11 IDIO

"Apakah itu diperbolehkan?" Seorang gadis berambut coklat pendek bertanya, memancing perhatian kelima pasang mata yang juga tengah duduk di satu meja dengannya.

"Orang itu baru saja menyiram Tuan Putri," sambungnya.

Sementara kelima orang itu tengah saling bertukar pandang, Kion masih tetap setia dengan bukunya. Buku itu agak tebal. Bersampul coklat dengan judul Freedom. Di bawah tulisan itu terdapat tulisan lebih kecil yang adalah nama pena penulisnya, Artemis.

Ia dapat merasakan kelima pasang mata itu kini memandangnya, meminta suaranya. Namun, jangankan membalas, ia sama sekali tidak beranjak dari buku itu.

"Kion merasa tidak masalah, jadi tidak apa kan?" Seorang laki-laki berambut hitam di sebelah kiri Kion berbicara mewakili diamnya. "Lagi pula, tadi itu sudah pembalasan yang luar biasa."

"Tapi, Dri. Roze adalah anggota kerajaan... ah, maksudku Yang Mulia Roze." Airo yang duduk di hadapan Kion cepat-cepat meralat kalimatnya setelah sadar bahwa Kion juga ada di sana.

"Kurasa itu juga telah termasuk penghinaan." Gadis berambut coklat pendek itu ikut bicara lagi. Walau ia duduk di samping kanan Kion, ia sengaja memperkeras suaranya untuk memancingnya. Namun sepertinya tidak berhasil.

"Sudahlah Volta. Kion juga tidak mempermasalahkan. Kalian semua juga!"

Luna yang duduk di samping kiri Airo—berhadapan dengan Volta—sedari tadi memperhatikan wajah Kion. Matanya yang terlihat gelisah terus terkunci pada sosok lelaki yang dikaguminya itu. Tanpa sadar, kedua tangannya bertaut di atas pahanya.

Di sebelah kiri Luna, seorang gadis berambut coklat panjang memilih mendengarkan dalam diam, sama halnya dengan Saga yang duduk berhadapan dengannya.

"Driko." Kion tiba-tiba berbicara kepada si laki-laki berambut hitam. Bukan hanya Driko, tapi kelima pasang mata lainnya juga ikut menoleh ke arahnya.

"Apa?" Tanyanya. Sejujurnya Driko tidak menyangka Kion akan bertindak kali ini. Walau sebenarnya wajar saja, karena barusan itu adalah tunangannya. Namun tetap saja ini adalah hal langka untuk orang apatis seperti Kion.

Kion menarik napas lama, kemudian menghembuskannya perlahan-lahan dengan mata yang masih tertuju pada buku.

Yang lain masih sabar menunggu suara keluar dari bibir penuhnya. Bahkan Luna dan Airo meneguk saliva beberapa kali karena saking penasarannya.

Dan akhirnya, kata-kata itu pun terucap dari bibirnya.

========

Memang ia akui, ini pertama kali terjadi padanya. Saat bersama dengan teman-temannya—atau lebih tepat disebut dengan keluarganya—ia lebih sering mendapat kasih sayang.

Bukan karena alasan lain, itu karena ia adalah yang termuda di Énkavma. Ia ingat sekali ketika ia harus kabur setiap kali ulang tahunnya datang. Karena ia yakin kakak-kakaknya, terutama yang perempuan, pasti akan mendandaninya habis-habisan.

Dan akhirnya ketika kembali, ruang tamu markas mereka telah berantakan oleh krim kue ulang tahun, botol-botol arak, balon, dan hiasan ulang tahun lainnya. Benar, mereka pesta tanpanya. Semua itu selalu terulang setiap tahun.

Paginya, Zeze pasti akan kedatangan kado-kado. Ia sampai kewalahan menyimpan itu semua. Belum lagi ciuman selamat di pipi yang selalu mencecarnya.

Zeze tertawa tanpa suara mengingat itu semua. Tanpa sadar, kakinya telah melangkah di lorong lantai empat. Kelasnya berada di paling ujung, karena itulah tidak terlalu berisik oleh orang yang berlalu-lalang. Berita itu belum sampai atas sini karena baru berjalan 15 menit setelahnya.

