17 MISNER SPACE
Dengan mulut menganga, Zeze masih tetap mengawasi punggung Glen yang kian menjauh. Lama-lama tingkah Glen makin tidak jelas di matanya.
Karena 10 menit lagi adalah bel istirahat, Zeze memutuskan untuk tetap menunggu di bawah. Ia pergi ke belakang sekolah dan menduduki tanah berumput di sebelah kumpulan mawar merah. Jika bukan karena milik sekolah, ia pasti sudah mencabutinya dan mengikatnya menjadi buket. Ia tidak tahan melihat warna merah yang luar biasa menggoda itu.
Akhirnya ia memilih menidurkan dirinya di tanah berumput itu dengan kedua tangan terlipat di belakang kepala. Diamatinya langit biru dengan awan yang berjalan di atasnya itu. Ia malas sekali ganti baju. Coba saja setiap hari diperbolehkan memakai kaus bebas dengan celana training seperti kali ini.
Matanya pun terpejam. Istirahat berlangsung selama satu jam, lumayan untuknya sekedar mengistirahatkan mata.
Kejamnya, di saat waktu bahkan belum mencapai seperempat dari perjanjian tersirat dengan mata kantuknya, ia sudah mencium sesuatu yang janggal. Ia tak lagi mendengar kicauan burung dan daun-daun pohon yang saling bertabrakan dihembus angin di atasnya.
Ketika matanya terbuka, detik itu juga ia duduk dengan gusar.
Di sekelilingnya telah terdapat tembok, bahkan di atasnya sekalipun. Tembok itu berwarna hitam. Dari bentuknya, Zeze yakin ruangan ini berbentuk kubus. Ia benar-benar terkurung.
Yang membuatnya lebih terkejut lagi adalah orang itu, orang yang berdiri di sudut dengan tangan terlipat di depan dada.
"Ck, tidak bisakah kau meninggalkanku sendiri?" Zeze berdiri tanpa melepaskan pandangan darinya.
"Apa hubunganmu dengannya?" Dia malah bertanya dengan mata yang semakin lekat.
Zeze memicingkan matanya. "Ini konyol."
Ia pun menjuruskan tubuhnya ke tembok di samping kanannya, mengambil ancang-ancang dan bersiap menendang tembok itu. Tapi ia harus dibuat kecewa dan terkejut di saat yang sama karena tembok itu malah menelan kakinya!
Tapi anehnya, ia tidak merasakan sakit sama sekali. Bahkan ia masih bisa menarik kakinya kembali.
Mata Zeze memicing. Ke mana perginya kakinya tadi? Jika tembok ini adalah ilusi, maka seharusnya ia menendang pohon yang mencuat di luar tembok ini.
Lalu ia mencoba bereksperimen dengan mengulurkan tangan kanannya. Sama, tangannya pun seperti tenggelam dalam air hitam. Tapi anehnya ia tidak merasakan sensasi apa pun.
Zeze menengok orang itu, orang yang akhir-akhir ini selalu mengusik ketenangannya. Namun orang itu malah melirik ke arah belakangnya, seakan tengah memberikan petunjuk.
Mengikuti arah pandangnya, Zeze menoleh ke belakang dan matanya langsung terbelalak saat itu juga. Itu dia, tangannya! Ternyata tangannya tembus ke tembok di belakangnya.
Tak perlu pikir panjang, Zeze tau apa ini. Ini adalah Ruang Misner.
Ruang Misner dalam teori fisika adalah alam semesta sederhana (simplifed universe) yang ditemukan oleh Charles Misner dan diteliti oleh Stephen Hawking.
Pada teori ruangan ini, di setiap titik di dinding kiri adalah identik dengan titik di dinding kanan.
Artinya jika kita berjalan menuju dinding kiri, kita tidak akan membentur dinding, melainkan akan menembusnya dan muncul kembali di dinding yang kanan. Hal yang menarik dari ruang Misner adalah jika dinding bergerak maka perjalanan waktu di alam semesta Misner menjadi mungkin.
Zeze menurunkan tangannya, melemaskan otot-otot di bahunya sambil beberapa kali menghembuskan napas. Ia tahu sejak awal bahwa orang ini pasti akan merepotkan. Tapi ia tidak pernah mengira akan semerepotkan ini.
