15 HEAVEN IS A PLACE WHERE NOTHING EVER HAPPENS
Zeze dibawa ke sebuah ruangan bernuansa putih. Terdapat dua set sofa panjang dan dua sofa single yang warnanya senada dengan dindingnya. Salah satu dindingnya dihiasi pintu kaca yang sangat besar, menampilkan kebun belakang Akademi Exousia yang asri. Ruangan ini bahkan mempunyai perapiannya sendiri dengan TV di atasnya yang menempel di dinding bata putih. Zeze bahkan baru tahu ada tempat semacam ini di sini.
"Yang lain mungkin sudah kembali ke kelas masing-masing," ujar Airo, terdengar tak acuh.
Zeze meliriknya dengan tenang, namun ketenangannya itu justru menyulut amarah Airo. "Kau ini bodoh atau apa? Kenapa kau bisa terlibat dengannya?" Desaknya dengan kening berkerut.
Alis Zeze bertaut, "apa maksudmu?"
Airo memutar bola matanya, "Glen Leios. Untuk apa kau berurusan dengannya."
Zeze mulai tertarik, "memangnya ada apa dengannya?"
"Sudahlah Airo. Dan jaga bahasamu!" Volta kembali menarik pergelangan tangan Zeze, "ayo, Yang Mulia."
"Tunggu." Zeze menghentikan langkahnya, yang sontak membuat Volta ikut berhenti. "Foto aku," pintanya dengan raut serius.
Airo dan Volta yang mendengarnya menganga. Sepertinya tidak ada satu pun yang waras di dalam keluarga kerajaan.
"Untuk apa?" Mata hitam Airo menatapnya dengan sorot aneh.
"Aku malas jika harus mengulang adegan hanya agar mereka bisa mengambil fotoku." Suara Zeze terdengar malas ketika ia menjelaskan.
Airo dan Volta saling pandang. Walaupun tidak mengerti, Volta mengangguk menyetujui. Airo pun menghunuskan ponsel hitamnya dan melakukan seperti apa yang Zeze minta.
Setelahnya, Volta menarik Zeze tanpa bantahan ke kamar mandi. Walaupun Zeze telah melarangnya untuk tidak ikut masuk, Volta tetap ikut masuk. Akhirnya Zeze pasrah dibantu olehnya dan satu orang maid membersihkan diri.
Tak lama kemudian, Zeze mendarat di atas sofa, duduk bersila dengan santai seraya menonton TV dan menikmati coklat panas. Ia mengenakan hoodie berwarna putih yang terlihat kebesaran. Tubuhnya juga dibalut selimut, karena memang hari ini lumayan dingin, pertanda tak lama lagi salju akan turun.
Hanya ada Volta yang tengah menempati sofa single yang terletak di sebelah kirinya. Gadis itu tidak menyusul Airo kembali ke kelas.
Tak ada yang berbicara. Zeze sibuk dengan TV-nya, sementara Volta sibuk dengan sketsanya. Sesekali Zeze bertanya, seperti ruangan apa ini yang dijawab olehnya yaitu ruangan istirahat Kion.
Akhirnya karena lelah, Zeze pun terlelap di sofa. Volta sudah menyuruhnya untuk tidur di kamar, tapi tetap saja Zeze tidak mau. Selama ini dirinya tidak pernah merasakan empuknya kasur. Ia selalu tidur di sofa sampai membentuk suatu kebiasaan.
Zeze tertidur sampai jam pelajaran terakhir usai. Mungkin karena terlalu lelah. Dan sampai saat itu juga, Volta menemaninya.
Saat bertutur kalau ia akan menjemput ransel abu-abunya, Volta dengan sigap berdiri, bersiap untuk mengantarnya. Namun kali ini Zeze dengan tegas menolak, sehingga Volta berakhir menunggu di ruangan itu sendirian. Volta telah berpesan agar Zeze kembali ke ruangan itu lagi, tapi tidak ada respons pasti darinya.
Dan akhirnya, di sinilah Zeze, merangkai langkahnya menyisiri koridor lantai 4 yang telah sepi. Hanya ada satu-dua orang yang berpapasan dengannya. Ia rasa kelasnya juga sudah kosong, jadi ia dapat leluasa mengambil ranselnya tanpa dikerubungi tatapan mata.
Namun ternyata dugaannya salah. Di sana, di sebelah kursinya, Glen sedang duduk dengan kepala tertunduk. Dia terlihat fokus menulis sesuatu.
