10 ORANGE DYNAMI
"Setiap orang memiliki aura masing-masing di dalam diri mereka. Kalian pasti sudah tahu apa definisi dari aura bukan?"
Murid-murid di hadapannya mengangguk.
"Lalu... apakah aura itu, Mr. Vrenof?" Mata sayu Mrs. Kardiá mengarah pada murid yang duduk di pojok kirinya, berhadapan dengan pintu.
Murid itu berdeham sebelum menjawab, "aura adalah 'pancaran energi' yang mengelilingi dan dihasilkan oleh seseorang, benda, atau tempat. Berbentuk radiasi warna halus yang biasanya mengelilingi makhluk hidup," jelasnya.
Mrs. Kardiá mengangguk sambil tersenyum. "Yup! Benar sekali. Tentunya kalian telah mempelajari ilmu sinar tubuh di tahun pertama. Sekarang Miss Ypéro, coba baca buku halaman 13."
Gadis berambut coklat yang dikuncir dua itu mengangguk lalu mengambil napas, "secara teori, aura merupakan suatu aliran listrik yang hidup secara psikis.
"W.E Butler, seorang sarjana spesialis ahli sinar tubuh dalam penelitian ilmu fisika telah memberikan satu batasan pengertian tentang aura. Beliau menjelaskan bahwa aura itu sebagai inti sari yang tidak kelihatan atau sebagai aliran yang keluar dari tubuh makhluk hidup, atau bahkan dari benda mati.
"Menurut ilmuwan yang lainnya, Willem Hogendoorn, mengatakan bahwa aura merupakan bentuk sinar yang mengelilingi tubuh manusia, hewan, tanaman tetapi juga ditemukan pada materi benda-benda mati.
"Seorang ahli terapi warna yang bernama Erwin, berpendapat bahwa aura adalah 'sinar kehidupan' yang melingkupi tubuh pada setiap manusia, yang akan mempengaruhi kondisi fisik tubuh manusia tersebut.
"Dari penuturan ketiga ahli di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa aura adalah suatu medan magnet elektromagnetik yang mengelilingi seluruh tubuh mahluk hidup dan benda mati," tutupnya.
"Di abad ke-22 ini," Mrs. Kardiá mulai berjalan ke belakang kelas dengan tangan bertaut di belakang pinggang, "dunia telah mengalami kemajuan pesat. Hal-hal yang tadinya tidak kita ketahui sebelumnya, perlahan-lahan mulai terungkap."
"Apakah kalian pernah dengar tentang telekinesis?" Mrs. Kardiá menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap papan tulis, membelakangi seisi kelas. "Apa itu telekinesis, Mr. Tyga?" Ia bertanya pada seorang siswa yang duduk di depan meja guru.
"Memindahkan benda tanpa menyentuhnya," jawabnya.
Mrs. Kardiá mengangguk. "Itu pun juga ada sangkut pautnya dengan energi dalam tubuh kita. Saat seseorang mencapai konsentrasi tertingginya, ia bahkan bisa menyatukan auranya dengan aura benda mati. Dan apakah kalian tahu apa yang akan terjadi?"
"Benda mati itu menjadi 'bagian' dari dirinya," ucap Mr. Tyga.
"Benar!" Mrs. Kardiá kembali berbalik dan berjalan ke belakang kelas. "Inilah yang biasa orang sebut dengan kekuatan pikiran.
"Namun, selain dengan benda mati, aura seseorang juga bisa saling terikat dengan aura orang lain. Contohnya, jika dua orang atau lebih telah lama saling kenal, mereka sekilas akan terlihat mirip satu sama lain. Entah itu dari tingkah lakunya, gaya bicaranya, gaya berpakaiannya, itu semua terjadi karena adanya keterikatan jiwa yang kuat antar satu sama lain. Inilah yang biasa disebut 'kemistri'.
"Apakah kalian pernah merasa minder atau terintimidasi oleh kehadiran seseorang? Itu pun juga pengaruh aura. Aura orang itu terlalu kuat dan akhirnya menekan aura kita sendiri yang menyebabkan mental kita jatuh, tak percaya diri.
"Dan itu berarti, selain dapat disatukan, aura juga dapat saling tolak menolak."
Mrs. Kardiá menghentikan langkahnya. "Saat kita sedang marah, udara di sekitar kita tiba-tiba panas dan sesak. Aura kita menyatu dengan alam di sekitar, terbawa oleh emosi kita....
"Apakah kalian tahu bahwa 'energi itu' juga dapat membentuk sesuatu? Sebagai contoh, saat buntut cicak terpotong, itu akan tumbuh kembali dengan meregenerasi sel-selnya. Atau saat kita terluka, trombosit dengan cepat membekukan darah kita....
"Sekarang pertanyaannya, apakah kita bisa mengendalikan energi itu sesuai keinginan kita?