Orang itu, Aiden, tahu bahwa Zeze pasti akan mengabaikannya jika ia tidak melakukan ini. Perlahan, ia berjalan mendekat dengan tangan yang masih terlipat di depan dada. Zeze tidak mundur karena tahu itu sia-sia.
Akhirnya sekarang mata biru itu tidak bisa lari lagi darinya. Ia sangat tidak tahan jika diabaikan oleh mata itu. Namun sayangnya mata itu menatapnya dengan sorot jijik. Sebuah tatapan yang tidak pernah ia dapatkan seumur hidupnya. Apa yang salah darinya?
"Minggir," desis Zeze. Jika tatapan bisa membunuh, mungkin orang yang tengah ditatap seperti ini olehnya pasti akan mati.
Aiden menyeringai. "Kenapa? Takut?"
Gigi Zeze menggertak. Dia membalikkan ucapannya waktu itu!
Entah mengapa Aiden senang melihat reaksi-reaksi itu, walaupun yang ditunjukkan kepadanya adalah rasa permusuhan. Ini jadi makin menambah pengetahuannya tentang gadis itu: dia orang yang tidak sabaran.
Aiden berhenti dua langkah darinya dan menenggelamkan kedua tangannya ke dalam saku celana.
Zeze berdecak, "tidak bisa kah kau minggir? Aku ada kelas setelah ini." 'Walaupun sebenarnya tidak terlalu penting.'
"Kenapa? Ingin cepat-cepat melihatnya, ya?"
'Itu salah satunya,' "jangan membuatku mengulang." Suara Zeze semakin dalam.
Aiden menyeringai, "sayangnya, sekarang ini adalah jadwalnya."
Alis Zeze bertaut bingung. 'Apa maksudnya?'
"Seharusnya kau berterima kasih padaku. Karena jika kau tidak ada di sini, aku jamin kau pasti akan mengalami hal seperti waktu itu lagi."
Mata Zeze melebar. Sekarang ia paham maksudnya.
Sekonyong-konyong, Zeze melangkah mundur. Melihat itu, Aiden menautkan sepasang alisnya. 'Apa yang dia lakukan? Percuma saja dia kabur.'
Zeze berbalik memunggungi Aiden dan mulai menekan kuat-kuat kaki kanannya ke tanah. Lalu dengan kaki kanannya itu sebagai pendorong, Zeze melesat dengan sangat cepat ke tembok di hadapannya. Tanah bekas pijakannya tadi bahkan sampai retak karena saking kuatnya tekanan yang diberikan.
Sesaat Aiden bingung, namun akhirnya ia dibuat mengerti oleh hantaman dari arah belakang yang tepat menyambar punggungnya. Ia terlalu fokus pada mata biru itu sampai-sampai kecolongan seperti ini.
Dapat didengarnya suara derak tulang patah yang berakar dari punggungnya sendiri. Ia hilang keseimbangan. Gravitasi kali ini berpihak kepadanya, siap menariknya ke dalam pelukan rerumputan hijau.
Di sisa-sisa kesadarannya, ia menoleh ke belakang dan mendapati temboknya perlahan luntur serta punggung Zeze yang kian mengecil, terkikis oleh jarak.
Akhirnya gravitasi sepenuhnya membiarkannya terjatuh ke depan. Lengannya dengan sigap menopang tubuhnya agar tidak membentur tanah penuh rumput.
Tapi ia kesulitan mengangkat punggungnya. "Sialan," umpatnya, dan akhirnya, semuanya menggelap.
========
Satu pukulan berlabuh di pipi kanannya. Tak cukup sampai di situ, sedetik kemudian lutut menghantam perutnya.
Ia tak bisa mendengar apa pun kecuali suara sorakan yang mengelilinginya. Setelah lama tidak merasakannya beberapa hari ini, akhirnya ia kembali ke jadwalnya semula.
Bibirnya mencetak senyum, tapi senyum itu tidak mungkin terlihat oleh orang yang sedang memukulinya ini. Bagaimana tidak, wajahnya sudah babak belur begini.
