19 DEAL
Bukankah seharusnya ia mati? Namun, mengapa sekarang ia malah mendengar suara langkah kaki mendekat?
Ataukah sekarang ia telah berada di neraka? Ia mencoba membuka matanya, namun kelopak mata itu terlalu berat.
Tiba-tiba ia merasakan sesuatu di bawah punggungnya. Hangat, seperti tangan seseorang. Kemudian ia merasakannya lagi di bawah lututnya. Dan dalam sekejap ia merasakan tubuhnya diangkat.
Ia tidak dapat membuka matanya, bahkan sekarang kesadarannya terasa terbelah-belah. Ia tidak mempuanyai ide siapa orang ini serta apa maksud dan tujuannya.
Namun harum yang familiar menyeruak masuk ke dalam lubang hidungnya. Ia tidak yakin dimana ia pernah mencium wangi ini.
Semua pikirannya kacau. Sekuat apapun ia mencoba untuk tetap terjaga, kantuk telah mengalahkannya.
Akhirnya semua pikirannya berlanjut di alam mimpi.
========
Hamparan luas yang dijatuhi sinar mentari pagi menjadi saksi bisu dentingan dua pedang yang saling bertemu. Tak ada satu pun dari kedua pengguna pedang ini yang berniat mengalah.
Sampai akhirnya, seorang pria dengan rambut hitam berumur sekitar 28 tahunan membuat lawannya melepas katana yang tengah digenggamnya. Katana itu terbang dan menancap di tanah tak jauh dari mereka.
Tidak sampai di situ, ia tendang perut lawannya hingga lawannya itu membungkuk kesakitan. Masih tak puas, ia menghunuskan ujung longsword-nya tepat ke tengah-tengah leher lawannya.
Lawannya mengangkat kepala, menunggu hal apa yang selanjutnya akan dilakukan orang di hadapannya ini.
"Apa yang mengganggumu?" Selidiknya. Ia menatap datar lawannya yang kini tengah berusaha menegakkan punggungnya kembali.
"Tidak biasanya kau mudah lengah seperti ini, Glen," sambungnya.
Glen meluruskan punggungnya sambil merangkum perut. Lukanya yang waktu itu belum benar-benar sembuh, dan tendangan barusan membuat perutnya berdenyut hebat. Namun bukan kejadian tadi yang membuatnya lemah dan juga lengah seperti ini. Dan ia sendiri pun tahu pasti apa hal yang mengganggunya beberapa hari ini. Tapi ia tidak mungkin mengatakannya.
Pria itu memperhatikan Glen yang masih tidak meresponsnya. Ia meluruhkan pedangnya dari leher Glen dan berkata dengan dingin, "apa pun itu, kuharap tidak akan mengganggumu pada saat misi."
Glen mengangguk. Rasa sakit di perutnya sudah agak menyusut.
"Kita akhiri di sini. Ada pertemuan yang harus kuhadiri." Pria berkemeja putih itu berjalan meninggalkan Glen yang mematung.
Glen memutuskan masuk ke dalam mansion bercat hijau tak jauh dari hamparan luas tersebut. Hanya perlu berjalan beberapa langkah melewati pohon rindang dan semak belukar, bangunan yang menjulang itu telah tersambut oleh sepasang matanya. Karena merasa haus, ia beranjak ke dapur untuk mengambil air. Namun seseorang yang seharusnya tidak ada di sana malah sekarang berdiri memunggunginya.
Orang itu berbalik setelah merasakan kehadiran seseorang. Detik itu juga, senyum di bibirnya langsung mekar ketika mendapati orang yang sangat ingin dilihatnya sekarang berada tepat di hadapannya.
"Glen..." sapanya. Orang itu mengenakan A-line dress berwarna krem dengan pita cokelat di masing-masing lengan atasnya.
Dengan satu helaan napas, Glen mendekat dan meraih gelas di dalam rak yang ada di atas kepala orang itu.
"Sejak kapan di sini?" Tanya Glen sambil menuang air ke dalam gelas.
"Satu jam yang lalu. Tapi Sir Barier berkata kau sedang latihan dengan Kak Antoni," jawabnya dengan senyuman manis.
Glen tidak menyahut dan memilih menenggak minumannya sampai rasa hausnya hilang. Sedangkan orang itu tetap setia berdiri di sampingnya, memperhatikan setiap gerakannya.