"Pada tahun pertama, kalian telah diajarkan cara mengontrol energi kalian dalam beladiri dan menggunakan senjata. Seperti mengerahkan sejumlah energi ke suatu titik di tubuh kita agar titik itu lebih kuat dari bagian tubuh kita yang lain. Energi itu memiliki nama yaitu..."
"Dýnami." Zeze berkata lirih di balik jarinya yang menutupi bibirnya. Sikunya berada di atas meja dengan telapak tangannya menopang dagu.
Partisipasinya tadi sukses mengundang mata Glen untuk meliriknya. Tidak biasanya gadis itu meladeni hal-hal semacam ini. Namun rupanya topik ini cukup menarik perhatiannya.
Glen tidak ingin larut terlalu jauh dan kembali menjatuhkan pandangannya ke brush pen hitam yang kini tengah ia putar-putar di antara jemarinya.
Akhirnya Mrs. Kardiá memilih berhenti dari jalan mondar-mandirnya dan beralih duduk. "Di tahun kedua ini, kalian akan diajarkan lebih dalam tentang dýnami. Tentu saja yang berkaitan dengan beladiri dan pertarungan senjata."
Wanita yang rambutnya dikuncir satu itu mulai membereskan mejanya. "Untuk yang satu itu akan diajarkan oleh guru memanah dan berpedang kalian masing-masing," tutupnya. Ia meninggalkan kelas tepat saat bel istirahat berbunyi.
Murid-murid pun berhamburan keluar. Tapi seperti biasa, dua orang ini selalu terlihat santai di bangku masing-masing. Seakan bunyi bel itu tak pernah terjadi.
Zeze merogoh saku roknya dan mengeluarkan kacamata berbingkai hitam yang terlihat baru, kemudian meletakkannya di kolong meja Glen.
"Typhon 326," ucapnya lirih.
Glen tidak menoleh. Tangannya terulur dan mengambil kacamata itu. Sesaat ia hanya memutar-mutar kacamata dengan gagang terukir tulisan 'Typhon 326' tersebut di atas pahanya.
Beginilah mereka setiap saat. Zeze berbicara, Glen diam. Zeze diam, Glen pun masih betah dengan diamnya. Bahkan saat ingin berinteraksi pun, Zeze harus mengeluarkan suara terpelannya dan wajah senormal mungkin agar tidak terlalu mencolok.
"Kau tahu, ini susah sekali," keluh Zeze, masih dengan suara lirihnya.
Glen masih tetap diam. Kini kacamata itu telah membingkai mata tenangnya yang selalu terlihat bosan.
"Jika mereka telah tahu siapa diriku, akan sangat sulit untuk berbicara denganmu. Bahkan mungkin akan sulit untuk berada di dekatmu."
"Kalau begitu menjauhlah," balas Glen di balik batuknya.
Seperti yang diduganya. Seharusnya tadi ia memilih diam dan tak pernah menyuarakan keluhannya. Zeze memutar bola matanya. Dan saat ia melakukannya, tiba-tiba sudut matanya menangkap sebuah brush pen hitam di dekat kaki kanannya.
Ia menunduk, mencoba meraih brush pen itu. Setelah mendapatkannya, ia kembali menegakkan punggung dan bersandar.
Dengan mata menyipit, diamatinya benda asing yang tengah ia jepit di antara telunjuk dan jempolnya ini. Mendadak ia dilanda kebingungan. Kenapa ia mengambilnya? Kenapa ia baru sadar bahwa ia ingin sekali melihat brush pen itu?
Matanya kini menatap kosong ke depan. Kebingungan, itulah yang dapat mewakili tatapannya. Zeze merasa seolah nyawanya tak lagi tersambung dengan raganya. Tanpa sadar, brush pen tersebut lolos dari tangannya dan menggelinding ke bawah kursi Glen.
Matanya mengikuti benda itu. Namun sedetik kemudian, ia tersentak dan menoleh ke sana-sini dengan panik.
'...sejak kapan?'
Kursi di sebelahnya telah kosong.
Zeze bersandar kembali lalu tertawa hambar. Ia kena lagi!
Frustrasi, ia mengacak-acak rambutnya. Namun tetap saja, rambut lembut itu jatuh kembali seperti habis disisir. Ia memutuskan berdiri dan mengganti tawanya dengan senyuman. Namun siapa pun dapat melihat itu bukanlah sebuah senyum kebahagiaan. Senyum itu tak menyentuh matanya yang menatap sayu tanpa tujuan.
Getaran ponselnya membuat ekspresinya kembali normal. Mengambilnya dari saku roknya, Zeze mendapati nama Juni di sana. Panggilan itu tidak diangkatnya, karena ia sudah tahu apa yang gadis itu inginkan. Sebelumnya Juni telah menyuruhnya untuk ke kantin indoor lantai satu.
Untuk melampiaskan kesalnya, ia tendang kursi kosong di sampingnya ini. Walaupun pelan dan hampir tidak mengeluarkan tenaga, kursi tersebut terdorong dan mengeluarkan bunyi gesekan cukup berisik, membuat murid yang masih tersisa di dalam kelas serentak menoleh ke arahnya.