Ia sedikit bersyukur Zeze tidak datang kali ini. Sudah lewat 20 menit dan gadis itu masih belum menampakkan batang hidungnya. Selain karena ia tidak ingin Zeze melihatnya seperti ini, ia juga bersyukur Zeze tidak ditemukan oleh para gadis yang mencarinya tadi.
Bukan Zeze yang ia khawatirkan, tapi malah nasib mereka. Jika Zeze ke sini dan berniat menolongnya tetapi malah diganggu, yang ia takutkan Zeze akan lepas kendali dan melakukan hal buruk di sekolah ini.
Pintu gudang terbuka paksa. 'Apakah akhirnya dia datang?'
"Hentikan kalian semua!" Itu suara guru berpedang, Mr. Spathi.
'Ah, ternyata dia tidak datang.' Ia bingung kenapa ia kecewa. Bukannya ia tidak ingin gadis itu melihatnya berantakan seperti ini? Benar, ia tidak ingin. Alasan kekecewaannya adalah hal lain.
Yang ia inginkan hanyalah dapat melihatnya.
Kelopak membungkus sepasang matanya. Omelan Mr. Spathi pada orang-orang itu kini hanyalah berupa dengungan di kupingnya. Sudah lama sekali ia tidak dipukuli hingga hampir pingsan seperti ini.
Mengapa memejamkan mata lebih mendamaikan daripada membuka mata?
Matanya bergetar ketika ia merasakan kelopak mata kirinya disentuh oleh jari seseorang. Untungnya tadi ia telah lebih dulu mengamankan kacamata itu dengan menaruhnya di dalam ransel.
Lama-lama jari itu naik ke dahinya dan menyibak rambut yang menudunginya. Kemudian turun di sepanjang hidungnya. Gerakannya sangat lembut bahkan hampir tidak menyentuh kulitnya. Ia seperti mengalami déjà vu. Rasanya ia pernah merasakan hal ini sebelumnya.
"Aku tahu kau masih sadar."
Jari itu berhenti di puncak hidungnya dan mengelus-elusnya dengan gerakan memutar. Seketika wangi mawar menyerbu masuk ke lubang hidungnya.
Bulu matanya bergetar sebelum kelopaknya yang telah membiru terbuka. Yang pertama kali menyerang matanya adalah cahaya yang menyilaukan. Saking silaunya, ia sampai harus menyipit untuk menyesuaikan matanya.
Dan akhirnya, sebuah siluet seseorang yang ia kenal tertangkap oleh matanya.
Zeze berjongkok di hadapannya dengan keringat di pelipisnya serta kunciran rambut yang berantakan. Sebagian rambutnya keluar dari ikatannya dan menempel di lehernya yang juga berkeringat. Sepertinya dia terburu-buru sekali mencarinya. Dan memikirkan hal itu membuatnya terkekeh.
"Apa yang lucu?" Zeze menjatuhkan tangannya dari puncak hidungnya
"Kau... Aku... Kita," ucap Glen dengan napas tersengal-sengal.
"Glen, aku mau bicara," katanya tiba-tiba. "Kau dengarkan baik-baik, ya?"
Glen kembali terpejam. Selain lelah, ia juga tidak kuat menatap cahaya di hadapannya ini terlalu lama. Terlalu terang. Jika ia tidak 'berpaling', ia takut cahaya itu akan membutakan matanya.
"Aku rasa... secepatnya tidak akan ada lagi kata kita," ujarnya, yang lebih menyerupai sebuah bisikan.
Glen diam, mendengarkan kata demi katanya dengan khidmat.
"Sudah waktunya," lirihnya.
Glen mengangguk dengan gerakan perlahan dipadu senyuman tipis yang tercetak di bibirnya.
"Tapi jangan salah sangka. Aku tidak akan pernah menyerah padamu," katanya.
"Bahkan jika kau sembunyi sampai ke ujung dunia pun, aku akan tetap mencarimu."
Suara tarikan napas yang memberat terdengar. "Kita akan bersama, Glen. Pegang kata-kataku."
Glen mendengarnya menghirup udara lalu menghembuskannya perlahan-lahan, menyiapkan kata-kata yang selanjutnya akan terlontar dari bibirnya.
