13 SMOOTH CRIMINAL

"Jangan." Seorang gadis kecil terisak di atas lantai yang basah.

"Kumohon, jangan," pintanya lagi. Jika ia tidak berpegangan pada sisi meja di belakangnya, mungkin ia telah terpeleset. Gelapnya ruangan membuatnya susah untuk melihat.

"Dia... ibuku," katanya, suaranya melirih.

"Aku tahu dia ibumu," sergah suara itu dingin. "Apa kau mau ikut bersamanya?"

Gadis kecil berambut pirang yang dikepang dua itu menggeleng, walaupun ia tidak mengetahui dari mana asal suara itu.

Dia memiringkan kepala, "kenapa? Dia kan ibumu."

"Aku ingin dia ikut bersamaku, bukan aku yang ikut bersamanya!" Teriaknya histeris.

Pemilik suara itu maju, membuatnya keluar dari bayang-bayang dan menampakkan wujudnya. Tangan kanannya terulur ke belakang, menyeret tubuh seseorang dengan cengkeraman di bagian lehernya. Tubuh itu terseok-seok di lantai basah itu.

"Munafik," cibir sosok itu. Topeng mengerikannya membuat gadis kecil itu mundur sampai meja di belakangnya ikut terdorong.

"Aku ingin ibuku," isaknya, setengah memohon.

"Sssttt...," sosok itu menaruh telunjuknya yang bebas di depan wajah bertopengnya, "jangan berisik."

Gadis kecil itu sesenggukan. Ia berusaha mati-matian agar tak bersuara.

"Jangan mundur, nanti jatuh." Sosok itu memperingati.

Gadis kecil itu malah makin mundur yang membuatnya terjatuh dan mengeluarkan bunyi cipratan air.

"Kan, kau jadi basah begini," sesalnya, menghela napas.

Gadis kecil itu mengangkat tangannya yang basah. Air merah itu kini telah membanjiri tangannya.

"Ke-kembalikan ibuku, aku mohon." Ia kembali terisak.

"Tapi dia sudah pergi, bagaimana caranya aku mengembalikan apa yang telah pergi?" Ucapnya murung. "Jika aku tahu caranya dari awal, aku pasti sudah mengembalikan apapun yang telah hilang dariku."

Sosok bertopeng itu mendesah pasrah, "kita ini malang sekali ya?"

Gadis kecil itu semakin takut yang akhirnya ia memeluk lututnya sendiri. Ia tidak peduli lagi dengan air merah berbau anyir yang membasahi tubuhnya.

"Namamu...."

Gadis kecil itu mendongak.

"Siapa namamu?"

"...Lilith," jawabnya ragu.

Sosok itu mengangguk, "Lilith." Ia melepas topengnya yang membuat wajah cantik di baliknya terekspos. Matanya sehitam rambutnya. Gelap, bahkan mengalahkan gelapnya malam.

"Lilith, aku Juni," ucapnya. "Apa kau mau ikut ibumu?"

Lilith masih bisu membeku di tempat.

"Lilith, kau tahu? Gara-gara ibumu, 270 orang telah mati."

Lilith tersentak. Apa yang dibicarakannya? Yang ia lihat, ibunya hanya diam di rumah sambil sesekali belanja di mall. Ibunya tidak pernah melakukan hal apa pun yang bisa membahayakan nyawa orang lain! Itu tidak mungkin!

"Kau tahu kan? Tiga bulan lalu, terjadi gempa bumi di wilayah utara?" Juni berjalan mendekat sampai-sampai ujung sepatunya bertemu dengan jari kaki Lilith.

"Pada saat itu, banyak donatur yang menyumbangkan sebagian uang dan harta mereka. Sampai lama-lama harta itu menumpuk menjadi gunung." Juni mundur selangkah dan berjongkok.

"Mulut rakus ibumu menelan semua uang itu. Luar biasa bukan?" Suara Juni mengandung rasa kagum, yang pastinya hanya sekedar dibuat-dibuat.