Zeze melangkahkan kakinya ke dalam. Tidak banyak yang memperhatikan kehadirannya kali ini. Mungkin mereka sudah mulai terbiasa dengan visualnya.

Kursi yang semula ditendangnya masih kosong. Melihatnya membuat Zeze berdecak sebal. Mood-nya langsung jatuh lagi.

Namun hal lain malah muncul di atas mejanya. Ia tahu apa itu. Kejadian sebelumnya juga berkaitan dengan itu.

Setelah memperbaiki posisi kursi Glen, Zeze duduk di kursinya sendiri dan memilih memandangi Thai tea berwarna coklat di atas mejanya. Di dekatnya terdapat sedotan yang masih belum dibuka.

Telunjuknya menyusuri tetesan air yang mengalir di luar gelas itu. Zeze tidak ingin tahu dan tidak akan mencari tahu siapa yang menaruhnya di sini. Selama beberapa menit, ia hanya mematung sembari menikmati minuman itu.

Bel masuk pun berbunyi, membuat murid-murid yang ada di luar kelas berhamburan masuk. Bahkan setelah semua kursi telah terisi, kursi di sebelahnya masih tetap kosong.

Matanya terus memandang ke arah pintu masuk, menanti si pemilik kursi tersebut. Namun yang didapatinya hanya guru biologi, Madam Viologos yang berjalan memasuki kelas dengan suara high heels-nya yang menggema.

'Ke mana dia?'

Zeze menopang pelipisnya dengan telapak tangan dan sesekali memijit pangkal hidungnya.

Kenapa orang itu selalu membuatnya kacau? Tapi anehnya, ia sama sekali tidak membencinya. Ataukah ia membencinya? Tiba-tiba ia teringat perkataan Obi.

"Cinta dan benci adalah dua sisi dalam satu koin. Kau akan kaget bagaimana koin itu berputar mempermainkanmu."

Jika memang benar, maka tidak ada orang yang paling dicintainya sekaligus dibencinya selain dia.

Bahkan setelah pelajaran terakhir usai pun, dia belum juga muncul. Murid-murid yang lainnya telah meninggalkan Zeze sendirian di kelas. Zeze merasa aneh, karena tak ada lagi Glen di sampingnya. Kini ia sendirian. Benar-benar sendirian. Biasanya ia akan memiliki bonus waktu mengobrol dengannya ketika pulang sekolah.

Ia memilih membereskan alat tulis yang masih berserakan di atas meja Glen lalu memasukkannya ke dalam ransel hitamnya. Tak lupa juga brush pen sialan itu.

Membawa ransel Glen bukanlah pilihan yang bagus, bisa-bisa ia ketahuan. Akhirnya ia memutuskan untuk menaruh ransel itu di kolong meja seperti semula.

Glen terus menggerayangi pikirannya bahkan setelah ia sampai di parkiran. Perkataan dua orang gadis yang tengah mengapitnya pun tak ada yang menyangkut di telinganya.

Saat sedang mengedarkan pandangan, matanya menangkap visual seorang lelaki bertopi yang duduk dengan satu kaki ditekuk di atas kap mobil berwarna merah.

Dia tidak sendirian, orang-orang dapat melihat bahwa dia bergerombol. Gerombolan itu setidaknya berjumlah 12 orang. Orang-orang yang berlalu-lalang sama sekali tidak ada yang berani mendekat. Bahkan tidak ada yang memarkirkan mobil di sekitar mereka.

Siapa pun dapat melihat siapa pemimpinnya. Ya itu dia, lelaki bertopi yang duduk di atas kap mobil.

Dia juga balas menatap Zeze. Dua pasang mata beriris biru itu saling beradu.

Juni yang menyaksikan pertemuan mata itu langsung murung. Tangannya yang semula merangkul Zeze langsung ia turunkan.

Rhea yang juga melihat lelaki bertopi tersebut langsung menyenggol bahu Juni. "Lihat, itu Kai!" Katanya, tersenyum cerah.

Tanpa menghiraukannya, Juni malah memilih berjalan dengan kepala tertunduk.

Bahkan setelah sampai di dalam mobil pun, Juni masih teguh membisu, sehingga membuat Rhea yang sedang menyetir di sebelah kirinya melirik heran. "Kau ini kenapa?" Tanyanya.