Senyum Glen luntur. 'Benar, Sudah saatnya.'
"Selamat tinggal."
Karena 10 menit lagi adalah bel istirahat, Zeze memutuskan untuk tetap menunggu di bawah. Ia pergi ke belakang sekolah dan menduduki tanah berumput di sebelah kumpulan mawar merah. Jika bukan karena milik sekolah, ia pasti sudah mencabutinya dan mengikatnya menjadi buket. Ia tidak tahan melihat warna merah yang luar biasa menggoda itu.
Akhirnya ia memilih menidurkan dirinya di tanah berumput itu dengan kedua tangan terlipat di belakang kepala. Diamatinya langit biru dengan awan yang berjalan di atasnya itu. Ia malas sekali ganti baju. Coba saja setiap hari diperbolehkan memakai kaus bebas dengan celana training seperti kali ini.
Matanya pun terpejam. Istirahat berlangsung selama satu jam, lumayan untuknya sekedar mengistirahatkan mata.
Kejamnya, di saat waktu bahkan belum mencapai seperempat dari perjanjian tersirat dengan mata kantuknya, ia sudah mencium sesuatu yang janggal. Ia tak lagi mendengar kicauan burung dan daun-daun pohon yang saling bertabrakan dihembus angin di atasnya.
Ketika matanya terbuka, detik itu juga ia duduk dengan gusar.
Di sekelilingnya telah terdapat tembok, bahkan di atasnya sekalipun. Tembok itu berwarna hitam. Dari bentuknya, Zeze yakin ruangan ini berbentuk kubus. Ia benar-benar terkurung.
Yang membuatnya lebih terkejut lagi adalah orang itu, orang yang berdiri di sudut dengan tangan terlipat di depan dada.
"Ck, tidak bisakah kau meninggalkanku sendiri?" Zeze berdiri tanpa melepaskan pandangan darinya.
"Apa hubunganmu dengannya?" Dia malah bertanya dengan mata yang semakin lekat.
Zeze memicingkan matanya. "Ini konyol."
Ia pun menjuruskan tubuhnya ke tembok di samping kanannya, mengambil ancang-ancang dan bersiap menendang tembok itu. Tapi ia harus dibuat kecewa dan terkejut di saat yang sama karena tembok itu malah menelan kakinya!
Tapi anehnya, ia tidak merasakan sakit sama sekali. Bahkan ia masih bisa menarik kakinya kembali.
Mata Zeze memicing. Ke mana perginya kakinya tadi? Jika tembok ini adalah ilusi, maka seharusnya ia menendang pohon yang mencuat di luar tembok ini.
Lalu ia mencoba bereksperimen dengan mengulurkan tangan kanannya. Sama, tangannya pun seperti tenggelam dalam air hitam. Tapi anehnya ia tidak merasakan sensasi apa pun.
Zeze menengok orang itu, orang yang akhir-akhir ini selalu mengusik ketenangannya. Namun orang itu malah melirik ke arah belakangnya, seakan tengah memberikan petunjuk.
Mengikuti arah pandangnya, Zeze menoleh ke belakang dan matanya langsung terbelalak saat itu juga. Itu dia, tangannya! Ternyata tangannya tembus ke tembok di belakangnya.
Tak perlu pikir panjang, Zeze tau apa ini. Ini adalah Ruang Misner.
Ruang Misner dalam teori fisika adalah alam semesta sederhana (simplifed universe) yang ditemukan oleh Charles Misner dan diteliti oleh Stephen Hawking.
Pada teori ruangan ini, di setiap titik di dinding kiri adalah identik dengan titik di dinding kanan.
Artinya jika kita berjalan menuju dinding kiri, kita tidak akan membentur dinding, melainkan akan menembusnya dan muncul kembali di dinding yang kanan. Hal yang menarik dari ruang Misner adalah jika dinding bergerak maka perjalanan waktu di alam semesta Misner menjadi mungkin.
Zeze menurunkan tangannya, melemaskan otot-otot di bahunya sambil beberapa kali menghembuskan napas. Ia tahu sejak awal bahwa orang ini pasti akan merepotkan. Tapi ia tidak pernah mengira akan semerepotkan ini.