"Mereka mati karena penyakit dan kelaparan. Namun berita di TV mengatakan kalau mereka adalah korban jiwa hilang yang baru ditemukan. Sayang sekali."

Tangan kanan Juni melepaskan tubuh yang semula diseretnya. Lilith tidak berani untuk hanya sekedar menengok untuk melihat rupa orang itu.

"Aku sangat ingin menanyainya sekarang. Bagaimana rasanya mati karena ulah orang lain, tapi sayangnya dia tidak bisa menjawab...."

Juni bangkit berdiri, "ibumu telah pergi, apa kau yakin tidak ingin menyusulnya?"

Lilith melihat ke atas. Mata gelap itu begitu tenang ketika menatapnya, namun di saat yang sama juga begitu dingin. Seakan ia selalu melihat dunia dengan mata itu.

"Apakah aku juga bersalah? Jika aku tidak ingin menyusulnya, apa yang akan terjadi padaku?" Tanyanya, dengan susah payah menahan getaran di suaranya.

Terjadi hening sesaat, barulah kemudian Juni menjawab dengan nada datar. "Kau tidak bersalah, dan kau akan baik-baik saja. Secara fisik, tapi tidak secara mental."

"Kau bohong!" Sergah Lilith. Entah dari mana keberanian itu berasal. Ia hanya tidak tahan jika ada orang yang tidak jujur dengannya.

Juni mengangkat sebelah alisnya. Ia masih menunggu gadis kecil yang tengah terengah-engah menahan ledakan di dalam hatinya itu untuk melanjutkan.

"Jika kau benar, kau tidak mungkin menunjukkan wajahmu padaku!" Geramnya, "kau tahu bahwa aku akan mati karena itulah kau menunjukkannya!"

'Anak pintar.'

Juni tersenyum, "kau pasti bisa menjadi orang hebat suatu saat nanti."

"Aku paling benci pembohong." Gadis kecil itu membuang muka.

Masih dengan senyumnya, Juni mengeluarkan pulpen dari saku kemejanya. Tekanan di tombolnya membawa keluar ujung runcingnya.

"Tapi sayangnya suatu saat nanti itu tidak akan pernah datang." Selesai mengatakannya, ia menunduk, kemudian tangannya menarik paksa dagu gadis kecil itu untuk menatapnya.

Mereka berpandangan sesaat. Juni dengan mata dinginnya, dan Lilith dengan mata berapinya.

"Lilith, ingin pergi sekarang?" Juni mengusap pipi Lilith yang telah berkerak karena air mata dengan jempolnya.

Bibir Juni tertarik di satu sudutnya, menyeringai sinis. "Tenang saja, aku pasti juga akan menyusul. Tapi tidak sekarang, masih ada yang ingin aku perbaiki."

Tatapan Lilith begitu menusuknya, tapi ia tetap teguh dengan senyumannya.

"Aku akan menunggumu," ujar Lilith kemudian, suaranya dingin dan mencekam.

Senyum Juni menghilang, "tanyakan pertanyaanku sebelumnya kepada ibumu."

Juni mengarahkan pulpennya beberapa senti dari leher Lilith.

"Ini sudah malam. Waktu yang pas untuk tidur," bisik Juni penuh arti.

Tanpa aba-aba, tangannya menekan pulpen itu sampai melesak masuk ke bagian samping leher kecil Lilith. Ujungnya menembus melewati epidermis sampai ke pembuluh darah.

Lilith tersengal-sengal seraya merasakan tinta panas itu membakar daging dan darahnya dari dalam. Tak dapat dipungkiri tubuhnya mengejang membentur meja di belakangnya berulang-ulang.

Sesaat kemudian seluruh tubuhnya memerah. Bahkan bola matanya pun sepenuhnya merah. Tidak ada lagi mata biru yang indah itu.

