8 UNTITLED

"Apa yang sedang kau lakukan Mr. Leios? Pelajaran akan segera dimulai."

Satu detik, dua detik, tiga detik, bahkan sampai detik keenam puluh pun mata mereka masih asyik saling mengunci. Sampai akhirnya, guru itu menegur dari mejanya.

Memutus kontak matanya dari gadis itu, ia mengubur ranselnya di kolong meja dan duduk, memfokuskan pandangan ke papan tulis yang kini tengah dicoret-coret oleh kapur putih.

Sementara teman sebangkunya ini masih sulit berpaling darinya. Ia bisa merasakan seluruh fokus gadis itu mengarah kepadanya.

"Miss Finn, apakah lagunya begitu merdu?"

Zeze mengerjap seolah baru saja menerima tamparan keras. Ia menanggalkan headphone-nya tanpa membuang mata birunya dari orang di sampingnya ini.

Semua ini tidak terduga, sama sekali tidak pernah diduga olehnya. Baru kali ini ia merasakan hal yang samar setelah sekian lama bertindak sebagai mata-mata yang selalu tahu. Kini ia bahkan seperti buku tak berjudul. Buta, samar, bahkan tak tahu harus apa.

Dirinya selalu bertindak sebagai author, merancang sendiri jalannya bahkan untuk kawan-kawannya. Namun jangankan untuk orang lain, sekarang ia bahkan tak tahu harus berbuat apa untuk dirinya sendiri. Otaknya lumpuh. Ke mana semua pikiran-pikirannya? Bahkan ia masih dapat menemukan jalan lurus untuk merancang strategi di saat terdesak sekalipun. Namun kali ini...

'Tapi tunggu dulu, yang tadi jatuh itu... dia?'

Zeze memajukan duduknya agar terhalang oleh murid lain di depannya. Ia menumpu sikunya di atas meja agar telapak tangannya dapat menopang kepalanya. Zeze melakukan hal ini supaya bisa lebih leluasa memandangi dia.

Dia memakai kacamata? Sejak kapan? Apakah dia rabun dekat?

'Apakah aku melewatkan sesuatu?'

Pikirannya sudah mulai bekerja kali ini. Namun tetap saja ia masih tidak puas, karena otaknya hanya memikirkan pertanyaan tanpa jawaban.

Zeze menatapnya semakin intens di tiap detiknya. Dia tampak berbeda, dan aneh tentunya, memakai softlens dengan kacamata. Zeze bisa mengatakannya karena warna matanya berbeda, kali ini warnanya hitam, gelap dan kelam.

Zeze terkekeh. Tentu saja hal itu tidak luput dari perhatian lelaki itu. Walaupun mata gelapnya terpajang lurus ke depan, semua indranya mengarah ke samping.

"...Glen," bisik Zeze, bibirnya tertarik di kedua sudutnya, membentuk seringai lebar yang mengandung kebahagiaan tiada tara.

Dengan satu tangan masih menopang kepala, tubuh Zeze menghadap sepenuhnya ke arah teman sebangkunya itu.

"Lihat ke depan." Dia balas berbisik tanpa menoleh.

Pandangan Zeze seketika kosong ketika suara gebrakan mengejutkannya. Bagaimana tidak? Selain kaget karena suara itu, ia juga kaget tentang bagaimana ia bisa 'kaget' hanya karenanya. Zeze selalu waspada, bagaimana mungkin ia tidak mencium apa pun sebelumnya?

"Baiklah Miss Finn, ini sudah ketiga kalinya kau mendapat teguran." Sebuah suara tajam wanita mengikuti setelah bunyi gebrakan itu. "Detensi," lanjutnya dengan tegas.

Zeze tidak ingin ambil pusing menghadap ke depan. Yang benar saja ia harus menyia-nyiakan momen berharga ini. Yang tengah diringkus matanya ini adalah pusat dunianya. Setiap detiknya berharga.

Bagaimana mungkin ia bisa 'berpaling'?

Bibir Zeze tertarik di satu sudutnya, memajang sebuah senyuman sengit yang anehnya mengandung rasa puas. Orang ini, orang yang tadi membuatnya lupa akan sekitar. Orang ini yang pertama kalinya dapat menurunkan kewaspadaannya.

Zeze memperagakan gerakan bertepuk tangan tanpa suara disertai decakan kagum.

'Kerja yang bagus, Glen.'

========

Jam istirahatnya terbuang di tempat ini, ruang guru. Dengan tidak sabar, Zeze mengetuk-ngetuk sepatu sneakers-nya ke lantai sambil mendengarkan ocehan wanita paruh baya yang duduk berhadapan dengannya ini.

"Apakah sekarang kau paham Miss Finn?" Wanita itu menautkan kedua tangannya di bawah dagu sembari menyelami sepasang mata Zeze dengan lekat.