Orang itu, Aiden, tahu bahwa Zeze pasti akan mengabaikannya jika ia tidak melakukan ini. Perlahan, ia berjalan mendekat dengan tangan yang masih terlipat di depan dada. Zeze tidak mundur karena tahu itu sia-sia.
Akhirnya sekarang mata biru itu tidak bisa lari lagi darinya. Ia sangat tidak tahan jika diabaikan oleh mata itu. Namun sayangnya mata itu menatapnya dengan sorot jijik. Sebuah tatapan yang tidak pernah ia dapatkan seumur hidupnya. Apa yang salah darinya?
"Minggir," desis Zeze. Jika tatapan bisa membunuh, mungkin orang yang tengah ditatap seperti ini olehnya pasti akan mati.
Aiden menyeringai. "Kenapa? Takut?"
Gigi Zeze menggertak. Dia membalikkan ucapannya waktu itu!
Entah mengapa Aiden senang melihat reaksi-reaksi itu, walaupun yang ditunjukkan kepadanya adalah rasa permusuhan. Ini jadi makin menambah pengetahuannya tentang gadis itu: dia orang yang tidak sabaran.
Aiden berhenti dua langkah darinya dan menenggelamkan kedua tangannya ke dalam saku celana.
Zeze berdecak, "tidak bisa kah kau minggir? Aku ada kelas setelah ini." 'Walaupun sebenarnya tidak terlalu penting.'
"Kenapa? Ingin cepat-cepat melihatnya, ya?"
'Itu salah satunya,' "jangan membuatku mengulang." Suara Zeze semakin dalam.
Aiden menyeringai, "sayangnya, sekarang ini adalah jadwalnya."
Alis Zeze bertaut bingung. 'Apa maksudnya?'
"Seharusnya kau berterima kasih padaku. Karena jika kau tidak ada di sini, aku jamin kau pasti akan mengalami hal seperti waktu itu lagi."
Mata Zeze melebar. Sekarang ia paham maksudnya.
Sekonyong-konyong, Zeze melangkah mundur. Melihat itu, Aiden menautkan sepasang alisnya. 'Apa yang dia lakukan? Percuma saja dia kabur.'
Zeze berbalik memunggungi Aiden dan mulai menekan kuat-kuat kaki kanannya ke tanah. Lalu dengan kaki kanannya itu sebagai pendorong, Zeze melesat dengan sangat cepat ke tembok di hadapannya. Tanah bekas pijakannya tadi bahkan sampai retak karena saking kuatnya tekanan yang diberikan.
Sesaat Aiden bingung, namun akhirnya ia dibuat mengerti oleh hantaman dari arah belakang yang tepat menyambar punggungnya. Ia terlalu fokus pada mata biru itu sampai-sampai kecolongan seperti ini.
Dapat didengarnya suara derak tulang patah yang berakar dari punggungnya sendiri. Ia hilang keseimbangan. Gravitasi kali ini berpihak kepadanya, siap menariknya ke dalam pelukan rerumputan hijau.
Di sisa-sisa kesadarannya, ia menoleh ke belakang dan mendapati temboknya perlahan luntur serta punggung Zeze yang kian mengecil, terkikis oleh jarak.
Akhirnya gravitasi sepenuhnya membiarkannya terjatuh ke depan. Lengannya dengan sigap menopang tubuhnya agar tidak membentur tanah penuh rumput.
Tapi ia kesulitan mengangkat punggungnya. "Sialan," umpatnya, dan akhirnya, semuanya menggelap.
========
Satu pukulan berlabuh di pipi kanannya. Tak cukup sampai di situ, sedetik kemudian lutut menghantam perutnya.
Ia tak bisa mendengar apa pun kecuali suara sorakan yang mengelilinginya. Setelah lama tidak merasakannya beberapa hari ini, akhirnya ia kembali ke jadwalnya semula.
Bibirnya mencetak senyum, tapi senyum itu tidak mungkin terlihat oleh orang yang sedang memukulinya ini. Bagaimana tidak, wajahnya sudah babak belur begini.
