21 ROZEALE ANKHATIA
Zeze memutuskan tidak masuk sekolah hari ini. Memang karena sedang tidak ingin, dan juga ada alasan lain. Ia harus bertahan selama 2 jam di penjara ini. Sebenarnya tidak ada masalah walaupun ia harus bertahun-tahun hidup di penjara sekalipun, namun jika penjaranya memperdengarkannya mantra-mantra seperti ini, bisa-bisa ia gila pada hari pertama masuk.
"Yang Mulia, apa Anda sudah paham?" Tanya Madam Thoryvos untuk yang kesejuta kalinya.
"Sangat paham." Zeze memaksakan senyum, walaupun itu malah terlihat seperti seringai tersiksa.
"Anda sudah melewatkan 3 hari berharga anda, jadi Anda harus mengejar waktu kali ini," tegasnya.
"Berharga apanya?" Zeze menggerutu pelan, yang pastinya tidak terdengar oleh wanita di hadapannya itu.
"Baiklah, cukup sekian pelajaran kita hari ini. Satu jam lagi Anda sudah harus bersiap," tutup wanita itu.
Akhirnya Zeze dapat meregangkan otot-otot bahunya dengan lega.
Ia memutuskan untuk membunuh waktu sebelum kesialannya benar-benar dimulai. Satu jam itu ia puas-puaskan untuk bermain game CMMORPG terbaik abad ini bersama Obi, Saga, dan Airo menggunakan Virtual Gear.
Obi dan Saga berada di dalam satu tim untuk melawannya dan Airo. Setelah 2 kali permainan, ronde pertama dimenangkan Obi dan Saga, sedangkan ronde kedua dimenangkan oleh timnya sehingga dirinya pun melakukan high five dengan Airo.
Tak terasa satu jam singkatnya telah terlewat. Sudah saatnya ia memakai pakaian menakutkan itu.
Zeze dibawa ke ruangan kemarin oleh Volta dan Luna. Di sana ia tidak langsung memakai gaun itu karena dua orang maid kini sedang menata rambutnya di sebuah ruangan rias. Rambutnya dibuat bergelombang di bagian bawahnya yang mana membuatnya ngeri. Ia belum pernah melakukan ini sebelumnya.
Setelah selesai, poninya dibelah dua dan digabungkan dengan rambutnya untuk diikat sebagian ke belakang. Lalu maid itu memberinya mahkota dengan mutiara yang menggantung turun ke dahinya. Ia malah geli sendiri melihat pantulannya di cermin.
Mereka hanya memberinya bedak tipis dan lipbalm berwarna pink pudar. Mereka tahu tanpa riasan apa pun Zeze pasti sudah sangat cantik. Bulu matanya panjang dan lentik secara alami. Alisnya sudah terbentuk sempurna tanpa harus digambar. Pipinya sudah merona bagai mawar dalam susu. Kecantikannya ini memang tidak dapat dibantah. Bahkan kedua maid ini tidak akan segan memanggilnya dewi.
Maid itu kesulitan pada saat memakaikannya anting, karena hanya telinga kirinya saja yang memiliki tindikan. Namun tidak hanya satu, 4 tindikan sekaligus menghiasi telinganya itu. Mereka menyimpan keempat antingnya di tempat yang aman setelah ia berpesan bahwa anting-anting itu sangat amat berharga baginya. Pada akhirnya, Zeze tidak mengenakan anting sama sekali.
Hingga tibalah saatnya ia memakai gaun putih itu. Ia kira gaun itu akan kekecilan di tubuhnya, tapi ternyata pas serta berhasil menampilkan lekuk tubuhnya yang indah. Kion memesankan gaun yang sangat cocok untuknya. Gaun itu pendek selutut di depan namun panjang sampai ke mata kaki di bagian belakang.
Setelah dipakai, ia didorong ke arah cermin oleh kedua maid itu. Sebenarnya ia sangat tidak ingin melihat pantulannya sendiri.
Dan seketika, sepasang mata beriris biru itu melebar. 'Ini... benar-benar aku?'
Zeze meneguk liurnya. Kedua maid itu kira Zeze akan senang karena mau dilihat dari sisi manapun, Zeze memang seperti dewi.
Namun hidung Zeze malah mengernyit seperti baru saja mencium kotoran. 'Jika Obi melihat ini, dia pasti akan menertawakanku.' Ia mendengus, 'ya pasrah saja untuk kali ini.'
