9 GODDESS

Sulit dipercaya, walaupun sekarang ia tengah menyaksikannya, tapi ini masih sulit untuk dianggap kenyataan. Sebuah senyuman pertama yang ia lihat. Setelah sekian lama berharap, berharap, dan berharap sampai hampir menyerah agar dapat melihat senyum itu lagi, akhirnya ia melihatnya. Di sini. Di waktu ini.

Zeze terpaku pada wajah itu, sampai tak sadar ia pun ikut tersenyum. Bukan senyum dingin yang biasa ia tunjukkan pada musuh-musuhnya, namun ini adalah senyuman malaikat.

"Apanya yang lucu?"

Zeze mengangkat bahu dan menelan senyumnya. "Tidak ada." Ia memperbaiki posisi bangkunya dan menghadap ke depan.

Glen berhenti menopang kepalanya. Ia tidak bertanya lebih lanjut dan mengikuti Zeze, menghadap ke depan.

Ketika Guru sejarah dan mitologi, Mr. Yesof memasuki kelas, seluruh murid mengeluarkan buku mereka masing-masing. Mr. Yesof mulai menjelaskan di depan kelas dengan topiknya kali ini adalah Dewi Yunani.

"Aku baru saja menyimpulkan sesuatu." Zeze berbisik sembari berpura-pura mencatat agar tidak dicurigai.

Glen meliriknya sekilas lalu mengikutinya, berpura-pura mencatat.

"Kau membuatku menerima detensi agar aku tidak melihat itu," lanjutnya.

Glen diam, tidak mengiyakan ataupun mengelak. Kemudian, setelah hening yang cukup memakan waktu, Glen memecahnya, "ya, karena kau akan sangat berisik."

Zeze memilih mengabaikannya. Kurang lebih lima menit mereka tidak bicara. Tapi benar saja, Zeze tidak bisa mengabaikannya terlalu lama. Bertahun-tahun ia tidak mendengar suaranya, dan ia tidak boleh melewatkan kesempatan ini begitu saja. "Ke mana saja kau tiga hari ini?"

"Lebih tepatnya sebulan," jawab Glen dari sela giginya. Dan mau tak mau, Zeze agak terkejut karena laki-laki itu bersedia meladeninya. Zeze hanya mengangguk-angguk dalam diam.

"...ke mananya kau tidak perlu tahu."

Zeze meliriknya sekilas, tidak mendesak lebih lanjut. Tiba-tiba namanya dipanggil oleh Mr. Yesof yang menjulang di depan kelas, "Miss Rozeale Finn, benar kan?" Tanyanya, memastikan.

Anggukan Zeze dibalas senyuman oleh Mr. Yesof, "coba kau simpulkan hal-hal penting yang perlu diketahui tentang Artemis."

Ia merasakan seisi kelas menatapnya, tanpa terkecuali teman sebangkunya itu. Dan entah mengapa hal itu membuatnya senang. Akhirnya mata itu mengarah kepadanya.

Untuk meredam jantungnya yang menjerit kegirangan, Zeze membuang napas dengan perlahan lalu bersandar ke kepala kursi, "Artemis adalah dewi perburuan. Ada banyak julukannya selain itu, di antaranya dewi alam liar dan dewi bulan."

Glen menunduk, memilih membuang matanya ke arah brush pen hitam yang tengah ia putar-putar di antara jemarinya.

"Digambarkan memiliki sayap dan bersama seekor rusa jantan. Dia selalu terlihat membawa busur dan panah. Artemis merupakan putri dari Zeus, dewa langit dan petir, dengan seorang titan wanita bernama Leto."

Zeze berhenti sejenak lalu melanjutkan, "dan memiliki saudara kembar, Apollo, dewa matahari." Nada suaranya terdengar rumit.

"Sebagai dewi perburuan, Artemis sangat ahli dalam berburu dan memata-matai mangsanya. Sebagai dewi alam liar, dia melambangkan kebebasan." Zeze terdiam sepintas sebelum bertanya, "apakah Anda mau mendengar lebih?"

Mr. Yesof menggeleng. "Tidak, sudah cukup." Ia tersenyum, "kerja yang bagus Miss Finn." Kemudian ia berjalan ke arah mejanya. "Baiklah, kemasi barang-barang kalian. Hari ini akan ada rapat guru jadi kalian bisa pulang lebih awal."

Sorak sorai gembira langsung melejit setelahnya. Murid-murid lain tengah sibuk mengubur buku ke dalam tas atau kolong meja mereka, tidak dengan Glen dan Zeze yang masih duduk santai menunggu kelas kosong.

Beberapa menit kemudian, kelas pun kosong sepenuhnya, meninggalkan Glen dan Zeze yang duduk bersebelahan dengan keheningan.

