20 TOMB
'Yang benar? Aku harus memakai ini?' batin Zeze ketika melihat patung hitam yang dibalut gaun putih dengan hiasan berlian di bagian lehernya.
Ia menoleh ke kiri, meminta penjelasan pada Volta yang berdiri dengan tangan bertaut di belakang pinggang. Namun Volta malah memiringkan kepala, bingung akan tatapannya.
Zeze menghela napas, kemudian sedikit melirik ke kanan. Di sana berdiri Luna dengan aura tak bersahabat yang sejak tadi ditunjukkannya semenjak mengantarnya ke ruangan ini.
Merasakan lirikannya, Luna hanya membalasnya sekilas kemudian menatap lurus lagi ke depan.
Ruangan yang sedang Zeze kunjungi ini bisa dibilang lemari baju terbesar yang pernah dilihatnya. Terbukti dari baju-baju yang berjejer dari berbagai model dan warna. Namun yang paling mencolok adalah patung hitam berbalut gaun putih yang berdiri di tengah-tengah lantai yang satu meter lebih tinggi. Di belakang patung itu terpajang kaca jendela besar penuh ukiran rumit bunga mawar serta tangkainya yang meliuk-liuk saling terhubung dengan bunga mawar yang lain. Sinar mentari menyusup masuk membuat berlian yang menghiasi gaun itu berkilau.
"Apakah Anda ingin mencobanya dulu, Yang Mulia?" Tawaran Volta sukses membuat Zeze meneguk salivanya.
"Apakah tidak ada yang lain?"
Volta melepaskan tautan tangan di belakang pinggangnya dan bertanya dengan cemas, "apa Anda tidak menyukainya?"
Tiba-tiba saja udara di sekitar mereka berubah dingin sehingga membuat Volta bergidik ngeri. Zeze tahu siapa yang membuatnya, siapa lagi kalau bukan gadis di sebelah kanannya ini. Sepertinya satu pertanyaan itu telah membuka suasana hatinya yang sejak tadi dia pendam.
Volta sedikit bergeser ke belakang Zeze untuk menegur Luna lewat tatapan mata. Namun apa daya, Luna hanya meliriknya sekilas lalu mendecak keras, yang pastinya didengar oleh Zeze.
Dengan hati-hati, Volta melirik Zeze. Untung saja Zeze tidak menunjukkan perubahan reaksi apa pun yang mana membuat Volta membuang napas lega.
"Ini adalah gaun khusus yang dipilih Pangeran Kion," tandas Luna tiba-tiba. Nada bicaranya terdengar runcing. Lagi-lagi Volta harus mendelik dengan penuh peringatan ke arahnya.
"Oh." Hanya sebatas itu respons dari Zeze.
Volta kembali melirik Zeze, namun yang ia temukan masih ekspresi datarnya.
"Tidak ada lagi yang harus aku lakukan, bukan?" Tanya Zeze, menoleh ke arah Volta.
Volta mengangguk kikuk, "ya."
"Kalau begitu aku akan bersiap-siap ke sekolah," balasnya lalu berbalik pergi.
Setelah Zeze menghilang di balik pintu, barulah Volta memulai terang-terangan. "Luna, aku tahu kau tidak menyukainya, tapi coba jagalah sikapmu untuk kebaikanmu sendiri."
Luna bergeming. Ia menatap lurus ke arah gaun itu dengan sorot yang sulit diartikan.
Melihatnya, Volta hanya bisa mendesah, "ayo, kita juga harus bersiap-siap."
Mood Luna sedang jelek hari ini. Walaupun di hari-hari sebelumnya memang selalu begitu, namun tidak sejelek hari ini. Bahkan Volta dan yang lainnya yakin bahwa mood-nya akan bertambah jelek besok malam, di hari ulang tahun Kion yang ke-18.
Terbukti dari caranya menatap orang-orang yang menyapanya. Biasanya ia akan tersenyum dan sedikit mengangguk ketika namanya dipanggil. Namun jangankan tersenyum, melirik saja ia malas.
Pada saat jam kosong di kelas, biasanya ia akan antusias terhadap apa pun yang diobrolkan teman-temannya. Namun kali ini berbeda, ia malah sibuk dengan lamunannya.
"Besok adalah pesta ulang tahun Yang Mulia Pangeran Kion, ya?"
"Pasti mewah sekali."
"Aku harus memesan gaun yang paling bagus."
"Kalau aku sudah menyiapkannya dari jauh-jauh hari."
"Pasti besok Yang Mulia akan tampan sekali."
"Apa yang kau katakan? Kau tidak lihat ada Lady Luna di sini?" Tegur salah satunya yang Luna sama sekali tidak ingin tahu siapa itu.
Gadis itu meneguk ludahnya, "memang benar kan? Aku hanya memujinya."
"Kalau memuji saja tidak masalah, jangan berharap lebih."
"Tentu saja! Kita semua tahu bahwa hanya Luna yang cocok dengan Yang Mulia." Gadis di sebelah kirinya menggoyang-goyangkan lengannya, "benar kan, Luna?"
Luna mengangkat kepalanya. Dengan linglung, ia menoleh ke arah gadis itu. "I- iya," jawabnya ragu.
Percakapan ini malah memperburuk mood-nya. Luna bangkit dari kursinya, "aku ke toilet dulu."
"Perlu kami temani?"
Luna menggeleng. Ia memilih menghampiri Volta yang duduk dua meja di depannya. Gadis itu terlihat tengah mengukir sketsa gaun di sketch book-nya.
"Volta, mau ke kantin?" Usulnya.
Volta mengangkat kepala lalu mengangguk. Tak ada alasan juga ia berada di kelas karena guru mereka tidak hadir. Tapi walau hadir sekalipun, mereka berdua bebas keluar kelas kapan saja. Siapa yang akan melarang dua orang ini?