Dari cermin, ia melihat Luna dan Volta datang menghampirinya. Tubuh mereka telah terbalut gaun yang tak kalah cantik. Gaun Volta berwarna coklat kemerahan dengan kerah berbentuk X. Sedangkan gaun Luna tidak memiliki kerah dan hanya sebatas dada hingga lutut. Yang mengherankannya, gaun itu berwarna hitam. Bukankah tidak pantas memakai gaun hitam di ulang tahun seseorang?
"Yang Mulia Anda cantik sekali!" Volta memuji dengan seru tertahan. Terlihat sekali binar memuja di kedua matanya. Ia melihat Zeze seperti melihat sesosok dewi.
Sementara Luna hanya menatap lurus ke arah pantulan Zeze di cermin dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Namun pasti, mata manusia tidak bisa bohong. Luna juga setuju dengan pernyataan Volta.
"Ayo, Yang Mulia. Pangeran telah lebih dulu sampai di kediaman Marquess Laktisma, kita harus segera menyusul."
Zeze mengerutkan alis, "pestanya di sana?"
Volta mengangguk, "ya, Marquess Laktisma sendiri yang menawarkan."
Well, ia tidak diberitahu lebih dulu tentang ini. Tapi toh, akhirnya ia menurut saja saat mereka membawanya masuk ke dalam sedan hitam. Zeze duduk di belakang bersama Volta sementara Luna duduk di kursi depan. Zeze tidak mengenal perempuan yang berada di kursi pengemudi itu. Perempuan tersebut juga memakai gaun. Gaun itu berwarna coklat yang senada dengan rambut panjangnya yang dibiarkan terurai tanpa hiasan apapun.
Perjalanan itu memakan waktu kurang lebih 1 jam, lumayan untuknya sekedar memejamkan mata. Setelah sampai, Zeze turun dengan pintu yang telah dibukakan oleh perempuan yang mengemudi tadi. Udara dingin langsung menyerbu bahunya yang terbuka.
Melihat ke belakang mobil, ternyata terdapat sedan hitam lain yang mengikuti mobil mereka. Dari dalamnya, keluar 4 pria dengan pakaian dan kacamata serba hitam. Zeze memilih mengabaikan mereka dan berjalan masuk bersama ketiga gadis itu.
Namun mereka tidak langsung muncul ke pesta itu. Mereka berempat mendarat di sebuah ruangan bercat putih dengan sofa coklat berbentuk huruf L. Zeze langsung menghempaskan dirinya ke sofa empuk itu.
"Yang Mulia, Pangeran sedang menjamu para tamu terlebih dahulu."
Zeze membalas informasi Volta dengan anggukan.
Setelah kira-kira 10 menit Zeze tertidur di sofa itu, terdengar pintu diketuk. Zeze membuka matanya dan melihat gadis berambut coklat panjang itu mengintip di balik pintu.
Menyadari siapa itu, Volta langsung berdiri dan mengajak Zeze. "Ayo, Yang Mulia."
Zeze pun beranjak ke arah pintu yang telah terbuka.
Dan tampaklah dia. Terlihat sangat tampan di dalam balutan baju kerajaan berwarna hitam dan jubah berwarna emas-merah lengkap dengan emblemnya. Dia bersandar di dinding depan pintu dengan kedua tangannya terlipat di depan dada. Dia diapit oleh Driko dan Airo di sebelah kanannya dan Saga di sebelah kirinya.
Meski detik demi detik telah berlalu, mata hazelnya masih tak lepas mengawasi Zeze, sehingga membuat Zeze mengangkat sebelah alisnya dan bermonolog heran, 'kenapa dia masih diam saja?'
Akhirnya Zeze memilih berjalan duluan. Ia dapat merasakan orang-orang di belakangnya juga mengikuti.
"Roze."
"Hmm?" Sahutnya, menoleh ke kiri dan mendapati Kion telah berjalan di sampingnya. Perbedaan tingginya lumayan jauh. Bahkan ketika bersanding seperti ini, kepala Zeze hanya sebatas pundaknya.
"Nanti akan ada banyak orang yang berbicara tidak-tidak tentang dirimu ataupun ibumu," dia berbicara pelan yang hanya bisa didengar oleh Zeze. "...ataupun akan ada yang sok akrab dan berbicara layaknya mengenal dekat dengan ibumu."