Akhirnya setelah lebih dari setengah menit mengalami tarian mengerikan dari dalam dirinya, ia pun berhenti, dan itu semua adalah gerakan terakhirnya.

Juni menatapnya datar. Tidak ada kasihan dari mata gelapnya. Seakan kata 'kasihan' adalah sesuatu paling tidak berguna di dunia ini.

Tiba-tiba tubuh yang tergeletak di belakangnya terbakar, disusul dengan tubuh-tubuh yang tersebar tak jauh di sekelilingnya. Mereka melebur seperti baru saja dimasukkan ke dalam minyak panas. Tak lama kemudian tubuh gadis kecil di depannya, Lilith, juga ikut terbakar tanpa sisa.

Api itu melahirkan cahaya di matanya yang gelap.

========

"Apa kalian dengar? Earl Swarovske dan seluruh keluarganya ditemukan tewas mengenaskan di dalam rumahnya!" Seorang siswi tiba-tiba menyerbu masuk dan berkata heboh, membuat semua orang tak terkecuali Zeze dan Glen ikut mengangkat pandangan ke arahnya.

"Mayat mereka ditemukan pagi ini!"

"Benarkah?"

"Benar! Aku lihat di internet! Bahkan putri bungsunya juga ikut dibunuh!"

"Kejam sekali."

"Kudengar, mayatnya pun sudah tak berbentuk."

"Apa maksudmu?"

"Mayatnya tak bisa dikenali karena telah gosong."

"Mengerikan. Satu keluarga terbunuh."

Kelasnya di pagi ini telah dipenuhi oleh kehebohan, yang mungkin dialami satu sekolah, bahkan mungkin satu negara.

Kepala Zeze terkulai di lengannya yang terlipat di atas meja. Dia sudah menduga ini. Bukan, bukan kegaduhan ini. Tapi isi dari kegaduhan ini.

'Ck, mereka bahkan tidak membahas surat yang aku tulis.'

Pikiran Zeze menerawang pada malam itu. Ia sampai harus repot-repot mencari secarik kertas untuk menulis surat berisi:

270+ people die because of their faults, you guys are silent. So don't be so fucking noisy just because 15 people die tonight...

'Idiot.'

Zeze mendengus. Manusia memang aneh. Mereka hanya mengerumuni sampah bertopeng berlian.

"Siapa yang melakukannya?"

"Siapa lagi kalau bukan 'mereka'."

"Orang-orang gila itu tidak ada henti-hentinya membunuh orang tak bersalah."

Zeze mendengus geli mendengarnya.

"Mengapa mereka belum juga dihentikan?"

"Kudengar, mereka pengendali dýnami yang hebat. Mungkin itu salah satu alasannya."

"Tapi ini seluruh dunia! Bagaimana bisa mereka tak berkutik melawan mereka?"

Sebelah alis Zeze terangkat. 'Bagaimana ya?'

Tentu saja itu tidak semudah yang mereka pikirkan. Énkavma bukanlah sekelompok pecundang yang melawan dunia hanya karena kehidupan mereka tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Mereka semua bukan orang biasa. Setiap individunya mempunyai 'nama'. Sebagai contohnya, Zeze sendiri.

Jangan lupakan juga ikatan mereka yang melebihi keluarga. Tidak ada yang bisa mengalahkan ketika mereka semua bersatu.

Dan orang-orang idiot ini ingin dengan mudahnya memadamkan mereka? Konyol.

Zeze memilih lanjut menidurkan kepalanya di atas lengannya yang terlipat sambil mendengar ocehan orang-orang sok tahu itu. Selain karena mengantuk, ini juga cara yang tepat untuk menikmati wajah orang di samping kanannya ini.

Zeze kira dia tidak akan datang. Namun tanpa disangka, dia telah lebih dulu berada di kursi itu dengan wajah penuh plester.

"Glen, apa orang yang waktu itu yang melakukannya?" Tanyanya.

Glen meliriknya. "Bukan," gumamnya.