"Ya..." Mata Zeze mengarah ke papan nama di dekat siku wanita itu. "...Madam Heiss," lanjutnya sambil tersenyum hambar.

'Cepat suruh aku keluar... ayo...'

Madam Heiss mendesah dengan mata terpejam. "Baiklah, sekarang silakan keluar nikmati istirahatmu."

Senyum Zeze merekah semakin lebar, memamerkan barisan giginya yang putih bagaikan porselen. Ia berdiri, mengangguk pamit ke Madam Heiss, dan langsung saja menyambar gagang pintu.

Ia berjalan setengah berlari membelah lorong lantai satu. Dengan tergesa-gesa menyelak orang di hadapannya yang baru saja menaruh kakinya di eskalator.

Eskalator itu terlalu lamban untuknya, karena itulah ia langsung saja melesat layaknya menaiki tangga.

Dan akhirnya kakinya mendarat di koridor lantai empat. Tidak peduli lagi dengan banyak pasang mata yang menyiramnya, Zeze mulai berlari, sehingga membuat rambut panjangnya berayun-ayun.

Zeze sudah sangat tidak sabar untuk melihatnya. Tadi ia tidak sempat mengobrol karena keburu ditarik oleh Madam Heiss.

Hanya memikirkan ide mengobrol dengannya saja membuat Zeze serasa ingin terbang. Jika tidak ada orang, mungkin sayapnya telah berkobar kali ini.

Tinggal beberapa langkah lagi dan Zeze tertawa, tawa bahagia. Benar kata orang-orang, masa ini adalah masa terindah dalam hidup.

Dan inilah saat yang ditunggu-tunggu. Kakinya pun membuntu di ambang pintu. Tatapannya lurus ke depan. Senyumnya kian memudar. Matanya yang berbinar kini membulat, dan suara punggung menghantam meja langsung menyambut telinganya.

"Memangnya kau pikir bisa lari?" Kata seorang murid laki-laki berambut emas. Dia menginjak-injak perut seorang laki-laki berkacamata yang tengah terduduk lemas, bersandar tidak berdaya pada kaki meja.

Setelah puas menekan-nekan perutnya, dia beralih mencengkeram kerah kemejanya, membawa lelaki malang itu menjulang dengan hanya ujung sepatunya yang menyentuh lantai.

Di sekitar mereka, sorak gembira para murid mengiringi.

"Ayo hajar!"

"Bunuh saja!"

"Dasar sampah!"

"Mati saja kau sana!"

Mengapa dia belum juga melawan? Pertanyaan itu membengkak. Zeze akui bahwa orang itu memang kuat, namun harusnya, ataupun setidaknya, dia mengelak. Ke mana semua yang waktu itu? Waktu dia menghempaskan pedangnya hingga tertelan pohon. Dan di saat yang sama, dengan mudahnya dia merusak topengnya tanpa melukai wajahnya.

Ini tidak benar. Apa-apaan yang dilihatnya ini. Ke mana Glen yang waktu itu?

Sebuah tangan secara tiba-tiba menggenggam erat lengan kirinya yang digunakannya untuk mencekik seorang pecundang bernama Glen Leios. Menoleh ke samping, dia mendapati sebuah pahatan yang dirinya sendiri pun berani bersumpah adalah perempuan tercantik yang pernah ditemuinya. Matanya biru dan berkilau. Namun kilau itu menghunuskan nafsu seakan siap untuk membunuh.

"Lepaskan." Kata-katanya seperti titah tak terbantah. Jika tidak dalam situasi seperti ini, dia pasti sudah mengakui bahwa itu adalah suara termerdu yang pernah didengarnya.

Mata biru itu seolah menyedotnya ke titik terdalam hingga tak ada jalan untuk berpaling. Tidak ada lagi sorak-sorakan. Yang tertinggal hanyalah suara napas mereka yang memenuhi ruang kelas yang telah berantakan itu.

Dia tersadar dari pengaruh mata itu lalu sedikit mengendurkan cengkeramannya, membuat kaki Glen yang semula menggantung kini dapat seutuhnya berjumpa lantai.

"Jadi," dia sedikit menundukkan kepalanya agar bisa sejajar dengan wajah cantik itu. "Jika aku menolak, kau ingin apa, hmm? Cantik?" Bisiknya dengan nada provokatif.

Zeze mengangkat kepalanya, menantang. Bibirnya tertarik di satu sudutnya, menuangkan senyum remeh bercampur sengit. Ia membebaskan lengan orang itu lalu berbalik pergi, berjalan dua langkah kemudian berhenti dengan gelagat misterius.