Zeze diam mendengarkan kata demi katanya dengan khidmat.
"Aku atau orang tuaku belum pernah bilang kalau aku mempunyai tunangan. Hal yang akan terjadi nanti pasti akan sangat mengejutkan bagi mereka.
"Jika mereka menanyakan banyak hal, itu terserah padamu ingin menjawabnya atau mengabaikannya. Mereka tidak punya hak ikut campur dengan urusan kita.
"Tapi yang harus kau ingat, tak ada satupun kata yang tulus mereka ucapkan kepada kita. Yang mereka inginkan hanyalah dukungan kita.
"Jangan biarkan kepalsuan mereka menyentuhmu. Lakukanlah apapun yang membuatmu nyaman saat di sana."
"Aku tahu," jawab Zeze dengan mata menggelap. Suaranya pun terdengar dingin.
Menyadari itu, Kion melirik ke arahnya. Ia mengambil tangan kirinya lalu menggenggamnya. Zeze tak berkutik. Ini memang bagian dari kesepakatan mereka. Mereka berdua akan bertingkah layaknya pasangan yang saling mencintai di depan orang-orang itu.
Hingga tibalah mereka di hadapan pintu kembar berwarna coklat dengan ukiran singa yang saling menerkam. Kedua pelayan laki-laki yang berdiri di pinggir masing-masing pintu, membukanya dengan sangat anggun.
Ketika pintu terbuka, tampaklah sebuah aula luas bernuansa coklat-emas dengan banyaknya orang-orang berpakaian mewah. Suara percakapan yang memenuhi aula itu langsung menyerbu telinganya. Bahkan belum mengalaminya sendiri saja, Zeze sudah dapat merasakan kepalsuan mereka.
Kion mengambil langkah terlebih dahulu yang membuat Zeze tersadar dari lamunannya dan berjalan mengikutinya. Menoleh ke belakang, Zeze melihat orang-orang yang mengikutinya telah berpisah ke sisi yang berbeda.
Saat mereka berdua berdiri di lantai yang lebih tinggi, semua suara berisik itu serempak terhenti. Mata semua orang terfokus kepada dua manusia yang saling menggenggam di atas altar itu.
Dapat Zeze rasakan tatapan-tatapan penasaran yang mereka tunjukan kepadanya. Seketika matanya menangkap wajah-wajah yang ia kenal, orang-orang yang berada satu sekolah dengannya. Mulut mereka seakan kehilangan kemampuannya untuk menutup.
Zeze tersenyum miring, 'hati-hati liur kalian menetes.'
"Yang Mulia, siapakah Lady di sebelah Anda?" Tanya seorang pria berambut emas, yang Zeze tidak tahu siapa itu. Namun Kion tentu mengenalnya. Dia adalah pemilik mansion ini, Aplisto Laktisma.
Sama seperti pria itu, seluruh orang di bawahnya juga menantikan jawaban keluar dari bibir Sang Pangeran.
"Tunanganku, Rozeale Ankhatia." Terdengar suara napas tercekat yang terjadi secara serentak.
Zeze hanya memandang datar orang-orang yang kini sepertinya tengah membutuhkan bantuan oksigen tambahan itu.
"Beliau..." kata-kata Aplisto menghilang. Mata hitamnya memandangi Zeze dengan raut keterkejutan yang nyata.
Kion tersenyum, "aku berniat memperkenalkannya di hari ulang tahunku." Matanya melembut ketika melihat Zeze yang berdiri di sebelah kanannya. Tak lupa juga dengan segaris senyuman yang tercetak di wajah rupawannya.
Zeze ikut menoleh dan mata mereka bertemu. Entah mengapa senyuman hangat Kion yang tertuju ke arahnya malah membuatnya ingin muntah.
"Mungkin teman-teman Exousia yang ada di sini juga sudah pernah melihatnya. Roze sudah 2 minggu lebih bersekolah di sana."
Kion menyapukan pandangannya ke bawah. Seketika orang-orang itu langsung tersadar dari kebekuan mereka dan dengan anggun meletakkan satu tangan di depan dada, membungkukan badan dengan sikap hormat. Sementara para tamu wanita, mereka mengangkat sisi gaun mereka dengan kedua tangan, menyilangkan satu kakinya ke belakang lalu membungkuk.