Zeze memilih mengabaikan mereka dan berjalan keluar kelas. Dalam perjalanan, Zeze masih saja larut dalam kekesalannya. Tapi hal itu justru membuatnya terlihat lucu, bahkan sampai membuat Rhea tak tahan lagi dan berakhir menggodanya.
"Lihat adik kecil kita ini. Sepertinya ada yang sedang kesal?" Rhea merangkul Zeze yang telah duduk di sebelah kirinya sambil menghisap Thai tea chocolate caramel.
"Kenapa wajahmu?" Tanya Juni di hadapannya sembari menggulung spaghetti dengan garpu. Rambut hitamnya telah lurus seperti sedia kala. Mungkin efek salonnya telah habis.
Zeze menyingkirkan tangan Rhea dari punggungnya. Tanpa sepatah kata pun, ia memilih menidurkan kepalanya di atas tangannya yang terlipat.
Melihat tingkah aneh Zeze, kedua orang itu bertukar pandang. Tapi mereka memilih mengabaikannya dan lanjut menikmati hidangan masing-masing.
"Jangan lupa nanti malam pukul 8, Ze." Juni mengingatkan, walau ia tahu Zeze tidak akan merespons.
Kepala Zeze terangkat dengan dagu yang masih menempel di meja. Ujung telunjuknya menelusuri tetesan air yang mengalir di luar gelas Thai tea-nya.
Tangannya basah. Namun bukan hanya itu, ia merasakan kepalanya juga basah.
Juni dan Rhea sontak menghentikan makan mereka dan memandang seorang gadis yang menjulang angkuh di belakang Zeze.
Dengan santainya, gadis itu mengguyur Zeze dengan orange juice.
Cairan berwarna oranye itu mengalir ke rambut Zeze, mengenai lengan dan sampai ke bajunya. Tak hanya itu, es batu pun menggelinding dari puncak kepala sampai ke depan wajahnya.
Mata Zeze terpejam, menyelami dinginnya cairan itu membelai wajahnya. Ia dapat merasakan mata semua orang memandangnya. Ya semua orang, kecuali dia. Memikirkannya saja sudah membuat Zeze mendengus sebal.
Gadis itu tertawa bersama dengan dayang-dayangnya. "Rasakan itu, Bitch." Kemudian ia berganti menantang Juni dan Rhea dengan tatapannya, menunggu bagaimana reaksi kedua pecundang itu.
Garpu Juni lolos dari tangannya.
Bunyi gebrakan meja berulang kali terdengar.
Gadis itu lantas kaget dengan mulut menganga. Namun bukanlah gebrakan meja itu yang menyebabkan mulutnya terbuka lebar.
Juni, dia... tertawa.
Juni tertawa terbahak-bahak sampai menggebrak-gebrak meja tanpa terkontrol.
Bukan hanya gadis itu yang melongo, tetapi seisi kantin yang sejak tadi menyaksikan pun sama. Reaksi itu sama sekali di luar ekspektasi mereka.
Sama halnya dengan Juni, Rhea juga tergelak sambil memegangi perutnya. Air matanya sampai menggenang di pelupuk mata karena tak kuasa menahan tawa.
Apa mereka gila? Dia baru saja menyiram temannya dengan orange juice!
Juni memukul-mukul meja untuk meredakan tawanya. "Ini sejarah!" Ujarnya, takjub. Hanya orang bodoh yang tidak dapat melihat binar di sepasang mata hitamnya.
Wajah Juni berseri-seri, "kau terbaik! Ini pertama kalinya aku melihat orang melakukan hal seperti ini kepadanya! Yang lainnya harus melihat ini!"
Rhea mengangguk-angguk setuju dengan senyum mengembang.
"Hebat! Ini adalah hal terhebat yang pernah kulihat! Luar biasa! Oh Tuhan, ini adalah berkah!" Tawa Juni kembali menggelegar.
'Mereka gila,' pikir gadis itu dengan dahi mengernyit.
Rhea bertepuk tangan. Dengan ponselnya, ia mengambil gambar Zeze—yang masih terpejam—dari samping.
Tak jauh dari meja mereka, dua dari segerombolan siswa dengan seragam berantakan, menutupi mulut untuk menahan tawa.
Melihat hal itu, seorang lelaki berambut pirang dan bertopi yang duduk di ujung meja mendelik penuh peringatan ke arah keduanya.
"Oh, ayolah, Kai! Kapan lagi kita dapat melihat Zeze mengalami hal langka seperti itu!" Protes salah satunya yang memiliki banyak tindikan di telinga. Perangainya sangar dan memiliki rambut hitam panjang berantakan yang dibiarkan menutupi tengkuknya.
"Adik kesayangan," goda yang lain. Kali ini penampilannya lebih rapi. Rambut hitamnya lurus dan terawat. Ia tidak memiliki tindikan seperti orang di sebelah kanannya.
Keduanya berbicara lirih agar percakapan tersebut hanya dapat didengar oleh mereka bertiga.