Setibanya di kantin lantai 3, mereka malah mendapati Zeze yang sedang duduk di satu meja bersama sekumpulan murid yang dikenal tidak tahu aturan di akademi ini.
Mata Luna memicing. 'Apa yang sebenarnya dilakukannya? Dia adalah tunangan seorang Kion Ropalo Zesto, bagaimana bisa dia bergaul dengan mereka? Mengapa orang sepertinya harus...'
Tatapan Luna luruh ke lantai. Ia datang ke sini untuk mendinginkan pikirannya. Tidak ada alasan baginya untuk memikirkan hal-hal yang dapat tambah menjatuhkan mood-nya.
Akhirnya ia memilih memesan ice cappucino dan duduk di bangku dekat dinding tak jauh dari meja mereka. Di hadapannya, sekarang Volta malah mengabaikannya. Dia asyik sendiri mendesain pakaian. Luna juga suka melakukannya karena memang mereka berdua tertarik dengan fashion. Tapi ia sedang tidak mood sekarang.
"Aku tidak tahu kalian saling mengenal," kata seseorang di belakang Luna. Dari suaranya, Luna tahu siapa itu. Dia adalah putri kedua dari salah satu pengusaha kertas terbesar di Aplistia, Charty Jevrinich.
"Sebenarnya dari awal kami tidak tahan ingin mengobrol dengan Zeze, karena kami sudah lama tidak bertemu. Tapi Kai selalu melarang," balas seseorang, yang Luna yakini dari suaranya adalah putra kedua Marquess yang memimpin para penjaga perbatasan di wilayah barat, Kaló Anaptires.
"Zeze?" Tanya Charty, bingung.
"Itu panggilan kami untuknya. Kau tahu? Dia tidak bisa menyebut huruf R dengan benar," timpal yang lain. Dari suaranya, dia pasti Norofi Sima, putra pertama Earl Sima.
Zeze yang duduk di sebelah kiri Norofi langsung memukul lengannya. "Aww!" Rengek Norofi sambil mengelus-elus lengan kirinya. Walaupun pukulan tadi tidak sakit, ia membuatnya seolah-olah habis ditusuk pisau saja.
"Zeze, lenganku tidak dapat digerakkan! Bagaimana ini!?" Erangnya dramatis.
Zeze hanya memutar bola matanya dan memilih lanjut menikmati Thai tea chocolate caramel-nya.
"Kalau diingat-ingat, Roze sangat luar biasa saat kejadian di kantin waktu itu," ungkap seseorang. Luna mengenali suaranya. Dia adalah putri sulung pengusaha permen karet di Aplistia, Cardi Karmelo.
"Orang seperti Vela itu memang harus sekali-kali diberi pelajaran," timpal Charty.
"Ngomong-ngomong, Roze. Apakah kau masih single?" Tanya seseorang. Dia adalah Raven Kronicles, putra kedua Viscount Kronicles. Suaranya menggantungkan senyuman jahil.
"Dia sudah punya pacar," sergah Kaló. "Yaitu aku. Jadi jangan coba-coba."
"Zeze bisa gila ditipu terus jika mempunyai pacar sepertimu," cetus Norofi.
Zeze hanya bisa menggeleng melihat tingkah kedua kakaknya itu. Mereka berdua memang berbeda dengan kakaknya yang sedang duduk di ujung meja bersama teman-teman lelakinya yang lain. Jumlahnya sekitar 5 orang, termasuk Raven. Dia duduk di sana sambil menghisap rokoknya. Zeze tahu dia sengaja duduk paling ujung agar asap rokok itu tidak mengganggunya. Karena Zeze memang tidak tahan dengan asap.
Lelaki berambut pirang yang memakai topi merah itu memang tidak banyak bicara. Dia hanya bicara seperlunya dan jika seseorang mengajaknya bicara lebih dulu.
"Hai guys," sapa Juni yang baru datang. Di samping kirinya tampak Rhea yang membawa sekotak donat. Mereka berdua langsung mengambil duduk di hadapan Zeze.
Rhea meletakan kotak berisi beraneka macam donat itu di meja. "Silakan," ujarnya dengan senyum ramah.
"Wow! Terima kasih, Rhea cantik." Kaló mengedip.
"Kalian juga tidak masuk kelas?" Tanya Zeze, untuk pertama kalinya ia buka suara.
"Untuk apa?" Tanya Juni, "membosankan."
Yang lainnya telah menyambar donat itu masing-masing satu. Karena hanya ada 12 donat, berarti ada satu orang yang tidak dapat. Di kotak itu tersisa satu yaitu rasa matcha. Zeze menyukai rasa itu. Tapi ketika melihat lelaki bertopi merah di ujung meja itu belum kebagian donat, ia mengurungkan niat untuk mengambilnya dan lebih memilih lanjut menikmati minumannya.
Tiba-tiba saja kotak itu telah ada di hadapannya. Ternyata Kaló-lah yang menggesernya. "Mau, Ze?" Dia menawarkan.
Zeze melirik lelaki bertopi yang singgah di ujung meja itu, "bagaimana dengan Kai?"
"Dia bilang untuk Zeze. Mau?"
Zeze mengangguk lalu meraih donat itu.
Sedari tadi Luna—yang kini telah pindah duduk di samping Volta—memperhatikan gerak-gerik ketiga belas orang itu dari depan. Walaupun ia terlihat tidak peduli, namun sebenarnya indranya hanya terfokus ke arah mereka. Ia hanya penasaran dengan calon pendamping orang yang sudah lama dikagumi dan dicintainya itu.
"Juni, kau dengar? Orang-orang itu mulai lagi," kata seorang laki-laki, yang Luna tidak tahu siapa namanya. Tapi yang jelas, dia pasti bagian dari geng berandalan itu.
"Kali ini rumornya kau berkencan dengan seorang pengusaha kayu yang umurnya lebih dari 40 tahun."