Barisan orang-orang yang membungkuk hormat langsung memenuhi seisi aula itu.
Kion menarik Zeze maju. Lelaki itu menuruni tangga pendek terlebih dahulu dengan tangan yang masih bertaut dengan Zeze. Barulah kemudian ia berbalik dan membantu Zeze menuruni anak tangga satu persatu. Ia memperlakukan Zeze dengan sangat halus dan lembut sehingga membuat para wanita tercekat. Mereka belum pernah melihat Pangeran Kion seperti ini kepada gadis manapun.
Setelah mereka berdua sampai di bawah, orang-orang itu menegakkan punggung mereka kembali. Kion melingkarkan tangan kirinya di pinggang Zeze dan berjalan ke tengah-tengah aula bagai sepasang model yang keluar dari lukisan.
Sepasang suami istri mendekati mereka lalu membungkuk, "Yang Mulia, selamat ulang tahun. Semoga panjang umur dan diberi kesehatan," kata si pria.
Dia melirik Zeze lalu tersenyum, "ini pertama kalinya kami berdua bertemu Yang Mulia," ujarnya.
"Tuan Putri sangat cantik. Mirip sekali seperti Yang Mulia Putri Vourtsa," kata si wanita. Zeze hanya membalasnya dengan senyuman setengah hati. "Senang bertemu dengan Yang Mulia." Ia menundukkan kepala.
Para bangsawan itu silih berganti mendatangi Kion dan Zeze sehingga membuat Zeze jengah sendiri. Tiba-tiba, dari arah belakangnya terdengar rengekan seseorang.
"Aku tidak mau!"
"Apa yang kau katakan? Kita harus menyapa Yang Mulia!"
Zeze kenal suara itu. Itu adalah suara menyebalkan dari gadis pirang yang selalu mengganggunya. Ia tersenyum sinis. Rasanya boleh juga mempermainkannya.
Tanpa aba-aba, Zeze berbalik dan matanya langsung bertemu dengan mata biru gadis itu. Seketika dia membeku dan tak lagi menarik-narik tangannya dari genggaman ibunya.
Ibunya membungkuk, "selamat malam Pangeran dan Tuan Putri," sapanya dengan hormat. Sementara Vela, anaknya itu hanya mematung. Ibunya bahkan harus menariknya untuk ikut membungkuk.
"Selamat malam, Lady Garcia," sambut Kion ramah. "Apakah pestanya menyenangkan?"
Lady Garcia mengangguk, "ini adalah pesta yang sangat mewah. Semoga Yang Mulia Pangeran diberi kesehatan."
Vela masih mematung dengan wajah tegang tanpa mengucapkan sepatah katapun. Sampai akhirnya, Kion yang menyadarinya pun bertanya, "apakah Lady Velani baik-baik saja?"
Vela mengerjap cepat. "I- iya Yang Mulia." Kalau dalam keadaan biasa ia pasti sudah jingkrak-jingkrak kegirangan karena bisa bicara dengan Kion.
"Kalau begitu kami permisi dulu. Mungkin Roze sudah lelah berdiri," Kion pamit sambil menarik pinggang Zeze ke arah sofa putih di sudut aula.
"Geli," ujar Zeze.
Kion menoleh. "Apanya?" Tanyanya, bingung.
Pinggang Zeze sedikit menggeliat, "pinggangnya."
Kion tersenyum geli yang tersamarkan di balik dengusannya. Ia pun sedikit meregangkan tangannya.
Saat berjalan ke arah sofa, Zeze melihat seseorang yang sangat dikenalnya. Orang itu mengenakan jas hitam dengan kemeja hitam tanpa dasi.
Tanpa aba-aba, Zeze menghentikan langkahnya yang membuat Kion juga ikut berhenti. Kion mengikuti arah pandangnya dan melihat orang itu, seorang lelaki yang bersandar di dinding dengan tangan terlipat di depan dada.
Tentunya Kion tahu bahwa orang itu akan datang, karena ia sendirilah yang mengundangnya.
Berbagai macam emosi melintas di wajah Zeze. Sementara orang itu hanya diam memperhatikan mereka berdua dengan tatapan datarnya. Sebuah tatapan yang bagi Zeze sendiri sulit sekali untuk dijelaskan.