Lelaki bertopi yang dipanggil Kai itu memilih mengabaikan mereka dan mengamati punggung Zeze yang mulai bergerak dari kejauhan.
Zeze menegakkan punggungnya dan bersandar ke kepala kursi, masih dengan matanya yang terpejam. Ia dapat mendengar dengan jelas kedua orang itu masih tetap menertawakannya.
Juni meminta ponsel dari Rhea dan memotret Zeze dari depan. Dengan membabi-buta, ia menekan tombol capture, hingga mungkin telah terlahir puluhan foto Zeze di sana.
"Mimpi apa kau semalam, Ze? Ini benar-benar sebuah keajaiban." Sambil terkekeh, Rhea menyingkap poni yang menutupi mata Zeze yang terpejam.
Beberapa saat kemudian, mata biru Zeze terbuka seutuhnya. Ia mengulurkan tangan, mengambil Thai tea-nya yang tinggal setengah gelas. Alih-alih diminum, ia hanya memperhatikannya di depan wajah, seolah sedang menilai.
"Kau melakukan kesalahan."
Tidak salah lagi, gadis di belakangnya ini mendengar gumamannya barusan. Matanya memicing, namun sesaat kemudian ia tersenyum licik. Apakah Zeze sudah terpancing?
"Apa sudah kau kirim ke group chat?" Tanya Rhea memastikan.
Dengan senyum lebarnya, Juni mengangguk sambil tetap menarikan jemarinya di ponsel Rhea.
Tiba-tiba Zeze bangkit berdiri dengan gelas Thai tea di dalam genggamannya. Melihat hal itu, seisi kantin kini membuka mata dan telinga mereka lebar-lebar.
Zeze berbalik dan berhadapan dengan si pelaku penyiraman. Untuk beberapa detik, mata mereka saling menjerat.
Gadis itu melipat tangannya di depan dada dan menatap Zeze dengan angkuh, berbanding terbalik dengan Zeze yang menatapnya tanpa minat dan ekspresi yang berarti. Dia secara terang-terangan menantang Zeze, tapi karena Zeze jauh lebih tinggi darinya, dia harus sedikit mendongak agar bisa mencapai mata birunya.
Saat Zeze mulai membuka tutup Thai tea-nya, dia bertanya-tanya apakah Zeze akan melakukan hal yang sama terhadapnya? Gadis pirang itu tersenyum sinis dan melirik kawanannya yang berjumlah sekitar 5 orang itu. Mereka sudah sangat siap akan melawan Zeze.
Namun di luar dugaan, Zeze malah mendongak dan menenggak habis minuman itu.
Mereka saling bertukar pandang dengan satu pertanyaan: bukannya dia ingin membalas?
Tanpa aba-aba, semburan air menerpa wajah bermake up-nya. Cukup lama hingga dia harus membungkus matanya, menunggu air itu sampai berhenti.
Setelah memastikan tidak ada air lagi yang menerpa wajahnya, dia memberanikan diri membuka mata, mempelajari apa yang baru saja menimpanya.
Dan hal pertama yang dilihatnya adalah Zeze yang mengelap mulutnya dengan lengan jaketnya. Saat itulah dia menyadari apa yang barusan terjadi. Zeze menyemburnya!
"Sayang sekali. Padahal itu rasa terakhir." Zeze berkata murung dengan nada menyesal yang pastinya dibuat-buat.
Mereka hanya bisa mematung di tempat. Bahkan masih begitu walau suara sorak-sorakan telah menggelegar riuh ke seluruh kantin.
Tangan Zeze menepuk pundaknya. Gerakan itu membuatnya tersentak dan berhasil mengembalikannya kepada kenyataan.
Zeze menjilat bibir atasnya. "Tapi tidak masalah, masih ada rasa lain," lanjutnya, menyeringai seraya mengedipkan sebelah matanya.
Kemudian Zeze berlalu ke tempat sampah terdekat dan membuang gelas kosongnya, meninggalkan gadis itu yang kembali mematung di tempat.
"Ke mana Zeze?" Tanya Juni, melihat ke sana ke mari. Karena terlalu asyik berkutat di ponselnya, ia sampai tidak menyadari kejadian luar biasa tadi.
Rhea mengangkat bahu, "mungkin membeli Thai tea rasa lain."
Juni mengangguk-angguk kemudian memandang gadis yang masih mematung itu. "Vela, kerja yang bagus," Juni mengedip penuh arti.
Mendengarnya, Vela mengerjap cepat dengan mulut yang menganga. Sekarang ia yakin bahwa mereka ini sepenuhnya gila.
Saat Zeze melewati meja ketujuh orang populer itu, matanya beradu dengan mata hazel Kion. Namun untuk pertama kalinya, Kion-lah yang membuang muka. Laki-laki itu memilih menunduk ke arah buku di tangannya.
Zeze juga tidak ingin ambil pusing dan memilih melanjutkan tujuannya. Ia memesan rasa green tea original tanpa meminta kembalian.
Sayang sekali.