Ia sedikit bersyukur Zeze tidak datang kali ini. Sudah lewat 20 menit dan gadis itu masih belum menampakkan batang hidungnya. Selain karena ia tidak ingin Zeze melihatnya seperti ini, ia juga bersyukur Zeze tidak ditemukan oleh para gadis yang mencarinya tadi.
Bukan Zeze yang ia khawatirkan, tapi malah nasib mereka. Jika Zeze ke sini dan berniat menolongnya tetapi malah diganggu, yang ia takutkan Zeze akan lepas kendali dan melakukan hal buruk di sekolah ini.
Pintu gudang terbuka paksa. 'Apakah akhirnya dia datang?'
"Hentikan kalian semua!" Itu suara guru berpedang, Mr. Spathi.
'Ah, ternyata dia tidak datang.' Ia bingung kenapa ia kecewa. Bukannya ia tidak ingin gadis itu melihatnya berantakan seperti ini? Benar, ia tidak ingin. Alasan kekecewaannya adalah hal lain.
Yang ia inginkan hanyalah dapat melihatnya.
Kelopak membungkus sepasang matanya. Omelan Mr. Spathi pada orang-orang itu kini hanyalah berupa dengungan di kupingnya. Sudah lama sekali ia tidak dipukuli hingga hampir pingsan seperti ini.
Mengapa memejamkan mata lebih mendamaikan daripada membuka mata?
Matanya bergetar ketika ia merasakan kelopak mata kirinya disentuh oleh jari seseorang. Untungnya tadi ia telah lebih dulu mengamankan kacamata itu dengan menaruhnya di dalam ransel.
Lama-lama jari itu naik ke dahinya dan menyibak rambut yang menudunginya. Kemudian turun di sepanjang hidungnya. Gerakannya sangat lembut bahkan hampir tidak menyentuh kulitnya. Ia seperti mengalami déjà vu. Rasanya ia pernah merasakan hal ini sebelumnya.
"Aku tahu kau masih sadar."
Jari itu berhenti di puncak hidungnya dan mengelus-elusnya dengan gerakan memutar. Seketika wangi mawar menyerbu masuk ke lubang hidungnya.
Bulu matanya bergetar sebelum kelopaknya yang telah membiru terbuka. Yang pertama kali menyerang matanya adalah cahaya yang menyilaukan. Saking silaunya, ia sampai harus menyipit untuk menyesuaikan matanya.
Dan akhirnya, sebuah siluet seseorang yang ia kenal tertangkap oleh matanya.
Zeze berjongkok di hadapannya dengan keringat di pelipisnya serta kunciran rambut yang berantakan. Sebagian rambutnya keluar dari ikatannya dan menempel di lehernya yang juga berkeringat. Sepertinya dia terburu-buru sekali mencarinya. Dan memikirkan hal itu membuatnya terkekeh.
"Apa yang lucu?" Zeze menjatuhkan tangannya dari puncak hidungnya
"Kau... Aku... Kita," ucap Glen dengan napas tersengal-sengal.
"Glen, aku mau bicara," katanya tiba-tiba. "Kau dengarkan baik-baik, ya?"
Glen kembali terpejam. Selain lelah, ia juga tidak kuat menatap cahaya di hadapannya ini terlalu lama. Terlalu terang. Jika ia tidak 'berpaling', ia takut cahaya itu akan membutakan matanya.
"Aku rasa... secepatnya tidak akan ada lagi kata kita," ujarnya, yang lebih menyerupai sebuah bisikan.
Glen diam, mendengarkan kata demi katanya dengan khidmat.
"Sudah waktunya," lirihnya.
Glen mengangguk dengan gerakan perlahan dipadu senyuman tipis yang tercetak di bibirnya.
"Tapi jangan salah sangka. Aku tidak akan pernah menyerah padamu," katanya.
"Bahkan jika kau sembunyi sampai ke ujung dunia pun, aku akan tetap mencarimu."
Suara tarikan napas yang memberat terdengar. "Kita akan bersama, Glen. Pegang kata-kataku."
Glen mendengarnya menghirup udara lalu menghembuskannya perlahan-lahan, menyiapkan kata-kata yang selanjutnya akan terlontar dari bibirnya.
Senyum Glen luntur. 'Benar, Sudah saatnya.'
"Selamat tinggal."