Akhirnya Zeze memilih membuang muka dan berjalan kembali ke arah sofa.
Sementara Kion, ia masih saling bertukar pandang dengan orang itu, orang yang dicintai tunangannya, Glen Leios.
"Yang Mulia, apa Anda sudah paham?" Tanya Madam Thoryvos untuk yang kesejuta kalinya.
"Sangat paham." Zeze memaksakan senyum, walaupun itu malah terlihat seperti seringai tersiksa.
"Anda sudah melewatkan 3 hari berharga anda, jadi Anda harus mengejar waktu kali ini," tegasnya.
"Berharga apanya?" Zeze menggerutu pelan, yang pastinya tidak terdengar oleh wanita di hadapannya itu.
"Baiklah, cukup sekian pelajaran kita hari ini. Satu jam lagi Anda sudah harus bersiap," tutup wanita itu.
Akhirnya Zeze dapat meregangkan otot-otot bahunya dengan lega.
Ia memutuskan untuk membunuh waktu sebelum kesialannya benar-benar dimulai. Satu jam itu ia puas-puaskan untuk bermain game CMMORPG terbaik abad ini bersama Obi, Saga, dan Airo menggunakan Virtual Gear.
Obi dan Saga berada di dalam satu tim untuk melawannya dan Airo. Setelah 2 kali permainan, ronde pertama dimenangkan Obi dan Saga, sedangkan ronde kedua dimenangkan oleh timnya sehingga dirinya pun melakukan high five dengan Airo.
Tak terasa satu jam singkatnya telah terlewat. Sudah saatnya ia memakai pakaian menakutkan itu.
Zeze dibawa ke ruangan kemarin oleh Volta dan Luna. Di sana ia tidak langsung memakai gaun itu karena dua orang maid kini sedang menata rambutnya di sebuah ruangan rias. Rambutnya dibuat bergelombang di bagian bawahnya yang mana membuatnya ngeri. Ia belum pernah melakukan ini sebelumnya.
Setelah selesai, poninya dibelah dua dan digabungkan dengan rambutnya untuk diikat sebagian ke belakang. Lalu maid itu memberinya mahkota dengan mutiara yang menggantung turun ke dahinya. Ia malah geli sendiri melihat pantulannya di cermin.
Mereka hanya memberinya bedak tipis dan lipbalm berwarna pink pudar. Mereka tahu tanpa riasan apa pun Zeze pasti sudah sangat cantik. Bulu matanya panjang dan lentik secara alami. Alisnya sudah terbentuk sempurna tanpa harus digambar. Pipinya sudah merona bagai mawar dalam susu. Kecantikannya ini memang tidak dapat dibantah. Bahkan kedua maid ini tidak akan segan memanggilnya dewi.
Maid itu kesulitan pada saat memakaikannya anting, karena hanya telinga kirinya saja yang memiliki tindikan. Namun tidak hanya satu, 4 tindikan sekaligus menghiasi telinganya itu. Mereka menyimpan keempat antingnya di tempat yang aman setelah ia berpesan bahwa anting-anting itu sangat amat berharga baginya. Pada akhirnya, Zeze tidak mengenakan anting sama sekali.
Hingga tibalah saatnya ia memakai gaun putih itu. Ia kira gaun itu akan kekecilan di tubuhnya, tapi ternyata pas serta berhasil menampilkan lekuk tubuhnya yang indah. Kion memesankan gaun yang sangat cocok untuknya. Gaun itu pendek selutut di depan namun panjang sampai ke mata kaki di bagian belakang.
Setelah dipakai, ia didorong ke arah cermin oleh kedua maid itu. Sebenarnya ia sangat tidak ingin melihat pantulannya sendiri.
Dan seketika, sepasang mata beriris biru itu melebar. 'Ini... benar-benar aku?'
Zeze meneguk liurnya. Kedua maid itu kira Zeze akan senang karena mau dilihat dari sisi manapun, Zeze memang seperti dewi.
Namun hidung Zeze malah mengernyit seperti baru saja mencium kotoran. 'Jika Obi melihat ini, dia pasti akan menertawakanku.' Ia mendengus, 'ya pasrah saja untuk kali ini.'
