18 LIGH

"...apakah Anda mendengarkan, Yang Mulia?" Tanya seorang wanita paruh baya berambut hitam yang digulung ke belakang. Matanya yang tajam dibingkai kacamata bergagang transparan, memberikan kesan yang tegas.

Orang yang ditanyanya malah menguap panjang. "Ya, ya," balasnya kemudian dengan setengah hati.

Sudah satu jam Zeze di sini. Mendengarkan penjelasan-penjelasan Madam Thoryvos yang hampir tidak bisa ditanggung otaknya. Setiap satu kalimat yang ia selesai ucapkan, mata tajamnya pasti akan menatap Zeze lagi sambil bertanya apakah Zeze mendengarkan. Mau tak mau Zeze merasa jengah. Untuk apa ia punya telinga jika tidak dipakai untuk mendengar?

Madam Thoryvos kembali duduk sambil memegang buku tebal di hadapannya. Jika tidak ada meja di antara mereka, Zeze yakin ia pasti sudah kabur dari tadi.

"Kalau begitu, coba Anda jelaskan kembali tingkatan dari gelar kebangsawanan yang ada di Aplistia."

Zeze menumpu dagunya dengan punggung tangannya. Terlihat sekali bahwa wanita di hadapannya ini meragukannya.

Sudut bibirnya terangkat ketika menjawab, "di urutan pertama, terdapat Duke yang merupakan gelar tertinggi. Kedudukan Duke berada di bawah anggota kerajaan. Penganugerahan gelar Duke sangat terbatas pada mereka yang dipandang memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan layak di mata keluarga kerajaan.

"Di bawah Duke, terdapat Marquess. Seorang Marquess dipercaya untuk melindungi negara dari potensi serangan negara tetangga, menjadikan kedudukannya berada di atas Earl atau Count.

"Selanjutnya adalah Earl atau Count yang memerintah sebuah wilayah atas nama Raja, seperti semacam gubernur.

"Di urutan keempat, terdapat Viscount. Ditugaskan sebagai wakil dari Earl dalam mengurus provinsi, dan sering bertanggung jawab atas masalah kehakiman. Raja secara ketat menjaga agar jabatan Viscount tidak menjadi gelar turun-temurun, untuk menjaga kewenangan mereka dan menekan kemungkinan pemberontakan.

"Urutan paling bawah, Baron, biasanya dipanggil oleh Raja untuk menghadiri sidang Penasihat atau Parlemen."

Zeze tersenyum miring, puas akan reaksi yang ditunjukkan wanita yang tengah menganga di hadapannya ini.

"Sekarang aku boleh pergi?"

Madam Thoryvos mengerjap cepat kemudian berdeham, "belum, sebelum Anda menyebutkan keluarga keturunan kerajaan yang masih tersisa hingga saat ini."

Zeze memutar bola matanya. 'Oh, ayolah! Aku sudah mendengarnya tadi! Apa dia pikir aku akan lupa?'

Ia mencoba berkepala dingin sekarang. Jika ingin cepat-cepat pergi dari sini, ia harus menuruti kata-katanya. Ia mendengus panjang sebelum akhirnya menjawab, "Zesto, Enochlei, Ankhatia, Asteri, Edafos, Haedos, Algarius...," kata-katanya menghilang, digantikan dengan seringai jail di bibirnya.

Madam Thoryvos mengerutkan kening, "kurang tiga lagi... Yang Mulia?"

"Aku akan melanjutkan jika Anda berjanji akan membiarkanku pergi setelah ini."

Mulut Madam Thoryvos terbuka, namun kemudian tertutup rapat lagi. Setelah berkutat panjang dengan pikirannya, ia pun menghela napas. Tuan Putri yang satu ini memang sedikit menyusahkan.

"Baiklah. Tapi besok Anda harus mempelajari table manners. Jangan coba-coba kabur, Yang Mulia."

Zeze memutar bola matanya lalu bangkit berdiri. Ini konyol. Tidak bisakah orang hanya perlu makan seperti biasa? Apa pun cara makannya, tujuannya hanya satu yaitu kenyang. Manusia memang merepotkan.