Dan Glen pun tidak bodoh, serta tak ingin pura-pura bodoh. Ia tahu ada yang ingin Zeze bicarakan dengannya.

"Kau bisa saja lari. Tapi tidak, kau tidak melakukannya. Karena aku tahu, Itu bukan dirimu," ujar Zeze dengan pandangan lurus ke depan.

Glen tidak menyahut. Ia tetap setia menunggu dengan mata terpaku pada papan tulis yang mengukir tulisan besar 'Artemis' di tengah-tengahnya.

"Hari ini adalah hari yang cukup mengejutkan. Tapi itu tidak masalah. Tidak ada yang menyenangkan jika hidup penuh spoiler." Zeze terkekeh, tapi tak ada humor di tawanya.

Sebelum melanjutkan, Zeze menarik napas, "jadi selama ini kau adalah teman sebangkuku? Bodoh sekali."

Glen meliriknya.

"Selama ini aku tidak tahu kau sedekat ini." Zeze mendengus keras, "ah, menjengkelkan sekali... tidak mengetahui apa-apa itu menjengkelkan," keluhnya.

Glen menyilangkan satu kakinya ke atas kakinya yang lain sebelum menanggapi m dengan nada mencemooh, "tadi kau bilang, kalau hidup dengan spoiler itu tidak menyenangkan."

Zeze meliriknya, hanya sebentar sebelum ia memutuskan beranjak dari kursi lalu singgah di atas meja Glen. Kini mereka saling berhadapan. Tak ada jalan bagi keduanya untuk berpaling.

Glen mendongak, sementara Zeze menunduk. Mata mereka beradu dengan tatapan yang saling terjalin.

Zeze memajukan tubuhnya dan mengulurkan tangannya, mengambil kacamata retak yang sedari tadi menghiasi wajah Glen. Ia melipat gagang hitamnya lalu memasukkannya ke dalam saku samping roknya.

"Hidup tidak menyenangkan jika aku tidak tahu tentangmu." Setelah menit demi menit terkikis, akhirnya ia menjawab. Suaranya selirih sebuah bisikan.

Glen mencondongkan tubuhnya dan balas berbisik, "tidak ada yang perlu kau tahu tentangku."

Mendengarnya, Zeze terkekeh lalu tersenyum. "Jika Obi mendengarnya, dia pasti sudah menghajarmu."

Mendadak, Glen dan Zeze merasakan kehadiran dua orang. Mereka cepat-cepat bersikap normal. Zeze turun dari meja dan mulai membereskan alat tulisnya, begitu juga dengan Glen. Beberapa detik kemudian, dua orang pengganggu itu pun tiba di ambang pintu.

"Zeze!" Panggil salah satunya, yang Zeze yakin dari suaranya adalah Juni. Dia dan Rhea menghampiri Zeze yang tengah berdiri memasukkan alat tulisnya ke dalam ransel.

Zeze mendongak dan menjawab datar, "apa?"

Mereka berhenti di samping meja Glen. Mata tajam Juni memicing ketika ia menatap Glen yang kini tengah memakai ranselnya.

"Kau duduk dengannya?" Tanya Juni, menunjuk Glen dengan dagu. Nada bicaranya tidak terdengar ramah sama sekali.

Zeze mengangguk, "ya."

Dengan mata runcingnya, Juni masih terang-terangan mendelik ke arah Glen. Sementara Rhea, tidak ada hawa permusuhan darinya. Tatapannya lembut seperti biasanya.

"Permisi," ucap Glen dengan pandangan jatuh ke lantai.

Juni sedikit bergeser agar laki-laki itu bisa lewat dengan leluasa. Tidak, lebih tepatnya ia bergeser agar dirinya tak harus bersentuhan dengannya.

Tanpa menoleh, Glen berjalan meninggalkan mereka bertiga. Sementara itu, dari tempatnya berdiri, sepasang mata biru dengan sorot kecewa masih setia mengekori punggung tegapnya hingga ia lenyap di balik pintu.

"Ayo kita pulang. Tidak ada yang ingin kalian lakukan lagi, kan?" Suara Rhea membawa Zeze kembali kepada kenyataan. Menjatuhkan pandangan pada ranselnya, Zeze mengangguk dengan gerakan perlahan.

========

Sebuah telapak tangan mendarat dengan keras di pipi kanan Aiden. Suaranya menggelegar, memenuhi ruangan luas bergaya Eropa ini.

Aiden mengumpulkan ludahnya yang telah terasa aneh kemudian membuangnya ke samping.

"Dasar anak memalukan!" Seorang pria berumur sekitar 40 tahun dengan rambut berwarna cokelat emas, meraung di depan wajah Aiden yang terlihat berantakan.

Aiden lebih memilih mengubur matanya di ujung sepatu pria itu sambil menikmati sisa darah di mulutnya.