Dari cermin, ia melihat Luna dan Volta datang menghampirinya. Tubuh mereka telah terbalut gaun yang tak kalah cantik. Gaun Volta berwarna coklat kemerahan dengan kerah berbentuk X. Sedangkan gaun Luna tidak memiliki kerah dan hanya sebatas dada hingga lutut. Yang mengherankannya, gaun itu berwarna hitam. Bukankah tidak pantas memakai gaun hitam di ulang tahun seseorang?
"Yang Mulia Anda cantik sekali!" Volta memuji dengan seru tertahan. Terlihat sekali binar memuja di kedua matanya. Ia melihat Zeze seperti melihat sesosok dewi.
Sementara Luna hanya menatap lurus ke arah pantulan Zeze di cermin dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Namun pasti, mata manusia tidak bisa bohong. Luna juga setuju dengan pernyataan Volta.
"Ayo, Yang Mulia. Pangeran telah lebih dulu sampai di kediaman Marquess Laktisma, kita harus segera menyusul."
Zeze mengerutkan alis, "pestanya di sana?"
Volta mengangguk, "ya, Marquess Laktisma sendiri yang menawarkan."
Well, ia tidak diberitahu lebih dulu tentang ini. Tapi toh, akhirnya ia menurut saja saat mereka membawanya masuk ke dalam sedan hitam. Zeze duduk di belakang bersama Volta sementara Luna duduk di kursi depan. Zeze tidak mengenal perempuan yang berada di kursi pengemudi itu. Perempuan tersebut juga memakai gaun. Gaun itu berwarna coklat yang senada dengan rambut panjangnya yang dibiarkan terurai tanpa hiasan apapun.
Perjalanan itu memakan waktu kurang lebih 1 jam, lumayan untuknya sekedar memejamkan mata. Setelah sampai, Zeze turun dengan pintu yang telah dibukakan oleh perempuan yang mengemudi tadi. Udara dingin langsung menyerbu bahunya yang terbuka.
Melihat ke belakang mobil, ternyata terdapat sedan hitam lain yang mengikuti mobil mereka. Dari dalamnya, keluar 4 pria dengan pakaian dan kacamata serba hitam. Zeze memilih mengabaikan mereka dan berjalan masuk bersama ketiga gadis itu.
Namun mereka tidak langsung muncul ke pesta itu. Mereka berempat mendarat di sebuah ruangan bercat putih dengan sofa coklat berbentuk huruf L. Zeze langsung menghempaskan dirinya ke sofa empuk itu.
"Yang Mulia, Pangeran sedang menjamu para tamu terlebih dahulu."
Zeze membalas informasi Volta dengan anggukan.
Setelah kira-kira 10 menit Zeze tertidur di sofa itu, terdengar pintu diketuk. Zeze membuka matanya dan melihat gadis berambut coklat panjang itu mengintip di balik pintu.
Menyadari siapa itu, Volta langsung berdiri dan mengajak Zeze. "Ayo, Yang Mulia."
Zeze pun beranjak ke arah pintu yang telah terbuka.
Dan tampaklah dia. Terlihat sangat tampan di dalam balutan baju kerajaan berwarna hitam dan jubah berwarna emas-merah lengkap dengan emblemnya. Dia bersandar di dinding depan pintu dengan kedua tangannya terlipat di depan dada. Dia diapit oleh Driko dan Airo di sebelah kanannya dan Saga di sebelah kirinya.
Meski detik demi detik telah berlalu, mata hazelnya masih tak lepas mengawasi Zeze, sehingga membuat Zeze mengangkat sebelah alisnya dan bermonolog heran, 'kenapa dia masih diam saja?'
Akhirnya Zeze memilih berjalan duluan. Ia dapat merasakan orang-orang di belakangnya juga mengikuti.
"Roze."
"Hmm?" Sahutnya, menoleh ke kiri dan mendapati Kion telah berjalan di sampingnya. Perbedaan tingginya lumayan jauh. Bahkan ketika bersanding seperti ini, kepala Zeze hanya sebatas pundaknya.
"Nanti akan ada banyak orang yang berbicara tidak-tidak tentang dirimu ataupun ibumu," dia berbicara pelan yang hanya bisa didengar oleh Zeze. "...ataupun akan ada yang sok akrab dan berbicara layaknya mengenal dekat dengan ibumu."
Zeze diam mendengarkan kata demi katanya dengan khidmat.