Mengambil jaketnya di sandaran kursi, Zeze memakainya sembari melanjutkan, "Aposto, Qiseidon, dan Zilevo." Selesai sudah ia menyebutkan 10 keluarga keturunan kerajaan secara urut dari yang tertua.

"Ingat, Yang Mulia. Perkenalan formal Anda dalam komunitas bangsawan hanya tersisa 5 hari lagi di pesta ulang tahun Pangeran Kion. Anda tidak boleh main-main kali ini," ujarnya serius. Guratan di dahi wanita itu semakin dalam, membuat Zeze yang melihatnya mendengus risih.

Apa dikiranya ia belum pernah mengalami penyiksaan seperti ini saat kecil? Namun membantah juga percuma, itu akan memperlambatnya untuk keluar dari neraka ini. Akhirnya ia pergi dari ruangan penuh rak buku itu tanpa sepatah kata pun.

Saat menuju pintu kembar dengan ukiran Helios, dua orang maid dengan sigap membukakannya pintu.

Hidupnya kali ini akan sangat merepotkan, dan ia jamin itu. Bahkan lebih merepotkan dibanding melawan musuh-musuh kuat.

Untungnya hari ini seorang penyelamat akan datang. Sudah sebulan lebih Zeze tidak melihat batang hidungnya.

Zeze berjalan di bawah sinar rembulan, melewati pekarangan dan berhenti di sebelah gerbang besar dengan patung rusa jantan putih bertengger di kedua sisi puncaknya.

Jika ia ditanya siapa orang yang terakhir kali ingin dilihatnya sebelum mati, tak ada keraguan jawabannya otomatis pasti adalah orang ini. Orang yang selalu bersamanya dalam benar maupun salah, susah maupun senang. Kata setia saja tidak cukup untuk mendeskripsikannya.

"Sepertinya ada alien yang sedang menunggu."

Setelah lebih dari sebulan hanya mendengarnya lewat telepon, akhirnya ia mendengar suara itu secara langsung. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya mereka berpisah. Sudah beberapa kali mereka tidak bertemu karena misi yang berbeda. Bahkan ia pernah berpisah dua tahun penuh dengannya.

Zeze mengangkat wajahnya dan tersenyum sinis. Ia mengacungkan jari tengahnya ke arah seorang laki-laki bertopi yang kini sedang memperpendek jarak dengannya.

Laki-laki itu tertawa. Dia berhenti satu langkah dari Zeze dan mengulurkan kepalan tangannya. Zeze menyeringai, menggantikan jari tengahnya dengan kepalan tangan dan mempertemukannya dengan tinju orang itu.

Dia merangkul Zeze dan berjalan masuk ke dalam mansion, tanpa memedulikan tatapan-tatapan penasaran para pelayan yang mereka lewati.

"Bagaimana liburannya?" Sindir Zeze.

Orang itu menyeringai. "Yang pasti lebih menyenangkan daripada terkurung dalam kandang."

Zeze mendelik kesal atas jawabannya. Tapi lelaki itu tidak terlihat terganggu sama sekali dan hanya membalasnya dengan tawa.

"Kopi, Ze," titah orang itu setelah mereka sampai di ruang tamu. Dia melepas topi hitamnya dan merebahkan diri di sofa.

"Memang tidak tahu diri." Zeze mencibir, tapi akhirnya ia pun berjalan ke dapur.

"Tamu adalah raja," serunya sembari mengambil remot di meja dan menyalakan TV.

"Demi Tuhan! Siapa lagi ini!"

Belum juga lima menit dia mengistirahatkan punggungnya di sofa yang empuk, suara yang terdengar lelah itu sudah mengharuskannya menegakkan punggung.

Dia melihat seorang gadis cantik berambut pirang bergelombang dalam balutan gaun merah muda sedang berdiri di balik punggung sofa. Gadis itu tidak sendiri, ada tiga orang lagi yang bersamanya. Dan dua di antaranya adalah orang yang sangat dikenalnya.

"Obi?" Ucap seorang lelaki yang berdiri di sebelah kanan gadis pirang itu. Dia mengenakan setelan jaket kulit hitam dengan kemeja putih di dalamnya. Rambutnya pirang dan matanya berwarna biru.