Setelah puas, Glen menaruh gelas kosong itu kemudian berbalik dan menyandarkan satu lengannya di pinggiran meja rak. "Sudah sembuh?" Tanyanya, seraya mengusap mulutnya dengan lengan kaus berwarna hijaunya.
Senyum orang itu makin lapang tatkala puas mendengar pertanyaan yang sedari tadi ingin didengarnya. Ia mengangguk, "walaupun masih belum bisa jalan terlalu jauh."
Tanpa sebuah sahutan, Glen berjalan ke arah meja makan yang hanya dipisahkan oleh pintu di pojok ruangan dan duduk di salah satu bangkunya. Orang itu juga mengikutinya dan mengambil duduk di hadapannya.
"Aku akan masuk sekolah besok," ujarnya.
Glen tidak menanggapi. Ia hanya mengambil pisang di atas meja, mengupasnya lalu melahapnya dalam senyap.
Orang itu pun memakluminya. Ia telah bersama dengan Glen sejak kecil. Tentunya ia sudah terbiasa dengan baik-buruknya kelakuan laki-laki itu.
"Apakah kau masih mengunjungi makam Luke dan Ulbert?" Tanyanya hati-hati.
Glen mengangguk. Sebenarnya ia malas setiap kali harus membahas teman-teman dan seniornya yang telah tiada.
"Glen... apakah mereka masih memukulimu?" Dia bertanya lagi, yang mana membuat Glen mulai risih.
"Hera..." panggil Glen tanpa menatapnya. Fokusnya mengarah pada titik-titik cokelat yang melingkar di daging pisang yang tengah digenggamnya. "Cobalah diam."
Orang itu, Hera, dia menahan napas sebelum menumpahkan kata-kata yang selama ini terpendam di dalam rongga dadanya dengan suara getir. "Mau sampai kapan kau begini, Glen?"
Matanya meredup. "Mengapa kau seperti ini?" Tanyanya lagi, yang kini terdengar lirih dan menyayat hati. Apa yang salah? 'Kenapa?'
Glen mengangkat matanya, menatap sepasang mata cokelat muda di hadapannya itu dengan sorot yang sulit diartikan. Setelah beberapa detik mata mereka saling menjerat, Glen memilih bangkit dan berlalu.
Hera hanya bisa memandangi punggungnya yang kian menjauh. Apa yang membuatnya seperti ini? Kenapa orang yang dulu ia kenal kini berubah menjadi orang yang sama sekali asing baginya? Hera tidak pernah tahu jawabannya.
========
Suara lembaran demi lembaran kertas yang dibalik adalah hal pertama yang menyerang indranya. Mula-mula suara itu hanya berupa dengungan hingga akhirnya terdengar jelas dan mengusik. Ingin sekali ia memarahi siapa saja yang membuat suara itu karena telah mengganggu tidurnya. Namun apa daya, membuka mulut saja ia tidak bisa.
'Tunggu dulu... tidur?' Jika tidak dalam keadaan seperti ini, matanya pasti telah membuka cepat.
Bulu mata lentiknya bergetar bagai sayap kupu-kupu yang siap mengepak. Perlahan-lahan, kelopak mata itu terbuka, menampilkan iris biru bagai bentangan langit cerah.
Simbol matahari yang di tengahnya terdapat bulan sabit adalah hal pertama yang menyambut penglihatannya. Butuh waktu lama baginya untuk menyadari bahwa itu hanyalah sebuah ukiran kayu atap tempat tidur.
Perlahan, ia angkat tangan kirinya. Namun bukannya tangan putih yang biasanya ia lihat, melainkan perban berwarna cokelat yang membalut di sepanjang siku hingga pergelangan tangannya. Kemudian berganti ke tangan kanannya. Sama. Kali ini perban itu hinggap di punggung tangannya dengan selang yang menyalip masuk ke dalamnya.
Saat menggerakkan alis, sesuatu yang berat terasa menahan guratan yang akan terbentuk di keningnya. Menyentuh dahinya, ia merasakan tekstur kain yang ia yakini adalah perban juga.
Ia mendengus. Pada akhirnya, ia tidak mati. Padahal ia telah menuangkan kata-kata dan permohonan terakhirnya. Kalau begini, ia merasa seperti main drama saja.