"Hebat." Kaló mendecak sembari geleng-geleng kepala.
Juni hanya mengangkat bahu. "Orang gila bebas mau bilang apa," balasnya, terdengar masa bodo.
"Rumor apa itu?" Tanya Zeze, kebingungan.
"Itu rumor rutin di akademi ini. Mereka bilang kalau Juni sering berkencan dengan pengusaha-pengusaha tua untuk mengincar harta mereka," jelas Kaló dengan mulut penuh donat.
Kedua alis Zeze mencuat tinggi mendengarnya.
"Sudah menjadi rahasia umum di akademi ini," tambah Rhea.
"Bagaimana pendapatmu mendengar ini semua?" Tanya Norofi.
Dari jauh, Luna juga menantikan jawaban Zeze. Niatnya hanya ingin mencari tahu tentangnya, namun ia malah jadi tahu lebih banyak tentang orang-orang itu.
"Lebih seperti... geli," ungkap Zeze, bergidik dengan ekspresi jijik sehingga membuat Kaló, Norofi, dan Rhea tertawa mendengarnya.
Namun beda halnya dengan Luna yang terlihat mengerutkan kening. Apa yang sebenarnya dia katakan? Temannya baru saja difitnah dan jawabannya malah seperti itu. Terlebih lagi, temannya yang lain tertawa.
"Jika ingin membuat rumor, harusnya yang sedikit lebih keren. Contohnya seperti berkencan dengan beberapa pengusaha muda atau aktor muda yang terkenal. Masa berkencan dengan seorang pria yang mungkin seumuran dengan ayahnya sendiri?" Cetus Zeze, yang makin membuat tawa mereka menjadi-jadi.
Sementara Juni hanya bisa mendengus. "Sudah kuduga."
"Kalian ini! Juni kan teman kalian!" Omel Charty.
"Justru karena itu. Teman itu tidak mengejek orang lain, tapi saling mengejek," timpal Norofi.
"Aneh," kata Charty, mengernyit.
Luna mengangguk dari kejauhan.
"Kau benar-benar tidak ingin masuk kelas, Ze?" Tanya Norofi.
"Tidak," balasnya cepat. Ia buru-buru ke sekolah karena ia kira orang yang ingin dilihatnya akan hadir. Tetapi ternyata tidak. dan itu membuatnya jengkel. Sisa waktunya untuk bisa bebas tinggal sedikit lagi tapi semuanya terbuang sia-sia.
"Kalau begitu, bagaimana kalau karaoke?" Usul Kaló. "Sebentar lagi bel istirahat. Kantin pasti akan ramai. Kita tidak boleh terlihat akrab."
"Tidak bisa," tolak Zeze sambil berdiri. "Ada tempat yang harus aku kunjungi."
"Ke mana?" Tanya Kaló.
Zeze menandaskan Thai tea-nya dengan isapan terakhir sebelum menjawab, "musim dingin."
Hanya sebatas itu jawabannya tapi Juni, Rhea, Kaló, Norofi, dan Kai—yang sedari tadi mendengarkan—tahu pasti maksud dari kata itu.
Norofi tersenyum miris. "Hati-hati."
Zeze meliriknya lalu mengangguk. "Ngomong-ngomong, Noro, aku pinjam mobil."
Norofi mengeluarkan kunci mobil dari saku celananya dan melemparkannya kepada Zeze.
Zeze meraih jaket denimnya dari atas meja lalu pamit dengan sekilas senyum, "aku pergi dulu."
Matanya bertemu dengan mata biru Kai yang tengah menghembuskan asap rokoknya. Zeze mengangguk pertanda pamit dan dibalas olehnya dengan anggukan juga.
Sebenarnya ia bisa ke sini kapan saja jika mau. Namun yang paling spesial adalah pada saat musim dingin, saat salju pertama turun yang jatuh tepat pada sore hari ini.
Pada saat itulah terakhir kalinya ia melihat mereka bertiga di waktu yang berbeda. Ia sempat heran apakah mereka ini janjian atau bagaimana? Jika benar, mereka ini mempunyai selera yang buruk dalam memilih waktu untuk mati.
Bagaimana bisa api seterang mereka padam saat musim dingin. Ya walaupun secara logika itu mungkin.
Zeze meletakan sebuket mawar merah di atas makam dengan nisan berbentuk salib bertuliskan 'Afrodi'. Tidak ada tanggal lahir yang terukir di sana karena memang tidak ada yang tahu. Hanya ada tahun lahir dan tanggal wafatnya, 2109 - 21 Desember 2130. Sudah 5 tahun berlalu dia tertidur di balik tumpukan tanah ini.
Tak lupa juga dengan dua makam lainnya. Ia letakan masing-masing sebuket mawar merah di kedua nisan salib yang terukir nama 'Sageta, 25 November 2112 - 21 Desember 2133' dan 'Tera, 21 Januari 2109 - 21 Desember 2129'.
Ia tidak berdoa. Yang dilakukannya hanyalah berharap dalam hati, berharap supaya Tuhan meringankan siksaan-Nya. Karena ia sadar, doa dari orang sepertinya tidak akan terkabul.
Ia berdiri di hadapan ketiga makam itu. Kenangan layaknya film mulai terputar di otaknya. Setelah puas menikmati film itu, ia pindah ke belakang batu nisan Afrodi, duduk di depannya dan menyandarkan punggungnya di batu nisannya. Ia peluk lututnya seakan itu adalah satu-satunya penghangatnya.
"Empat hari lalu aku bertemu denganmu, dengan Tera dan juga Kak Sageta." Zeze memulai. Suaranya masih terjaga.
"Aku kira kau akan mengajakku bergabung denganmu seperti 8 tahun yang lalu." Ia mengeratkan pelukannya pada lututnya.
"Ternyata tidak." Embusan napasnya melahirkan uap panjang.