Obi menyeringai dan bangkit duduk sembari menoleh ke belakang. "Yo, Saga. Lama tidak bertemu, ya?"

Lalu matanya mengarah kepada seorang lelaki yang sejak tadi berdiri diam di sebelah kanan saga. Orang itu mengenakan jas dan kemeja hitam yang kancing atasnya dibiarkan terbuka. Tentu Obi mengenalnya. Selain karena dia adalah masa depan dari sahabat karibnya, dia juga adalah tempat dimana Obi akan mengabdikan serta menyerahkan nyawanya. Dia adalah tuannya.

Tersenyum lebar sampai memperlihatkan barisan giginya, Obi bangkit berdiri dan menyambutnya dengan riang, "Master! Sudah lama tidak bertemu!"

"Master?" Gumam seorang gadis berambut coklat pendek yang mengenakan kaus dan legging berwarna gelap. Ia bertukar pandang dengan gadis pirang di sebelahnya yang sepertinya juga kebingungan.

Di saat yang sama, Zeze datang membawa secangkir kopi hitam yang menurutnya sangat tidak enak itu. Ia menyapukan pandangannya ke arah orang-orang yang baru datang itu. Saat matanya bertemu dengan mata Luna, seperti biasa tatapan gadis itu selalu mengisyaratkan ketidak-sukaan yang kuat. Berbeda dengan Volta, rasa hormat terpancar dari caranya mengangguk menyapa Zeze.

Kemudian mata birunya terkunci pada sepasang mata hazel tunangannya. Tapi seperti biasa, tidak akan bertahan lama. Zeze lebih memilih memutus kontak mata itu dengan menaruh cangkir di atas meja.

"Sedang apa kau di sini?" Saga bertanya heran.

"Bisa dibilang menginap di rumah teman." Obi melirik Zeze di belakangnya.

Ekspresi Saga sedikit berubah, "kalian saling kenal?"

"Seharusnya itu pertanyaanku," balas Zeze.

"Tentu saja aku mengenalnya. Dia kan teman Master." Obi menjawab Zeze. Tatapannya bergeser pada dua orang gadis yang sejak tadi kebingungan mendengarkan percakapan mereka. "Mohon bantuannya ya, nona-nona cantik," katanya, mengedipkan sebelah matanya.

Luna terkesiap dan mengerjap cepat. Orang ini sama sekali tidak sopan. Ia memilih membuang muka sambil menahan kejengkelan, sedangkan Volta hanya menatap datar lalu mengangguk pelan.

Obi beralih ke Kion dan bertanya dengan cengiran lebar di wajahnya, "tidak apa kan, Master?"

Kion berpaling dari Zeze dan berlalu ke arah tangga. "Lakukan sesukamu," jawabnya dari kejauhan.

Ketiga orang itu tentunya langsung mengikuti Alpha mereka. Saga menepuk pundak Obi ketika melewatinya dan sedikit memberi isyarat agar datang ke kamarnya. Sepertinya dua orang yang telah lama tidak berjumpa ini ingin melepas rindu.

"Kau tidak ingin pulang lebih dulu?" Tanya Zeze yang kini duduk di seberangnya

Tiba-tiba mata Obi menggelap. "Jangan bahas itu, Ze," ucapnya dingin. Tidak ada lagi sikap bersahabat yang tadi ia tunjukan. Bahkan dari sini Zeze dapat merasakan hawa di sekitarnya berubah mencekam.

Bergeming, Zeze tidak mencoba bicara lebih lanjut dan lebih memilih berbaring sambil menyumbat telinganya dengan headphone.

Saat tengah malam, Zeze mendadak terbangun. Sepertinya ia ketiduran dengan headphone yang masih menyumbat telinganya. Terduduk, Zeze mencoba menyesuaikan matanya dari gelapnya ruang tamu. Melihat Obi tertidur di sofa, ia mengambil selimut terdekat dan membentangkannya untuknya.

Hal yang tidak disukainya saat terbangun tengah malam adalah, ia tidak akan bisa tidur lagi walau sudah sekeras apa pun mencoba memejamkan mata. Sepertinya ia harus keluar malam ini. Lagi pula, hari ini adalah hari terakhir ia bisa menikmati kebebasannya.