Mata Zeze melebar, "lalu?"

Glen tidak menyahut dan Zeze mengerti bahwa Glen tidak ingin melanjutkan, karena itulah ia memilih diam.

Sesekali ia menguap, merasakan lelah menyerang kelopak matanya. Tadi malam, orang-orang itu datang terlalu cepat sehingga ia sampai harus kewalahan melindungi Juni karena tidak ada defender. Ditambah lagi, tadi malam hujan deras. Kaki kanannya bahkan sampai terluka.

Juni buruk dalam pertarungan di lahan terbuka. Karena itulah Zeze kerepotan mengalihkan perhatian mereka agar Juni dapat leluasa menghabisi mereka secara diam-diam.

Tanpa sadar, matanya mulai terpejam. Udara dingin masuk dan membelai tengkuknya yang terbuka. Pagi ini adalah momen terbaik untuk bersemayam di alam mimpi.

Napasnya mulai teratur, pertanda pikirannya telah terbuai oleh mimpi. Mimpi itu membakar pikirannya bagai api.

Tersentak, ia membuka matanya dengan cepat. Entah ia harus bersyukur atau marah, karena gebrakan meja itu berhasil membuatnya terbebas dari mimpi itu.

Tiba-tiba, ia merasakan ikatan rambutnya ditarik, memaksanya mengangkat kepala.

"Nyenyak sekali ya tidurnya."

Zeze meliriknya di sudut mata. Dia gadis yang waktu itu menyiramnya.

Semua mata sekarang tertuju padanya, tak terkecuali mata hitam Glen yang sedari tadi mengamatinya bahkan saat ia sedang terlelap sekalipun.

Gadis itu terkekeh sinis, masih dengan tangan yang mencengkeram kuat rambutnya. "Tapi ini waktunya bangun," desisnya.

Zeze masih membisu, merasakan semua sensasi yang membuat kepalanya berdenyut hebat.

Gadis itu makin kuat mencengkeram, membawa Zeze berdiri dari duduknya. "Memang benar, ya? Pecundang hanya akan bermain dengan sejenisnya." Mata sinisnya mendelik ke arah Glen yang kini sedang menunduk, memutar-mutar brush pen di antara jemarinya.

"Toilet." Salah satu temannya mengingatkan.

Gadis itu mengangguk paham. Ia melepas rambut Zeze dan menggiringnya keluar kelas dengan diiringi teman-temannya.

Mata Zeze bertemu dengan mata Glen. Tidak ada reaksi apa-apa dari laki-laki itu. Bahkan saat Zeze berbalik, Glen hanya bisa memandang punggungnya yang semakin jauh ditelan jarak.

Dan di sinilah Zeze sekarang, keluar dari toilet dengan baju basah kuyup. Sudut bibirnya memerah mengukir bukti tamparan. Sebenarnya kalau mau, Zeze bisa saja menarik keluar jantung mereka dengan mudah, lagi pula itu adalah ruang tertutup, tidak akan ada yang melihat.

Tidak ada kilatan amarah dalam mata birunya. Ia sendiri juga bingung kenapa ia tidak bisa marah seperti orang-orang normal. Malah di pikirannya, itu adalah semacam hal yang merepotkan, membuang-buang tenaga untuk hal yang telah terjadi. Kalau dipikir-pikir, ia tidak ingat kapan terakhir ia marah untuk dirinya sendiri.

Rhea pernah bilang, marah Zeze berbeda dari kebanyakan orang. Marahnya Zeze adalah menganggap orang itu tidak pernah ada. Karena itulah jika seseorang mendapat amarah Zeze, maka orang tersebut telah mati di mata, bahkan di hatinya. Awalnya Zeze menyangkal opini itu, tapi lama-lama itu terdengar masuk akal.

Bel pelajaran pertama telah berbunyi lebih dari 10 menit yang lalu. Tidak ada alasan baginya untuk kembali ke kelas. Zeze mengangkat bahu masa bodo. 'Mungkin aku harus ganti baju dulu,' pikirnya.