Tiba-tiba ia teringat kembali alasannya terbangun. Dan saat itulah bunyi lembaran kertas tadi menyeruak masuk ke telinganya lagi. Ia menoleh ke kanan. Walaupun terhalang kelambu, ia masih dapat melihat siluet samping seseorang yang tengah duduk di sampingnya itu.
Dengan perlahan, tangan kanannya mencoba menyingkap penghalang itu. Namun belum sampai meraihnya, sebuah suara terdengar.
"Bagaimana perasaanmu?"
Tangannya mengambang di udara. Ia kehilangan tujuan meraih penghalang itu. Tubuhnya seketika membeku. Suara itu adalah suara yang sangat dikenalnya. Suara yang selalu ia dengar saat kecil. Itu adalah suara yang disukainya di setiap hari Minggu pagi. Ia selalu menanti untuk bisa mendengar suara itu. Selalu bangun pagi ketika hari Minggu datang karena tak sabar ingin melihatnya.
Sampai akhirnya, suara itu berubah menjadi suara yang dibencinya. Suara yang ia anggap menjadi perenggut kebebasannya, perusak impiannya.
Karena tak kunjung ada jawaban, pemilik suara itu pun yang menyingkapnya. Dan detik itu juga, mata mereka beradu.
Zeze memalingkan wajahnya ke arah ukiran di atasnya, "mengapa kau menolongku?"
"Kau tidak ingin ditolong?"
"Aku tahu kau sudah lama tahu siapa aku," tukas Zeze dingin.
Kesunyian menjajah atmosfer tajam yang membalut mereka selama beberapa saat sebelum akhirnya Zeze memecahnya, "mengapa kau diam saja? Kau tidak ingin membongkarnya?"
"Tidak, kurasa itu bagus." Jawaban absurd itu sukses membuat Zeze menoleh kembali ke arahnya. "Karena itu bisa mempermudah jalanku," sambungnya.
Mata Zeze memicing mendengarnya.
Orang itu beralih duduk di tepi tempat tidur, menatap lekat ke dalam matanya tanpa tertulis sepatah kata pun. Tiba-tiba, dia membungkukkan tubuhnya, mendekatkan wajahnya ke wajah Zeze sehingga membuat gadis itu mengerjap hebat.
Namun ternyata, bibir tebal dan penuh itu berlabuh di telinga kanan Zeze. Lalu dengan suara beratnya, dia berbisik misterius, "ingin membuat kesepakatan denganku?"
Alis Zeze berkerut. Ia sama sekali tidak mengerti ke mana orang ini membawa kata-katanya.
Dia menegakkan punggungnya kembali. Mereka berdua kembali saling pandang sampai akhirnya, Zeze bertanya dengan nada mendesak, "apa yang sebenarnya kau rencanakan?"
Wajar Zeze agak kalut begitu. Dari kecil ia sama sekali tidak dapat memahami orang ini. Jika ia ditanya siapa orang yang paling ia takuti dan waspadai, jawabannya pasti orang ini.
"Aku ingin merebut kembali kerajaan ini dari tangan mereka. Tapi aku butuh bantuanmu—bantuan kalian."
Mata Zeze melebar. 'Apa!?'
Apa yang sebenarnya dia coba lakukan? Apakah dia ingin mengembalikan Aplistia menjadi kerajaan kembali? Apakah dia akan menentang keputusan ayahnya? Itu mustahil. Sekarang Aplistia dipimpin oleh perkumpulan para bangsawan yang dibentuk ayahnya sendiri. Dan tujuan utama Zeze adalah menghabisi siapa saja dari mereka yang merugikan publik. Tidak ada sama sekali niatan baginya atau bagi Rajanya untuk mengubah sistem ini. Ia sama sekali tidak dapat mengerti orang ini. Apakah sebegitu laparnya dia dengan takhta?
'Dia gila,' batin Zeze.
"Jawabanmu?" Dia masih sabar menunggu Zeze yang tengah menata hatinya.
Zeze berdeham sebelum merespons, "apa keuntungannya bagiku?"
Orang itu melihat sekitar sebelum menjawab, "aku akan membantumu."
Jawaban itu berarti banyak bagi Zeze. Benar, dia bisa melakukan apa saja. Mungkin dia bisa saja melakukan semuanya sendiri dalam bidang politik, tapi tidak dengan kekuatan. Karena begitu banyaknya kekuatan militer yang dimiliki masing-masing bangsawan. Menggunakan Énkavma untuk menghabisi lawan politiknya satu per satu adalah rencana yang licik sekaligus bagus. Tidak ada yang akan menaruh curiga kepadanya.