"Kakekmu telah susah payah membangun relasi dengan Gen Naios Zesto bukan untuk kau hancurkan!"

'Cih, orang tua ini mulai lagi.'

Pria itu menekankan telunjuknya ke dahi Aiden. "Bagaimana bisa kau menghina mereka seenak jidatmu!?" Geramnya. "Lihatlah kakakmu Airo! Dia bahkan berhasil membangun pertemanan dengan salah satu anggota Zesto, keturunan keluarga kerajaan yang paling berkuasa!"

Pria itu terengah-engah. Setelah napasnya stabil, kemudian ia berbalik ke meja kerjanya. Terdapat papan nama bertuliskan 'Aplisto Laktisma' di atas meja berwarna coklat tua itu.

Ia menduduki meja itu, mengamati putra keempatnya yang sedang menjatuhkan pandangannya ke arah lantai marmer penuh ukiran rumit, serumit pikirannya saat ini. Ia tahu dan sadar dirinya sudah terlalu keras kepadanya, namun itu semua ia lakukan untuk masa depannya.

"Keluarlah Aiden."

Aiden mengangkat wajah dan bertanya dengan santai, "dari rumah?"

Gigi Aplisto menggertak. "Jangan membuatku marah," desisnya. "Keluar dan masuk ke dalam kamarmu!"

Aiden menyeringai sinis, kemudian berbalik pergi meninggalkan ayahnya sendirian. Ia terbatuk saat menyusuri lorong kamarnya. Karena tubuhnya mulai oleng, ia berjalan sambil berpegangan dinding.

Setelah berlabuh di kamarnya dengan susah payah, ia langsung merebahkan dirinya ke atas kasur king size bercorak kubus. Aiden terbatuk dan terbatuk lagi. Lama-lama, nyeri di dadanya semakin menyakitkan bahkan sampai membuatnya meringkuk.

Karena penasaran, ia pun terduduk dan menanggalkan kaus putih yang membalut tubuhnya. Dan benar saja, terdapat biru mengerikan di tengah-tengah dada bidangnya. Aiden mendengus kemudian berbaring lagi.

Tendangan elf itu memang sangat kuat. Namun yang mengganggunya adalah, bagaimana bisa ia tidak dapat memperkirakan itu sebelumnya?

Ia tidak mempermasalahkan seberapa kuatnya. Banyak tendangan yang ia akui kuat. Namun sebelum itu semua menyentuh dirinya, seharusnya ia bisa membendungnya dengan tangan agar tidak sampai melukai organ vitalnya seperti ini.

Matanya menelusuri langit-langit kamarnya yang bergambar rasi bintang, mencoba menemukan apa yang salah. Tapi ia ingat sekali di sekolah tadi pikirannya, fokusnya, dan semua yang ada di dalam dirinya seperti terpecah belah.

Benar! Ia baru mengingat bahwa yang ia pikirkan sekilas sebelum kaki itu menyentuh dadanya adalah... jam dinding.

'Apa-apaan?!'

Aiden terduduk kembali dengan gusar, sampai-sampai ia lupa akan dadanya. Gerakan tiba-tiba itu membuat dahinya mengernyit, merasakan nyeri yang makin berdenyut-denyut.

Otaknya kembali berpikir. Mengapa ia bisa tidak sadar? Rasanya seperti ada yang membuatnya tertarik dengan jam dinding di atas pintu masuk itu. Namun ini tidak masuk akal. Seperti... bagaimana mungkin ia tiba-tiba tertarik dengan sebuah jam dinding di saat seperti itu? Untuk apa? Untuk melihat waktu?

Pikirannya seperti teralih. Seperti ada dorongan yang membuat jam itu pantas mendapatkan perhatiannya detik itu juga.

'Ada yang tidak beres,' batinnya.

'Bahkan jika tendangan itu pasti akan mengenaiku, seharusnya cukup waktu walaupun hanya sepersekian detik untukku memfokuskan energi agar dapat mengurangi tekanannya.'

Bukan tanpa alasan Aiden yakin sekali seperti itu. Dia adalah seorang putra dari Marquess Laktisma, salah satu Marquess terpandang di Aplistia yang dipercaya dalam menjaga perbatasan negara.

Tentunya kemampuan bertarungnya beberapa tingkat di atas anak bangsawan lainnya. Sejak kecil, ia telah dilatih menguasai berbagai macam senjata. Dan tidak lupa juga dengan seni beladiri yang ditekuninya, taekwondo.

Aiden menggeleng, mencoba mengenyahkan pikirannya. Ia harus tidur, jika tidak lukanya akan semakin parah.

Elf itu harus membayarnya. Dan juga Si Brengsek Leios... ia akan tambah menyiksanya kali ini.
RECENTLY UPDATES