"Kenapa kau bersikeras menahanku di sini? Jika kau saja lebih memilih pergi, pastinya kau juga sudah muak dengan dunia ini. Tapi kenapa aku tidak boleh ikut juga? Apa yang kau harap akan aku lakukan di sini?"
Zeze menidurkan kepalanya di lututnya, "apa yang harus aku lakukan?" Lirihnya.
Tak terasa langit telah menggelap. Dinginnya salju kini menyatu dengan dinginnya malam. Namun Zeze masih enggan beranjak dari duduknya.
Ia menoleh ke makam di sebelah, makam Sageta. Telah genap satu tahun perempuan itu meninggalkan dunia ini. Sudut mata Zeze mulai berkerut. Namun percuma, air matanya telah membeku di malam itu. Malam dimana semuanya berakhir di kaki Gunung Gorgon.
Ia tenggelamkan wajahnya di lututnya. "Maaf..." suaranya terdengar sangat tersiksa. "Maaf Ge, aku tidak bisa menjaga anakmu... bayimu..."
Pelukan di lututnya semakin kencang. Seakan memeluknya dapat menekan rasa bersalahnya. Walau ia tahu itu bukan salahnya, tapi ia hanya merasa menyesal karena tidak bisa membawa satu-satunya peninggalannya, permintaan terakhir Sageta.
("Jaga dia. Namanya... Lampsi. Tolong... kumohon, Zeze, walau hanya dia.")
Zeze menjambak rambutnya sendiri. Masih belum ada air mata. Hanya ada jerit tertahan yang malah lebih menyiksa dari tangis.
Ia sudah tidak peduli dengan gelapnya malam. Ia sudah tidak peduli dengan salju yang kian menimbun rambutnya. Kalau perlu, ia ingin tenggelam saja oleh salju itu. Agar salju itu menutupi rasa malunya.
Mungkin jika Tera melihatnya seperti ini, ia akan sigap memarahinya dengan suara lembutnya itu, yang malah sama sekali tidak cocok dibilang memarahi.
Bunyi gemerisik dan suara seseorang akhirnya berhasil membuatnya mengangkat wajah. "Aku kira hantu."
"Glen?" Zeze menyipitkan matanya. Ia takut jika ini hanyalah ilusi.
"Apa?" Glen malah balik bertanya. Dia bersandar ke pohon tak jauh di hadapan Zeze. Tubuhnya terbungkus oleh jaket kulit hitam dengan kaus hijau gelap di dalamnya. Tangan kirinya ia tenggelamkan ke dalam saku celana jeans-nya sementara tangan kanannya menggenggam sebuket mawar putih.
Zeze meluruskan kakinya, menciptakan bekas lintasan pada lapisan salju, "ke mana saja? Kenapa tadi tidak hadir?"
Glen memiringkan kepala, "sepertinya pertanyaan itu lebih cocok ditanyakan kepadamu."
"Apa kau kesepian?" Zeze menggodanya sambil mengulum senyum.
Glen tidak menyahut. Detik demi detik berlalu dan ia hanya menatap Zeze dengan sorot yang sulit diartikan. Saat itulah Zeze menyadari bahwa warna mata Glen telah kembali ke warna aslinya, hijau. Warna yang indah. Warna favoritnya selain merah dan hitam.
Setelah cukup lama saling mengunci mata, Glen berjalan ke makam di sebelah kiri makam Afrodi. Ia berlutut dan meletakkan mawar putih di atas tumpukan tanah itu.
Zeze memperhatikan semuanya sampai akhirnya Glen kembali bersandar di pohon semula.
"Sudah gelap, ya?" Singgung Glen.
Zeze kebingungan. Memangnya kenapa jika sudah gelap? Meski bingung dengan ke mana arah pembicaraan ini, ia tetap mengangguk.
Terjadi hening. Kedua insan itu kembali saling mengagumi warna iris mata masing-masing.
"Tidak ada niat ingin pulang?" Tanya Glen kemudian.
Zeze menunduk, mencoba menahan senyumnya. Apa salahnya bilang terus terang? Setelah berhasil menguasai ekspresinya, Zeze mengangkat wajah dan bertanya, "siapa itu?" Ia menunjuk makam di sebelahnya dengan dagu.
Hening lagi. Glen masih enggan menjawab untuk waktu yang cukup dibilang lama. Sekarang lelaki itu malah beralih duduk dengan kaki terulur.
Zeze diam, masih menunggu. Berbicara dengan Glen ini memang harus mempunyai kesabaran ekstra.
"Kau tahu siapa," jawabnya kemudian.
Zeze tidak mengerti. Apakah ada orang yang ia dan Glen kenal telah meninggal? Zeze mulai membayangkan nama serta wajah yang memungkinkan.
"Dia orang yang kau bunuh."
Bayangannya terhenti. Daftar nama yang telah ia buat di kepalanya seketika runtuh.
Glen terkekeh melihat ekspresi terkejutnya. "Tidak ingat, ya? Tentu saja tidak. Memangnya kau pernah mengingat orang-orang yang telah kau bunuh?"
Zeze mematung menatap iris hijau itu. Ia menundukkan kepalanya dengan guratan halus yang tercipta di sudut matanya. Glen memperhatikan itu semua, tapi ia sama sekali tidak menyesal telah mengatakannya.
Tak lama setelahnya, Zeze berdiri sambil menepuk-nepuk bagian belakang celana jeans selututnya dari salju. Ketika Zeze mengangkat wajahnya, air muka Glen seketika berubah.
Gadis itu tengah menatapnya dengan mata dingin yang seakan siap membunuh. Bahkan dinginnya salju tidak ada bandingnya dengan tatapan itu.
Dan tanpa sepatah kata pun, Zeze berbalik pergi. Ia berpaling, 'berpaling' darinya. Ia menunjukkan punggungnya untuk lelaki itu. Tanpa sedikit pun menoleh ke belakang.