Kaki Zeze melanjutkan rangkaiannya setelah tadi sempat tersangkut di ambang pintu. Ia tahu Glen menyadari kehadirannya bahkan saat ia masih menyusuri lorong. Tapi melihat Glen yang ternyata tidak kabur, mau tak mau ia dibuat terkesima.
Alih-alih mengambil ranselnya, justru sekarang Zeze duduk di kursinya sendiri sambil menopang kepala, memperhatikan tangan Glen yang sedang menari di atas buku tulisnya.
Tangan itu bergerak sangat alami, melukis kata demi katanya dengan bentuk yang indah.
Heaven Is A Place
Where Nothing Ever Happens
Ia tahu kata-kata itu, penggalan lirik lagu yang dulu mereka bertiga suka dengarkan. Ya, dulu. Ketika mengingatnya, mata birunya berubah sendu.
"Apakah tidak ada kesimpulan lagi kali ini?" Tiba-tiba Glen bertanya tanpa mengangkat pandangan.
Alis Zeze bertaut, bingung mendengarnya. Sorotan matanya menuntut penjelasan dari Glen yang sekarang malah terkekeh, "apa pikiranmu menjadi lambat gara-gara semua itu?" Ejeknya.
Zeze bangkit menuju kursi di depan meja Glen. Ia putar kursi itu sehingga kini mereka duduk berhadapan dengan hanya terhalang meja.
Melipat kedua tangannya di atas meja, Zeze kemudian menjawab, "tidak ada, tapi akan aku cari tahu nanti."
Glen membaringkan brush pen-nya lalu mengangkat wajah, menatap sepasang manik beriris biru langit di hadapannya itu. Zeze tahu arti tatapan itu. Itu tatapan seseorang yang sedang kecewa.
Kening Zeze berkerut, 'ada apa?'
"Menjauhlah."
Mendengarnya, Zeze terbelalak. Tak lama kemudian, mata birunya menyipit dan membalas dengan sengit, "sudah kubilang, kau tidak bisa mengaturku."
"Maka aku yang akan menjauh."
"Kalau begitu menjauhlah. Aku hanya perlu mendekat. Gampang," Zeze membalas dengan santainya, sehingga membuat Glen memilih mundur, bersandar ke kepala kursi. Sepertinya laki-laki itu kalah kali ini.
Melihat itu, Zeze menyeringai menang. Ia dorong meja di antara mereka seraya menarik kursinya mendekat.
Zeze menopang pipinya dengan punggung jarinya, "soal kesimpulan," ujarnya, menimbang-nimbang. "Aku hanya dapat satu."
Tanpa merespons, Glen hanya memejamkan matanya dengan tangan yang terlipat di depan dada.
"Kau membuat orang itu terkena tendanganku agar dia tidak hadir...," jelas Zeze perlahan-lahan.
Glen masih membatu. Tapi Zeze tahu dia mendengarkan.
"...dan tidak bisa menggangguku," sambungnya setelah beberapa detik jeda.
Zeze melipat tangannya di atas meja lalu menempatkan dagunya di sana, "baik sekali..." suaranya melirih dengan nada yang terdengar sarkastis seperti meledek.
Mata Glen terbuka. Laki-laki itu hanya diam memandangi iris biru bagai bentangan langit di hadapannya itu tanpa sedikit pun balasan.
"Glen, bagaimana kabar Ayah?"
Glen masih mengunci mulutnya. Melihat tak ada tanda-tanda Glen akan menjawab, bibir Zeze mengerucut. "Kurasa aku harus datang sendiri untuk menjawab pertanyaanku." Ia pura-pura menggerutu.
Glen terbatuk, "dia baik, jadi jangan macam-macam," ancamnya cepat.
Zeze tertawa. Setelah tawa renyahnya terhenti, matanya meneliti setiap bagian dari wajah Glen. "Tidak ada yang memukulimu hari ini?"
"Kau ingin aku dipukuli?" Tanya Glen. Dengan tangan tertumpuk di atas meja, ia memajukan tubuhnya seraya menyodorkan pipinya.
Zeze terkejut bukan main melihat itu dan cepat-cepat menegakkan punggungnya.
"Bolehkah aku minta hukumanku?" Tanyanya. Suaranya berat dan dalam seperti biasa, namun entah mengapa terdengar muram di telinga Zeze.
