14 TOY

Zeze membebaskan leher Aiden. Yang penting kekhawatirannya telah sirna. Terserah apa yang ingin orang idiot ini lakukan padanya nanti.

"Terserah," katanya seraya berbalik pergi.

Jalannya agak lamban karena sensasi di kaki kanannya. Ia bahkan harus setengah menyeret kakinya yang malang itu.

Ia telah mengganti seragam basahnya dengan kaus hitam lengan pendek dan celana training abu-abu. Sebenarnya ini adalah baju bebas yang akan digunakannya untuk olahraga saat jam pelajaran kelima nanti.

Kakinya hinggap di kantin lantai tiga. Kali ini bukan untuk makan, tetapi tidur. Untungnya tempat duduk kantin itu adalah sofa empuk, ia jadi dapat memejamkan sejenak matanya dengan nyaman. Hanya ada segelintir orang di sana, yang mana tidak terlalu mengganggu tidurnya.

Zeze memanjakan kepala dan punggungnya di sofa empuk itu. Mata kantuknya terbungkus kelopak yang telah menghitam. Ia tertidur pulas tanpa menyadari bel istirahat telah berbunyi, dan tentu saja ia juga tidak menyadari bahwa dirinya telah melewati 2 mata pelajaran. Keramaian kantin membuat tidurnya terusik. Bulu matanya yang lentik bergetar bagai sayap kupu-kupu sebelum terbuka. Kantin sudah terlihat ramai, sekarang saatnya ia pergi.

Kakinya berangkat keluar kantin. Namun entah mengapa, setiap orang yang melihatnya pasti akan memicingkan mata dan mengernyitkan hidung seolah baru saja mencium kotoran.

Zeze mengangkat bahunya. Toh, ia tidak pernah peduli. Entah bagaimana cara pandang orang lain terhadapnya, ia masih bisa hidup, bahkan jika dirinya tidak dipandang sekalipun. Zeze mengubur kedua tangannya di dalam saku celana sembari lanjut melangkah.

Namun tahu-tahu, sesuatu yang dingin dan agak basah mendarat mulus di pipi kanannya sehingga membuat langkahnya tersendat. Ia mengambil benda itu dengan telunjuk.

'Kue?'

Suara gelak tawa yang berderai menyusul setelahnya. Datang lagi sesuatu dari arah belakangnya, kali ini bajunya yang kena. Tak sampai di situ, bagian depannya, pipi kirinya, rambutnya, semuanya telah tertimbun kue sekaligus krimnya.

Zeze berdecak. Sangat disayangkan kue enak itu terbuang begitu saja! Lebih baik jika ingin buang-buang makanan, lempar saja langsung ke mulutnya. Ia akan dengan senang hati menerimanya.

Semua itu berdatangan tanpa henti, sampai-sampai ia telah dibuat menjadi manusia kue.

"Lihat, kita telah kedapatan satu lagi pecundang."

Zeze mendengar seseorang mengatakannya. Ia tidak tahu dan tidak ingin tahu siapa orang itu. Tapi yang ia tahu sekarang adalah maksud dari perkataan Si Idiot Aiden Laktisma.

'Jadi ini maksudnya mainan.' Zeze mendengus geli.

Gelak tawa itu terdengar bersamaan dari segala penjuru, saling tumpang tindih dan mengganggu telinganya. Bahkan Zeze yakin jika Juni dan Rhea ada di sini, mereka pasti juga akan ikut menertawainya.

Kali ini sesuatu yang membuat napasnya sesak terlempar ke arahnya. Ia terbatuk lalu mengusap mulutnya dengan tangan—yang pastinya berlumuran kue.

Serbuk putih itu—yang ternyata adalah tepung—terus dilemparkan ke arahnya. Kini bukan hanya rambutnya saja yang berwarna putih, bahkan kaus hitamnya pun telah disulap menjadi putih

Tak jauh dari sana, Aiden menyaksikan kebrutalan itu bersama dengan gengnya. Tangan kirinya sedikit bergerak-gerak karena dipeluk manja oleh seorang gadis.

"Jarang sekali kau menargetkan perempuan," ucap salah satu temannya.

"Itu artinya dia telah membuat Aiden marah, benar kan?" Gadis yang menggelayuti tangannya berbicara.

"Tapi sayang sekali, padahal dia itu sangat cantik," timpal yang lain.

"Kenapa tidak kau berikan kepada kami saja," celetuk yang lainnya.

Tidak ada satu pun kata yang masuk ke telinga Aiden. Semua indranya tertuju pada gadis berlumuran kue dan terigu yang mematung tak jauh darinya itu. Bahkan sekarang, semua orang tengah menghadiahinya dengan lontaran telur busuk.

