16 PUNISHMEN

Tak jauh dari sana, seseorang menyaksikan itu semua dalam diam. Ia sudah hampir gila memikirkan elf itu yang ternyata sedang asyik berduaan dengan orang lain. Ia sungkan untuk bertanya pada Airo, karena itulah sejak tadi kepalanya uring-uringan mencari keberadaannya.

Sekarang semuanya jelas untuknya. Mereka saling menyukai. Entah mengapa hatinya terasa terbakar. Apa yang sebenarnya ia gelisahkan? Gigi-giginya menggertak. Semua ini membuatnya pusing dan kebingungan sendiri. Ia bahkan terkejut dengan dampak yang dibawa gadis itu pada dirinya. Ia tambah ingin menghancurkan mereka berdua.

Keesokan harinya, kedua orang itu tetap bersikap normal layaknya tak pernah terjadi apa-apa. Bahkan beberapa hari ini Zeze terang-terangan berinteraksi dengan Glen. Ia sudah tidak peduli, toh satu sekolah sudah tahu.

Pada pelajaran biologi, Madam Viologos menyuruh mereka semua membentuk kelompok dengan teman sebangku untuk mengamati berbagai jenis sel.

Kini di antara meja Glen dan Zeze telah terdapat mikroskop dan preparatnya.

"Aku tidak tau cara pakainya," tutur Zeze, menatap Glen yang berdiri di samping kanannya.

"Internet," balas Glen dari sela giginya yang terkatup rapat. Oh, membuka mulut untuk menjawabnya saja dia malas?

Ya, Zeze telah menduga Glen tidak akan repot-repot mengajarinya. Zeze mendengus panjang lalu mengikuti perkataan Glen dengan perasaan sebal. Ternyata mudah. Hanya dengan sekali baca, ia sudah paham seluk-beluknya.

Mereka membagi tugas. Saat Glen mengamati, Zeze menulis. Ketika tiba di bagian mengamati sel epitel, tiba-tiba mereka ragu. Sampai akhirnya Zeze mengajukan diri untuk melakukannya.

Zeze menukil bagian dalam pipinya dengan cotton budd lalu mengoleskannya di atas kaca preparat. Ia menoleh ke arah Glen, "siapa yang lihat?"

"Silakan." Glen menjawab tanpa menatapnya.

Sementara Zeze mengamatinya, Glen menuliskan apa yang dia beritahu.

"Glen, kau tau? Ada dýnami-ku di sana," ujar Zeze seraya menyeringai lebar.

Glen mengabaikannya. Ia lebih memilih mengeluarkan kaca preparat berisi daging pipi bagian dalam Zeze. Namun tahu-tahu, benda yang dipegangnya tiba-tiba terbakar. Terkejut, Glen refleks melepaskannya dari jarinya.

Zeze terkekeh melihatnya sehingga membuat Glen mendelik tajam. "Cobalah serius," desisnya.

Zeze mengangkat bahu, "kan sudah kubilang."

Mata pelajaran pun berganti dengan pelajaran berpedang. Mr. Spathi menyuruh 26 murid itu untuk berbaris di lapangan berumput dengan baju bebas mereka masing-masing.

"Pada tahun pertama, kalian telah mempelajari 4 macam pedang. Sekarang, di tahun kedua ini, kalian bebas memilih pedang apa yang akan kalian pakai. Ingat, pilihlah yang benar-benar sesuai dengan fisik dan keahlian kalian," jelas Mr. Spathi di hadapan mereka semua.

"Namun sebelum itu, Miss Dianova, coba jelaskan karakteristik keempat jenis pedang itu." Mr. Spathi menunjuk siswi di barisan kedua dari depan. Zeze tahu siapa itu, dia gadis pirang yang selalu mengganggunya.

Dia tersentak karena tidak menyangka namanya akan dipanggil. Mungkin Mr. Spathi melihatnya sedang berbisik-bisik dengan siswi lain di belakangnya. Mr. Spathi masih menunggu dirinya buka suara. Namun yang dia ucapkan hanya sebuah cicitan, "saya tidak tahu, Sir."

"Apakah liburan membuatmu lupa?" Mr. Spathi menatapnya dari balik bulu mata yang membuatnya semakin menunduk ketakutan.

Mr. Spathi mengalihkan matanya ke ujung barisan, tepat dimana Zeze berdiri.

"Mana aku tau," gumam Zeze yang menyadari tatapan itu.

Glen yang berdiri di sebelah kirinya tentu saja mendengar. Laki-laki yang kini memakai kaus abu-abu gelap dipadu celana training hitam itu kemudian berkata lirih dengan sangat cepat, "longsword, katana, rapier, sabre."

