12 ROSé

Tak bisakah sekali saja Si Idiot ini tidak membuat jantungnya hampir berhenti berdetak?

Perlahan Zeze menoleh ke samping dan mendapati mata itu masih tetap terpejam damai. Dapat dirasakannya napas dingin lelaki itu menerpa wajahnya.

Di lantai dingin dan berdebu ini, Zeze duduk bersila. Telunjuknya terangkat dan menekan sudut mata Glen yang membiru. Alis Glen berkedut karena gerakan itu. Bibirnya yang pucat membuka dan berbisik, "jika ingin membunuhku, lakukan sekarang. Jangan melakukan hal setengah-setengah semacam ini."

Tak menghiraukannya, Zeze beralih mengusapnya dengan lembut. Usapan itu berlangsung lama, turun ke pipi, ke dagu, naik lagi ke pipi dan berhenti di puncak hidungnya.

"Jika kau begini terus, kau bisa mati tanpa harus kubunuh," bisik Zeze, menekan-nekan puncak hidung itu. "Jangan mati, Glen. Jika kau mati, kau tidak akan bisa membunuhku."

Tiba-tiba mata Glen terungkap saat telunjuk Zeze menjauh. Sepasang manik hitam itu begitu lekat menatap wajah Zeze yang hanya berjarak beberapa senti saja dari wajahnya.

Ia mengangkat tangan kirinya. Mulanya hanya mengambang di udara, kemudian lama-kelamaan mendekati wajah gadis di hadapannya itu, bergerak ke arah dagu dan membawa dagu itu ke atas, membuatnya mendongak.

Sekonyong-konyong tangan besar itu telah bersarang di leher Zeze. Genggaman itu tidak terlalu kuat maupun tidak terlalu lemah, namun sukses membuat Zeze menjegal napasnya.

Kedua insan itu hanya beradu pandang dalam keheningan. Sampai akhirnya, sebuah suara tawa mengalir pelan dari bibir Zeze, mencairkan kebekuan di antara mereka. "Aku tidak bisa mati sekarang. Masih ada hal yang harus kulakukan."

Menguraikan tangan Glen dari lehernya, Zeze membungkusnya dengan kedua tangannya. "Kau juga tidak bisa mati sekarang." Ia mendekatkan bibirnya ke telinga Glen, "karena aku akan kesulitan membawamu."

Zeze melepaskan tangan Glen seraya beranjak berdiri. Glen mendongak dan melihat Zeze tengah mengikat rambutnya menjadi satu. Kemudian, tangan Zeze terjatuh dengan telapak tangan terbuka di depan wajah Glen.

"Ayo," ajak Zeze sambil menggerak-gerakkan jemarinya.

Glen mengamati jemari yang menari-nari tidak sabar minta diraih itu. Seketika, ia mendengar pemilik jari itu berdecak pelan dan memanggil namanya, "Glen." Dan ia pun memutuskan untuk meraihnya.

Tangan mereka bertaut. Seakan tak cukup untuk mengangkat Glen dengan satu tangannya, Zeze menggunakan tangannya yang lain, menarik Glen hingga berdiri dengan kedua kakinya.

Walaupun babak belur seperti ini, Glen masih sanggup berdiri tegap tanpa susah payah. Seakan ia sudah biasa menelan rasa sakit. Seakan rasa sakit itu telah menjadi makanan sehari-harinya.

Mereka berdua berdiri berhadapan dengan kedua tangan saling menggenggam. Zeze harus sedikit mendongak karena Glen lebih tinggi darinya. Ketika bersanding seperti ini, kepala Zeze hanya sebatas lehernya.

Karena Glen tak kunjung bergerak, Zeze merenggut tangannya. Dan mereka pun keluar masih dengan tangan yang bertaut.

Melihat kaki Glen yang dapat mengikuti langkahnya, itu membuktikan bahwa dirinya tidak perlu khawatir Glen akan pingsan kapan saja.

Zeze mengangkat telunjuk tangannya yang bebas ke depan wajah. Seketika, secercah api berwarna merah keunguan berkobar di ujungnya, menuntun dirinya dan juga Glen yang berjalan di belakangnya keluar dari kegelapan.

"Glen, apa kau takut hantu?" Tanya Zeze tanpa menoleh. "Jika salah satu di antara kita mati, kita harus berjanji untuk saling mendatangi satu sama lain."

Tidak ada balasan dari Glen.

"Apakah kau sudah tahu jika aku akan datang?"

Hanya ada bunyi langkah kaki mereka selama lebih dari satu menit, sebelum balasan itu terdengar bagai embusan, "karena begitulah dirimu."

Di depannya, Zeze mengulum senyum. "Apakah kau dari tadi menungguku?"

Glen memilih diam tak menyahut. Tanpa sadar, mereka telah menuruni eskalator yang sudah tidak bergerak menuju lantai satu.

"Kau tidak bisa pergi dari sana karena khawatir aku akan datang dan tidak menemukanmu." Itu bukan pertanyaan.