Zeze masih berkutat dalam pikirannya sementara orang itu beralih membolak-balik lembaran buku yang ada di tangannya, tidak berniat menyela perang di dalam pikiran Zeze.
"Baiklah," ucap Zeze tiba-tiba.
Dia menyendat tangannya yang berniat membalik lembaran buku kembali. Perlahan, dia menjulang dan mengambil segelas air di nakas lalu meneguknya. Zeze memperhatikan segala tingkah orang itu dari awal sampai selesai. Agak jengkel karena dia tak kunjung memberi respons terhadap jawabannya.
Setelah selesai, dia meletakkan gelas yang telah kosong itu kembali ke tempatnya. Namun, gerakan selanjutnya yang sukses membuat jantung Zeze tambah tak karuan adalah; dia malah menjauh ke arah pintu.
Tangannya mendarat di gagang emas pintu berwarna hitam dengan ukiran kata 'Orion' yang melingkar. Namun anehnya, dia tidak kunjung membukanya meski detik demi detik telah berlalu, sehingga membuat Zeze menatap heran punggung yang dilapisi kemeja hitam berbahan ringan itu dari tempat tidur.
"Tidak ada yang mengetahui kau berada di sini." Tangannya mulai menarik pintu itu sampai setengah terbuka. "Kau bisa istirahat dengan tenang," sambungnya dari balik pintu.
'Sial,' umpat Zeze. Ia mencoba duduk. Dikiranya akan sulit, namun ternyata tidak. Lalu ia menengok jam digital yang tergantung di dinding samping kanan ranjang. Dan matanya langsung membulat detik itu juga. Ia telah tertidur selama 3 hari!
'Sialan!'
Dengan tergesa-gesa, ia melepas infus dan membedah perban yang membalut tangannya sembari mencoba menemukan luka yang ternyata sudah memudar.
Ia gerakan kakinya agar ia bisa duduk di tepi tempat tidur. Tak ada masalah dengan kaki kirinya, tapi tidak dengan kaki kanannya yang terbalut perban tebal berwarna cokelat. Terakhir kali, kaki itu memang belum sembuh saat ia bertarung di kediaman Earl Swarovske. Dan pertarungannya tiga hari lalu memperburuk keadaannya.
Sambil berpegangan pada tiang tempat tidur, ia mencoba berdiri. Ini juga di luar dugaannya karena kakinya dapat berdiri kokoh. Saat mencoba menjalankannya juga tidak ada masalah kecuali ia harus sedikit menyeret kaki kanannya.
Kemudian, ia putuskan untuk membongkar juga perban di kaki serta kepalanya. Memang benar lukanya sudah hilang, tapi bekasnya belum. Namun tidak masalah, bekas luka di kepalanya terkunci oleh rambut.
Ia memilih berjalan ke arah balkon. Angin dingin nan sejuk langsung menyambutnya, tak kalah dengan kicauan burung yang saling bersahutan.
Sembari memandangi awan yang berjalan di langit biru, berbagai macam pikiran kini tengah menginvasi kepalanya. Dua hari lagi tersisa dan ia tidak akan bisa bebas seperti dulu lagi.
Ia mendengus panjang kemudian berbalik masuk kembali. Saat itulah ia dapat melihat jelas makanan dan buah-buahan di atas meja yang terapit dua sofa berwarna cokelat yang terletak tak jauh dari tempat tidur. Kebetulan sekali ia memang sedang lapar.
Tanpa menunggu lama, ia langsung menyambar apel merah seraya duduk bersandar dengan nyaman. Sambil menikmati buah itu, ia menyapukan matanya ke segala penjuru kamar.
Waktu kecil, ia selalu penasaran tentang bagaimana visual kamar kakak sepupunya itu. Namun perasaan itu telah lama hilang. Dan tanpa disangka, rasa penasarannya saat kecil terjawab sekarang.
Sama sekali tidak ada foto sang pemilik kamar. Yang ada hanyalah tulisan-tulisan Yunani kuno yang dibingkai lalu dipajang di dinding. Tidak mengherankan, karena memang orang itu menyukai sastra.
Yang menarik perhatiannya adalah tulisan di langit-langit ruangan itu, dimana 4 bintang mengorbit tulisan yang ditulis sambung berwarna hitam.