Senyum puas tercetak di bibirnya. Itulah yang terjadi jika seseorang berada di dekat Si Pecundang Leios. Dari awal, dia telah membuat kesalahan karena memilih membelanya. Bukan hanya itu, dia juga membuatnya membendung rasa sakit di dadanya selama dua hari penuh!

'Sekarang, nikmati permainannya.'

Namun Aiden merasakan sesuatu yang aneh. Mengapa gadis itu belum juga membalas? Mengapa dia hanya berdiri diam menunggu benda-benda itu menghujaninya? Mengapa dia terlihat sangat pasrah? Padahal waktu itu, dia tanpa takut menendangnya.

'Kenapa dia tidak melawan?'

Tapi Aiden yakin, dia itu tidak akan mudah menyerah begitu saja. Dari mana ia yakin? 'Sial,' umpat Aiden. Apa yang membuatnya gelisah? Apa ia menunggu gadis itu untuk melakukan hal yang sama seperti yang lalu dia lakukan kepadanya?

'Apakah hanya segini saja kemampuannya?'

Tidak, dia tidak takut, Aiden sangat yakin itu. Malah lebih terlihat seperti... tidak peduli.

Aiden menggilas giginya. 'Apa dia tidak peduli pada dirinya sendiri?'

Tambah satu lagi pengetahuannya tentang gadis itu. Dia lebih tidak suka jika seseorang menyakiti temannya, daripada menyakiti dirinya sendiri.

Tanpa sadar, kaki Aiden melangkah maju sehingga gadis yang memeluknya pun ikut terseret bersamanya. "Ada apa Aiden?" Tanyanya, kebingungan.

'Aiden tersentak dan menyendat langkahnya. Ada apa denganku? Apa aku akan menolongnya? Tidak mungkin!'

'Tapi ke mana semua tatapan dinginnya? Tatapan setajam pisau yang selalu dia tunjukkan ke arahku.'

Kebingungan melanda Aiden. Tapi nyatanya, hatinyalah yang berkuasa atas otaknya dan seluruh logikanya. Ia uraikan pelukan gadis itu dan mengegah maju ke arah Zeze.

"Berhenti!"

Semuanya sontak berhenti, termasuk Aiden.

"Apa yang kalian lakukan?" Aiden kenal suara itu. Suara orang yang dibencinya, kakaknya sendiri, Airo.

"Apa kalian tidak sadar tindakan kalian ini bisa saja mengotori nama baik akademi ini!?" Bentak Airo.

Semuanya lantas mengatupkan bibir rapat-rapat dengan kepala yang tertunduk dalam-dalam. Orang yang ada di hadapan mereka ini adalah putra ketiga Marquess Laktisma, salah satu Marquess paling berkuasa di Aplistia. Jasa-jasa mereka dalam menjaga perbatasan negara tidak cukup dihitung dengan jari. Dan juga, orang di hadapan mereka ini adalah teman baik Pangeran Kion, keturunan kerajaan dari keluarga yang paling dihormati.

"Sebaiknya kalian bubar," ujar perempuan berambut pendek yang muncul di belakang Airo.

Mereka juga tahu siapa dia. Salah satu teman baik Pangeran Kion, putri kedua Duke Gahernam, Volta.

Dari balik bulu matanya yang telah terbebani oleh adonan kue dan tepung, Zeze melihat Airo menganggukkan kepalanya.

"Ayo, kau harus membersihkan dirimu," ujar Volta, merengkuh pergelangan tangan Zeze tanpa sedikit pun rasa jijik.

Saat hendak menuruni eskalator, mata Zeze bertemu dengan mata hitam Aiden yang masih membatu di tempat.

Aiden tersentak. Itu dia. Itu yang tadi ia tunggu-tunggu. Tatapan dingin dan jijik tanpa rasa takut itu. Sepertinya tatapan itu memang tercipta untuknya. Hanya untuknya.

Tapi entah mengapa ia merasa lega, karena tatapan itu ternyata masih ada.

Bahkan sampai punggung Zeze hilang dilahap jarak, Aiden masih setia memandangi tempat dimana hilangnya gadis berambut platinum itu tadi.

Kacau. Pikirannya kacau. Hatinya kacau.

Gadis itu selalu mengacaukannya. Segalanya. Bahkan dua hari ini ia merintih bukan hanya karena rasa sakit di dadanya, tapi juga karena dia. Rasa penasaran yang selalu saja menghantuinya.

"Brengsek!"

Teman-temannya menegang. Aiden sedang marah, ini berarti hal gawat.

Tapi sesaat kemudian, Aiden menghembuskan napasnya dengan kasar. Ia tidak boleh hilang kendali di sini.

'Rozeale Finn, kau benar-benar pengacau.'
RECENTLY UPDATES