Ia menoleh ke kiri, meminta penjelasan pada Volta yang berdiri dengan tangan bertaut di belakang pinggang. Namun Volta malah memiringkan kepala, bingung akan tatapannya.
Zeze menghela napas, kemudian sedikit melirik ke kanan. Di sana berdiri Luna dengan aura tak bersahabat yang sejak tadi ditunjukkannya semenjak mengantarnya ke ruangan ini.
Merasakan lirikannya, Luna hanya membalasnya sekilas kemudian menatap lurus lagi ke depan.
Ruangan yang sedang Zeze kunjungi ini bisa dibilang lemari baju terbesar yang pernah dilihatnya. Terbukti dari baju-baju yang berjejer dari berbagai model dan warna. Namun yang paling mencolok adalah patung hitam berbalut gaun putih yang berdiri di tengah-tengah lantai yang satu meter lebih tinggi. Di belakang patung itu terpajang kaca jendela besar penuh ukiran rumit bunga mawar serta tangkainya yang meliuk-liuk saling terhubung dengan bunga mawar yang lain. Sinar mentari menyusup masuk membuat berlian yang menghiasi gaun itu berkilau.
"Apakah Anda ingin mencobanya dulu, Yang Mulia?" Tawaran Volta sukses membuat Zeze meneguk salivanya.
"Apakah tidak ada yang lain?"
Volta melepaskan tautan tangan di belakang pinggangnya dan bertanya dengan cemas, "apa Anda tidak menyukainya?"
Tiba-tiba saja udara di sekitar mereka berubah dingin sehingga membuat Volta bergidik ngeri. Zeze tahu siapa yang membuatnya, siapa lagi kalau bukan gadis di sebelah kanannya ini. Sepertinya satu pertanyaan itu telah membuka suasana hatinya yang sejak tadi dia pendam.
Volta sedikit bergeser ke belakang Zeze untuk menegur Luna lewat tatapan mata. Namun apa daya, Luna hanya meliriknya sekilas lalu mendecak keras, yang pastinya didengar oleh Zeze.
Dengan hati-hati, Volta melirik Zeze. Untung saja Zeze tidak menunjukkan perubahan reaksi apa pun yang mana membuat Volta membuang napas lega.
"Ini adalah gaun khusus yang dipilih Pangeran Kion," tandas Luna tiba-tiba. Nada bicaranya terdengar runcing. Lagi-lagi Volta harus mendelik dengan penuh peringatan ke arahnya.
"Oh." Hanya sebatas itu respons dari Zeze.
Volta kembali melirik Zeze, namun yang ia temukan masih ekspresi datarnya.
"Tidak ada lagi yang harus aku lakukan, bukan?" Tanya Zeze, menoleh ke arah Volta.
Volta mengangguk kikuk, "ya."
"Kalau begitu aku akan bersiap-siap ke sekolah," balasnya lalu berbalik pergi.
Setelah Zeze menghilang di balik pintu, barulah Volta memulai terang-terangan. "Luna, aku tahu kau tidak menyukainya, tapi coba jagalah sikapmu untuk kebaikanmu sendiri."
Luna bergeming. Ia menatap lurus ke arah gaun itu dengan sorot yang sulit diartikan.
Melihatnya, Volta hanya bisa mendesah, "ayo, kita juga harus bersiap-siap."
Mood Luna sedang jelek hari ini. Walaupun di hari-hari sebelumnya memang selalu begitu, namun tidak sejelek hari ini. Bahkan Volta dan yang lainnya yakin bahwa mood-nya akan bertambah jelek besok malam, di hari ulang tahun Kion yang ke-18.
Terbukti dari caranya menatap orang-orang yang menyapanya. Biasanya ia akan tersenyum dan sedikit mengangguk ketika namanya dipanggil. Namun jangankan tersenyum, melirik saja ia malas.
Pada saat jam kosong di kelas, biasanya ia akan antusias terhadap apa pun yang diobrolkan teman-temannya. Namun kali ini berbeda, ia malah sibuk dengan lamunannya.
"Besok adalah pesta ulang tahun Yang Mulia Pangeran Kion, ya?"
"Pasti mewah sekali."
"Aku harus memesan gaun yang paling bagus."
"Kalau aku sudah menyiapkannya dari jauh-jauh hari."
"Pasti besok Yang Mulia akan tampan sekali."
"Apa yang kau katakan? Kau tidak lihat ada Lady Luna di sini?" Tegur salah satunya yang Luna sama sekali tidak ingin tahu siapa itu.
Gadis itu meneguk ludahnya, "memang benar kan? Aku hanya memujinya."
"Kalau memuji saja tidak masalah, jangan berharap lebih."
"Tentu saja! Kita semua tahu bahwa hanya Luna yang cocok dengan Yang Mulia." Gadis di sebelah kirinya menggoyang-goyangkan lengannya, "benar kan, Luna?"
Luna mengangkat kepalanya. Dengan linglung, ia menoleh ke arah gadis itu. "I- iya," jawabnya ragu.
Percakapan ini malah memperburuk mood-nya. Luna bangkit dari kursinya, "aku ke toilet dulu."
"Perlu kami temani?"
Luna menggeleng. Ia memilih menghampiri Volta yang duduk dua meja di depannya. Gadis itu terlihat tengah mengukir sketsa gaun di sketch book-nya.
"Volta, mau ke kantin?" Usulnya.
Volta mengangkat kepala lalu mengangguk. Tak ada alasan juga ia berada di kelas karena guru mereka tidak hadir. Tapi walau hadir sekalipun, mereka berdua bebas keluar kelas kapan saja. Siapa yang akan melarang dua orang ini?
Setibanya di kantin lantai 3, mereka malah mendapati Zeze yang sedang duduk di satu meja bersama sekumpulan murid yang dikenal tidak tahu aturan di akademi ini.