Bibir Zeze menggantung tanpa suara yang tercurah. Matanya menatap kosong ke depan. Ia lebih suka Glen mengabaikannya daripada harus mendengar nada menyakitkan dalam suaranya seperti ini.
Zeze meneguk kasar ludahnya. Ia tersenyum, mencoba bersikap santai. "Ya, kau banyak melakukan kesalahan padaku." Ia mencoba memperdengarkan nada penuh gurauan, walau sepertinya gagal.
Tak ada balasan dari Glen, kecuali bibirnya yang tersenyum masam. Tapi senyum itu tidak menyentuh matanya yang berubah nanar. Lagi-lagi Zeze meneguk ludahnya. Ini menyakitkan. Ada apa dengan Glen yang cuek dan dingin seperti biasanya?
Sudut mata Zeze berkerut, seperti menahan air yang akan tumpah kapan saja. Tangannya terkepal di atas meja. kuku-kuku jarinya menusuk kuat telapak tangannya sampai membuatnya kesakitan sendiri. Dengan perlahan, ia mengangkat tangannya, bergerak mendekati wajah pusat dunianya.
Masih dengan senyuman di bibirnya, mata Glen terpejam. Ia serahkan semuanya pada gadis di hadapannya ini. Ia pasrahkan semua bahkan jika tangan itu akan merusak wajahnya. Bahkan jika ia bisa terus terang sekarang, seluruh hidupnya pun akan ia serahkan.
Ia merasakan sesuatu yang hangat menyentuh kedua pipinya. Namun ini tidak terasa sakit yang mana membuatnya merasa menyesal. Harusnya ia merasakan sakit. Sentuhan lembut ini tidak pantas didapatkan olehnya.
Alih-alih pukulan, wajahnya malah direngkuh oleh kedua tangan hangat ini.
"Glen, jika surga adalah tempat dimana semua hal tidak pernah terjadi, kurasa itu bukanlah surgaku."
Mata Glen bergetar dibalik kacamatanya. Tapi tak kunjung terbuka, ia tidak ingin membukanya.
"Karena bagiku, surga adalah tempat dimana aku bertemu denganmu," lanjut Zeze, suaranya terdengar mantap dan teguh.
Tangan hangat itu mengusap pelan pipinya yang dingin.
"Aku tidak akan menghukummu. Karena kurasa semua yang terjadi padamu—pada kita bertiga—selama ini adalah hukuman. Jika kau ingin hukuman lebih, sebaiknya kau masuk neraka.
"Dan hukum dirimu sendiri."
"Yang lain mungkin sudah kembali ke kelas masing-masing," ujar Airo, terdengar tak acuh.
Zeze meliriknya dengan tenang, namun ketenangannya itu justru menyulut amarah Airo. "Kau ini bodoh atau apa? Kenapa kau bisa terlibat dengannya?" Desaknya dengan kening berkerut.
Alis Zeze bertaut, "apa maksudmu?"
Airo memutar bola matanya, "Glen Leios. Untuk apa kau berurusan dengannya."
Zeze mulai tertarik, "memangnya ada apa dengannya?"
"Sudahlah Airo. Dan jaga bahasamu!" Volta kembali menarik pergelangan tangan Zeze, "ayo, Yang Mulia."
"Tunggu." Zeze menghentikan langkahnya, yang sontak membuat Volta ikut berhenti. "Foto aku," pintanya dengan raut serius.
Airo dan Volta yang mendengarnya menganga. Sepertinya tidak ada satu pun yang waras di dalam keluarga kerajaan.
"Untuk apa?" Mata hitam Airo menatapnya dengan sorot aneh.
"Aku malas jika harus mengulang adegan hanya agar mereka bisa mengambil fotoku." Suara Zeze terdengar malas ketika ia menjelaskan.
Airo dan Volta saling pandang. Walaupun tidak mengerti, Volta mengangguk menyetujui. Airo pun menghunuskan ponsel hitamnya dan melakukan seperti apa yang Zeze minta.
Setelahnya, Volta menarik Zeze tanpa bantahan ke kamar mandi. Walaupun Zeze telah melarangnya untuk tidak ikut masuk, Volta tetap ikut masuk. Akhirnya Zeze pasrah dibantu olehnya dan satu orang maid membersihkan diri.