Ya, sangat disayangkan.
Ia sangat menyukai 'rasa' terakhir itu.
Murid-murid di hadapannya mengangguk.
"Lalu... apakah aura itu, Mr. Vrenof?" Mata sayu Mrs. Kardiá mengarah pada murid yang duduk di pojok kirinya, berhadapan dengan pintu.
Murid itu berdeham sebelum menjawab, "aura adalah 'pancaran energi' yang mengelilingi dan dihasilkan oleh seseorang, benda, atau tempat. Berbentuk radiasi warna halus yang biasanya mengelilingi makhluk hidup," jelasnya.
Mrs. Kardiá mengangguk sambil tersenyum. "Yup! Benar sekali. Tentunya kalian telah mempelajari ilmu sinar tubuh di tahun pertama. Sekarang Miss Ypéro, coba baca buku halaman 13."
Gadis berambut coklat yang dikuncir dua itu mengangguk lalu mengambil napas, "secara teori, aura merupakan suatu aliran listrik yang hidup secara psikis.
"W.E Butler, seorang sarjana spesialis ahli sinar tubuh dalam penelitian ilmu fisika telah memberikan satu batasan pengertian tentang aura. Beliau menjelaskan bahwa aura itu sebagai inti sari yang tidak kelihatan atau sebagai aliran yang keluar dari tubuh makhluk hidup, atau bahkan dari benda mati.
"Menurut ilmuwan yang lainnya, Willem Hogendoorn, mengatakan bahwa aura merupakan bentuk sinar yang mengelilingi tubuh manusia, hewan, tanaman tetapi juga ditemukan pada materi benda-benda mati.
"Seorang ahli terapi warna yang bernama Erwin, berpendapat bahwa aura adalah 'sinar kehidupan' yang melingkupi tubuh pada setiap manusia, yang akan mempengaruhi kondisi fisik tubuh manusia tersebut.
"Dari penuturan ketiga ahli di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa aura adalah suatu medan magnet elektromagnetik yang mengelilingi seluruh tubuh mahluk hidup dan benda mati," tutupnya.
"Di abad ke-22 ini," Mrs. Kardiá mulai berjalan ke belakang kelas dengan tangan bertaut di belakang pinggang, "dunia telah mengalami kemajuan pesat. Hal-hal yang tadinya tidak kita ketahui sebelumnya, perlahan-lahan mulai terungkap."
"Apakah kalian pernah dengar tentang telekinesis?" Mrs. Kardiá menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap papan tulis, membelakangi seisi kelas. "Apa itu telekinesis, Mr. Tyga?" Ia bertanya pada seorang siswa yang duduk di depan meja guru.
"Memindahkan benda tanpa menyentuhnya," jawabnya.
Mrs. Kardiá mengangguk. "Itu pun juga ada sangkut pautnya dengan energi dalam tubuh kita. Saat seseorang mencapai konsentrasi tertingginya, ia bahkan bisa menyatukan auranya dengan aura benda mati. Dan apakah kalian tahu apa yang akan terjadi?"
"Benda mati itu menjadi 'bagian' dari dirinya," ucap Mr. Tyga.
"Benar!" Mrs. Kardiá kembali berbalik dan berjalan ke belakang kelas. "Inilah yang biasa orang sebut dengan kekuatan pikiran.
"Namun, selain dengan benda mati, aura seseorang juga bisa saling terikat dengan aura orang lain. Contohnya, jika dua orang atau lebih telah lama saling kenal, mereka sekilas akan terlihat mirip satu sama lain. Entah itu dari tingkah lakunya, gaya bicaranya, gaya berpakaiannya, itu semua terjadi karena adanya keterikatan jiwa yang kuat antar satu sama lain. Inilah yang biasa disebut 'kemistri'.
"Apakah kalian pernah merasa minder atau terintimidasi oleh kehadiran seseorang? Itu pun juga pengaruh aura. Aura orang itu terlalu kuat dan akhirnya menekan aura kita sendiri yang menyebabkan mental kita jatuh, tak percaya diri.
"Dan itu berarti, selain dapat disatukan, aura juga dapat saling tolak menolak."
Mrs. Kardiá menghentikan langkahnya. "Saat kita sedang marah, udara di sekitar kita tiba-tiba panas dan sesak. Aura kita menyatu dengan alam di sekitar, terbawa oleh emosi kita....
"Apakah kalian tahu bahwa 'energi itu' juga dapat membentuk sesuatu? Sebagai contoh, saat buntut cicak terpotong, itu akan tumbuh kembali dengan meregenerasi sel-selnya. Atau saat kita terluka, trombosit dengan cepat membekukan darah kita....
"Sekarang pertanyaannya, apakah kita bisa mengendalikan energi itu sesuai keinginan kita?
"Pada tahun pertama, kalian telah diajarkan cara mengontrol energi kalian dalam beladiri dan menggunakan senjata. Seperti mengerahkan sejumlah energi ke suatu titik di tubuh kita agar titik itu lebih kuat dari bagian tubuh kita yang lain. Energi itu memiliki nama yaitu..."