Mata Luna memicing. 'Apa yang sebenarnya dilakukannya? Dia adalah tunangan seorang Kion Ropalo Zesto, bagaimana bisa dia bergaul dengan mereka? Mengapa orang sepertinya harus...'
Tatapan Luna luruh ke lantai. Ia datang ke sini untuk mendinginkan pikirannya. Tidak ada alasan baginya untuk memikirkan hal-hal yang dapat tambah menjatuhkan mood-nya.
Akhirnya ia memilih memesan ice cappucino dan duduk di bangku dekat dinding tak jauh dari meja mereka. Di hadapannya, sekarang Volta malah mengabaikannya. Dia asyik sendiri mendesain pakaian. Luna juga suka melakukannya karena memang mereka berdua tertarik dengan fashion. Tapi ia sedang tidak mood sekarang.
"Aku tidak tahu kalian saling mengenal," kata seseorang di belakang Luna. Dari suaranya, Luna tahu siapa itu. Dia adalah putri kedua dari salah satu pengusaha kertas terbesar di Aplistia, Charty Jevrinich.
"Sebenarnya dari awal kami tidak tahan ingin mengobrol dengan Zeze, karena kami sudah lama tidak bertemu. Tapi Kai selalu melarang," balas seseorang, yang Luna yakini dari suaranya adalah putra kedua Marquess yang memimpin para penjaga perbatasan di wilayah barat, Kaló Anaptires.
"Zeze?" Tanya Charty, bingung.
"Itu panggilan kami untuknya. Kau tahu? Dia tidak bisa menyebut huruf R dengan benar," timpal yang lain. Dari suaranya, dia pasti Norofi Sima, putra pertama Earl Sima.
Zeze yang duduk di sebelah kiri Norofi langsung memukul lengannya. "Aww!" Rengek Norofi sambil mengelus-elus lengan kirinya. Walaupun pukulan tadi tidak sakit, ia membuatnya seolah-olah habis ditusuk pisau saja.
"Zeze, lenganku tidak dapat digerakkan! Bagaimana ini!?" Erangnya dramatis.
Zeze hanya memutar bola matanya dan memilih lanjut menikmati Thai tea chocolate caramel-nya.
"Kalau diingat-ingat, Roze sangat luar biasa saat kejadian di kantin waktu itu," ungkap seseorang. Luna mengenali suaranya. Dia adalah putri sulung pengusaha permen karet di Aplistia, Cardi Karmelo.
"Orang seperti Vela itu memang harus sekali-kali diberi pelajaran," timpal Charty.
"Ngomong-ngomong, Roze. Apakah kau masih single?" Tanya seseorang. Dia adalah Raven Kronicles, putra kedua Viscount Kronicles. Suaranya menggantungkan senyuman jahil.
"Dia sudah punya pacar," sergah Kaló. "Yaitu aku. Jadi jangan coba-coba."
"Zeze bisa gila ditipu terus jika mempunyai pacar sepertimu," cetus Norofi.
Zeze hanya bisa menggeleng melihat tingkah kedua kakaknya itu. Mereka berdua memang berbeda dengan kakaknya yang sedang duduk di ujung meja bersama teman-teman lelakinya yang lain. Jumlahnya sekitar 5 orang, termasuk Raven. Dia duduk di sana sambil menghisap rokoknya. Zeze tahu dia sengaja duduk paling ujung agar asap rokok itu tidak mengganggunya. Karena Zeze memang tidak tahan dengan asap.
Lelaki berambut pirang yang memakai topi merah itu memang tidak banyak bicara. Dia hanya bicara seperlunya dan jika seseorang mengajaknya bicara lebih dulu.
"Hai guys," sapa Juni yang baru datang. Di samping kirinya tampak Rhea yang membawa sekotak donat. Mereka berdua langsung mengambil duduk di hadapan Zeze.
Rhea meletakan kotak berisi beraneka macam donat itu di meja. "Silakan," ujarnya dengan senyum ramah.
"Wow! Terima kasih, Rhea cantik." Kaló mengedip.
"Kalian juga tidak masuk kelas?" Tanya Zeze, untuk pertama kalinya ia buka suara.
"Untuk apa?" Tanya Juni, "membosankan."
Yang lainnya telah menyambar donat itu masing-masing satu. Karena hanya ada 12 donat, berarti ada satu orang yang tidak dapat. Di kotak itu tersisa satu yaitu rasa matcha. Zeze menyukai rasa itu. Tapi ketika melihat lelaki bertopi merah di ujung meja itu belum kebagian donat, ia mengurungkan niat untuk mengambilnya dan lebih memilih lanjut menikmati minumannya.
Tiba-tiba saja kotak itu telah ada di hadapannya. Ternyata Kaló-lah yang menggesernya. "Mau, Ze?" Dia menawarkan.
Zeze melirik lelaki bertopi yang singgah di ujung meja itu, "bagaimana dengan Kai?"
"Dia bilang untuk Zeze. Mau?"
Zeze mengangguk lalu meraih donat itu.
Sedari tadi Luna—yang kini telah pindah duduk di samping Volta—memperhatikan gerak-gerik ketiga belas orang itu dari depan. Walaupun ia terlihat tidak peduli, namun sebenarnya indranya hanya terfokus ke arah mereka. Ia hanya penasaran dengan calon pendamping orang yang sudah lama dikagumi dan dicintainya itu.
"Juni, kau dengar? Orang-orang itu mulai lagi," kata seorang laki-laki, yang Luna tidak tahu siapa namanya. Tapi yang jelas, dia pasti bagian dari geng berandalan itu.
"Kali ini rumornya kau berkencan dengan seorang pengusaha kayu yang umurnya lebih dari 40 tahun."
"Hebat." Kaló mendecak sembari geleng-geleng kepala.