Juni hanya menggeleng. Ia beralih memainkan kukunya yang telah dipoles kuteks berwarna merah.

Tingkah absurdnya itu membuat Rhea menaikkan sebelah alisnya. Kemudian, Rhea beralih melihat Zeze lewat spion di atasnya. Gadis itu terlihat sedang memainkan ponselnya di kursi belakang.

Tak ada yang berbicara selama perjalanan, yang mana makin membuat Rhea terheran-heran. Biasanya jika mereka sedang berkumpul, berbagai macam lelucon lolos dari mulut mereka. Tapi kali ini tidak. Jangankan lelucon, sepatah kata pun tak terdengar.

Meski tidak ada apa pun di hadapannya, Rhea membunyikan klakson. Suaranya sukses membuat kedua orang itu mengangkat wajah.

"Ada apa denganmu?" Alis Juni bertaut ketika ia bertanya.

"Harusnya itu pertanyaanku. Kalian ini kenapa?" Jarang sekali Rhea meninggikan nada bicaranya seperti itu.

"Ada seseorang yang membuatku kesal," gumam Zeze dari belakang.

Rhea memutar bola matanya, "kalau itu aku tahu. Kau akan diam jika sedang marah." Ia menghela napas lalu memutar stir ke kanan, "yang jadi permasalahan di sini adalah kau, Juni. Ada apa denganmu? Bahkan saat ada Kai, kau tidak menatapnya sama sekali."

Bibir Juni mengerucut ketika ia menjawab murung, "untuk apa aku menatap Kai jika dia telah lebih dulu menatap Zeze."

Alis Rhea terangkat mendengarnya. "Ada apa denganmu?"

Juni mendengus keras dan membuang muka ke arah jendela. "Seharusnya aku tahu Kai tidak akan pernah melihatku. Dia menyukai Zeze."

'Hah!?'

Tiba-tiba gelak tawa memenuhi mobil. Siapa lagi kalau bukan Zeze yang membuatnya.

"Dasar aneh," ucapnya setelah tawanya reda. "Idiot," lanjutnya lagi, mendengus geli.

Kata terakhir itu sukses membuat Juni menoleh ke belakang dengan dahi mengernyit.

"Aku kira tentang masalah apa. Ternyata hanya hal seperti ini? Kau tidak seperti Juni yang kukenal." Zeze kembali mendengus geli, seakan kalimat yang sebelumnya ia dengar adalah hal paling konyol dan tidak masuk akal yang pernah terucap di dunia ini.

Rhea mengangguk. "Dia benar. Kau aneh."

Juni melototi dua orang itu bergantian dengan mata tajamnya. Setelah lelah sendiri, ia memilih memperhatikan jalanan dengan perasaan sebal.

Rhea menurunkan Zeze di jalanan tak jauh dari Istana Timur. Setelahnya, ia pun kembali menancap gas untuk mengantar Juni pulang.

Zeze benar-benar sedang dalam suasana hati yang buruk saat ini. Ia bahkan langsung tidur di sofa ruang tamu lantai satu tanpa menyentuh makanannya.

Sementara itu, masih di lantai satu, tiga remaja sedang menyantap makanan yang tersaji di sebuah meja makan panjang bernuansa coklat. Mereka adalah Driko, Volta dan Luna, yang sudah berganti dengan pakaian rumahan masing-masing.

"Aku tidak menyangka Kion akan meminta hal seperti itu," ujar Driko sambil memotong steak-nya.

"Benar, tidak ada yang sangka Pangeran akan meminta dibelikan Thai tea," balas Volta di hadapannya.

"Aku sudah sangat gelisah saat Pangeran Kion menanggapi obrolan kalian. Tapi nyatanya..." Luna yang duduk di sebelah kiri Volta ikut menimpali.

"Kira-kira apakah Thai tea itu diminum olehnya?" Tanya Volta.

"Menurut kalian, bagaimana Putri itu?" Driko malah balik bertanya.

Volta memiringkan kepala sambil melihat ke atas. "Entah kenapa, dia sedikit mirip dengan Pangeran," jawabnya kemudian.