'Kion Ropalo Zesto'
Ataukah sekarang ia telah berada di neraka? Ia mencoba membuka matanya, namun kelopak mata itu terlalu berat.
Tiba-tiba ia merasakan sesuatu di bawah punggungnya. Hangat, seperti tangan seseorang. Kemudian ia merasakannya lagi di bawah lututnya. Dan dalam sekejap ia merasakan tubuhnya diangkat.
Ia tidak dapat membuka matanya, bahkan sekarang kesadarannya terasa terbelah-belah. Ia tidak mempuanyai ide siapa orang ini serta apa maksud dan tujuannya.
Namun harum yang familiar menyeruak masuk ke dalam lubang hidungnya. Ia tidak yakin dimana ia pernah mencium wangi ini.
Semua pikirannya kacau. Sekuat apapun ia mencoba untuk tetap terjaga, kantuk telah mengalahkannya.
Akhirnya semua pikirannya berlanjut di alam mimpi.
========
Hamparan luas yang dijatuhi sinar mentari pagi menjadi saksi bisu dentingan dua pedang yang saling bertemu. Tak ada satu pun dari kedua pengguna pedang ini yang berniat mengalah.
Sampai akhirnya, seorang pria dengan rambut hitam berumur sekitar 28 tahunan membuat lawannya melepas katana yang tengah digenggamnya. Katana itu terbang dan menancap di tanah tak jauh dari mereka.
Tidak sampai di situ, ia tendang perut lawannya hingga lawannya itu membungkuk kesakitan. Masih tak puas, ia menghunuskan ujung longsword-nya tepat ke tengah-tengah leher lawannya.
Lawannya mengangkat kepala, menunggu hal apa yang selanjutnya akan dilakukan orang di hadapannya ini.
"Apa yang mengganggumu?" Selidiknya. Ia menatap datar lawannya yang kini tengah berusaha menegakkan punggungnya kembali.
"Tidak biasanya kau mudah lengah seperti ini, Glen," sambungnya.
Glen meluruskan punggungnya sambil merangkum perut. Lukanya yang waktu itu belum benar-benar sembuh, dan tendangan barusan membuat perutnya berdenyut hebat. Namun bukan kejadian tadi yang membuatnya lemah dan juga lengah seperti ini. Dan ia sendiri pun tahu pasti apa hal yang mengganggunya beberapa hari ini. Tapi ia tidak mungkin mengatakannya.
Pria itu memperhatikan Glen yang masih tidak meresponsnya. Ia meluruhkan pedangnya dari leher Glen dan berkata dengan dingin, "apa pun itu, kuharap tidak akan mengganggumu pada saat misi."
Glen mengangguk. Rasa sakit di perutnya sudah agak menyusut.
"Kita akhiri di sini. Ada pertemuan yang harus kuhadiri." Pria berkemeja putih itu berjalan meninggalkan Glen yang mematung.
Glen memutuskan masuk ke dalam mansion bercat hijau tak jauh dari hamparan luas tersebut. Hanya perlu berjalan beberapa langkah melewati pohon rindang dan semak belukar, bangunan yang menjulang itu telah tersambut oleh sepasang matanya. Karena merasa haus, ia beranjak ke dapur untuk mengambil air. Namun seseorang yang seharusnya tidak ada di sana malah sekarang berdiri memunggunginya.
Orang itu berbalik setelah merasakan kehadiran seseorang. Detik itu juga, senyum di bibirnya langsung mekar ketika mendapati orang yang sangat ingin dilihatnya sekarang berada tepat di hadapannya.
"Glen..." sapanya. Orang itu mengenakan A-line dress berwarna krem dengan pita cokelat di masing-masing lengan atasnya.
Dengan satu helaan napas, Glen mendekat dan meraih gelas di dalam rak yang ada di atas kepala orang itu.
"Sejak kapan di sini?" Tanya Glen sambil menuang air ke dalam gelas.
"Satu jam yang lalu. Tapi Sir Barier berkata kau sedang latihan dengan Kak Antoni," jawabnya dengan senyuman manis.
Glen tidak menyahut dan memilih menenggak minumannya sampai rasa hausnya hilang. Sedangkan orang itu tetap setia berdiri di sampingnya, memperhatikan setiap gerakannya.