Juni hanya mengangkat bahu. "Orang gila bebas mau bilang apa," balasnya, terdengar masa bodo.
"Rumor apa itu?" Tanya Zeze, kebingungan.
"Itu rumor rutin di akademi ini. Mereka bilang kalau Juni sering berkencan dengan pengusaha-pengusaha tua untuk mengincar harta mereka," jelas Kaló dengan mulut penuh donat.
Kedua alis Zeze mencuat tinggi mendengarnya.
"Sudah menjadi rahasia umum di akademi ini," tambah Rhea.
"Bagaimana pendapatmu mendengar ini semua?" Tanya Norofi.
Dari jauh, Luna juga menantikan jawaban Zeze. Niatnya hanya ingin mencari tahu tentangnya, namun ia malah jadi tahu lebih banyak tentang orang-orang itu.
"Lebih seperti... geli," ungkap Zeze, bergidik dengan ekspresi jijik sehingga membuat Kaló, Norofi, dan Rhea tertawa mendengarnya.
Namun beda halnya dengan Luna yang terlihat mengerutkan kening. Apa yang sebenarnya dia katakan? Temannya baru saja difitnah dan jawabannya malah seperti itu. Terlebih lagi, temannya yang lain tertawa.
"Jika ingin membuat rumor, harusnya yang sedikit lebih keren. Contohnya seperti berkencan dengan beberapa pengusaha muda atau aktor muda yang terkenal. Masa berkencan dengan seorang pria yang mungkin seumuran dengan ayahnya sendiri?" Cetus Zeze, yang makin membuat tawa mereka menjadi-jadi.
Sementara Juni hanya bisa mendengus. "Sudah kuduga."
"Kalian ini! Juni kan teman kalian!" Omel Charty.
"Justru karena itu. Teman itu tidak mengejek orang lain, tapi saling mengejek," timpal Norofi.
"Aneh," kata Charty, mengernyit.
Luna mengangguk dari kejauhan.
"Kau benar-benar tidak ingin masuk kelas, Ze?" Tanya Norofi.
"Tidak," balasnya cepat. Ia buru-buru ke sekolah karena ia kira orang yang ingin dilihatnya akan hadir. Tetapi ternyata tidak. dan itu membuatnya jengkel. Sisa waktunya untuk bisa bebas tinggal sedikit lagi tapi semuanya terbuang sia-sia.
"Kalau begitu, bagaimana kalau karaoke?" Usul Kaló. "Sebentar lagi bel istirahat. Kantin pasti akan ramai. Kita tidak boleh terlihat akrab."
"Tidak bisa," tolak Zeze sambil berdiri. "Ada tempat yang harus aku kunjungi."
"Ke mana?" Tanya Kaló.
Zeze menandaskan Thai tea-nya dengan isapan terakhir sebelum menjawab, "musim dingin."
Hanya sebatas itu jawabannya tapi Juni, Rhea, Kaló, Norofi, dan Kai—yang sedari tadi mendengarkan—tahu pasti maksud dari kata itu.
Norofi tersenyum miris. "Hati-hati."
Zeze meliriknya lalu mengangguk. "Ngomong-ngomong, Noro, aku pinjam mobil."
Norofi mengeluarkan kunci mobil dari saku celananya dan melemparkannya kepada Zeze.
Zeze meraih jaket denimnya dari atas meja lalu pamit dengan sekilas senyum, "aku pergi dulu."
Matanya bertemu dengan mata biru Kai yang tengah menghembuskan asap rokoknya. Zeze mengangguk pertanda pamit dan dibalas olehnya dengan anggukan juga.
Sebenarnya ia bisa ke sini kapan saja jika mau. Namun yang paling spesial adalah pada saat musim dingin, saat salju pertama turun yang jatuh tepat pada sore hari ini.
Pada saat itulah terakhir kalinya ia melihat mereka bertiga di waktu yang berbeda. Ia sempat heran apakah mereka ini janjian atau bagaimana? Jika benar, mereka ini mempunyai selera yang buruk dalam memilih waktu untuk mati.
Bagaimana bisa api seterang mereka padam saat musim dingin. Ya walaupun secara logika itu mungkin.
Zeze meletakan sebuket mawar merah di atas makam dengan nisan berbentuk salib bertuliskan 'Afrodi'. Tidak ada tanggal lahir yang terukir di sana karena memang tidak ada yang tahu. Hanya ada tahun lahir dan tanggal wafatnya, 2109 - 21 Desember 2130. Sudah 5 tahun berlalu dia tertidur di balik tumpukan tanah ini.
Tak lupa juga dengan dua makam lainnya. Ia letakan masing-masing sebuket mawar merah di kedua nisan salib yang terukir nama 'Sageta, 25 November 2112 - 21 Desember 2133' dan 'Tera, 21 Januari 2109 - 21 Desember 2129'.
Ia tidak berdoa. Yang dilakukannya hanyalah berharap dalam hati, berharap supaya Tuhan meringankan siksaan-Nya. Karena ia sadar, doa dari orang sepertinya tidak akan terkabul.
Ia berdiri di hadapan ketiga makam itu. Kenangan layaknya film mulai terputar di otaknya. Setelah puas menikmati film itu, ia pindah ke belakang batu nisan Afrodi, duduk di depannya dan menyandarkan punggungnya di batu nisannya. Ia peluk lututnya seakan itu adalah satu-satunya penghangatnya.
"Empat hari lalu aku bertemu denganmu, dengan Tera dan juga Kak Sageta." Zeze memulai. Suaranya masih terjaga.
"Aku kira kau akan mengajakku bergabung denganmu seperti 8 tahun yang lalu." Ia mengeratkan pelukannya pada lututnya.
"Ternyata tidak." Embusan napasnya melahirkan uap panjang.