"Tentu saja dia mirip, Pangeran Kion itu kakak sepupunya," sergah Luna.

"Bukan begitu! Aku merasakan aura mereka berdua mirip. Ah! Entahlah bagaimana aku harus menjelaskannya. Aku sangat kaget begitu mengetahui bahwa Yang Mulia Putri Vourtsa memiliki seorang anak."

"Begitu kah? Sebenarnya aku sudah menduganya, tapi tidak pernah menyangka dia itu adalah tunangan Kion."

"Apa? Kau sudah tahu sejak awal?" Desak Volta dengan mulut penuh steak.

"Kau lupa ayahku adalah salah satu Duke yang dekat sekali dengan keluarga kerajaan? Tentu saja aku tahu. Ya, walaupun tidak aneh jika sesama keluarga kerajaan bertunangan untuk tetap mempertahankan keturunan mereka."

Volta menghela napas dan bergumam, "berita tentang larinya Putri Vourtsa 18 tahun lalu saja sudah membuat seisi negara gempar, bagaimana jika mereka tahu bahwa anaknya ada di sini?"

"Hmm... entahlah. Tapi kita tidak dapat berbuat apa pun untuk ikut campur dalam masalah mereka. Kau tahu kan, singa hanya akan menyerang singa. Kucing seperti kita tidak perlu ikut campur."

"Maksudmu singa itu..."

Driko mengangguk, "anggota kerajaan lain. Hanya mereka yang dapat mengganggunya."

"Kalau menurutku, dia kurang baik untuk Pangeran." Pernyataan Luna barusan sukses membuat kedua orang di dekatnya meletakan alat makan masing-masing.

"Luna..." mata Driko serta-merta memicing.

"Aku tahu!" Sergah Luna, tercipta kerutan yang dalam di ruang antara kedua alisnya. "Selama ini aku terlalu percaya diri berpikir bahwa akulah satu-satunya yang cocok untuk menjadi pendampingnya. Walaupun suatu saat aku kalah, aku akan menerimanya selama orang itu cukup baik untuk Pangeran, tapi..."

Luna menarik napas dengan alis berkedut-kedut. "...dia sama sekali tidak cocok untuknya!"

Mereka berdua hanya bisa terdiam melihat Luna. Mereka tahu dan paham Luna tengah dilanda patah hati yang cukup dalam.

Mereka tahu sejak kecil Luna telah disiapkan oleh Marquess Vierhent untuk menjadi pendamping Kion. Mereka tahu bagaimana perjuangan Luna. Bagaimana gadis berambut pirang itu selalu belajar sampai muntah-muntah untuk selalu menjadi posisi pertama di kelasnya.

Bagaimana ia dijadikan boneka serba bisa oleh orang tuanya.

Namun usahanya kini mengkhianati hasil.

Tidak, mungkin lebih tepatnya, hasil tersebut tidak pernah ada.

Pundaknya yang bergerak naik-turun diusap lembut oleh seseorang. Ia menoleh dan menerima senyum menenangkan dari Volta.

Kini air mata lolos dari sudut matanya. Seberapa pun kuatnya seseorang, jika sendirian pasti sulit.

Ia menangis. Menangisi semuanya. Masa lalunya, masa depannya.

Masa depan yang tak pernah ada.

========

Mata birunya terbuka setelah bunyi guntur mengacaukan tidurnya.

Ia terduduk dan mengerjap beberapa kali. Pandangannya menyapu sekitar. Tidak ada orang kecuali dirinya. Memang seharusnya begitu, karena ia selalu melarang siapa pun masuk ke sini, ke ruang tamu lantai satu.

Zeze membuka jaket denimnya yang masih berbau jeruk itu. Rambutnya pun sama baunya, dan tentu saja lengket. Bagaimana tidak, ia tidak membersihkan dirinya walaupun sekedar mencuci muka saat di sekolah.

'Sial.'

Bahkan baru bangun pun yang terlintas di otaknya langsung dia.

Zeze menggigit bibir bawahnya. Kenapa ia tiba-tiba merasa khawatir? Apa yang perlu dikhawatirkan? 'Dia itu hebat, dia pasti bisa...'