Zeze mengangguk-angguk pelan di sampingnya.

"Miss Finn?" Dan benar, Mr. Spathi menunjuknya. Zeze sampai bingung sendiri apakah ada yang salah dari dirinya sehingga membuat guru-guru sering menunjuknya.

Lalu Zeze menjelaskan dari apa yang pernah ia amati dengan mata kepalanya. "Longsword, pedang bermata dua. Lurus dan panjang sekitar 1 meter. Lebih mengutamakan power dan digunakan untuk menusuk. Dapat juga digunakan untuk menebas, tetapi tidak separah katana.

"Selanjutnya Katana, pedang bermata satu dari Jepang. Sisinya agak melengkung karena fungsi utamanya menebas. Katana bisa dipegang dengan satu tangan ataupun dua tangan. Lebih mengutamakan kecepatan dan ketepatan, sehingga buruk dalam pertarungan yang memakan waktu.

"Lalu rapier, pedang bermata dua berbentuk ramping dan lurus serta dipertajam di bagian ujung. Diutamakan sebagai senjata pendorong dan penusuk. Rapier memiliki gagang yang rumit untuk melindungi tangan. Perbedaannya dengan longsword yaitu dipegang dengan satu tangan sedangkan longsword dua tangan.

"Yang terakhir, sabre. Pedang bermata satu yang merupakan gabungan antara rapier dan katana karena memiliki gagang rumit sebagai pelindung tangan dan sisi lengkungan untuk tebasan. Merupakan pedang yang digunakan dengan satu tangan. Fungsi utamanya yaitu untuk memotong."

Zeze menjawab lancar berdasarkan ingatannya tentang pedang-pedang yang terpajang di dinding lantai satu ruang tamunya.

Mr. Spathi mengangguk, "ya, benar sekali. Sekarang, saya akan berikan waktu untuk kalian memutuskan pedang apa yang akan kalian gunakan. Setelahnya, pilih satu orang sebagai partner kalian." Setelah mengatakannya, Mr. Spathi menghilang ke dalam ruang penyimpanan pedang. Murid-murid yang lainnya pun mengikuti dari belakang.

Zeze sedikit memundurkan langkahnya agar bisa sejajar dengan Glen. "Kau akan pilih yang mana?" Tanyanya.

"Katana," gumam Glen.

Zeze mengangguk-angguk tanpa balasan sehingga membuat Glen meliriknya. Tak lama kemudian, suara berat itu bertanya, "kau?"

Mata Zeze mengerjap dan menoleh cepat ke arahnya. Apa dia barusan bertanya?

"Sabre, kurasa," jawabnya ragu. Ia kembali memandang lurus dan melanjutkan, "aku tidak bisa memakai pedang."

Glen tak menyahut. Ia memacu langkahnya agar bisa berada di depan Zeze.

Mereka masuk ke ruangan yang lebih pantas disebut museum dibanding tempat penyimpanan. Di sana berjejer berbagai pedang yang bersemayam dalam lemari kaca sesuai jenisnya dengan model dan warna berbeda-beda.

Zeze sedikit tertarik, dilihat dari caranya mondar-mandir membandingkan pedang yang satu dengan yang lain. Jika pedang-pedang ini dijual, pasti ia akan membelinya. Bukan karena ia ingin menggunakannya, tetapi karena ia yakin usia pedang-pedang ini sudah sangat tua.

"Cocok untuk koleksi," gumamnya. Tiba-tiba terlintas di pikirannya untuk mengendap-endap saat malam hari dan mencuri pedang-pedang itu. Zeze mengerti betul kualitas mereka karena ia adalah kolektor benda-benda antik yang jarang orang-orang punya.

Akhirnya pilihan Zeze jatuh pada sabre yang terletak di sudut ruangan dengan gagang berwarna hitam keemasan. Tertoreh ukiran kata 'Apollo' memanjang di sepanjang mata pisaunya. Saat dibawa keluar, mata pisaunya bercahaya memantulkan sinar mentari. Entah mengapa ia tertarik dengan sabre itu. Aura pedang itu seakan menariknya.

Dilihatnya sekeliling, semuanya telah berpasangan. Zeze memilih duduk bersila di pinggir lapangan sambil menyaksikan teman-teman sekelasnya dinilai secara berpasangan oleh Mr. Spathi.

Hingga tiba saatnya Mr. Spathi memanggil namanya, "siapa partnermu, Miss Finn?"

Otomatis mata birunya memandang Glen yang tengah duduk di pinggir lapangan dengan kepala tertunduk memperhatikan telapak tangan. Merasa diperhatikan, Glen mengangkat kepala dan akhirnya mata mereka pun bertemu.

"Dia." Zeze menunjuknya.