"Karena itulah kau merepotkan," balas Glen, nadanya datar seperti biasa.

Sekarang suara langkah mereka terdengar berbeda, karena sepatu mereka telah menginjak rumput halaman belakang. Walau suara-suara binatang malam terdengar memecah kesunyian malam, tak ada satu pun yang dapat mereka dengar.

Zeze menghentikan langkahnya, yang membuat Glen juga ikut berhenti. Kemudian, Zeze berbalik menghadapnya dan berpesan, "tunggu di sini."

Setelah mengatakannya, Zeze melepas jalinan tangan mereka dan pergi mendekati bangunan itu lagi. Ia menuju ruang kelasnya dan mengambil ransel hitam Glen. Setelah mendapatkannya, ia turun lewat jendela di atas kepala Glen dan mendarat sempurna di hadapannya. Ia menyodorkan tas itu yang kemudian diterima oleh si pemiliknya. Lalu mereka berdua pergi bersisian, meninggalkan bangunan luas tersebut dengan keheningan.

"Nah, sekarang kau bisa pergi tanpa memikirkanku." Zeze mempercepat langkahnya setelah selesai mengatakannya.

Ia tidak menoleh, tidak boleh. Karena jika ia melakukannya, ia takut tidak akan bisa berjalan maju ke depan lagi.

Ia tahu, bahwa tanpa dituntun sekalipun, Glen pasti akan dengan mudah menemukan jalan keluar. Namun egonya mengambil alih. Ia masih ingin berlama-lama dengannya. Ia masih ingin merasakan tangannya.

"Roze."

Ia mengenal suara itu. Suara berat yang disukainya. Hanya dengan mendengarnya saja sudah membuat hatinya menghangat, apalagi saat ini, saat suara itu menyebutkan namanya. Sudah lama sejak terakhir kali suara itu memanggil namanya.

Langkahnya terhenti. Tidak, ia tidak boleh menoleh.

Waktu terus terlahap namun masih tak kunjung ada lanjutan, dan itu membuatnya frustrasi. Kali ini ia tidak dapat menahannya lagi dan ia pun memberanikan diri menoleh ke belakang.

Di sana dia masih tetap mematung, dengan satu tangan dimasukkan ke dalam saku celana dan tangan yang lain memegang tali ransel, memandanginya dari kejauhan dengan mata palsunya yang selalu terlihat bosan tanpa semangat.

"Jika hal seperti ini terjadi lagi, jangan mencariku," perintahnya. Nada dan sorot matanya tak tertebak. Tapi Zeze tahu itu tidak main-main.

Zeze tersenyum pahit. Ia berbalik menghadap ke depan. Ternyata bukan hanya dirinya yang egois, tapi dia juga.

"Tidak bisa," jawabnya datar. "Kau tidak bisa melarangku seperti aku tidak bisa melarangmu."

Zeze mulai melangkah maju. Ya, kali ini ia bisa maju. "Aku akan melakukannya dengan caraku sendiri," lanjutnya dari kejauhan.

Ia tahu bahwa ketika menoleh pun, Glen tidak akan terlihat lagi karena ia telah berjalan cukup jauh. Namun tetap saja ia takut, ia masih takut bahwa keberuntungan tadi tidak akan didapatkannya lagi.

Langkahnya tersendat saat ponselnya bergetar di saku celananya. Ketika mengambilnya, ia melihat nama Juni di sana. Sial! 50 panggilan tak terjawab muncul di layar kuncinya. Bersama dengan Glen selalu membuatnya lupa akan segala hal, bahkan waktu sekali pun.

Dengan cepat, ia berlari mencari gedung tinggi dan menaiki puncaknya tanpa mengindahkan getaran berulang-ulang dari ponselnya. Sepintas, ia merasakan kegelisahan yang familier namun tidak bisa ia mengerti. Tetapi itu semua tidak penting saat ini. Ia harus buru-buru.

Sebenarnya ia tidak mau buang-buang tenaga seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi, misinya adalah yang utama dibanding tubuhnya. Oleh karena itu, ia langsung mengobarkan sayap merahnya dan terbang dengan sangat cepat. Hanya memakan waktu dua menit dari gedung itu.

Setelah melihat sebuah mobil sport hitam dengan seorang gadis berkemeja merah bersandar di pintunya, ia memadamkan sayapnya dan mendarat tegap di depannya.

"Lama." Itulah suara yang menyambutnya.

"Maaf. Kau sudah dapat bonekanya?" Tanya Zeze, meregangkan otot-otot bahunya.

Juni melirik ke belakang Zeze, membawa mata Zeze ikut bersamanya. Dari gelapnya pepohonan, keluarlah lima orang pria bermata kosong, berjalan mendekat dengan langkah terseok-seok. Masing-masing dari mereka menggenggam senapan hitam model baru. Mata mereka tidak ada cahayanya. Mulut mereka membuka dan mengeluarkan liur. Seperti... zombie!

Zeze tersenyum puas lalu memasang topengnya, begitu juga Juni. Kekuatan Juni memang amat praktis dan tidak memakan waktu serta tenaga.

