna mengangguk. Benar, sekarang ia sedang bersama Driko.

"Aku terkejut kau bisa berdansa," singgung Kion yang kini melingkarkan lengannya di pinggang ramping Zeze.

"Aku sering berdansa dengan kakak-kakakku," jawab Zeze yang mengalungkan kedua tangannya di leher Kion. Mereka begitu dekat, dan bahkan napas mereka pun saling terikat.

Dalam bisikan, Kion mulai membeberkan hal-hal yang harus Zeze ketahui. Seperti siapa saja yang harus Zeze jauhi atau siapa saja yang bisa ia percaya. Kion juga memperkenalkan keluarga kerajaan lain dengan lirikan matanya. Sementara Zeze hanya diam mendengarkan sembari mengikuti ketukan Kion dan sesekali bertanya lirih.

Permainan piano terhenti, begitu pun dengan dansa mereka. Kion melepaskan lingkarannya dari pinggang Zeze. Ia meraih tangannya lalu membungkuk, mengecup punggung tangan ramping yang berlapis sarung tangan putih itu, sehingga menimbulkan jeritan tertahan dari para wanita yang menyaksikannya.

Sementara bibir Zeze terkatup rapat ketika melihat bibir penuh Kion bertemu dengan punggung tangannya. Ia memang sering diperlakukan seperti ini oleh kakak-kakaknya yang mengajaknya berdansa setiap kali mereka mengadakan pesta untuk merayakan kemenangan. Namun entah mengapa dengan Kion ia merasa gelisah.

Apakah mungkin karena ia telah lama tidak diperlakukan seperti ini olehnya? Pertanyaan itu muncul di kepalanya. Dulu Kion sering mengecup punggung tangannya ketika lelaki itu pamit ingin pulang. Dulu Kion juga sering mencium pipinya. Namun semua itu telah berlalu.

Seorang laki-laki berambut coklat muda menghampiri mereka. Dia mengenakan setelan berwarna coklat-emas yang kontras dengan kulitnya yang putih. Zeze kenal siapa orang itu dari Kion yang tadi menjelaskan kepadanya. Dia adalah salah satu keturunan kerajaan dari keluarga Enochlei, Aleco Qiess Enochlei.

"Kion," sapanya dengan senyuman.

"Alec." Kion mengangguk.

Ketika mata hazelnya bergeser pada Zeze, dia tersenyum hangat, "jadi ini putri dari Bibi Vourtsa? Cantik. Kau beruntung, Kion," pujinya, dan Zeze tahu itu tidak dibuat-buat.

Zeze hanya melemparkan senyuman tipis, yang pastinya ia lakukan dengan setengah hati.

"Selamat ulang tahun, dan juga selamat karena telah bertunangan," ucapnya.

Kion hanya tersenyum ringkas sambil mengangguk. Aleco pun berlalu meninggalkan mereka setelah beberapa percakapan kecil yang sama sekali tidak menarik bagi Zeze.

"Kau tidak bisa percaya kepadanya," ujar Kion ketika Aleco sudah benar-benar jauh.

"Aku tahu," gumam Zeze tanpa menatapnya. Tentu ia tahu, setelah berpengalaman dalam berbagai macam pertarungan yang tak hanya menguras energi tapi juga emosi, mana mungkin ia tidak bisa melihat kilatan misterius di mata laki-laki itu.

Dan sesi kunjungan para bangsawan dan pengusaha untuk mengucapkan selamat kepada Sang Pangeran kembali dibuka.

Zeze mengetuk-ngetukan heels-nya ke lantai dengan tidak sabar. Kion menyadari itu dan sesekali tersenyum geli tanpa disadari oleh siapa pun.

Saat mata birunya melihat sekeliling, Zeze menangkap sosok Aiden yang tengah berdiri kaku sembari memandanginya. Ia baru ingat bahwa laki-laki itu juga bagian dari keluarga Laktisma.