Namun kejadian dua hari lalu langsung membungkamnya.

'Mengapa dia itu bodoh sekali!?'

Zeze terkekeh geli, menertawakan dirinya sendiri. 'Ah sudahlah...'

Ia kalah lagi.

Bangkit, Zeze berjalan menuju kamarnya—atau lebih tepat disebut lemari bajunya—karena ia tidak pernah benar-benar menggunakan kamar itu.

Digantilah pakaiannya dengan kemeja hijau gelap berlengan pendek yang kancingnya dibiarkan terbuka, memperlihatkan kaus hitam polos di dalamnya. Cuaca memang dingin, tapi tidak begitu. Karena itulah ia memilih mengenakan ripped jeans agar kakinya mudah bergerak.

Kemudian ia berjalan ke arah balkon kamarnya. Ternyata sudah larut. Hujan belum turun, namun sudah terdengar bunyi guntur.

Zeze berdiri di atas tembok pembatas balkon. Tidak ada kesulitan baginya. Bahkan ia baik-baik saja ketika melihat ke bawah kakinya—melihat betapa jauhnya jarak tanah berumput itu darinya. Hidupnya telah terbiasa dengan ketinggian.

Zeze memanjat dinding dan sampai di atap mansion megah itu. Mengendap-endap bukanlah kesulitan baginya. Tak lama kemudian, telapak kakinya yang dibalut sepatu sneaker berwarna putih akhirnya menapaki trotoar di pinggir jalan.

Pertama kali yang harus ia kunjungi adalah akademi itu, dan tentu saja masih dengan mengendap-endap.

Setelah sampai di sana, ia langsung pergi ke ruang CCTV. Tidak perlu ditanya apa yang dilakukannya, tentu saja menghapus bukti-bukti keberadaannya. Walaupun sudah berulang kali mengutak-atik rekaman itu, Zeze masih tidak dapat menemukan Glen. Ia ragu, namun di saat yang sama percaya pada instingnya, bahwa Glen ada di sini.

Tak ingin buang waktu, ia lanjut menuju ruang kelasnya. kepalanya menyembul melewati jendela yang telah dibukanya. Gelap.

Ketika ia mengangkat telunjuknya, sebagian aura yang membawa panas tubuhnya mulai berkumpul di ujungnya, membentuk perwujudan dari dýnami-nya, yaitu api berwarna merah terang. Dengan api itu, ia bisa melihat bahwa ransel Glen masih ada di sana, di kolong meja.

Melihat ini, Zeze berdecak, 'dia memang benar-benar bodoh!' Ini benar-benar merusak suasana hatinya.

Tanpa memadamkan apinya, kakinya menyusuri setiap sudut akademi yang telah ia hafal ini. Tentu saja, karena sebelumnya ia juga melakukan hal ini untuk mencari Glen yang ternyata adalah teman sebangkunya sendiri.

Di sinilah kebolehannya sebagai seeker Énkavma diperlukan. Petunjuk demi petunjuk didapatkannya. Ia berhenti di depan pintu gudang lantai tiga. Jika dugaannya benar, maka seharusnya Glen ada di sana. Tanpa ragu, Zeze menendang pintu itu sampai terbuka.

Benar. Dia ada di sana. Duduk bersandar di tumpukan kardus yang menggunung dengan kedua kaki terulur ke depan.

'Ck, idiot.'

Zeze mendekat. Semakin ia mendekat, semakin leluasa cahaya apinya menerangi ruangan luas yang sesak dengan banyak barang itu.

Dan ia melihat wajahnya yang terpejam—wajah yang telah babak belur itu. Bahkan seragamnya yang berantakan telah ternodai dengan bercak darah di beberapa titik.

Zeze berjongkok di samping kirinya. Dengan perlahan, jarinya menyingkap rambut hitam yang menutupi mata Glen yang terpejam.

Zeze menatap sendu wajah itu. Bagaimana bisa dia seperti ini?

Ekor matanya menangkap kacamata yang semula diberikannya. Benda itu tergenggam erat di tangan kanan Glen. Ia mencoba menggapainya, namun tangan itu malah bergerak menjauh.

"Jangan mengambil kembali apa pun yang pernah kau berikan."
RECENTLY UPDATES