Setelah puas, Glen menaruh gelas kosong itu kemudian berbalik dan menyandarkan satu lengannya di pinggiran meja rak. "Sudah sembuh?" Tanyanya, seraya mengusap mulutnya dengan lengan kaus berwarna hijaunya.
Senyum orang itu makin lapang tatkala puas mendengar pertanyaan yang sedari tadi ingin didengarnya. Ia mengangguk, "walaupun masih belum bisa jalan terlalu jauh."
Tanpa sebuah sahutan, Glen berjalan ke arah meja makan yang hanya dipisahkan oleh pintu di pojok ruangan dan duduk di salah satu bangkunya. Orang itu juga mengikutinya dan mengambil duduk di hadapannya.
"Aku akan masuk sekolah besok," ujarnya.
Glen tidak menanggapi. Ia hanya mengambil pisang di atas meja, mengupasnya lalu melahapnya dalam senyap.
Orang itu pun memakluminya. Ia telah bersama dengan Glen sejak kecil. Tentunya ia sudah terbiasa dengan baik-buruknya kelakuan laki-laki itu.
"Apakah kau masih mengunjungi makam Luke dan Ulbert?" Tanyanya hati-hati.
Glen mengangguk. Sebenarnya ia malas setiap kali harus membahas teman-teman dan seniornya yang telah tiada.
"Glen... apakah mereka masih memukulimu?" Dia bertanya lagi, yang mana membuat Glen mulai risih.
"Hera..." panggil Glen tanpa menatapnya. Fokusnya mengarah pada titik-titik cokelat yang melingkar di daging pisang yang tengah digenggamnya. "Cobalah diam."
Orang itu, Hera, dia menahan napas sebelum menumpahkan kata-kata yang selama ini terpendam di dalam rongga dadanya dengan suara getir. "Mau sampai kapan kau begini, Glen?"
Matanya meredup. "Mengapa kau seperti ini?" Tanyanya lagi, yang kini terdengar lirih dan menyayat hati. Apa yang salah? 'Kenapa?'
Glen mengangkat matanya, menatap sepasang mata cokelat muda di hadapannya itu dengan sorot yang sulit diartikan. Setelah beberapa detik mata mereka saling menjerat, Glen memilih bangkit dan berlalu.
Hera hanya bisa memandangi punggungnya yang kian menjauh. Apa yang membuatnya seperti ini? Kenapa orang yang dulu ia kenal kini berubah menjadi orang yang sama sekali asing baginya? Hera tidak pernah tahu jawabannya.
========
Suara lembaran demi lembaran kertas yang dibalik adalah hal pertama yang menyerang indranya. Mula-mula suara itu hanya berupa dengungan hingga akhirnya terdengar jelas dan mengusik. Ingin sekali ia memarahi siapa saja yang membuat suara itu karena telah mengganggu tidurnya. Namun apa daya, membuka mulut saja ia tidak bisa.
'Tunggu dulu... tidur?' Jika tidak dalam keadaan seperti ini, matanya pasti telah membuka cepat.
Bulu mata lentiknya bergetar bagai sayap kupu-kupu yang siap mengepak. Perlahan-lahan, kelopak mata itu terbuka, menampilkan iris biru bagai bentangan langit cerah.
Simbol matahari yang di tengahnya terdapat bulan sabit adalah hal pertama yang menyambut penglihatannya. Butuh waktu lama baginya untuk menyadari bahwa itu hanyalah sebuah ukiran kayu atap tempat tidur.
Perlahan, ia angkat tangan kirinya. Namun bukannya tangan putih yang biasanya ia lihat, melainkan perban berwarna cokelat yang membalut di sepanjang siku hingga pergelangan tangannya. Kemudian berganti ke tangan kanannya. Sama. Kali ini perban itu hinggap di punggung tangannya dengan selang yang menyalip masuk ke dalamnya.
Saat menggerakkan alis, sesuatu yang berat terasa menahan guratan yang akan terbentuk di keningnya. Menyentuh dahinya, ia merasakan tekstur kain yang ia yakini adalah perban juga.
Ia mendengus. Pada akhirnya, ia tidak mati. Padahal ia telah menuangkan kata-kata dan permohonan terakhirnya. Kalau begini, ia merasa seperti main drama saja.
Tiba-tiba ia teringat kembali alasannya terbangun. Dan saat itulah bunyi lembaran kertas tadi menyeruak masuk ke telinganya lagi. Ia menoleh ke kanan. Walaupun terhalang kelambu, ia masih dapat melihat siluet samping seseorang yang tengah duduk di sampingnya itu.