Laki-laki itu menatapnya begitu lekat. Entah apa yang sedang dia pikirkan. Seingat Zeze, terakhir kali ia bertemu dengannya di kebun mawar belakang sekolah, dan waktu itu ia menendang punggungnya. Ia tidak sempat memperkirakan seberapa besar kekuatan yang dikeluarkannya karena sedang terburu-buru sekali waktu itu.

Ya walaupun lelaki itu terluka parah, itu bukan urusannya. Itu salahnya sendiri karena macam-macam dengannya. Namun harus Zeze akui, orang ini berbahaya. Ia harus mulai waspada terhadapnya.

Zeze berpaling dari Aiden ketika Aplisto berjalan mendekat. "Yang Mulia, selamat ulang tahun. Maaf saya hanya bisa memberikan sebuah pedang untuk Anda."

Kion tersenyum, "tidak apa, Paman. Pedang itu sangat bagus dan antik. Lagipula, aku berterima kasih sekali karena pesta yang mengagumkan ini."

Aplisto membungkuk kemudian beralih ke arah Zeze, "apakah Tuan Putri juga ingin memberikan hadiah untuk Yang Mulia?"

Bahu Zeze merosot. Matanya yang berubah layu mendarat pada Kion yang berdiri di samping kirinya. Ia sama sekali tidak membawa apa-apa. Jika diberitahu dari awal, ia pasti akan menyiapkannya.

Kion hanya tersenyum hangat kepadanya lalu berkata kepada Aplisto, "dia hadiahku, Paman."

Mata Aplisto mengerjap mendengarnya.  Kemudian dia tertawa, "hahaha... bagus, bagus."

"Tapi dia benar," tiba-tiba Zeze berbicara. "Aku harus memberikan sesuatu."

Kion dan Aplisto bersamaan memandangnya dengan penuh tanda tanya.

"Bolehkah aku meminjam piano itu?"

Mata Aplisto mengerjap beberapa kali atas pertanyaannya, "t- tentu, silahkan Yang Mulia."

Zeze melepas pinggangnya dari lingkaran tangan Kion dan berjalan menuju piano di sudut ruangan. Dalam perjalanan, matanya berjumpa dengan mata Glen yang masih setia bersandar di dinding, terasing dari kerumunan orang. Zeze memilih membuang muka dan kembali fokus ke tujuannya.

Ia berbicara dengan sang pianis dan langsung mendapat persetujuannya. Ketika menduduki sebuah kursi kecil berwarna coklat, ia dapat merasakan semua pasang mata terpaku ke arahnya.

Jemarinya mulai menari di atas tuts-tuts piano. Sangat natural bahkan ia tidak perlu melihatnya. Ia bermain seakan piano itu adalah bagian dari dirinya.

Bibirnya terbuka, mengalunkan nyanyian yang murni berasal dari hatinya, mewakili perasaan dan juga pikirannya saat ini.

Why is it so hard for you to properly see me trying?

I get shocked to see how much I can hurt because of you.

My days are a struggle. Even my dreams are painful.

If it was you... how would it be?

If these crazy days became yours?

If you break down as much as me?

Will you know? All the pain that fills me to the point where my heart is about to explode...

...and how much I want you?

If I was you, I would just love me.

Dengan alunan nada yang mengisi kekosongan, Zeze berhenti bernyanyi. Namun suara pianonya kini kalah oleh tepuk tangan yang menggelegar dari segala penjuru.

Zeze memulai lagi.

My heart is endlessly down in the ground.

I'm afraid of everything that surrounds me.

They say you'll be happy when you fall in love... Who said that?

Bulir air lolos dari mata Luna dan mengalir di pipinya. Bait itu serasa ditujukan untuknya, serasa tercipta untuknya. Dari awal, air mata memang telah menggenang di sudut matanya, namun akhirnya jatuh tanpa bisa dicegah setelah lirik itu terucap.

Because I only know a love that looks at you from behind.

If it was you... how would it be?