"Dýnami." Zeze berkata lirih di balik jarinya yang menutupi bibirnya. Sikunya berada di atas meja dengan telapak tangannya menopang dagu.
Partisipasinya tadi sukses mengundang mata Glen untuk meliriknya. Tidak biasanya gadis itu meladeni hal-hal semacam ini. Namun rupanya topik ini cukup menarik perhatiannya.
Glen tidak ingin larut terlalu jauh dan kembali menjatuhkan pandangannya ke brush pen hitam yang kini tengah ia putar-putar di antara jemarinya.
Akhirnya Mrs. Kardiá memilih berhenti dari jalan mondar-mandirnya dan beralih duduk. "Di tahun kedua ini, kalian akan diajarkan lebih dalam tentang dýnami. Tentu saja yang berkaitan dengan beladiri dan pertarungan senjata."
Wanita yang rambutnya dikuncir satu itu mulai membereskan mejanya. "Untuk yang satu itu akan diajarkan oleh guru memanah dan berpedang kalian masing-masing," tutupnya. Ia meninggalkan kelas tepat saat bel istirahat berbunyi.
Murid-murid pun berhamburan keluar. Tapi seperti biasa, dua orang ini selalu terlihat santai di bangku masing-masing. Seakan bunyi bel itu tak pernah terjadi.
Zeze merogoh saku roknya dan mengeluarkan kacamata berbingkai hitam yang terlihat baru, kemudian meletakkannya di kolong meja Glen.
"Typhon 326," ucapnya lirih.
Glen tidak menoleh. Tangannya terulur dan mengambil kacamata itu. Sesaat ia hanya memutar-mutar kacamata dengan gagang terukir tulisan 'Typhon 326' tersebut di atas pahanya.
Beginilah mereka setiap saat. Zeze berbicara, Glen diam. Zeze diam, Glen pun masih betah dengan diamnya. Bahkan saat ingin berinteraksi pun, Zeze harus mengeluarkan suara terpelannya dan wajah senormal mungkin agar tidak terlalu mencolok.
"Kau tahu, ini susah sekali," keluh Zeze, masih dengan suara lirihnya.
Glen masih tetap diam. Kini kacamata itu telah membingkai mata tenangnya yang selalu terlihat bosan.
"Jika mereka telah tahu siapa diriku, akan sangat sulit untuk berbicara denganmu. Bahkan mungkin akan sulit untuk berada di dekatmu."
"Kalau begitu menjauhlah," balas Glen di balik batuknya.
Seperti yang diduganya. Seharusnya tadi ia memilih diam dan tak pernah menyuarakan keluhannya. Zeze memutar bola matanya. Dan saat ia melakukannya, tiba-tiba sudut matanya menangkap sebuah brush pen hitam di dekat kaki kanannya.
Ia menunduk, mencoba meraih brush pen itu. Setelah mendapatkannya, ia kembali menegakkan punggung dan bersandar.
Dengan mata menyipit, diamatinya benda asing yang tengah ia jepit di antara telunjuk dan jempolnya ini. Mendadak ia dilanda kebingungan. Kenapa ia mengambilnya? Kenapa ia baru sadar bahwa ia ingin sekali melihat brush pen itu?
Matanya kini menatap kosong ke depan. Kebingungan, itulah yang dapat mewakili tatapannya. Zeze merasa seolah nyawanya tak lagi tersambung dengan raganya. Tanpa sadar, brush pen tersebut lolos dari tangannya dan menggelinding ke bawah kursi Glen.
Matanya mengikuti benda itu. Namun sedetik kemudian, ia tersentak dan menoleh ke sana-sini dengan panik.
'...sejak kapan?'
Kursi di sebelahnya telah kosong.
Zeze bersandar kembali lalu tertawa hambar. Ia kena lagi!
Frustrasi, ia mengacak-acak rambutnya. Namun tetap saja, rambut lembut itu jatuh kembali seperti habis disisir. Ia memutuskan berdiri dan mengganti tawanya dengan senyuman. Namun siapa pun dapat melihat itu bukanlah sebuah senyum kebahagiaan. Senyum itu tak menyentuh matanya yang menatap sayu tanpa tujuan.
Getaran ponselnya membuat ekspresinya kembali normal. Mengambilnya dari saku roknya, Zeze mendapati nama Juni di sana. Panggilan itu tidak diangkatnya, karena ia sudah tahu apa yang gadis itu inginkan. Sebelumnya Juni telah menyuruhnya untuk ke kantin indoor lantai satu.
Untuk melampiaskan kesalnya, ia tendang kursi kosong di sampingnya ini. Walaupun pelan dan hampir tidak mengeluarkan tenaga, kursi tersebut terdorong dan mengeluarkan bunyi gesekan cukup berisik, membuat murid yang masih tersisa di dalam kelas serentak menoleh ke arahnya.