Tak lama kemudian, Zeze mendarat di atas sofa, duduk bersila dengan santai seraya menonton TV dan menikmati coklat panas. Ia mengenakan hoodie berwarna putih yang terlihat kebesaran. Tubuhnya juga dibalut selimut, karena memang hari ini lumayan dingin, pertanda tak lama lagi salju akan turun.
Hanya ada Volta yang tengah menempati sofa single yang terletak di sebelah kirinya. Gadis itu tidak menyusul Airo kembali ke kelas.
Tak ada yang berbicara. Zeze sibuk dengan TV-nya, sementara Volta sibuk dengan sketsanya. Sesekali Zeze bertanya, seperti ruangan apa ini yang dijawab olehnya yaitu ruangan istirahat Kion.
Akhirnya karena lelah, Zeze pun terlelap di sofa. Volta sudah menyuruhnya untuk tidur di kamar, tapi tetap saja Zeze tidak mau. Selama ini dirinya tidak pernah merasakan empuknya kasur. Ia selalu tidur di sofa sampai membentuk suatu kebiasaan.
Zeze tertidur sampai jam pelajaran terakhir usai. Mungkin karena terlalu lelah. Dan sampai saat itu juga, Volta menemaninya.
Saat bertutur kalau ia akan menjemput ransel abu-abunya, Volta dengan sigap berdiri, bersiap untuk mengantarnya. Namun kali ini Zeze dengan tegas menolak, sehingga Volta berakhir menunggu di ruangan itu sendirian. Volta telah berpesan agar Zeze kembali ke ruangan itu lagi, tapi tidak ada respons pasti darinya.
Dan akhirnya, di sinilah Zeze, merangkai langkahnya menyisiri koridor lantai 4 yang telah sepi. Hanya ada satu-dua orang yang berpapasan dengannya. Ia rasa kelasnya juga sudah kosong, jadi ia dapat leluasa mengambil ranselnya tanpa dikerubungi tatapan mata.
Namun ternyata dugaannya salah. Di sana, di sebelah kursinya, Glen sedang duduk dengan kepala tertunduk. Dia terlihat fokus menulis sesuatu.
Kaki Zeze melanjutkan rangkaiannya setelah tadi sempat tersangkut di ambang pintu. Ia tahu Glen menyadari kehadirannya bahkan saat ia masih menyusuri lorong. Tapi melihat Glen yang ternyata tidak kabur, mau tak mau ia dibuat terkesima.
Alih-alih mengambil ranselnya, justru sekarang Zeze duduk di kursinya sendiri sambil menopang kepala, memperhatikan tangan Glen yang sedang menari di atas buku tulisnya.
Tangan itu bergerak sangat alami, melukis kata demi katanya dengan bentuk yang indah.
Heaven Is A Place
Where Nothing Ever Happens
Ia tahu kata-kata itu, penggalan lirik lagu yang dulu mereka bertiga suka dengarkan. Ya, dulu. Ketika mengingatnya, mata birunya berubah sendu.
"Apakah tidak ada kesimpulan lagi kali ini?" Tiba-tiba Glen bertanya tanpa mengangkat pandangan.
Alis Zeze bertaut, bingung mendengarnya. Sorotan matanya menuntut penjelasan dari Glen yang sekarang malah terkekeh, "apa pikiranmu menjadi lambat gara-gara semua itu?" Ejeknya.
Zeze bangkit menuju kursi di depan meja Glen. Ia putar kursi itu sehingga kini mereka duduk berhadapan dengan hanya terhalang meja.
Melipat kedua tangannya di atas meja, Zeze kemudian menjawab, "tidak ada, tapi akan aku cari tahu nanti."
Glen membaringkan brush pen-nya lalu mengangkat wajah, menatap sepasang manik beriris biru langit di hadapannya itu. Zeze tahu arti tatapan itu. Itu tatapan seseorang yang sedang kecewa.
Kening Zeze berkerut, 'ada apa?'
"Menjauhlah."
Mendengarnya, Zeze terbelalak. Tak lama kemudian, mata birunya menyipit dan membalas dengan sengit, "sudah kubilang, kau tidak bisa mengaturku."
"Maka aku yang akan menjauh."
"Kalau begitu menjauhlah. Aku hanya perlu mendekat. Gampang," Zeze membalas dengan santainya, sehingga membuat Glen memilih mundur, bersandar ke kepala kursi. Sepertinya laki-laki itu kalah kali ini.
Melihat itu, Zeze menyeringai menang. Ia dorong meja di antara mereka seraya menarik kursinya mendekat.