Akhirnya Zeze memutuskan untuk mengunjungi tempat apa pun yang menarik perhatiannya, yang mayoritas semuanya adalah restoran.

Setelah puas—atau lebih tepatnya kenyang—ia pun memutuskan untuk kembali, melewati jalanan yang telah sepi. Hanya segelintir kendaraan yang berlalu-lalang. Karena ingin cepat sampai, ia mengambil jalan pintas ke dataran tinggi terdekat.

Dan tiba-tiba, perasaan itu semakin kuat, perasaan gelisah itu, perasaan yang ia rasakan ketika sedang diikuti. Untuk mengelabui orang itu, Zeze tetap bersikap normal dan tidak mengeluarkan reaksi berlebih.

Seketika, Zeze mencium bubuk mesiu tak jauh dari tempatnya berjalan. Ini sudah lampu merah, ia tidak bisa pura-pura tenang lagi. Dan benar saja, ketika ia berbalik, ia langsung disambut puluhan peluru.

Tanpa buang waktu, Zeze memusatkan dýnami-nya di punggung, melahirkan sepasang api merah dengan ujung keunguan yang langsung membawanya melesat ke atas. Peluru-peluru itu pun lolos, menghantam bebatuan sekitar dan menghancurkannya.

"Artemis dari Énkavma memang tidak bisa dianggap remeh ya."

Zeze mengenali pemilik suara itu. Seketika kebencian dan amarah menyelimutinya. Sayapnya makin berkobar liar di belakang punggungnya. Ia menggertakkan gigi. Sulit. Inilah yang paling membuatnya tidak sanggup, menahan amarah.

Tapi Zeze harus bersikap tenang kali ini. Jika ia menyerang tiba-tiba tanpa arah seperti seorang bocah, hal itu hanya akan merugikan dirinya.

Meski sebenarnya Zeze terkejut bukan main. Orang ini cepat sekali menemukannya. Dan sialnya lagi, Zeze tidak memakai topeng. Bagaimana cara dia mengenalinya? Apa seseorang telah lebih dulu membongkar identitasnya?

Zeze menggigit bibir bawahnya, kebiasaannya ketika sedang gugup. Beberapa meter di bawahnya, terdapat seorang wanita berambut coklat pendek yang dikuncir satu. Tangannya menggenggam sebuah senapan berwarna hitam legam. Tapi bukan itulah yang Zeze khawatirkan, melainkan sesosok monster yang mulai terbentuk dari kerikil di sekitarnya.

Kerikil itu menyatu seperti ada magnet di antara mereka, membentuk tubuh singa dengan kepala berbentuk seorang wanita dan sepasang sayap lebar. Tingginya sekitar 3 meter, atau mungkin lebih. Ini adalah bentuk dari salah satu hewan mitologi Yunani kuno, sphinx.

"Lama tidak bertemu." Wanita itu menyeringai.

Kebencian langsung merayapi tubuhnya kembali. Zeze memandang wanita itu dengan mata berapi-api. Dia yang telah merenggut salah satu keluarganya, orang yang bersamanya sejak kecil, orang yang sejak dulu selalu menjadi figur kakak perempuan baginya.

Zeze berguling di udara dengan sayap yang memeluk tubuhnya, membuatnya terlihat seperti bola api yang sedang berputar-putar. Sayap itu terbuka, bersamaan dengan kobaran api yang tak terhitung banyaknya.

Wanita itu tersenyum, bagai murid yang telah mengetahui jawaban dari soal ujiannya. Dengan sigap, sayap monster batu itu menutup ke depan, membuat perisai untuknya.

Melihatnya, Zeze mau tidak mau berdecak kesal. Terakhir kali ia melawan orang ini, tulang iganya remuk. Ia tidak bisa menyerangnya dengan cara yang sama seperti dulu.

'Tidak ada cara lain. Aku harus menggunakan itu.'

Perlahan, ia turun sambil mencoba mengosongkan pikirannya, berkonsentrasi hanya pada satu titik, yaitu punggungnya. Pada saat-saat seperti inilah ia iri dengan Mia akan konsentrasi tingkat tingginya itu.