"Kenapa kau bersikeras menahanku di sini? Jika kau saja lebih memilih pergi, pastinya kau juga sudah muak dengan dunia ini. Tapi kenapa aku tidak boleh ikut juga? Apa yang kau harap akan aku lakukan di sini?"
Zeze menidurkan kepalanya di lututnya, "apa yang harus aku lakukan?" Lirihnya.
Tak terasa langit telah menggelap. Dinginnya salju kini menyatu dengan dinginnya malam. Namun Zeze masih enggan beranjak dari duduknya.
Ia menoleh ke makam di sebelah, makam Sageta. Telah genap satu tahun perempuan itu meninggalkan dunia ini. Sudut mata Zeze mulai berkerut. Namun percuma, air matanya telah membeku di malam itu. Malam dimana semuanya berakhir di kaki Gunung Gorgon.
Ia tenggelamkan wajahnya di lututnya. "Maaf..." suaranya terdengar sangat tersiksa. "Maaf Ge, aku tidak bisa menjaga anakmu... bayimu..."
Pelukan di lututnya semakin kencang. Seakan memeluknya dapat menekan rasa bersalahnya. Walau ia tahu itu bukan salahnya, tapi ia hanya merasa menyesal karena tidak bisa membawa satu-satunya peninggalannya, permintaan terakhir Sageta.
("Jaga dia. Namanya... Lampsi. Tolong... kumohon, Zeze, walau hanya dia.")
Zeze menjambak rambutnya sendiri. Masih belum ada air mata. Hanya ada jerit tertahan yang malah lebih menyiksa dari tangis.
Ia sudah tidak peduli dengan gelapnya malam. Ia sudah tidak peduli dengan salju yang kian menimbun rambutnya. Kalau perlu, ia ingin tenggelam saja oleh salju itu. Agar salju itu menutupi rasa malunya.
Mungkin jika Tera melihatnya seperti ini, ia akan sigap memarahinya dengan suara lembutnya itu, yang malah sama sekali tidak cocok dibilang memarahi.
Bunyi gemerisik dan suara seseorang akhirnya berhasil membuatnya mengangkat wajah. "Aku kira hantu."
"Glen?" Zeze menyipitkan matanya. Ia takut jika ini hanyalah ilusi.
"Apa?" Glen malah balik bertanya. Dia bersandar ke pohon tak jauh di hadapan Zeze. Tubuhnya terbungkus oleh jaket kulit hitam dengan kaus hijau gelap di dalamnya. Tangan kirinya ia tenggelamkan ke dalam saku celana jeans-nya sementara tangan kanannya menggenggam sebuket mawar putih.
Zeze meluruskan kakinya, menciptakan bekas lintasan pada lapisan salju, "ke mana saja? Kenapa tadi tidak hadir?"
Glen memiringkan kepala, "sepertinya pertanyaan itu lebih cocok ditanyakan kepadamu."
"Apa kau kesepian?" Zeze menggodanya sambil mengulum senyum.
Glen tidak menyahut. Detik demi detik berlalu dan ia hanya menatap Zeze dengan sorot yang sulit diartikan. Saat itulah Zeze menyadari bahwa warna mata Glen telah kembali ke warna aslinya, hijau. Warna yang indah. Warna favoritnya selain merah dan hitam.
Setelah cukup lama saling mengunci mata, Glen berjalan ke makam di sebelah kiri makam Afrodi. Ia berlutut dan meletakkan mawar putih di atas tumpukan tanah itu.
Zeze memperhatikan semuanya sampai akhirnya Glen kembali bersandar di pohon semula.
"Sudah gelap, ya?" Singgung Glen.
Zeze kebingungan. Memangnya kenapa jika sudah gelap? Meski bingung dengan ke mana arah pembicaraan ini, ia tetap mengangguk.
Terjadi hening. Kedua insan itu kembali saling mengagumi warna iris mata masing-masing.
"Tidak ada niat ingin pulang?" Tanya Glen kemudian.
Zeze menunduk, mencoba menahan senyumnya. Apa salahnya bilang terus terang? Setelah berhasil menguasai ekspresinya, Zeze mengangkat wajah dan bertanya, "siapa itu?" Ia menunjuk makam di sebelahnya dengan dagu.
Hening lagi. Glen masih enggan menjawab untuk waktu yang cukup dibilang lama. Sekarang lelaki itu malah beralih duduk dengan kaki terulur.
Zeze diam, masih menunggu. Berbicara dengan Glen ini memang harus mempunyai kesabaran ekstra.
"Kau tahu siapa," jawabnya kemudian.
Zeze tidak mengerti. Apakah ada orang yang ia dan Glen kenal telah meninggal? Zeze mulai membayangkan nama serta wajah yang memungkinkan.
"Dia orang yang kau bunuh."
Bayangannya terhenti. Daftar nama yang telah ia buat di kepalanya seketika runtuh.
Glen terkekeh melihat ekspresi terkejutnya. "Tidak ingat, ya? Tentu saja tidak. Memangnya kau pernah mengingat orang-orang yang telah kau bunuh?"
Zeze mematung menatap iris hijau itu. Ia menundukkan kepalanya dengan guratan halus yang tercipta di sudut matanya. Glen memperhatikan itu semua, tapi ia sama sekali tidak menyesal telah mengatakannya.
Tak lama setelahnya, Zeze berdiri sambil menepuk-nepuk bagian belakang celana jeans selututnya dari salju. Ketika Zeze mengangkat wajahnya, air muka Glen seketika berubah.
Gadis itu tengah menatapnya dengan mata dingin yang seakan siap membunuh. Bahkan dinginnya salju tidak ada bandingnya dengan tatapan itu.
Dan tanpa sepatah kata pun, Zeze berbalik pergi. Ia berpaling, 'berpaling' darinya. Ia menunjukkan punggungnya untuk lelaki itu. Tanpa sedikit pun menoleh ke belakang.