Zeze menopang pipinya dengan punggung jarinya, "soal kesimpulan," ujarnya, menimbang-nimbang. "Aku hanya dapat satu."
Tanpa merespons, Glen hanya memejamkan matanya dengan tangan yang terlipat di depan dada.
"Kau membuat orang itu terkena tendanganku agar dia tidak hadir...," jelas Zeze perlahan-lahan.
Glen masih membatu. Tapi Zeze tahu dia mendengarkan.
"...dan tidak bisa menggangguku," sambungnya setelah beberapa detik jeda.
Zeze melipat tangannya di atas meja lalu menempatkan dagunya di sana, "baik sekali..." suaranya melirih dengan nada yang terdengar sarkastis seperti meledek.
Mata Glen terbuka. Laki-laki itu hanya diam memandangi iris biru bagai bentangan langit di hadapannya itu tanpa sedikit pun balasan.
"Glen, bagaimana kabar Ayah?"
Glen masih mengunci mulutnya. Melihat tak ada tanda-tanda Glen akan menjawab, bibir Zeze mengerucut. "Kurasa aku harus datang sendiri untuk menjawab pertanyaanku." Ia pura-pura menggerutu.
Glen terbatuk, "dia baik, jadi jangan macam-macam," ancamnya cepat.
Zeze tertawa. Setelah tawa renyahnya terhenti, matanya meneliti setiap bagian dari wajah Glen. "Tidak ada yang memukulimu hari ini?"
"Kau ingin aku dipukuli?" Tanya Glen. Dengan tangan tertumpuk di atas meja, ia memajukan tubuhnya seraya menyodorkan pipinya.
Zeze terkejut bukan main melihat itu dan cepat-cepat menegakkan punggungnya.
"Bolehkah aku minta hukumanku?" Tanyanya. Suaranya berat dan dalam seperti biasa, namun entah mengapa terdengar muram di telinga Zeze.
Bibir Zeze menggantung tanpa suara yang tercurah. Matanya menatap kosong ke depan. Ia lebih suka Glen mengabaikannya daripada harus mendengar nada menyakitkan dalam suaranya seperti ini.
Zeze meneguk kasar ludahnya. Ia tersenyum, mencoba bersikap santai. "Ya, kau banyak melakukan kesalahan padaku." Ia mencoba memperdengarkan nada penuh gurauan, walau sepertinya gagal.
Tak ada balasan dari Glen, kecuali bibirnya yang tersenyum masam. Tapi senyum itu tidak menyentuh matanya yang berubah nanar. Lagi-lagi Zeze meneguk ludahnya. Ini menyakitkan. Ada apa dengan Glen yang cuek dan dingin seperti biasanya?
Sudut mata Zeze berkerut, seperti menahan air yang akan tumpah kapan saja. Tangannya terkepal di atas meja. kuku-kuku jarinya menusuk kuat telapak tangannya sampai membuatnya kesakitan sendiri. Dengan perlahan, ia mengangkat tangannya, bergerak mendekati wajah pusat dunianya.
Masih dengan senyuman di bibirnya, mata Glen terpejam. Ia serahkan semuanya pada gadis di hadapannya ini. Ia pasrahkan semua bahkan jika tangan itu akan merusak wajahnya. Bahkan jika ia bisa terus terang sekarang, seluruh hidupnya pun akan ia serahkan.
Ia merasakan sesuatu yang hangat menyentuh kedua pipinya. Namun ini tidak terasa sakit yang mana membuatnya merasa menyesal. Harusnya ia merasakan sakit. Sentuhan lembut ini tidak pantas didapatkan olehnya.
Alih-alih pukulan, wajahnya malah direngkuh oleh kedua tangan hangat ini.
"Glen, jika surga adalah tempat dimana semua hal tidak pernah terjadi, kurasa itu bukanlah surgaku."
Mata Glen bergetar dibalik kacamatanya. Tapi tak kunjung terbuka, ia tidak ingin membukanya.
"Karena bagiku, surga adalah tempat dimana aku bertemu denganmu," lanjut Zeze, suaranya terdengar mantap dan teguh.
Tangan hangat itu mengusap pelan pipinya yang dingin.
"Aku tidak akan menghukummu. Karena kurasa semua yang terjadi padamu—pada kita bertiga—selama ini adalah hukuman. Jika kau ingin hukuman lebih, sebaiknya kau masuk neraka.
"Dan hukum dirimu sendiri."