Laki-laki berambut emas itu menatap punggungnya dengan raut bingung. 'Apa yang sedang dilakukannya? Takut?' Batinnya. Tapi dia tahu, tatapan gadis itu sebelumnya tidak menunjukkan rasa takut sama sekali, malah seperti... marah? Kecewa? Tapi satu yang dia yakini, itu semua bukan ditumpahkan untuknya.

Tak lama, pertanyaannya pun terjawab oleh sebuah tendangan memutar yang menghantam keras dadanya, menghempaskannya hingga punggungnya menabrak dinding belakang.

Leher Glen akhirnya merdeka. Laki-laki itu merosot, terbatuk lalu meludahkan darah sambil memeluk perut.

Zeze dapat merasakan yang lain menahan napas terkejut. Tapi ia tidak peduli. Matanya yang menatap nyalang, hanya terfokus pada orang di depannya yang perlahan-lahan merosot, terduduk lemas di atas lantai yang dingin.

Dengan langkah pasti, Zeze menghampiri orang itu lalu berhenti dua langkah darinya. Menyadari kehadirannya, orang itu mendongak, melihat Zeze dengan pandangan berkabut.

"Takut?" Zeze bertanya kepadanya dengan suara yang dalam dan dingin.

Tiba-tiba Zeze teringat sesuatu. Ia melirik ke sudut atas ruangan dan menemukan CCTV terpajang di sana. "Cih," keluhnya.

'Sebentar lagi pengganggu datang.'

Dan benar. Setelahnya guru panahan, Mr. Crowen, dan wali kelasnya, Madam Heiss tampil di ambang pintu.

"Apa-apaan ini!" Pekik Madam Heiss ketika tiba dan melihat meja serta kursi yang telah berantakan. Anak-anak yang tadi duduk di atas meja pun turun dengan tergesa-gesa.

Zeze berbalik menghadap Madam Heiss. "Orang ini..." Zeze menunjuk lelaki berambut emas itu, "memukuli dia..." kemudian berganti menunjuk Glen yang juga tengah terduduk lemas dengan punggung menempel di kaki meja.

"Lalu menghina keluarga kerajaan," lanjutnya, tenang bagaikan air. Semua orang, tak terkecuali Glen, terkejut oleh pernyataannya barusan.

Mata Glen menyipit ketika pertanyaan demi pertanyaan merasuk ke otaknya. 'Apa yang dia lakukan? Bukankah dia membenci status itu? Apa dia berencana untuk membongkar siapa dirinya saat ini?'

"...jadi aku memberinya pelajaran, bukankah seharusnya begitu, Madam?"

Madam Heiss menghela napas. "Benar Miss Finn, tetapi ini bukanlah kewajibanmu untuk melakukannya. Ini adalah tugas pihak berwajib." Madam Heiss tersenyum, mencoba memasang wajah setenang mungkin.

Zeze berganti ke Mr. Crowen. "Aku penasaran," katanya, "mengapa tidak ada yang datang saat orang ini mencekiknya?" Suaranya dipenuhi intimidasi sampai-sampai membuat Mr. Crowen menegang di tempat.

Mr. Crowen terbatuk kecil lalu mencoba sesantai mungkin menjawab, "petugas CCTV baru kembali dari kamar kecil."

"Ooohhhh..." Zeze mengangguk-angguk sambil sesekali mendengus geli.

'Bohong.'

"Tunggu dulu!" Laki-laki itu kini berdiri dengan kedua lengan ditopang teman-temannya. "Aku tidak menghina keluarga kerajaan!" Tegasnya.

Zeze berbalik menghadapnya, menatap mata hitamnya dengan tenang. "Apa kau punya bukti?" Tantangnya.

Laki-laki itu menggertakkan giginya, "dan kau, apa kau juga punya bukti aku mengatakannya?"

Zeze mengangguk percaya diri. "Tentu," ia menoleh ke arah Glen. "Dia," tunjuknya dengan dagu.

'Ah... jadi begitu,' batin Glen. Ia akui Zeze sangat cerdas. Gadis itu dengan mudahnya memutar balikkan fakta agar dirinya sendiri aman. Namun, mengapa Zeze bisa percaya diri sekali bahwa ia akan membantunya?

Terjadi hening karena Glen tak kunjung merespons.

'Baiklah, aku akan membantumu kali ini.'

Pada akhirnya, Glen mengangguk membenarkan, sehingga tatapan berapi-api penuh kebencian langsung datang menusuknya.

'Beraninya dia berbohong!' "Kurang ajar!"

"Cukup Mr. Laktisma!" Ucap Madam Heiss dengan suara lantang. "Detensi," lanjutnya lagi. "Besok, panggil orang tuamu, Marquess Laktisma untuk menghadapku. Biar beliau melihat sendiri bagaimana kelakuan putra keempatnya."