Seluruh panas dan energi sel-sel dalam tubuhnya bersatu, berkumpul di punggungnya, membuat sayap apinya semakin berkibar hingga memperlihatkan percikan listrik yang menakutkan. Bahkan kini lebarnya mungkin telah mencapai 2 meter lebih.

Tak sampai di situ, setelah berkumpul, api tersebut menyebar ke seluruh tubuhnya, hingga membuat dirinya terlihat seperti terbakar.

Sebagian besar api itu terpusat di kedua telapak tangannya. Lama-kelamaan, api tersebut membentuk pedang rapier dengan mata pisau yang meliuk-liuk seperti petir dan mengeluarkan percikan listrik.

Sejak tadi, wanita itu memperhatikan semuanya lewat celah sayap yang menutupinya. Dia juga paham bahwa dirinya tidak boleh gegabah. Walau terakhir kali dia menang telak dengan membunuh salah satu dari mereka dan hampir membunuh Artemis, tapi semua itu telah lewat setahun yang lalu. Orang-orang bisa saja berubah. Karena guru yang paling hebat adalah pengalaman.

Belum sempat berkedip, tiba-tiba saja sayap batu di hadapannya meledak, hancur berkeping-keping menutupi pandangannya. Dia masih tidak yakin apa yang baru saja terjadi. Mendadak, dia melihat sebuah kilatan di sudut matanya.

Tanpa menunggu lama, dia berguling ke depan lalu berhenti dengan kaki menggesek kuat tanah, bersamaan dengan suara ledakan yang sama seperti sebelumnya. Dan ketika dia mengangkat pandangannya, dia melihat bagian kanan sphinx-nya telah hancur.

Saat menoleh ke kiri, dia melihat musuhnya telah terselimuti kobaran api. Kedua tangannya menggenggam benda asing yang memanjang dan berkilat-kilat bagai petir. Terang, tapi mematikan. Bahkan angin malam pun terasa panas.

"Jadi, burung lebih memilih bertarung di darat, huh?" Dia menyeringai sinis ketika mengatakannya. "Sebuah kesalahan besar."

Kini bebatuan telah membentuk kembali singanya. "Anggap saja tadi itu pemanasan." Suara wanita itu mendingin.

Zeze menatapnya dengan nafsu siap membunuh. Ia ingin sekali melenyapkan senyum itu dari wajah menjijikkannya.

Mendadak, tanah di bawahnya bergetar, yang mengharuskannya untuk melompat mundur cukup jauh. Belum sempat kaki Zeze menapak tanah, di hadapannya telah tampak tubuh besar sang singa batu.

Singa itu mengangkat kaki depannya yang luar biasa besar ke arahnya. Merasakan alarm bahaya, Zeze langsung melemparkan pedangnya. Kaki singa itu meledak, melemparkan puing-puing bebatuan, dan menghempaskan Zeze hingga membuatnya jatuh berguling-guling di tanah.

Zeze berhenti setelah punggungnya menabrak seonggok batu besar. Tubuhnya telah mati rasa. Tak ada lagi kekuatan bahkan untuk mengangkat jarinya.

Zeze paham kalau ini bukanlah saat yang tepat untuk mengagumi bintang-bintang. Namun entah kenapa ia ingin melihatnya. Bintang itu akan hilang ketika pagi datang. Kalau begitu, kenapa ia harus bersinar jika pada akhirnya akan padam juga?

Apakah ini yang sekarang dirasakan olehnya? Kenapa ia harus bertemu dengan mereka jika pada akhirnya mereka akan pergi, terkubur di tanah yang gelap. Kenapa mereka harus repot-repot datang ke dalam hidupnya jika pada akhirnya mereka akan meninggalkannya.

Zeze menutup matanya. "Kalian jahat sekali. Meninggalkan aku sendirian di sini. Apa susahnya mengajakku?"

("Zeze, kau tahu? Dunia ini sangat kejam untuk orang-orang sepertiku. Tapi entah mengapa aku tidak bisa membenci dunia ini. Aku malah ingin memperbaikinya, membimbingnya, agar bisa menjadi dunia yang pantas ditempati anak dan cucuku nanti.")