Dengan perlahan, tangan kanannya mencoba menyingkap penghalang itu. Namun belum sampai meraihnya, sebuah suara terdengar.
"Bagaimana perasaanmu?"
Tangannya mengambang di udara. Ia kehilangan tujuan meraih penghalang itu. Tubuhnya seketika membeku. Suara itu adalah suara yang sangat dikenalnya. Suara yang selalu ia dengar saat kecil. Itu adalah suara yang disukainya di setiap hari Minggu pagi. Ia selalu menanti untuk bisa mendengar suara itu. Selalu bangun pagi ketika hari Minggu datang karena tak sabar ingin melihatnya.
Sampai akhirnya, suara itu berubah menjadi suara yang dibencinya. Suara yang ia anggap menjadi perenggut kebebasannya, perusak impiannya.
Karena tak kunjung ada jawaban, pemilik suara itu pun yang menyingkapnya. Dan detik itu juga, mata mereka beradu.
Zeze memalingkan wajahnya ke arah ukiran di atasnya, "mengapa kau menolongku?"
"Kau tidak ingin ditolong?"
"Aku tahu kau sudah lama tahu siapa aku," tukas Zeze dingin.
Kesunyian menjajah atmosfer tajam yang membalut mereka selama beberapa saat sebelum akhirnya Zeze memecahnya, "mengapa kau diam saja? Kau tidak ingin membongkarnya?"
"Tidak, kurasa itu bagus." Jawaban absurd itu sukses membuat Zeze menoleh kembali ke arahnya. "Karena itu bisa mempermudah jalanku," sambungnya.
Mata Zeze memicing mendengarnya.
Orang itu beralih duduk di tepi tempat tidur, menatap lekat ke dalam matanya tanpa tertulis sepatah kata pun. Tiba-tiba, dia membungkukkan tubuhnya, mendekatkan wajahnya ke wajah Zeze sehingga membuat gadis itu mengerjap hebat.
Namun ternyata, bibir tebal dan penuh itu berlabuh di telinga kanan Zeze. Lalu dengan suara beratnya, dia berbisik misterius, "ingin membuat kesepakatan denganku?"
Alis Zeze berkerut. Ia sama sekali tidak mengerti ke mana orang ini membawa kata-katanya.
Dia menegakkan punggungnya kembali. Mereka berdua kembali saling pandang sampai akhirnya, Zeze bertanya dengan nada mendesak, "apa yang sebenarnya kau rencanakan?"
Wajar Zeze agak kalut begitu. Dari kecil ia sama sekali tidak dapat memahami orang ini. Jika ia ditanya siapa orang yang paling ia takuti dan waspadai, jawabannya pasti orang ini.
"Aku ingin merebut kembali kerajaan ini dari tangan mereka. Tapi aku butuh bantuanmu—bantuan kalian."
Mata Zeze melebar. 'Apa!?'
Apa yang sebenarnya dia coba lakukan? Apakah dia ingin mengembalikan Aplistia menjadi kerajaan kembali? Apakah dia akan menentang keputusan ayahnya? Itu mustahil. Sekarang Aplistia dipimpin oleh perkumpulan para bangsawan yang dibentuk ayahnya sendiri. Dan tujuan utama Zeze adalah menghabisi siapa saja dari mereka yang merugikan publik. Tidak ada sama sekali niatan baginya atau bagi Rajanya untuk mengubah sistem ini. Ia sama sekali tidak dapat mengerti orang ini. Apakah sebegitu laparnya dia dengan takhta?
'Dia gila,' batin Zeze.
"Jawabanmu?" Dia masih sabar menunggu Zeze yang tengah menata hatinya.
Zeze berdeham sebelum merespons, "apa keuntungannya bagiku?"
Orang itu melihat sekitar sebelum menjawab, "aku akan membantumu."
Jawaban itu berarti banyak bagi Zeze. Benar, dia bisa melakukan apa saja. Mungkin dia bisa saja melakukan semuanya sendiri dalam bidang politik, tapi tidak dengan kekuatan. Karena begitu banyaknya kekuatan militer yang dimiliki masing-masing bangsawan. Menggunakan Énkavma untuk menghabisi lawan politiknya satu per satu adalah rencana yang licik sekaligus bagus. Tidak ada yang akan menaruh curiga kepadanya.