"Ayo." Suara Zeze berubah sangat serius saat mengatakannya.

Zeze dan Juni berjalan mendekati mansion coklat di hadapan mereka. Namun mereka tidak langsung menginjakkan kaki di sana. Orang-orang seperti zombie itulah yang memasuki pekarangan mansion tersebut.

Sedangkan kedua gadis itu, mereka datang dari arah samping dengan sangat cepat dan melompat langsung ke lantai dua bangunan itu. Setibanya di dalam, mereka dapat mendengar bunyi adu tembakan dan jeritan di bawah sana.

"Kau ke kiri, aku akan mengurus yang kanan. Mereka pasti akan memisahkan diri untuk mencegah agar tidak semua keturunan mereka terbunuh," jelas Zeze. "Bakar semuanya, Ni."

Juni mengangguk tanpa bantahan. Gadis itu tidak akan mudah menerima perintah dari sembarang orang, namun ia akan selalu percaya pada kata-kata Zeze, orang yang diakuinya.

Mereka berpencar. Telah sepi di dalam, mungkin mereka semua telah mencium rencananya. Sial, ini karena ia terlalu lama bersama Glen.

Zeze berdecak, dan dengan sangat cepat menyisir sisi kanan bangunan itu. Ruangan demi ruang ia buka satu-satu. Sampai tiba-tiba, sudut matanya menangkap seorang wanita bergaun mewah yang tengah ditarik—hampir diseret—oleh seorang pria menuju kebun bunga mawar.

Tanpa menunggu lama, ia melompat turun lewat jendela dan langsung menyambar leher wanita itu dari belakang. Wanita berambut hitam agak beruban itu berjengit. Dia mencoba menoleh ke belakang sambil memegangi tangan ramping yang mencengkeram lehernya.

Matanya terbelalak ketika yang dilihatnya adalah sosok bertopeng. "To... tolong!" Ucapannya terbata-bata karena napas yang terpenggal.

Panik, pria di depannya mencabut pistol di samping pinggangnya dan mengarahkannya tepat ke arah Zeze.

"Tembak. Dengan begitu, dia juga akan mati," desis Zeze, tanpa sedikit pun rasa takut.

Tangan pria itu bergetar hebat. Ia panik, bingung, takut, semua menjadi satu. Keringat pun telah mengguyur seluruh tubuhnya. Sambil berteriak, ia menarik pelatuknya yang menyebabkan besi mematikan itu bersarang di tubuh manusia di hadapannya.

Tubuh itu lunglai dan jatuh ke tanah bagai boneka yang putus dari talinya. Darahnya menyatu dengan merahnya mawar di bawah sinar sang dewi malam.

"Kan sudah kubilang," ujar perempuan bertopeng itu.

Pria itu menatap mayat dekat kakinya dengan kengerian. Semuanya terukir di matanya yang berangsur-angsur mulai kehilangan cahayanya. Tubuhnya bergetar hebat dan lama-kelamaan, ia menjerit kesetanan. Pistolnya pun lolos begitu saja dari genggamannya.

"Dia bukan targetku," sambungnya. "Aku tahu dia disuruh menyamar menjadi majikannya. Kau melakukan kesalahan."

Pria itu jatuh berlutut memandangi tubuh kaku orang yang ingin dinikahinya. Jika saja... jika saja ia tidak bekerja di sini! Jika saja ia bisa melawan saat diperlakukan semena-mena oleh para bangsawan brengsek itu! Ia lebih memilih mati jika harus melayani mereka lagi!

"Dia berkata tolong bukan kepadamu, tapi kepadaku."

Pria itu mendongak menatapnya. Matanya yang merah berair terbelalak karena terkejut

"Sekarang, pilih. Kau ingin aku tolong seperti apa?"

Matanya semakin melebar, kemudian serta-merta menumpahkan airnya. Isakan yang semula kecil kini terdengar keras memenuhi kebun bunga mawar merah itu.

"To- tolong!" Ucap pria itu terbata-bata, nadanya terdengar tersiksa disertai ringisan kesakitan yang datang dari lubuk hatinya.

Ia masih setia menunggu pria itu mengatakan kata selanjutnya.

"Bu-bunuh aku," pintanya, terdengar memohon.

Mata birunya mulai menggelap. Namun ia masih tetap diam di tempat seakan tahu bahwa masih ada yang ingin pria itu katakan.

"Dan juga para iblis itu!"

Akhirnya ia melangkah mendekat, berusaha agar tidak menginjak mayat bergaun merah di hadapannya. Dengan gerakan yang sangat natural, ia raih kepala pria itu dengan kedua tangannya. Ia tempatkan kedua tangannya dengan lembut di sisi wajahnya. Lalu, dengan satu gerakan cepat, ia memutarnya ke kanan dan ke kiri.

Setelah ia putar, ia tarik kepala itu ke atas, menimbulkan derak bunyi yang mengerikan.

"Selamat malam."
RECENTLY UPDATES