Baru saja menjauh dari toilet perempuan, ia menangkap hawa keberadaan seseorang. Dengan gusar, ia edarkan matanya ke segala penjuru, mencoba menemukan orang itu.

"Tidak perlu tegang begitu."

Zeze berjengit. Orang ini cukup hebat. Walaupun ia bisa merasakan kehadirannya, namun tidak secara spesifik dimana. Orang ini cukup pintar menyembunyikan dirinya.

Zeze diam, menyelami tingkah lelaki berambut emas yang sedang bersandar di dinding depan pintu toilet. Zeze sudah menduga bahwa orang ini cepat atau lambat akan datang kepadanya.

"Ah..., lega sekali. Setelah 2 hari hanya tiduran di kasur, akhirnya aku bisa bebas. Benar kan?" Ia meregangkan otot-ototnya.

Ternyata Glen berkata jujur.

"Tadinya aku hanya ingin balas dendam," orang itu mendekat, membawa Zeze mundur. Zeze juga bingung kenapa ia mundur. Sampai akhirnya, punggungnya pun menempel dengan dinding.

Orang itu—saudara Airo—Aiden Laktisma, menempelkan tangan kanannya ke dinding di samping kepala Zeze seraya mendekatkan wajah tampannya hingga hanya berjarak beberapa senti saja dari wajah Zeze.

"...tapi lama-lama aku penasaran. Tadi malam-"

Belum juga Aiden menyelesaikan kalimatnya, lehernya telah dicekik oleh Zeze. Dengan cepat, Zeze membalik tubuhnya, sehingga kini dirinyalah yang mengurung orang ini.

"Apa saja yang kau ketahui?" Desis Zeze. Matanya menusuk tajam orang di depannya.

'Sialan,' umpat Zeze.

Ia sadar ada yang aneh setelah ia berlari meninggalkan akademi. Perasaannya tidak tenang. Ia tahu, perasaan itu hanya muncul saat dirinya sedang diikuti. Tapi, ia tidak berpikir sampai sana karena tengah diburu waktu.

'Apa yang aku lakukan? Aku kurang hati-hati sampai membahayakan yang lain. Tidak ada pilihan lain, jika orang ini mengetahuinya, aku harus membunuhnya.'

Pikirannya kacau semenjak ia ada di dekat Glen. Ia tidak boleh main-main kali ini. Ia adalah otak di dalam timnya.

Tentu saja Aiden terkejut bukan main. Selain karena reaksi Zeze, juga karena ini pertama kalinya ia diperlakukan seperti ini oleh perempuan. Tidak, lebih tepatnya oleh seseorang. Setiap orang yang melihatnya pasti akan tunduk. Ia dapat memiliki hati dan tubuh wanita hanya dengan jentikan jari. Namun gadis albino di hadapannya ini berkata lain.

Seketika Aiden mengangkat sebelah alisnya. 'Apa yang dia takutkan?' Wajar saja ia berpikir seperti itu. Setelah berpengalaman menatap mata biru langit itu, ia tahu tidak ada yang ditakutinya. Namun, kenapa hanya karena satu kalimat itu membuatnya hilang kendali dan gelisah seperti ini?

"Aku belum tahu apa-apa, karena itulah aku ingin mengetahui apa hubunganmu dengan Si Pecundang itu."

Cengkeraman Zeze di lehernya sedikit mengendur. 'Ah, ternyata hal lain.'

"Bukan urusanmu," sergahnya.

Aiden menyeringai. "Kau tahu? Sebenarnya aku ini baik hati. Kalau saja kau bukan perempuan, pasti kau sudah akan habis. Tapi bukan berarti aku akan berhenti...,"

Ia mendekatkan bibirnya ke telinga kiri Zeze, "karena aku baru saja mendapat 'mainan' baru."
RECENTLY UPDATES