Mata Zeze membuka cepat. 'Ah... benar. Masih ada yang harus aku lakukan. Aku akan memperbaiki dunia yang berantakan ini.'

'Aku tidak boleh mati di sini.'

Tiba-tiba wajah tersenyum Glen melintas di otaknya. 'Benar, aku hanya akan mati di tangannya.'

Zeze bangkit duduk dengan susah payah, menyandarkan punggungnya ke batu besar di belakangnya. Ini terakhir, kesempatannya yang terakhir.

Zeze membayangkan sesuatu yang sangat panas. Lebih panas dari magma, lebih panas dari matahari. Yaitu kebenciannya.

Semuanya ia kumpulkan menjadi satu. Perasannya, kenangannya, semuanya bercampur dengan kebenciannya.

Menyaksikannya, wanita itu menegang di tempat. 'Perasaan apa ini? Kenapa aku gemetar? Apa-apaan api itu.'

Wajar saja dia merasakan hal itu. Tubuh orang di hadapannya ini diselimut api yang sangat mengerikan. Berbeda dari sebelumnya, api itu berpencar ke sana ke mari bagaikan lidah yang siap menjilat siapa pun yang mendekat, menyatu dengan angin sekitar dan membuatnya terlihat seperti tornado yang berputar-putar.

Wanita itu berdecak. Tanpa menunggu lama, dia memerintah sphinx-nya untuk menyerang. Sayangnya sebelum sampai menjangkau Zeze, batu-batunya telah melebur menjadi lava.

Bagai gelombang tsunami, api itu sepenuhnya melahap singa besar itu hingga membuatnya jatuh ke tanah bagai lahar gunung berapi.

'Apa-apaan ini?' Wanita itu terkejut bukan main. Zeze tidak sekuat ini sebelumnya. Namun dia menyadari sesuatu, gadis yang tengah terduduk lemah jauh di hadapannya itu sama sekali tidak menggerakkan tubuhnya. Dan dia menyimpulkan bahwa ini adalah kekuatan terakhirnya.

Senyum dingin langsung terpajang di wajahnya. Dia mengarahkan senapannya ke depan wajah, bersiap untuk membidik. Setelah menarik pelatuknya, peluru itu langsung menyerbu targetnya.

Tapi tidak semudah itu. Api itu kembali menari dan dengan mudahnya melahap mereka semua.

Wanita itu makin kesal dibuatnya. 'Padahal tinggal sedikit lagi mati, kenapa menyusahkan seperti ini?' Dia menembaki Zeze dengan membabi buta. Namun tetap saja semuanya sia-sia.

Zeze memejamkan matanya. Jika ini yang terakhir, setidaknya ia harus membawa wanita itu ikut bersamanya ke neraka.

Api itu kian membesar tiap detiknya. Matanya menatap horor tatkala melihat lautan panas itu melaju dengan sangat cepat ke arahnya. Dengan gemetar, dia mencoba lari. Tapi apa daya, dia telah tenggelam. Lautan merah itu mengubahnya menjadi abu yang kini diterbangkan angin. Terbawa ke sana ke mari hingga menghilang tanpa jejak.

Mata Zeze terbuka dengan napas terengah-engah. 'Aku masih hidup?' Pikirnya.

Mencoba bangkit, berulang kali ia terjatuh. Darah menetes dan terjatuh mengenai punggung tangannya. Zeze kebingungan, bagaimana ia bisa berdarah jika tidak merasakan sakit sama sekali.

Ia menyentuh kepalanya yang ternyata terdapat luka menganga besar di sana. Bahkan telapak tangannya pun telah berlumuran darah. Serangannya tadi membuatnya mati rasa hingga tidak merasakan luka sehebat itu. Mungkin jika sekarang ia bisa merasakan kaki kanannya yang telah patah, ia akan meringis kesakitan.

Tiba-tiba kedua tangan yang menumpu tubuhnya oleng, membuatnya terjatuh ke depan. Apakah akhirnya itu adalah petarungan terakhirnya?

'Apakah aku akan mati di sini?'