Mr. Spathi mengangkat alis tidak yakin. Ia tahu seperti apa anak itu di semua mata pelajaran.

Mata Glen menyipit, lalu dengan perlahan—hampir tidak terlihat—ia menggeleng. Namun Zeze tidak peduli. Ia masih menanti lelaki itu bangun dari duduknya.

Di sampingnya, Mr. Spathi masih menilik Glen dengan sorot tidak yakin. Namun pada akhirnya ia menyeru, "Mr. Leios?"

Glen membuang napas kasar. Tidak bisakah ia seperti sedia kala, diabaikan dan tidak dianggap? Sepertinya akan sulit selama Zeze ada di sini.

Menyerah, ia bangkit dari duduknya dengan berat hati dan merangkai langkah ke arah Zeze yang menunggunya dengan senyum jahil.

"Maaf sebelumnya, Sir," ucap Glen tiba-tiba, "tanganku sedang terluka." Suaranya terdengar meyakinkan.

Zeze mengangkat sebelah alisnya, 'apa yang dia rencanakan?'

Glen menyadari tatapan itu lalu mengangkat tangan kanannya yang membuat mata Zeze terbelalak. Luka melepuh memanjang terukir dari jempolnya sampai jari manisnya. Pemandangan itu sukses membuat Zeze meneguk ludahnya.

"Ah, benar. Seharusnya jangan. Baiklah Miss Finn, sebaiknya cari partner yang lain."

Zeze mematung dengan mulut terkunci rapat. Mata birunya yang menyorot Glen seakan mencurahkan permintaan ampun atas kebodohan yang telah dilakukannya. Siapa sangka leluconnya malah membuatnya tidak bisa merasakan pertarungan yang menyenangkan dengan Glen.

Sedangkan Glen hanya memberinya lirikan sepintas lalu berbalik pergi ke tempatnya semula, pinggir lapangan. Bahkan setelah ia duduk pun, Zeze masih setia menatapnya dengan tatapan bersalah.

Sebenarnya ia masih bisa bertarung. Luka kecil seperti ini tidak masalah baginya. Namun tidak bisa, ia tidak bisa menunjukan dirinya yang sebenarnya sekarang.

Sekarang Glen hanya akan memfokuskan matanya pada gadis berambut platinum yang diikat satu tak jauh di hadapannya itu. Lawannya kali ini adalah seorang siswa yang ia kenal. Tentu saja ia kenal, orang itu juga sesekali memukulinya.

Dari cara matanya menatap Zeze, Glen tahu kalau orang ini tertarik dengan Zeze.

Mereka saling berhadapan. Zeze dengan sabre-nya dan orang itu dengan katana-nya.

Zeze hampir sama sekali tidak mengeluarkan gerakan. Sementara orang itu telah bersiap mengangkang—membangun kuda-kudanya—Zeze masih tetap tenang dengan pedang yang menggantung di tangan kanannya. Gadis itu sama sekali tidak repot-repot mengukuhkan pedangnya ke depan dada untuk bersiap menyerang.

Bahkan saat orang tersebut maju—dengan tangan kiri memegang sarung katana dan tangan kanan menggenggam gagangnya—Zeze masih membatu.

Barulah saat dia mencabut katana-nya dari sarungnya, tangan Zeze bergerak dan menahannya. Kedua mata pisau itu beradu, melahirkan dentingan yang berdengung membelah udara. Gerakannya sangat cepat bahkan lawannya sesaat tidak yakin apa yang baru saja terjadi.

Dia merenggut kembali katana-nya sambil melompat mundur. Kakinya menggesek tanah lapangan sampai melepaskan rerumputan dari akarnya.

Berbanding terbalik dengan kedua kaki Zeze yang masih menapaki tanah yang sama. Tak bergerak satu inchi pun.

Mungkin yang lain menganggap hal itu luar biasa, tapi tidak dengan Glen dan Mr. Spathi. Ternyata benar ketika Zeze bilang bahwa ia tidak bisa menggunakan pedang.

Gerakan Zeze hanya berdasarkan insting petarung sejati ketika mencium adanya bahaya. Tidak ada teknik-teknik dan seni berpedang dalam gerakannya.

Orang itu mulai lagi. Namun kali ini dia mencoba menyerang Zeze dari titik butanya. Dia bergerak lurus ke arah Zeze yang masih mematung. Namun ternyata, sesaat kemudian dia berubah arah dan bergerak ke serong kirinya.

Meski tubuh Zeze tak bergerak, lain halnya dengan matanya yang tetap mengikuti pergerakan orang tersebut tanpa sedikitpun tertinggal.