Zeze memilih mengabaikan mereka dan berjalan keluar kelas. Dalam perjalanan, Zeze masih saja larut dalam kekesalannya. Tapi hal itu justru membuatnya terlihat lucu, bahkan sampai membuat Rhea tak tahan lagi dan berakhir menggodanya.
"Lihat adik kecil kita ini. Sepertinya ada yang sedang kesal?" Rhea merangkul Zeze yang telah duduk di sebelah kirinya sambil menghisap Thai tea chocolate caramel.
"Kenapa wajahmu?" Tanya Juni di hadapannya sembari menggulung spaghetti dengan garpu. Rambut hitamnya telah lurus seperti sedia kala. Mungkin efek salonnya telah habis.
Zeze menyingkirkan tangan Rhea dari punggungnya. Tanpa sepatah kata pun, ia memilih menidurkan kepalanya di atas tangannya yang terlipat.
Melihat tingkah aneh Zeze, kedua orang itu bertukar pandang. Tapi mereka memilih mengabaikannya dan lanjut menikmati hidangan masing-masing.
"Jangan lupa nanti malam pukul 8, Ze." Juni mengingatkan, walau ia tahu Zeze tidak akan merespons.
Kepala Zeze terangkat dengan dagu yang masih menempel di meja. Ujung telunjuknya menelusuri tetesan air yang mengalir di luar gelas Thai tea-nya.
Tangannya basah. Namun bukan hanya itu, ia merasakan kepalanya juga basah.
Juni dan Rhea sontak menghentikan makan mereka dan memandang seorang gadis yang menjulang angkuh di belakang Zeze.
Dengan santainya, gadis itu mengguyur Zeze dengan orange juice.
Cairan berwarna oranye itu mengalir ke rambut Zeze, mengenai lengan dan sampai ke bajunya. Tak hanya itu, es batu pun menggelinding dari puncak kepala sampai ke depan wajahnya.
Mata Zeze terpejam, menyelami dinginnya cairan itu membelai wajahnya. Ia dapat merasakan mata semua orang memandangnya. Ya semua orang, kecuali dia. Memikirkannya saja sudah membuat Zeze mendengus sebal.
Gadis itu tertawa bersama dengan dayang-dayangnya. "Rasakan itu, Bitch." Kemudian ia berganti menantang Juni dan Rhea dengan tatapannya, menunggu bagaimana reaksi kedua pecundang itu.
Garpu Juni lolos dari tangannya.
Bunyi gebrakan meja berulang kali terdengar.
Gadis itu lantas kaget dengan mulut menganga. Namun bukanlah gebrakan meja itu yang menyebabkan mulutnya terbuka lebar.
Juni, dia... tertawa.
Juni tertawa terbahak-bahak sampai menggebrak-gebrak meja tanpa terkontrol.
Bukan hanya gadis itu yang melongo, tetapi seisi kantin yang sejak tadi menyaksikan pun sama. Reaksi itu sama sekali di luar ekspektasi mereka.
Sama halnya dengan Juni, Rhea juga tergelak sambil memegangi perutnya. Air matanya sampai menggenang di pelupuk mata karena tak kuasa menahan tawa.
Apa mereka gila? Dia baru saja menyiram temannya dengan orange juice!
Juni memukul-mukul meja untuk meredakan tawanya. "Ini sejarah!" Ujarnya, takjub. Hanya orang bodoh yang tidak dapat melihat binar di sepasang mata hitamnya.
Wajah Juni berseri-seri, "kau terbaik! Ini pertama kalinya aku melihat orang melakukan hal seperti ini kepadanya! Yang lainnya harus melihat ini!"
Rhea mengangguk-angguk setuju dengan senyum mengembang.
"Hebat! Ini adalah hal terhebat yang pernah kulihat! Luar biasa! Oh Tuhan, ini adalah berkah!" Tawa Juni kembali menggelegar.
'Mereka gila,' pikir gadis itu dengan dahi mengernyit.
Rhea bertepuk tangan. Dengan ponselnya, ia mengambil gambar Zeze—yang masih terpejam—dari samping.
Tak jauh dari meja mereka, dua dari segerombolan siswa dengan seragam berantakan, menutupi mulut untuk menahan tawa.
Melihat hal itu, seorang lelaki berambut pirang dan bertopi yang duduk di ujung meja mendelik penuh peringatan ke arah keduanya.
"Oh, ayolah, Kai! Kapan lagi kita dapat melihat Zeze mengalami hal langka seperti itu!" Protes salah satunya yang memiliki banyak tindikan di telinga. Perangainya sangar dan memiliki rambut hitam panjang berantakan yang dibiarkan menutupi tengkuknya.
"Adik kesayangan," goda yang lain. Kali ini penampilannya lebih rapi. Rambut hitamnya lurus dan terawat. Ia tidak memiliki tindikan seperti orang di sebelah kanannya.
Keduanya berbicara lirih agar percakapan tersebut hanya dapat didengar oleh mereka bertiga.
Lelaki bertopi yang dipanggil Kai itu memilih mengabaikan mereka dan mengamati punggung Zeze yang mulai bergerak dari kejauhan.