Ekspresi Zeze sedikit berubah. Ternyata lelaki berambut emas ini saudara Airo. Pantas saja sepintas mirip.

"Sudahlah Aiden," ucap salah satu temannya.

Aiden Laktisma menatap tajam Zeze dan Glen bergantian, menandakan bahwa akan datang pembalasan darinya suatu saat nanti.

Kemudian dia berjalan keluar dengan dipapah oleh kedua temannya. Sepertinya Zeze terlalu banyak menggunakan tenaga. Mau bagaimana lagi, Zeze itu ahlinya dalam melakukan hal-hal yang berkaitan dengan kaki. Karena sejak kecil, ia selalu memberi perhatian lebih kepada kakinya.

"Mr. Leios, cepat ke UKS dan obati lukamu." Suara Madam Heiss terdengar tak acuh ketika dia menyuruh Glen.

Glen menggeleng dan dengan sopan menjawab, "tidak apa, Madam Heiss."

Selesainya pertunjukan itu menyebabkan yang lainnya bubar dengan membawa kekecewaan. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa Zeze berani melakukan hal itu kepada seorang anggota keluarga Laktisma.

Hari ini, untuk pertama kalinya seseorang berani menolong Si Pecundang Glen Leios. Dan tanpa sadar, semenjak hari ini pula Zeze telah ikut tertarik ke dalam masalahnya.

"Kau!" Panggil seorang siswi berambut pirang ikal. "Kau sudah membuat kesalahan," lanjutnya dengan seringaian sengit.

Zeze mengangkat bahu enteng. "Jika ini salah, lalu apa yang benar?" Ia berbalik, mengabaikan siswi bermake up tebal itu.

Gadis itu mengentakkan kakinya dengan kesal. Dia memang cari mati!

Zeze mendarat di bangkunya semula, begitu juga dengan Glen, karena memang bel masuk telah berbunyi. Waktu istirahatnya terbuang sudah. Mood-nya benar-benar kacau.

"Apa yang terjadi?" Tuntutnya ketika Glen telah sepenuhnya duduk.

Glen menoleh ke arahnya. Wajah babak belurnya membuat kening Zeze berkerut. Sudut bibir dan pelipisnya biru, rambut hitamnya berantakan dan kacamatanya retak.

Untuk beberapa detik, Glen hanya bungkam, menatap Zeze dengan matanya yang selalu terlihat tanpa gairah. Kemudian, dia menjawab dengan suara yang lirih dan parau, "tidak ada yang perlu kau tahu."

Mata Zeze mengerjap kaget, sehingga membuat Glen yang melihatnya pun bertanya, "kau tidak ingat apa yang aku katakan waktu itu?"

Zeze mengangkat sebelah alisnya. Oh, jadi dia ingin bermain-main? Well, kita lihat siapa yang menang.

Sudut-sudut bibir Zeze terangkat sengit, "dan kau juga tidak lupa kan apa balasanku?"

Bibir Glen sedikit terbuka, tapi tak kunjung menumpahkan suara. Tentu dia ingat.

("Jika selanjutnya kita berjumpa, aku akan menyelamatkanmu.")

Glen menghadap ke depan, menghindari tatapannya, "kau sudah melakukannya tadi."

"Tapi yang kulihat, kau yang menyelamatkanku tadi..."

Ketika Glen kembali menoleh, ia melihat mata biru itu memuntahkan binar menakutkan.

"...dari membunuhnya," lanjutnya. Suaranya perlahan menghilang dengan kesan misterius.

Dengan perlahan, Zeze menggeser kursinya menghadap Glen. Sangat dekat, bahkan lututnya sampai menyentuh paha samping lelaki itu.

Lalu, dengan gerakan misterius, Zeze mencondongkan tubuhnya ke depan, sehingga wajahnya hanya berjarak satu jengkal saja dari wajah Glen. "Tapi bukan itu yang kumaksud," lanjutnya.

Glen tertegun, tidak mundur ataupun berkedip. Mereka begitu dekat, hingga dapat mendengar suara napas masing-masing.

Zeze menegakkan punggungnya, "jadi... sekarang jelaskan. Apa yang sedang kau rencanakan?"

Tanpa menjawab, Glen ikut menggeser kursinya menghadap Zeze. Sekarang, keduanya saling berhadapan. Lutut mereka pun bertemu, saling menyentuh satu sama lain.

Glen menopang kepalanya dengan punggung tangan sebelum bersuara, "pertanyaan itu... cocok untukmu."

Dan satu balasan itu berhasil membuat Zeze jengkel setengah mati. Ia mendengus panjang dan dengan pasrah memundurkan punggungnya ke kepala kursi. Ia menyerah. Ia memang selalu kalah darinya.

Sementara Glen... dia tersenyum menang.
RECENTLY UPDATES