"Aku atau orang tuaku belum pernah bilang kalau aku mempunyai tunangan. Hal yang akan terjadi nanti pasti akan sangat mengejutkan bagi mereka.
"Jika mereka menanyakan banyak hal, itu terserah padamu ingin menjawabnya atau mengabaikannya. Mereka tidak punya hak ikut campur dengan urusan kita.
"Tapi yang harus kau ingat, tak ada satupun kata yang tulus mereka ucapkan kepada kita. Yang mereka inginkan hanyalah dukungan kita.
"Jangan biarkan kepalsuan mereka menyentuhmu. Lakukanlah apapun yang membuatmu nyaman saat di sana."
"Aku tahu," jawab Zeze dengan mata menggelap. Suaranya pun terdengar dingin.
Menyadari itu, Kion melirik ke arahnya. Ia mengambil tangan kirinya lalu menggenggamnya. Zeze tak berkutik. Ini memang bagian dari kesepakatan mereka. Mereka berdua akan bertingkah layaknya pasangan yang saling mencintai di depan orang-orang itu.
Hingga tibalah mereka di hadapan pintu kembar berwarna coklat dengan ukiran singa yang saling menerkam. Kedua pelayan laki-laki yang berdiri di pinggir masing-masing pintu, membukanya dengan sangat anggun.
Ketika pintu terbuka, tampaklah sebuah aula luas bernuansa coklat-emas dengan banyaknya orang-orang berpakaian mewah. Suara percakapan yang memenuhi aula itu langsung menyerbu telinganya. Bahkan belum mengalaminya sendiri saja, Zeze sudah dapat merasakan kepalsuan mereka.
Kion mengambil langkah terlebih dahulu yang membuat Zeze tersadar dari lamunannya dan berjalan mengikutinya. Menoleh ke belakang, Zeze melihat orang-orang yang mengikutinya telah berpisah ke sisi yang berbeda.
Saat mereka berdua berdiri di lantai yang lebih tinggi, semua suara berisik itu serempak terhenti. Mata semua orang terfokus kepada dua manusia yang saling menggenggam di atas altar itu.
Dapat Zeze rasakan tatapan-tatapan penasaran yang mereka tunjukan kepadanya. Seketika matanya menangkap wajah-wajah yang ia kenal, orang-orang yang berada satu sekolah dengannya. Mulut mereka seakan kehilangan kemampuannya untuk menutup.
Zeze tersenyum miring, 'hati-hati liur kalian menetes.'
"Yang Mulia, siapakah Lady di sebelah Anda?" Tanya seorang pria berambut emas, yang Zeze tidak tahu siapa itu. Namun Kion tentu mengenalnya. Dia adalah pemilik mansion ini, Aplisto Laktisma.
Sama seperti pria itu, seluruh orang di bawahnya juga menantikan jawaban keluar dari bibir Sang Pangeran.
"Tunanganku, Rozeale Ankhatia." Terdengar suara napas tercekat yang terjadi secara serentak.
Zeze hanya memandang datar orang-orang yang kini sepertinya tengah membutuhkan bantuan oksigen tambahan itu.
"Beliau..." kata-kata Aplisto menghilang. Mata hitamnya memandangi Zeze dengan raut keterkejutan yang nyata.
Kion tersenyum, "aku berniat memperkenalkannya di hari ulang tahunku." Matanya melembut ketika melihat Zeze yang berdiri di sebelah kanannya. Tak lupa juga dengan segaris senyuman yang tercetak di wajah rupawannya.
Zeze ikut menoleh dan mata mereka bertemu. Entah mengapa senyuman hangat Kion yang tertuju ke arahnya malah membuatnya ingin muntah.
"Mungkin teman-teman Exousia yang ada di sini juga sudah pernah melihatnya. Roze sudah 2 minggu lebih bersekolah di sana."
Kion menyapukan pandangannya ke bawah. Seketika orang-orang itu langsung tersadar dari kebekuan mereka dan dengan anggun meletakkan satu tangan di depan dada, membungkukan badan dengan sikap hormat. Sementara para tamu wanita, mereka mengangkat sisi gaun mereka dengan kedua tangan, menyilangkan satu kakinya ke belakang lalu membungkuk.
Barisan orang-orang yang membungkuk hormat langsung memenuhi seisi aula itu.