If these crazy days became yours?

Will you know? All the pain that fills me to the point where my heart is about to explode...

..and how much I want you?

Zeze tidak peduli dengan banyaknya pasang mata yang terkunci ke arahnya. Matanya hanya tertancap pada seorang lelaki yang menjadi tujuan dari lagu ini.

I know you already answered me.

I know the meaning of that answerless answer.

But I pretend don't know anything and I'm lingering.

Do you know how I'm doing these days?

Dari kejauhan, Glen menangkap perubahan pada sudut mata Zeze yang berkerut layaknya menahan sakit saat menyanyikan bait selanjutnya.

I can't even fall asleep, I can't even swallow anything...

Do you know that I'm becoming more ruined as I look at you?

Even though I feel like dying...

Even though there's no way you'll come to me...

Even though I know you're looking somewhere else...

But...

I don't think that I can let go of you.

Zeze menghentikan jemarinya dan menciptakan keheningan. Hanya ada suara isakan yang entah datang dari mana. Ia tidak peduli akan keadaan sekitarnya, karena ia masih tidak dapat berpaling dari sepasang mata itu.

Namun isakan itu makin lama makin kuat yang akhirnya berhasil memaksa Zeze untuk memeriksanya. Ia menoleh ke kiri dan melihat pianis itu menangis sesenggukan dengan tangan sebagai topengnya.

Zeze tersentak, 'ada apa?'

Kemudian ia melarikan pandangan ke kanan. Para pelayan yang sejak tadi berdiri di balik bayang-bayang pun meledakkan tangisan mereka. Ketika menyapukan pandangannya ke depan, para tamu itu juga terlihat menangis tersedu-sedu!

Zeze melongo. Niatnya lagu itu hanya ditujukan untuk satu orang, tapi ternyata malah jadi menyebar begini.

Tak lama kemudian, tepuk tangan dan sorakan riuh membanjirinya dari segala penjuru.

Zeze bangkit dan berjalan kembali ke arah Kion yang masih setia berdiri di jalurnya.

"Yang Mulia... tadi itu bagus sekali."

"Ya Tuhan, suara apa itu? Itu seperti suara yang kau dengar ketika masuk surga."

Berbagai macam pujian diterimanya. Zeze hanya tersenyum kecil sambil menyusupkan tangan kanannya kembali ke dalam genggaman Kion.

Telah satu jam Zeze memamerkan wajahnya di hadapan mereka semua. Dan itu artinya, tidak ada alasan lagi baginya untuk berlama-lama berada di sini.

Sekejap, Zeze seperti mendengar sebuah suara mengatakan, "tadi itu bahkan bukan untukku." Namun ia tidak yakin apakah itu benar yang didengarnya. Ia juga tidak tahu siapa yang mengatakannya, karena begitu lirih sampai-sampai ia tidak mengenali suaranya.

Sekarang waktunya Zeze menjalankan tugasnya sebagai seeker. Tadi Kion sempat memberitahu Zeze mengenai para pejabat yang dicurigainya. Walaupun kebanyakan, itu terdengar seperti terjemahan dari 'para pejabat yang tidak disukainya'.

Meskipun begitu, Zeze tetap menambahkan nama-nama mereka ke dalam daftar target selanjutnya. Karena ia yakin, Kion tidak mungkin ingin untung sepihak seperti ini. Kion adalah orang yang bertanggung jawab.

Sejujurnya, Zeze sangat amat bersyukur karena partner in crime-nya adalah Kion. Ia jadi tidak perlu repot-repot memasang topeng manis untuk mendekati para sampah itu satu per satu dan mencium bau busuk mereka.

Akhirnya, Zeze, Kion, dan keenam orang lainnya kembali mendarat di ruangan sebelumnya. Zeze menyandarkan punggungnya sambil menghisap jus mangga yang tadi diambilkan oleh gadis misterius berambut coklat itu. Zeze duduk di dekat lengan sofa yang membuatnya leluasa untuk menyandarkan sikunya di sana. Sementara di sebelah kirinya ada Kion yang sedang asyik membaca.