Di pinggir lapangan, Glen melihat laki-laki itu mengubah arahnya dua kali, dan akhirnya berhenti di belakang Zeze. Dia menghunus katana-nya agar dapat mendarat tepat di belakang leher Zeze. Walaupun ini hanya latihan, tetapi mereka diwajibkan untuk hampir mengenai bagian tubuh lawannya.

Dan sekarang yang diincarnya adalah leher, karena memang begitulah pengguna katana, cepat dan tangkas. Dan leher adalah bagian paling riskan dalam tubuh manusia. Sebab itulah para pengguna katana langsung menargetkan leher. Dia menyadari bahwa adu pedang merupakan hal buruk bagi para pengguna katana. Itu bisa merusak mata pisaunya, karena memang katana ditargetkan untuk sekali serang, mati.

Tinggal sedikit lagi. Namun dia melihat Zeze mengulurkan tangan kanannya ke belakang dan akhirnya katana-nya pun membentur sabre miliknya, bukan leher seperti yang tadi dia rencanakan.

'Tanpa menoleh!?' Pikirnya, kaget.

Dia mencoba mundur dan mengatur ulang strategi. Tapi sayangnya terlambat. Dengan tangan yang masih menahan katana itu, Zeze memutar tubuhnya. Lalu dengan gerakan cepat, Zeze menurunkan tangannya dan membalik pedangnya, menusukkan gagangnya ke perut lawannya hingga sukses membuatnya membungkuk dan meringis kesakitan. Katana-nya terjatuh di dekat kakinya, menimbulkan bunyi pertanda kekalahan.

"Maaf," ucap Zeze, yang sama sekali tidak terdengar menyesal. Ia hanya menatap datar rambut hitam lelaki yang tengah membungkuk di hadapannya ini. Seakan sudah seharusnya orang itu merendahkan kepalanya untuknya.

"Ya, cukup," ucap Mr. Spathi yang mendekat ke arahnya.

Tak ada komentar yang pria itu kerahkan untuk Zeze. Tidak seperti yang ia lakukan pada murid-muridnya yang lain. Bukan karena Zeze terlalu bagus, namun sebaliknya. Gerakannya sama sekali tidak mencerminkan seni berpedang manapun yang ada di dunia ini. Gerakannya tidak mempunyai ciri khas. Ia bergerak hanya karena harus.

Dalam pertarungan sungguhan, hal ini justru bagus. Karena gerakannya tidak akan dapat dengan mudah ditebak oleh musuh. Namun kali ini dia sedang berada di dalam sebuah akademi yang terikat akan prosedur dan tata tertib. Karena itulah menurutnya, Zeze telah keluar jalur.

"Cukup sampai di sini pertemuan kita kali ini. Sampai bertemu minggu depan," tutup Mr. Spathi setelah memastikan bahwa lawan Zeze yang tengah mengaduh kesakitan itu baik-baik saja.

Glen yang sedari tadi melihat kejadian itu pun beranjak dan berjalan menuju ruang penyimpanan pedang.

Glen merasakan seseorang mencoba mengimbangi langkahnya dari sisi kiri tubuhnya. Ia tidak perlu menoleh untuk mengetahui siapa orang itu, yang pastinya adalah Zeze.

"Coba saja kau yang ada di sana," keluh Zeze. "Pasti tidak akan berakhir secepat itu."

Glen tidak menyahut. Ketika sampai di dalam, ia langsung meletakkan katana-nya di tempatnya semula dan menutup pintu kacanya. Sesudahnya, ia menoleh ke arah Zeze yang masih asyik mengagumi barang-barang antik itu.

Zeze merasakan sepasang mata mengamatinya di balik punggungnya. Dan benar, ketika ia berbalik, Glen sedang menatapnya dengan tatapan yang sejak dulu sulit ia artikan. Laki-laki itu seakan tidak mempunyai ekspresi dalam wajahnya.

Zeze mendekat lalu berhenti satu langkah darinya. Ruangan jauh lebih sunyi karena semua orang telah keluar, yang artinya hanya ada mereka berdua saja di sini.

"Maaf soal tanganmu," sesalnya.

Glen masih tetap senyap, menyelam ke dalam sepasang mata beriris biru itu. Menatapnya bagaikan memandang langit cerah berawan di pagi hari. Jernih dan menyejukkan mata.

Mendapat kuncian mata dari Glen menyebabkan Zeze menjadi salah tingkah dan melirik ke segala arah, ke mana pun kecuali sepasang manik hitam di hadapannya ini.

Glen terkekeh melihat tingkahnya lalu mendesah pelan, "tidak apa..."

Dari balik bulu matanya, Zeze memberanikan diri menatapnya lagi.

"...itu kan hukumanku."
RECENTLY UPDATES