Mata Zeze mulai kehilangan cahayanya. Ia menggerak-gerakan tangan di samping kepalanya, mencoba membuat mereka kembali menopang tubuhnya. Namun apa daya, usahanya barusan hanya dapat membuatnya terlentang.

Matanya yang redup memandangi bulan purnama yang bersinar gagah di atasnya. Artemis berarti dewi bulan, apakah itu berarti ia akan mati saat sedang menatap bulan? Zeze tersenyum lesu. 'Konyol.'

Tiba-tiba ia teringat orang yang telah memberinya nama dewi perburuan itu. Orang jahat yang tega meninggalkannya. Orang bodoh yang menyimpan semuanya sendiri. Sampai akhirnya dia ditelan bumi pun, Zeze masih tidak tahu apa-apa tentangnya.

Jika begitu dari awal, harusnya orang itu tidak perlu mengulurkan tangan untuknya. Jika akhirnya dia akan pergi, untuk apa mengajaknya datang.

Dia seperti tuan rumah yang mengajak orang untuk bertamu di rumahnya namun dia sendiri malah pergi.

Tapi apakah benar Zeze menyesali pertemuannya dengannya delapan tahun lalu? Apakah Zeze menyesal karena dia telah memberinya keluarga baru?

Tidak, ia tidak menyesal. Zeze sangat amat bersyukur telah dipertemukan dengan teman-temannya, kakak-kakaknya, keluarganya di Énkavma. Ia tidak pernah menyesal menemukan cahaya di tengah kegelapan.

Zeze berpaling dari bulan itu dan menoleh ke samping kanannya. Ia rasa matanya baru saja melihat secercah cahaya lain.

Matanya melebar, 'apa-apaan ini?'

Ia melihat dua orang lelaki dan satu orang perempuan berjalan mendekatinya, semuanya adalah orang terjahat yang pernah ia kenal, orang jahat yang tega meninggalkannya.

'Apakah sekarang kalian akan menjemputku?' Zeze terkekeh miris.

Tidak ada penyesalan dalam matanya. Ia bangga karena telah menyelesaikan tugas terakhirnya. Ia bangga karena telah membalaskan dendam kakaknya. Namun ia hanya merasa bersalah karena belum menyelesaikan misi terakhir dari Rajanya. Tapi itu tidak masalah. Juni, Rhea, Kai, Obi, Kaló, dan Norofi pasti bisa menyelesaikannya walau tanpa dirinya.

Akhirnya, setelah sekian lama melihat keluarganya satu per satu pergi, kini ia yang akan pergi. Beginikah perasaan mereka saat akan meninggalkannya? Merasa bersalah karena tidak dapat bertahan hingga akhir? Sekarang akhirnya Zeze mengerti.

Tangannya mencoba menggapai ketiga orang dengan cahaya yang menyilaukan itu. Namun apa daya, tangan lemah itu terjatuh lagi. Akhirnya ia memutuskan terpejam, menunggu malaikat maut mencabut nyawanya.

Setelah tak terhitung banyaknya ia mengambil nyawa, sekarang dirinyalah yang akan berada di posisi mereka. Ia tidak takut. Tentu ia tahu saat ini pasti akan datang cepat atau lambat. Karena ia paham, orang yang ia bunuh belum tentu siap menerima ajalnya.

Dengan susah payah, ia mencoba membuka mata untuk melihat ketiga orang itu. 'Tera... Afrodi... Sageta... akhirnya aku bisa bertemu kalian lagi.'

Mungkin matanya sudah tidak sabar untuk terbuka di alam lain. Dan akhirnya, kini ia benar-benar terpejam.

'Obi... maaf... aku tidak akan bisa membuatkanmu kopi lagi. Kita tidak akan bisa bermain game bersama ataupun bertualang mencari benda-benda antik lagi.'

Napasnya sudah mulai tidak stabil. Sedetik dadanya bergerak dan sedetik kemudian tidak. Terus begitu sampai beberapa menit.

'Glen... kurasa aku tidak bisa mati ditanganmu. Maaf... maaf, aku tidak dapat menepati janjiku.'

Telinganya sudah tidak dapat menangkap bunyi apa pun lagi. Semuanya telah sunyi.

'Semoga kalian bahagia.'
RECENTLY UPDATES