Zeze menegakkan punggungnya dan bersandar ke kepala kursi, masih dengan matanya yang terpejam. Ia dapat mendengar dengan jelas kedua orang itu masih tetap menertawakannya.
Juni meminta ponsel dari Rhea dan memotret Zeze dari depan. Dengan membabi-buta, ia menekan tombol capture, hingga mungkin telah terlahir puluhan foto Zeze di sana.
"Mimpi apa kau semalam, Ze? Ini benar-benar sebuah keajaiban." Sambil terkekeh, Rhea menyingkap poni yang menutupi mata Zeze yang terpejam.
Beberapa saat kemudian, mata biru Zeze terbuka seutuhnya. Ia mengulurkan tangan, mengambil Thai tea-nya yang tinggal setengah gelas. Alih-alih diminum, ia hanya memperhatikannya di depan wajah, seolah sedang menilai.
"Kau melakukan kesalahan."
Tidak salah lagi, gadis di belakangnya ini mendengar gumamannya barusan. Matanya memicing, namun sesaat kemudian ia tersenyum licik. Apakah Zeze sudah terpancing?
"Apa sudah kau kirim ke group chat?" Tanya Rhea memastikan.
Dengan senyum lebarnya, Juni mengangguk sambil tetap menarikan jemarinya di ponsel Rhea.
Tiba-tiba Zeze bangkit berdiri dengan gelas Thai tea di dalam genggamannya. Melihat hal itu, seisi kantin kini membuka mata dan telinga mereka lebar-lebar.
Zeze berbalik dan berhadapan dengan si pelaku penyiraman. Untuk beberapa detik, mata mereka saling menjerat.
Gadis itu melipat tangannya di depan dada dan menatap Zeze dengan angkuh, berbanding terbalik dengan Zeze yang menatapnya tanpa minat dan ekspresi yang berarti. Dia secara terang-terangan menantang Zeze, tapi karena Zeze jauh lebih tinggi darinya, dia harus sedikit mendongak agar bisa mencapai mata birunya.
Saat Zeze mulai membuka tutup Thai tea-nya, dia bertanya-tanya apakah Zeze akan melakukan hal yang sama terhadapnya? Gadis pirang itu tersenyum sinis dan melirik kawanannya yang berjumlah sekitar 5 orang itu. Mereka sudah sangat siap akan melawan Zeze.
Namun di luar dugaan, Zeze malah mendongak dan menenggak habis minuman itu.
Mereka saling bertukar pandang dengan satu pertanyaan: bukannya dia ingin membalas?
Tanpa aba-aba, semburan air menerpa wajah bermake up-nya. Cukup lama hingga dia harus membungkus matanya, menunggu air itu sampai berhenti.
Setelah memastikan tidak ada air lagi yang menerpa wajahnya, dia memberanikan diri membuka mata, mempelajari apa yang baru saja menimpanya.
Dan hal pertama yang dilihatnya adalah Zeze yang mengelap mulutnya dengan lengan jaketnya. Saat itulah dia menyadari apa yang barusan terjadi. Zeze menyemburnya!
"Sayang sekali. Padahal itu rasa terakhir." Zeze berkata murung dengan nada menyesal yang pastinya dibuat-buat.
Mereka hanya bisa mematung di tempat. Bahkan masih begitu walau suara sorak-sorakan telah menggelegar riuh ke seluruh kantin.
Tangan Zeze menepuk pundaknya. Gerakan itu membuatnya tersentak dan berhasil mengembalikannya kepada kenyataan.
Zeze menjilat bibir atasnya. "Tapi tidak masalah, masih ada rasa lain," lanjutnya, menyeringai seraya mengedipkan sebelah matanya.
Kemudian Zeze berlalu ke tempat sampah terdekat dan membuang gelas kosongnya, meninggalkan gadis itu yang kembali mematung di tempat.
"Ke mana Zeze?" Tanya Juni, melihat ke sana ke mari. Karena terlalu asyik berkutat di ponselnya, ia sampai tidak menyadari kejadian luar biasa tadi.
Rhea mengangkat bahu, "mungkin membeli Thai tea rasa lain."
Juni mengangguk-angguk kemudian memandang gadis yang masih mematung itu. "Vela, kerja yang bagus," Juni mengedip penuh arti.
Mendengarnya, Vela mengerjap cepat dengan mulut yang menganga. Sekarang ia yakin bahwa mereka ini sepenuhnya gila.
Saat Zeze melewati meja ketujuh orang populer itu, matanya beradu dengan mata hazel Kion. Namun untuk pertama kalinya, Kion-lah yang membuang muka. Laki-laki itu memilih menunduk ke arah buku di tangannya.
Zeze juga tidak ingin ambil pusing dan memilih melanjutkan tujuannya. Ia memesan rasa green tea original tanpa meminta kembalian.
Sayang sekali.
Ya, sangat disayangkan.
Ia sangat menyukai 'rasa' terakhir itu.