Zeze masih berkutat dalam pikirannya sementara orang itu beralih membolak-balik lembaran buku yang ada di tangannya, tidak berniat menyela perang di dalam pikiran Zeze.
"Baiklah," ucap Zeze tiba-tiba.
Dia menyendat tangannya yang berniat membalik lembaran buku kembali. Perlahan, dia menjulang dan mengambil segelas air di nakas lalu meneguknya. Zeze memperhatikan segala tingkah orang itu dari awal sampai selesai. Agak jengkel karena dia tak kunjung memberi respons terhadap jawabannya.
Setelah selesai, dia meletakkan gelas yang telah kosong itu kembali ke tempatnya. Namun, gerakan selanjutnya yang sukses membuat jantung Zeze tambah tak karuan adalah; dia malah menjauh ke arah pintu.
Tangannya mendarat di gagang emas pintu berwarna hitam dengan ukiran kata 'Orion' yang melingkar. Namun anehnya, dia tidak kunjung membukanya meski detik demi detik telah berlalu, sehingga membuat Zeze menatap heran punggung yang dilapisi kemeja hitam berbahan ringan itu dari tempat tidur.
"Tidak ada yang mengetahui kau berada di sini." Tangannya mulai menarik pintu itu sampai setengah terbuka. "Kau bisa istirahat dengan tenang," sambungnya dari balik pintu.
'Sial,' umpat Zeze. Ia mencoba duduk. Dikiranya akan sulit, namun ternyata tidak. Lalu ia menengok jam digital yang tergantung di dinding samping kanan ranjang. Dan matanya langsung membulat detik itu juga. Ia telah tertidur selama 3 hari!
'Sialan!'
Dengan tergesa-gesa, ia melepas infus dan membedah perban yang membalut tangannya sembari mencoba menemukan luka yang ternyata sudah memudar.
Ia gerakan kakinya agar ia bisa duduk di tepi tempat tidur. Tak ada masalah dengan kaki kirinya, tapi tidak dengan kaki kanannya yang terbalut perban tebal berwarna cokelat. Terakhir kali, kaki itu memang belum sembuh saat ia bertarung di kediaman Earl Swarovske. Dan pertarungannya tiga hari lalu memperburuk keadaannya.
Sambil berpegangan pada tiang tempat tidur, ia mencoba berdiri. Ini juga di luar dugaannya karena kakinya dapat berdiri kokoh. Saat mencoba menjalankannya juga tidak ada masalah kecuali ia harus sedikit menyeret kaki kanannya.
Kemudian, ia putuskan untuk membongkar juga perban di kaki serta kepalanya. Memang benar lukanya sudah hilang, tapi bekasnya belum. Namun tidak masalah, bekas luka di kepalanya terkunci oleh rambut.
Ia memilih berjalan ke arah balkon. Angin dingin nan sejuk langsung menyambutnya, tak kalah dengan kicauan burung yang saling bersahutan.
Sembari memandangi awan yang berjalan di langit biru, berbagai macam pikiran kini tengah menginvasi kepalanya. Dua hari lagi tersisa dan ia tidak akan bisa bebas seperti dulu lagi.
Ia mendengus panjang kemudian berbalik masuk kembali. Saat itulah ia dapat melihat jelas makanan dan buah-buahan di atas meja yang terapit dua sofa berwarna cokelat yang terletak tak jauh dari tempat tidur. Kebetulan sekali ia memang sedang lapar.
Tanpa menunggu lama, ia langsung menyambar apel merah seraya duduk bersandar dengan nyaman. Sambil menikmati buah itu, ia menyapukan matanya ke segala penjuru kamar.
Waktu kecil, ia selalu penasaran tentang bagaimana visual kamar kakak sepupunya itu. Namun perasaan itu telah lama hilang. Dan tanpa disangka, rasa penasarannya saat kecil terjawab sekarang.
Sama sekali tidak ada foto sang pemilik kamar. Yang ada hanyalah tulisan-tulisan Yunani kuno yang dibingkai lalu dipajang di dinding. Tidak mengherankan, karena memang orang itu menyukai sastra.
Yang menarik perhatiannya adalah tulisan di langit-langit ruangan itu, dimana 4 bintang mengorbit tulisan yang ditulis sambung berwarna hitam.
'Kion Ropalo Zesto'