Kion menarik Zeze maju. Lelaki itu menuruni tangga pendek terlebih dahulu dengan tangan yang masih bertaut dengan Zeze. Barulah kemudian ia berbalik dan membantu Zeze menuruni anak tangga satu persatu. Ia memperlakukan Zeze dengan sangat halus dan lembut sehingga membuat para wanita tercekat. Mereka belum pernah melihat Pangeran Kion seperti ini kepada gadis manapun.
Setelah mereka berdua sampai di bawah, orang-orang itu menegakkan punggung mereka kembali. Kion melingkarkan tangan kirinya di pinggang Zeze dan berjalan ke tengah-tengah aula bagai sepasang model yang keluar dari lukisan.
Sepasang suami istri mendekati mereka lalu membungkuk, "Yang Mulia, selamat ulang tahun. Semoga panjang umur dan diberi kesehatan," kata si pria.
Dia melirik Zeze lalu tersenyum, "ini pertama kalinya kami berdua bertemu Yang Mulia," ujarnya.
"Tuan Putri sangat cantik. Mirip sekali seperti Yang Mulia Putri Vourtsa," kata si wanita. Zeze hanya membalasnya dengan senyuman setengah hati. "Senang bertemu dengan Yang Mulia." Ia menundukkan kepala.
Para bangsawan itu silih berganti mendatangi Kion dan Zeze sehingga membuat Zeze jengah sendiri. Tiba-tiba, dari arah belakangnya terdengar rengekan seseorang.
"Aku tidak mau!"
"Apa yang kau katakan? Kita harus menyapa Yang Mulia!"
Zeze kenal suara itu. Itu adalah suara menyebalkan dari gadis pirang yang selalu mengganggunya. Ia tersenyum sinis. Rasanya boleh juga mempermainkannya.
Tanpa aba-aba, Zeze berbalik dan matanya langsung bertemu dengan mata biru gadis itu. Seketika dia membeku dan tak lagi menarik-narik tangannya dari genggaman ibunya.
Ibunya membungkuk, "selamat malam Pangeran dan Tuan Putri," sapanya dengan hormat. Sementara Vela, anaknya itu hanya mematung. Ibunya bahkan harus menariknya untuk ikut membungkuk.
"Selamat malam, Lady Garcia," sambut Kion ramah. "Apakah pestanya menyenangkan?"
Lady Garcia mengangguk, "ini adalah pesta yang sangat mewah. Semoga Yang Mulia Pangeran diberi kesehatan."
Vela masih mematung dengan wajah tegang tanpa mengucapkan sepatah katapun. Sampai akhirnya, Kion yang menyadarinya pun bertanya, "apakah Lady Velani baik-baik saja?"
Vela mengerjap cepat. "I- iya Yang Mulia." Kalau dalam keadaan biasa ia pasti sudah jingkrak-jingkrak kegirangan karena bisa bicara dengan Kion.
"Kalau begitu kami permisi dulu. Mungkin Roze sudah lelah berdiri," Kion pamit sambil menarik pinggang Zeze ke arah sofa putih di sudut aula.
"Geli," ujar Zeze.
Kion menoleh. "Apanya?" Tanyanya, bingung.
Pinggang Zeze sedikit menggeliat, "pinggangnya."
Kion tersenyum geli yang tersamarkan di balik dengusannya. Ia pun sedikit meregangkan tangannya.
Saat berjalan ke arah sofa, Zeze melihat seseorang yang sangat dikenalnya. Orang itu mengenakan jas hitam dengan kemeja hitam tanpa dasi.
Tanpa aba-aba, Zeze menghentikan langkahnya yang membuat Kion juga ikut berhenti. Kion mengikuti arah pandangnya dan melihat orang itu, seorang lelaki yang bersandar di dinding dengan tangan terlipat di depan dada.
Tentunya Kion tahu bahwa orang itu akan datang, karena ia sendirilah yang mengundangnya.
Berbagai macam emosi melintas di wajah Zeze. Sementara orang itu hanya diam memperhatikan mereka berdua dengan tatapan datarnya. Sebuah tatapan yang bagi Zeze sendiri sulit sekali untuk dijelaskan.
Akhirnya Zeze memilih membuang muka dan berjalan kembali ke arah sofa.
Sementara Kion, ia masih saling bertukar pandang dengan orang itu, orang yang dicintai tunangannya, Glen Leios.