"Tadi itu luar biasa sekali. Aku tidak tau kau bisa bernyanyi," kata Airo yang duduk di sofa yang berbeda dengan Zeze dan Kion.

"Benar! Luna saja sampai menangis keras sekali tadi," tutur Volta yang duduk di samping kiri Airo.

Luna yang duduk di sebelah kirinya langsung menepuk lengannya.

"Memang benar, kan! Tadi kulihat Driko juga sesekali mengusap air matanya." Volta membela diri.

Merasa terpanggil, Driko mengangkat matanya yang sejak tadi menatap layar ponsel. "Apa!? Aku tidak menangis!" Kilahnya.

Volta terkekeh, "jujur saja... aku juga menangis kok tadi."

Volta beralih ke gadis berambut coklat panjang di samping Luna, "bahkan Kak Froura juga kulihat menangis."

Gadis itu, Froura mengangkat wajahnya.

"Untuk apa Rara menangis? Dia kan sudah punya Saga." Airo menyeletuk dan langsung dihadiahi delikan mata oleh Saga yang duduk di sofa single.

Zeze masih sibuk menghisap jusnya tanpa berniat ikut campur dalam percakapan mereka. Sementara Sang Pangeran tentunya masih berkencan dengan Sang Buku.

Hal itu mengundang Zeze untuk meliriknya. Namun kemudian, ia tersedak oleh jusnya sendiri sehingga membuatnya terbatuk hebat.

"Ada apa Yang Mulia?" Tanya Froura khawatir.

Tanpa menjawab, Zeze berhenti bersandar santai di lengan sofa. Ia rebut paksa buku itu dari tangan Kion lalu ditutupnya dengan tergesa-gesa.

Yang lainnya dibuat bingung dan terkejut, tidak mengerti apa yang membuat Zeze sampai kalut begitu. Sementara Kion hanya memperhatikan gerak-geriknya dengan tenang.

"Ini..." Zeze tidak dapat menyelesaikan kata-katanya ketika melihat sampulnya.

'Ini bukuku!'

"Bagaimana bisa?" Ia menatap Kion dengan sorot menagih penjelasan. "Apakah kau sudah tahu?" Tuntutnya.

Kion makin menenggelamkan punggungnya, "tahu apa?"

Zeze berdecak. 'Apakah orang ini benar tidak tahu atau hanya pura-pura tidak tahu!?'

"Kalau aku penulisnya!" Ketidak-sabarannya melejit.

Yang lainnya terkejut bukan main akan pernyataannya barusan. Jadi ternyata, buku yang selama ini selalu dibaca sangat serius oleh Pangeran mereka adalah buku yang ditulis oleh tunangannya sendiri!

Sementara Kion hanya mengeluarkan senyum miringnya yang sukses membuat barisan gigi Zeze menggertak dengan kesal.

"Kau sudah tahu atau belum?" Desaknya.

Walau Zeze telah menyiramnya dengan tatapan setajam mungkin, tapi ekspresi tenang di wajah Kion masih tak tergoyahkan.

"Buku itu bagus. Ceritanya juga menarik." Dan sekarang Kion malah berkomentar. Ia berdiri dan membuka jubah serta jasnya.

Melihat itu, Froura langsung sigap berdiri dan mengambilnya.

"Terlebih lagi kata-katanya," sambung Kion sambil menggulung lengan kemeja dan membuka dasinya.

"Aku sudah membaca semua serinya. Lanjutkan, buat lagi yang seperti ini," ujarnya. Ia berjalan ke arah pintu yang langsung dibukakan Froura, meninggalkan Zeze yang hanya bisa melongo, memandang pintu yang kini perlahan-lahan mulai menutup, menelan mereka berdua di baliknya hingga tak tergapai lagi oleh matanya.

'Sialan....'
RECENTLY UPDATES